Angin dari arah depan menabrak-nabrak tubuhku. Air mata kembali menetes. Meratapi nasib malang yang kuterima. Mau tak mau aku harus bangkit secepat mungkin. Mesti mencari kontrakan atau kosan untuk kutinggali. Motor terasa berat kukendarai karena penuh dengan barang. Karena terlalu banyak pikiran, aku sampai tidak melihat motor yang terparkir di depan toko. Karena panik, aku menyerempet motor itu hingga terjatuh. Untunglah aku tidak terpisah dengan motorku. Dengan meringis keras, aku mencoba bangun. Kesulitan ketika hendak mengangkat motor yang penuh dengan beban. Aku menangis lagi. Tak cukup dengan semua penderitaan itu, sekarang aku mesti menghadapi ujian lagi. “Eh, Mbak nggak apa-apa?” Seseorang tiba-tiba membantuku berdiri sampai mengangkat motorku hingga kembali tegak. Aku membuka kaca helm, mengusap air mata sebelum pria tinggi itu berbalik. “Makasih ya, Mas. Terima kasih banyak.” “Loh, Mbak Farah?”Aku mengangkat mata. “Mas Farel?” Ekor mataku melirik motor yang tadi ters
Itu adalah pesan terakhir dari pria itu. Pesan yang dipenuhi keputusasaan. Alih-alih merasa senang dengan kalimat itu, aku malah tersenyum miris. Sebelum mendengar percakapannya dengan Ibu, aku pasti akan berbunga-bunga membacanya. Namun, aku tahu betul, dia mengatakan itu untuk membujukku kembali ke rumah. Agar ada yang mengurus rumah dan orang tuanya. Aku tak tahu jika semua perhatian dan rasa cintaku hanya dinilai seperti pembantu dan perawat. “Kamu hebat, Mas. Kamu hebat bisa menjebakku.” Mata ini berkaca-kaca dan lagi-lagi mengucurkan air mata. Aku merasa seperti dipermainkan. Mimpi yang dulu kurajut bersama lelaki itu adalah omong kosong belaka. Sekarang aku benar-benar sendiri. Tidur dan tinggal sendirian di kamar yang asing ini.Selain pesan dan telepon tak terjawab dari Mas Herman, aku juga mendapatkan telepon dari Emak dan Mbak keke. Barangkali pria itu menghubungi mereka untuk menanyakan keberadaanku. Aku menelepon Emak terlebih dulu, tak ingin Emak khawatir terlalu lam
Tiga hari kemudian, aku baru bisa bangkit dari tempat tidur. Mendapati kamar yang sempit dan kosong. Aku perlu membeli kompor dan peralatan masak. Untunglah aku masih punya banyak tabungan dari upah jadi asisten MUA ditambah dengan emas-emas yang Mas Herman belikan. Aku beranjak ke pasar. Motor yang kupakai adalah kendaraan yang dicicilkan Bapak sebelum menikah dengan Mas Herman, jadi aku juga membawanya. Aku membeli kompor, tabung gas, peralatan makan dan alat-alat memasak serta kipas angin berukuran kecil. Memutuskan memenuhi kosanku dengan barang-barang agar aku bisa tinggal lebih nyaman. “Eh, Mbak Farah. Lagi belanja, ya?” Suara yang renyah dan sopan itu membuatku menoleh. “Oh, Mas Farel.”“Nggak usah panggil Mas. Aku masih mahasiswa kok.”Aku memberikan senyum canggung. Lelaki itu lebih muda, tapi jauh lebih tinggi dariku. “Udah dapat kosan?” “Sudah.”“Oh, sini barangnya biar aku bawain. Motornya di mana?”Belum sempat aku setuju, Farel sudah merebut semua belanjaan dari ta
