Dua gelas bir harusnya sudah cukup parah untuk memengaruhi kesadarannya. Namun, alih-alih berhenti minum-minum, gadis berambut pirang sebahu itu justru mengambil sebotol bir dari atas meja dan menenggaknya tanpa peduli bahwa lambung dan seluruh organ di dalam tubuhnya mungkin sudah tak sinkron dengan segala indra dan pikirannya.
Semua orang yang ada di gazebo hanya tertawa geli memandangi Elline yang sudah mabuk itu makin tak terkontrol.
Sebagian yang sudah mabuk berat bergeming dan melanjutkan candu mereka pada bir dan wiski yang tersuguh di hadapan mereka, sedangkan sebagian lagi yang memilih untuk tetap pada kesadaran normal, asyik menontoni Elline yang menangis tersedu-sedu sambil meracau panjang lebar di tengah kesadarannya yang berada di ambang benang tipis karena mabuk.
"Maksudku, memangnya aku ini apa, huh? Katakan... apa kurangnya aku? Apa aku seburuk itu? Ini tidak adil... benar, kan? Sungguh, aku
Masih sambil memegang botol bir di tangan kanannya, gadis itu berjalan melewati halaman rumah Daniel. Sementara di tangan kirinya, masih tersampir indah tas putih keluaran terbaru dari Chanel miliknya. Langkah Elline sangat gontai persis orang mabuk berat, kedua matanya yang sayu jelas menggambarkan bahwa pandangannya tidak sejelas biasanya. Hal itulah yang menyebabkan beberapa kali ia sempat tak sengaja menubruk orang-orang yang ada di teras rumah Daniel. Pengaruh alkohol yang menenggelamkan kesadaran Elline bahkan sebetulnya membuat Elline tidak tahu ke mana jalan pulang yang benar. Tapi ia tidak peduli, daripada tetap berada di pesta di dalam sana, ia merasa betul-betul ingin pulang. Ketika ia sedang melewati beberapa mobil yang terparkir di halaman rumah Daniel, tiba-tiba saja salah satu pintu mobil terbuka, tepat ketika ia berjalan di sebelahnya, sehingga tubuhnya pun terbentur dengan pintu mobil
Kedua kelopak mata gadis itu mulai bergerak. Ketika dia mencoba membuka matanya, kepalanya langsung diserang rasa sakit dan pening yang teramat sangat. Sembari meringis pelan merasakan betapa berat beban di kepala dan di kedua matanya, akhirnya dia pun membuka mata ketika merasakan secercah sinar matahari mengenai wajahnya. Elline mengerjapkan mata beberapa kali, menatap ke arah langit-langit ruangan dimana ia berada saat ini dengan tatapan kosong. Ia mencoba untuk tenang dengan berdiam diri terlebih dahulu sebagai upaya untuk meredakan rasa sakit di kepalanya. Beberapa menit kemudian, Elline mendengar suara sebuah pintu yang terbuka. Bukan pintu ruangan itu, melainkan pintu yang ada di dalam ruangan itu. Elline akhirnya sadar bahwa saat ini ia berada di kamar asing. Bukan di kamarnya, bukan kamar ibunya, dan bukan pula ruangan-ruangan yang ada di rumahnya atau ruangan yang familiar baginya. &
Ketika Luke akhirnya membuka pintu closet room dan masuk ke ruangan berukuran kecil yang merupakan lemari pakaian itu, Elline pun menunggu di luar. Tidak sopan juga rasanya jika ia melenggang masuk begitu saja ke dalam closet room atau lemari yang sebenarnya termasuk suatu hal yang privasi. "Hei, Luke. Apa kau tidak kuliah hari ini?" tanya Elline dari luar pada Luke yang berada di dalam closet room. "Libur," jawab Luke singkat. "Sebenarnya aku kuliah hari ini. Malah aku ada kelas pagi pukul 8." Selama beberapa saat, Elline tidak mendengar sahutan dari Luke. Hingga tak lama setelah itu, Luke pun keluar dari closet room sudah dengan memakai kaus hitam polos dan celana jeans yang menampilkan dengan apik kakinya yang panjang dan kurus. "Apa kau pikir aku peduli?" Luke merespons ucapan Elline sebelumnya dengan dingin dan sinis. Elline mengurucutkan b