Aku terperanjat. Rasanya seperti jatuh dari ketinggian. Tubuh ini hampir luruh ke lantai jika wanita itu tak segera menangkapku. “Kebetulan saya bidan. Mbak mau saya antar ke puskesmas tempat saya praktik?”Aku masih tidak fokus. Kepala tiba-tiba menjadi kosong. Suara- kencang suara di sekitar tidak begitu terdengar. Jantung ini melesat hingga terasa sakit. “Saya … mau cerai.”Kesunyian kembali menyelimuti. Aku mendongak dan sekilas melihat ekspresi bersalah di wajah bidan itu. “Saya mengerti. Mau saya antarkan ke suami Mbak?”Aku menggeleng keras. Tak tahu apa yang harus kulakukan kedepannya. Apakah harus memberitahukannya pada Mas Herman?“Tentu penilaian saya nggak begitu akurat. Untuk mengetahui lebih jelas, Mbak bisa tes sendiri dengan test pack atau memeriksakan ke rumah sakit.”“Saya boleh minta tolong?” Aku mencoba berdiri dengan kedua kaki meski rasa mual itu terus saja mengobrak-abrik perut. “Tentu, saya siap bantu.”“Bisakah Mbak mengambilkan hasil surat tuntutan percer
“Hah? Kamu hamil?”Aku mengangguk atas reaksi kaget Mbak Keke. Siang ini dia ada di kamar kosku setelah aku memberitahu alamat padanya. Karena aku tak bisa berkendara ke rumahnya yang cukup jauh. Keheningan menyelimuti kamar. Kami sama-sama terlarut dalam pikiran masing-masing. “Jadi … kamu mau apa sekarang?”Aku menunduk dengan helaan napas pendek yang penuh keresahan. “Aku juga nggak tahu, Mbak.”“Gini aja. Lakukanlah masa percobaan dulu. Mungkin satu atau dua bulan. Kalau mereka tetap memperlakukanmu secara nggak baik, aku sendiri yang bakal jemput kamu di rumah itu.”Itu ide yang tidak buruk. “Aku nggak yakin, Mbak. Bagiku rumah dan kampung itu seperti neraka. Aku yang nggak hamil aja memilih kabur, bagaimana dengan aku yang sedang hamil?”“Mungkin mereka akan berubah karena kamu sedang hamil. Bukannya kamu sendiri yang bilang kalau mereka mengucilkanmu karena kamu belum punya anak?”Aku terdiam lama. Apakah mereka akan memperlakukanku dengan baik setelah mendengar kabar kehamil
‘Aku mau ketemu, Mas.’Pesan itu kukirimkan pada Mas Herman. Lima detik kemudian, pria itu menelepon. Namun, aku menghiraukan dan mengirimkan alamat di mana kami harus bertemu. Rasanya sia-sia saja mengganti nomor ponsel dan memblokir pria itu. Esoknya aku berangkat ke tempat perjanjian kami di kafe dekat kantor pria itu. Aku menunggu agak lama. Tidak begitu keberatan karena bisa memiliki waktu yang cukup banyak untuk merenung dan mempersiapkan diri. Pintu kafe terbuka cukup keras. Aku melihat Mas Herman yang mengedarkan pandangan ke seluruh kafe lalu berlari ketika melihatku. Napasnya terengah-engah ketika sampai di mejaku. Aku melihat kegelisahan dari sorot matanya. Kemeja yang penuh keringat dan kancing yang dipasang asal-asalan. Rambutnya juga tidak serapi dulu. Lelaki ini cukup berantakan. “Kamu dari mana aja, Sayang? Mas kangen banget sama kamu.” Tangannya terulur seperti hendak memelukku. Namun, aku menepis. Membuang muka dan menunjuk kursi di hadapanku. “Duduk dulu, Mas.”
“Mas nggak pernah menyangka kamu akan membuatku memilih antara istri atau keluarga. Keduanya sama-sama penting, Farah.”“Memangnya aku bukan keluargamu? Aku nggak menyuruhmu memilih. Kita pindah dan menengok ibumu sesering mungkin. Aku nggak masalah memasak banyak setiap hari dan membawakan ke rumah mereka.”Ada kegelisahan yang sangat dalam pada kedua mata lelaki itu. Ia tidak menjawab. Matanya sibuk menerawang. “Buka amplop yang satunya.” Tangan Mas Herman gemetar membuka amplop yang kecil. Ia terpaku diam ketika mengeluarkan alat test pack bergaris dua itu. “Ini ….”“Aku hamil,” lirihku. Biar bagaimanapun Mas Herman perlu tahu. Mata lelaki itu membulat bersama bibirnya yang terbuka. “Kamu hamil?!”Aku melirik ke sekitar dan merasa malu ketika orang-orang mulai memperhatikan kami. “Ibu pasti akan senang kalau dengar ini. Ayo kita pulang, Dek." Mas Herman sangat antusias, bangkit dari duduknya dan bersiap menarik tanganku. “Maaf, Mas. Sepertinya kamu salah paham.”“Apa?” Mulut
Akhirnya aku menerima tawaran Farel. Duduk di sampingnya dan diam selama perjalanan. Kami menaiki mobil pick up. Karena Farel bersikeras ingin mengangkut motorku juga. “Sepertinya Mbak berniat menetap.”Aku hanya menoleh sekilas sekalian memberikan senyum tipis sebagai jawaban. “Aku nggak mau ikut campur. Mbak ada masalah dengan suaminya, ya?”Kali ini aku tetap menatap ke luar jendela. “Tahu dari mana kosku?” Lalu mengalihkan pembicaraan. “Dari Mbak Keke. Kebetulan ketemu dan sekalian tanya-tanya soal Mbak.”Lalu suasana di antara kami kembali disisipi keheningan. Tak ada pembicaraan lagi selama satu jam perjalanan. Farel menghentikan mobil dan masuk ke dalam minimarket. Kembali membawa sekantong camilan dan air mineral. “Minum dulu, Mbak.” Ia membukakan tutup botol lalu mengulurkannya padaku. Sembari meneguk air mineral, aku tahu Farel sedang menatapku. Sorotnya dipenuhi rasa penasaran. “Aku boleh tanya tentang suami Mbak?” Aku menutup kembali botol yang tersisa setengah itu.
Sesampainya di ruangan mempelai pria, aku dihadapkan pada Mas Herman yang memamerkan sorot gelisahnya. Aku duduk di kursi, berdampingan dengannya. Sebab aku tahu pria itu tidak ingin didandani. “Apa kabar, Dek, maksudku Farah?” Aku mengangguk. “Baik. Hanif juga begitu. Sekarang dijaga oleh Emak dan Bapak.” Sejak kepulanganku ke rumah Emak, beberapa kali Mas Herman ingin berkunjung, apalagi setelah mendengar kabar aku sudah melahirkan. Namun, aku melarangnya dan hanya mengizinkan melihat anak kami lewat panggilan video atau telepon saja. “Aku nggak tahu kalau kamu yang jadi MUA-nya.” “Itu nggak penting, Mas. Ini pekerjaanku, aku harus profesional.” “Maaf. Aku nggak bermaksud–” “Nggak usah merasa bersalah. Meski merasa nggak nyaman, tapi aku tidak membencimu. Kamu tidak perlu khawatir.” “Dia rekan kerja. Setiap hari membantu pekerjaanku. Setelah kamu pergi, suatu hari Ibu melihatku berboncengan dengannya–aku cuma memberikan tumpangan seperti waktu itu–lalu berniat mendekatkan