Beberapa menit kemudian, akhirnya Luke pun datang dengan membawa dua gelas kopi dan satu piring berisi dua buah sandwich. "Makanlah. Aku tahu kau pasti kelaparan. Aku tidak bisa masak, jadi makan saja seadanya," ujar Luke sembari menyodorkan satu gelas kopi dan piring sandwich pada gadis itu. "Terima kasih," kata Elline sambil tersenyum riang pada Luke yang kini duduk di kursi yang berhadapan dengannya. Paham bahwa Luke memberikan sekaligus 2 sandwich tersebut untuknya, maka Elline pun terdiam sebentar. Kemudian, dia mengambil satu potong sandwich, lalu mendorong piring putih di hadapannya secara perlahan ke arah Luke. Lalu ia pun berkata, "Satu untukku, dan satu untukmu." Luke menggeleng pelan dan mengembalikan piring itu pada Elline, "Aku tidak mau makan." "Kenapa?" "Tidak lapar." "Kalau kau tidak makan, maka aku juga tida
"Mungkinkah Leonardo Dicaprio memiliki seorang adik yang tidak pernah diumumkan ke publik?" Luke mengerutkan keningnya mendengar ucapan Elline yang sangat random itu. "Oh! Atau mungkinkahtime travelerbenar-benar ada, dan kau adalah Leonardo Dicaprio saat masih berusia 20 tahunan yang menjelajah waktu hingga tiba di tahun ini?" kata Elline dengan antusias. Luke berdecih pelan mendengar ucapan Elline yang melantur itu. Dari jarak dirinya dan Elline yang sangat dekat ini, ia bisa melihat dengan jelas betapa cantiknya gadis itu ketika tersenyum penuh semangat atas sesuatu yang membuatnya sangat antusias. Meski saat ini ia sedang sedikit mengagumi paras Elline, tapi tetap saja ia merasa jengkel mendengar perkataan Elline yang melantur dan tidak masuk akal. Entah seluas apa imajinasi gadis itu. "Jangan bicara yang aneh-aneh," oceh Luke. Dia berni
Luke melirik sekilas ke arah Elline yang duduk di kursi penumpang di sebelahnya. Sejak mereka pergi dari apartemennya sekitar hampir sejam yang lalu, gadis itu membisu dan terus menerus membuang muka untuk menghindari tatapannya. Ia tahu apa penyebab yang membuat Elline bertingkah seperti itu, yaitu tak lain dan tak bukan karena ciuman tak direncanakan yang mendadak terjadi begitu saja di antara mereka berdua. Luke paham bahwa Elline malu atas kejadian tersebut. Bahkan setelah tadi ia selesai berciuman dengan Elline, ia melihat wajah gadis itu langsung merah padam karena malu. Dan setelah itu, gadis itu langsung menghindar darinya, tidak ingin menatapnya, dan tidak bicara sepatah kata pun padanya. Luke tetap fokus menyetir. Ia menopangkan siku tangan kirinya ke jendela mobil di sebelahnya, kemudian mengusap-usap tengkuknya karena merasa agak gugup. Walaupun ekspresi wajahnya terlihat tetap datar dan dingin,
Elline meringis pelan ketika kepalanya terasa berat dan begitu sakit setelah kepala belakangnya terbentur dengan sandaran kursi. Tapi setidaknya benturan itu jauh lebih aman dibandingkan jika kepalanya menghantam dashboard di hadapannya. "Kau baik-baik saja?" tanya Luke pada Elline. Khawatir dan cemas ketika melihat Elline yang meringis sambil memegangi kepalanya. "Ya, aku baik-baik saja," jawab Elline kemudian. "Sungguh?" Luke menjulurkan tangan kanannya ke kepala belakang Elline, kemudian mengusap-usap kepala Elline untuk memastikan bahwa gadis itu benar-benar baik-baik saja. "Iya, Luke," ujar Elline meyakinkan. "Tunggu sebentar," Luke melepas sabuk pengamannya, kemudian membuka pintu mobil, lalu bergegas turun. Luke memeriksa apa masalah yang terjadi pada mobilnya. Dan rupanya, ia mendapati bahwa ban mobil depannya yang sebelah kanan te
Melvin meremas kedua gundukan milik wanita di hadapannya. Bibirnya bertautan penuh nafsu dengan wanita itu. Ketika tangannya mulai bergerak turun menyentuh pangkal paha wanita itu yang masih berbalut celana, ia mendegar suara lenguhan tertahan yang begitu terlena dengan permainannya. Dalam sekejap saja, Melvin berhasil melucuti kemeja satin dan celana jeans yang dikenakan Gloria hingga wanita itu kini setengah telanjang, hanya tersisa bra dan celana dalam saja yang masih menempel di tubuh indahnya. Jemari Melvin mulai bermain di bagian luar area kewanitaan Gloria. Melihat wanita yang berdiri di hadapannya itu menunjukkan wajah penuh nafsu yang menandakan bahwa dia membutuhkan sesuatu yang lebih jauh, Melvin pun meraup bibir wanita itu dan melumatnya dengan brutal. Ia melepas hoodie putih yang ia pakai, melepas resleting celananya, kemudian melepas seluruh pakaian yang ada di tubuhnya hingga ia sama toplesnya dengan Gloria.
"Iya, Ibu. Aku mengerti," ujar Elline seraya menuangkan air putih di gelas kaca yang ia letakkan di atas meja makan. Gagang telepon dari pesawat telepon yang ada di dapur, masih menempel di telinga kirinya, berbicara dengan Rachel, ibunya, yang masih berada di kantor karena ada urusan penting bahkan hingga jam sudah menunjukkan pukul setengah 10 malam. "Jangan mengerti-mengerti saja. Pokoknya kau tidak boleh pergi ke mana-mana malam ini. Diam saja di rumah sampai Ibu pulang. Ibu tidak mau kau pergi sehari semalam seperti kemarin. Dasar anak nakal!" oceh Rachel dari seberang telepon. "Astaga, iya, Ibu. Harus berapa kali aku bilang? Aku mengerti. Aku tidak akan pergi ke manapun malam ini. Besok aku ada kelas pagi di kampus," sahut Elline yang lama-kelamaan merasa agak jengkel diocehi terus sejak 5 menit yang lalu. "Ya sudah kalau begitu. Sampai jumpa," kata Rachel.
"Dengar, Elline, aku..." "Kalau sebegitu pedulinya kau padaku, lalu mengapa kau mengkhianatiku? Kenapa kau selingkuh dariku, huh?" potong Elline. Melvin pun terdiam ketika melihat air mata mulai membendung di kedua pelupuk mata Elline. "Jangan diam saja. Jawab aku, Melvin," tuntut Elline. Melvin tetap diam. "Apa kau tahu kalau perasaanku sekarang mungkin telah mati karenamu? Sakit hati yang kau timbulkan pada jiwaku jauh lebih mengkhawatirkan dibandingkan fisikku yang tidak terluka sama sekali. Lihat mataku, Melvin. Apa kau tidak melihat kalau aku sangat terluka karenamu? Kau berkata seolah kau mengkhawatirkanku, tapi justru kaulah yang menyakitiku dan menghancurkanku..." ungkap Elline dengan suara yang bergetar hebat dan air mata yang mulai mengalir di kedua pipinya. Elline menatap pria di hadapannya itu dalam-dalam dengan kedua matanya y
Elline turun dari taksi dengan Luke yang membantu memegangi tangannya agar tubuhnya bisa bertumpu sehingga tidak kehilangan keseimbangan karena kaki kirinya yang terkilir. Setelah menempuh perjalanan sekitar 2 jam dari Hellington, akhirnya ia dan Luke tiba di New York. Begitu tadi tiba di New York, Luke menyempatkan diri untuk membawa Elline ke klinik untuk memeriksa keadaan kaki gadis itu yang terkilir. Beruntungnya dokter sudah mengobati kaki Elline sehingga kini sudah tak separah sebelumnya, dan dokter bilang keadaan kaki kiri gadis itu akan segera kembali normal. Saat ini Elline dan Luke telah sampai di depan sebuah rumah setelah sebelumnya mereka menaiki taksi dari klinik yang terletak tak terlalu jauh dari stasiun kereta. Luke membantu Elline untuk berjalan sampai ke depan pagar rumah bergaya modern yang merupakan rumah Elline itu. Kemudian, Elline pun berbalik menghadap Luke dan tersenyum pada pri
Elline menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi yang ia duduki. Saat ini dirinya dan Luke sudah berada di dalam kereta yang membawa mereka dari Hartford, Connecticut menuju Manhattan, New York. Rasa nyeri masih terus menggerayangi area pergelangan kaki kirinya. Karena saking lelah dan tidak sanggup lagi memaksakan diri berjalan menggunakan heels, tadi ia tersandung kakinya sendiri saat berjalan di trotoar, hingga akhirnya ia jatuh dan kondisi kakinya malah makin parah karena terkilir. Ia pikir Luke tidak mau peduli dan akan menelantarkannya di pinggir jalan Hartford, kota yang sama sekali tidak pernah ia datangi sebelumnya. Tapi tak disangka, meski sangat dingin dan cuek, ternyata sosok Luke tetap memiliki rasa peduli yang cukup besar. Pria itu mau menolongnya. Luke bahkan juga tidak protes sama sekali ketika tadi tanpa sadar Elline melayangkan tamparan ke wajahnya karena dia menekan memar d