Tiga tahun kemudian.“Kali ini kamu kerjanya di mana, Far?” Emak sedang duduk di kursi rotan sambil memangku putraku yang berumur dua tahun. Hanif namanya. Berkulit putih dengan tubuh yang sedang, tak kurus juga tidak gembul. Bagaimanapun keadaannya, aku tetap mencintainya.Sementara aku duduk di lantai sambil melipat pakaian. “Itu, keponakannya Pak Salim. Rumahnya agak jauh. Mesti tempuh dua jam perjalanan.”Pak Salim adalah ketua RT di kampung ini. Beliau khusus memintaku untuk jadi MUA di pernikahan keponakannya. “Oalah, keponakan yang selalu dia banggakan itu, ya? Yang katanya sarjana dan kerja kantoran?”“Iya, Mak. Katanya nikah sama teman sekantornya.”“Perjaka apa duda?”Aku menertawai kekepoan Emak. “Katanya duda.”“Oalah. Ndak papa itu, yang penting orangnya baik, keluarganya juga baik.” “Semoga aja, Mak.”Hanif tampak tenang dalam pangkuan Emak sambil memainkan kalung emas neneknya. “Nikah itu bukan cuma nikahin orangnya, tapi juga nikahin keluarganya. Kita juga mesti co
“Bapak ndak liat suamimu. Sendiri kamu, Nak?”Betapa berat mulutku terbuka untuk memberitahu mereka. Sementara Farel berjalan ke arah kami sambil membawa semua tasku. Bibirnya tersenyum ramah lalu menyalami Bapak dan Emak. “Ini siapa, Nak? Kok ndak datang sama suamimu? Masih bertengkar kalian? Dia ndak datang menjemputmu?”Farel melemparkan tatapan canggung padaku. “Anu, Pak. Bisa nggak bantuin Farel nurunin motorku? Aku mau masukin barang-barang.”“Ah, iya.” Kening Bapak mengerut bingung, tapi tetap menuruti permintaanku. Sementara Emak mengekor masuk dan membantu mengangkat tas besar milikku. Ia lalu berdiri diam dengan pandangan menerawang. “Barangmu banyak begini, ditambah dengan bawa motor, pulang bersama orang lain. Sepertinya masalah dengan suamimu memang sangat besar.”Aku menarik napas sebisaku. Melihat raut Emak yang tiba-tiba menjadi murung menambah rasa sesak di dadaku. “Nanti akan Farah ceritakan, Mak. Bisa nggak Farah ajak teman Farah masuk dulu minum teh? Dia pasti
Akhirnya aku menerima tawaran Farel. Duduk di sampingnya dan diam selama perjalanan. Kami menaiki mobil pick up. Karena Farel bersikeras ingin mengangkut motorku juga. “Sepertinya Mbak berniat menetap.”Aku hanya menoleh sekilas sekalian memberikan senyum tipis sebagai jawaban. “Aku nggak mau ikut campur. Mbak ada masalah dengan suaminya, ya?”Kali ini aku tetap menatap ke luar jendela. “Tahu dari mana kosku?” Lalu mengalihkan pembicaraan. “Dari Mbak Keke. Kebetulan ketemu dan sekalian tanya-tanya soal Mbak.”Lalu suasana di antara kami kembali disisipi keheningan. Tak ada pembicaraan lagi selama satu jam perjalanan. Farel menghentikan mobil dan masuk ke dalam minimarket. Kembali membawa sekantong camilan dan air mineral. “Minum dulu, Mbak.” Ia membukakan tutup botol lalu mengulurkannya padaku. Sembari meneguk air mineral, aku tahu Farel sedang menatapku. Sorotnya dipenuhi rasa penasaran. “Aku boleh tanya tentang suami Mbak?” Aku menutup kembali botol yang tersisa setengah itu.