Gadis itu menghela napas keras. Uap putih keluar dari hidung dan mulutnya ketika ia melakukan itu. Hal tersebut jelas menjadi pertanda bahwa suhu udara saat ini semakin bergerak rendah. Tapi setidaknya ia tidak terlalu merasa kedinginan karena ia memakai coatcokelat yang dipinjamkan oleh Luke. Coat yang tentunya sangat kebesaran di tubuhnya itu memberi kehangatan yang lebih dari cukup pada tubuhnya yang sebelumnya hanya memakai gaun pesta yang panjangnya hanya sampai seatas lutut. Saat ini dirinya dan Luke telah keluar dari area jalan tol dan sedang menyusuri trotoar jalan umum untuk mencari stasiun. Mereka berdua sudah tak lagi berada di negara bagian Massachusetts di mana kota Boston berada, melainkan telah berada di wilayah negara bagian Connecticut, tepatnya di kota Hartford. Sementara itu, mobil Luke masih berada di jalan tol untuk menunggu di tangani oleh montir. Luke juga s
Melvin mengerutkan keningnya karena heran. Rachel Clifton, ibunya Elline, tidak biasanya menelpon nomornya. Kalau membutuhkan sesuatu, ibunya Elline yang telah ia anggap seperti ibunya sendiri itu pasti hanya menghubunginya sekadar melalui pesan tulis. Paham bahwa pasti ada sesuatu yang penting dan mendesak, Melvin pun langsung mengangkat telepon tersebut. "Halo, Melvin?" sapa ibunya Elline dari sebrang telepon. "Ya, ini aku. Ada apa?" tanya Melvin. "Apa Elline sedang bersamamu?" "Tidak. Kenapa?" "Dia pergi dari semalam dan belum pulang sampai sekarang. Aku pikir dia menginap di rumah temannya dan langsung berangkat ke kampus saat pagi hari, makanya aku tidak mengkhawatirkannya. Tetapi, barusan Olivia datang ke sini dan menanyakan keberadaan Elline. Dia mengatakan kalau Elline sama sekali tidak datang ke kampus sejak tadi pagi." &n
Melvin meremas kedua gundukan milik wanita di hadapannya. Bibirnya bertautan penuh nafsu dengan wanita itu. Ketika tangannya mulai bergerak turun menyentuh pangkal paha wanita itu yang masih berbalut celana, ia mendegar suara lenguhan tertahan yang begitu terlena dengan permainannya. Dalam sekejap saja, Melvin berhasil melucuti kemeja satin dan celana jeans yang dikenakan Gloria hingga wanita itu kini setengah telanjang, hanya tersisa bra dan celana dalam saja yang masih menempel di tubuh indahnya. Jemari Melvin mulai bermain di bagian luar area kewanitaan Gloria. Melihat wanita yang berdiri di hadapannya itu menunjukkan wajah penuh nafsu yang menandakan bahwa dia membutuhkan sesuatu yang lebih jauh, Melvin pun meraup bibir wanita itu dan melumatnya dengan brutal. Ia melepas hoodie putih yang ia pakai, melepas resleting celananya, kemudian melepas seluruh pakaian yang ada di tubuhnya hingga ia sama toplesnya dengan Gloria.
Elline meringis pelan ketika kepalanya terasa berat dan begitu sakit setelah kepala belakangnya terbentur dengan sandaran kursi. Tapi setidaknya benturan itu jauh lebih aman dibandingkan jika kepalanya menghantam dashboard di hadapannya. "Kau baik-baik saja?" tanya Luke pada Elline. Khawatir dan cemas ketika melihat Elline yang meringis sambil memegangi kepalanya. "Ya, aku baik-baik saja," jawab Elline kemudian. "Sungguh?" Luke menjulurkan tangan kanannya ke kepala belakang Elline, kemudian mengusap-usap kepala Elline untuk memastikan bahwa gadis itu benar-benar baik-baik saja. "Iya, Luke," ujar Elline meyakinkan. "Tunggu sebentar," Luke melepas sabuk pengamannya, kemudian membuka pintu mobil, lalu bergegas turun. Luke memeriksa apa masalah yang terjadi pada mobilnya. Dan rupanya, ia mendapati bahwa ban mobil depannya yang sebelah kanan te
Luke melirik sekilas ke arah Elline yang duduk di kursi penumpang di sebelahnya. Sejak mereka pergi dari apartemennya sekitar hampir sejam yang lalu, gadis itu membisu dan terus menerus membuang muka untuk menghindari tatapannya. Ia tahu apa penyebab yang membuat Elline bertingkah seperti itu, yaitu tak lain dan tak bukan karena ciuman tak direncanakan yang mendadak terjadi begitu saja di antara mereka berdua. Luke paham bahwa Elline malu atas kejadian tersebut. Bahkan setelah tadi ia selesai berciuman dengan Elline, ia melihat wajah gadis itu langsung merah padam karena malu. Dan setelah itu, gadis itu langsung menghindar darinya, tidak ingin menatapnya, dan tidak bicara sepatah kata pun padanya. Luke tetap fokus menyetir. Ia menopangkan siku tangan kirinya ke jendela mobil di sebelahnya, kemudian mengusap-usap tengkuknya karena merasa agak gugup. Walaupun ekspresi wajahnya terlihat tetap datar dan dingin,