“Mas nggak pernah menyangka kamu akan membuatku memilih antara istri atau keluarga. Keduanya sama-sama penting, Farah.”“Memangnya aku bukan keluargamu? Aku nggak menyuruhmu memilih. Kita pindah dan menengok ibumu sesering mungkin. Aku nggak masalah memasak banyak setiap hari dan membawakan ke rumah mereka.”Ada kegelisahan yang sangat dalam pada kedua mata lelaki itu. Ia tidak menjawab. Matanya sibuk menerawang. “Buka amplop yang satunya.” Tangan Mas Herman gemetar membuka amplop yang kecil. Ia terpaku diam ketika mengeluarkan alat test pack bergaris dua itu. “Ini ….”“Aku hamil,” lirihku. Biar bagaimanapun Mas Herman perlu tahu. Mata lelaki itu membulat bersama bibirnya yang terbuka. “Kamu hamil?!”Aku melirik ke sekitar dan merasa malu ketika orang-orang mulai memperhatikan kami. “Ibu pasti akan senang kalau dengar ini. Ayo kita pulang, Dek." Mas Herman sangat antusias, bangkit dari duduknya dan bersiap menarik tanganku. “Maaf, Mas. Sepertinya kamu salah paham.”“Apa?” Mulut
‘Aku mau ketemu, Mas.’Pesan itu kukirimkan pada Mas Herman. Lima detik kemudian, pria itu menelepon. Namun, aku menghiraukan dan mengirimkan alamat di mana kami harus bertemu. Rasanya sia-sia saja mengganti nomor ponsel dan memblokir pria itu. Esoknya aku berangkat ke tempat perjanjian kami di kafe dekat kantor pria itu. Aku menunggu agak lama. Tidak begitu keberatan karena bisa memiliki waktu yang cukup banyak untuk merenung dan mempersiapkan diri. Pintu kafe terbuka cukup keras. Aku melihat Mas Herman yang mengedarkan pandangan ke seluruh kafe lalu berlari ketika melihatku. Napasnya terengah-engah ketika sampai di mejaku. Aku melihat kegelisahan dari sorot matanya. Kemeja yang penuh keringat dan kancing yang dipasang asal-asalan. Rambutnya juga tidak serapi dulu. Lelaki ini cukup berantakan. “Kamu dari mana aja, Sayang? Mas kangen banget sama kamu.” Tangannya terulur seperti hendak memelukku. Namun, aku menepis. Membuang muka dan menunjuk kursi di hadapanku. “Duduk dulu, Mas.”
“Hah? Kamu hamil?”Aku mengangguk atas reaksi kaget Mbak Keke. Siang ini dia ada di kamar kosku setelah aku memberitahu alamat padanya. Karena aku tak bisa berkendara ke rumahnya yang cukup jauh. Keheningan menyelimuti kamar. Kami sama-sama terlarut dalam pikiran masing-masing. “Jadi … kamu mau apa sekarang?”Aku menunduk dengan helaan napas pendek yang penuh keresahan. “Aku juga nggak tahu, Mbak.”“Gini aja. Lakukanlah masa percobaan dulu. Mungkin satu atau dua bulan. Kalau mereka tetap memperlakukanmu secara nggak baik, aku sendiri yang bakal jemput kamu di rumah itu.”Itu ide yang tidak buruk. “Aku nggak yakin, Mbak. Bagiku rumah dan kampung itu seperti neraka. Aku yang nggak hamil aja memilih kabur, bagaimana dengan aku yang sedang hamil?”“Mungkin mereka akan berubah karena kamu sedang hamil. Bukannya kamu sendiri yang bilang kalau mereka mengucilkanmu karena kamu belum punya anak?”Aku terdiam lama. Apakah mereka akan memperlakukanku dengan baik setelah mendengar kabar kehamil
Aku terperanjat. Rasanya seperti jatuh dari ketinggian. Tubuh ini hampir luruh ke lantai jika wanita itu tak segera menangkapku. “Kebetulan saya bidan. Mbak mau saya antar ke puskesmas tempat saya praktik?”Aku masih tidak fokus. Kepala tiba-tiba menjadi kosong. Suara- kencang suara di sekitar tidak begitu terdengar. Jantung ini melesat hingga terasa sakit. “Saya … mau cerai.”Kesunyian kembali menyelimuti. Aku mendongak dan sekilas melihat ekspresi bersalah di wajah bidan itu. “Saya mengerti. Mau saya antarkan ke suami Mbak?”Aku menggeleng keras. Tak tahu apa yang harus kulakukan kedepannya. Apakah harus memberitahukannya pada Mas Herman?“Tentu penilaian saya nggak begitu akurat. Untuk mengetahui lebih jelas, Mbak bisa tes sendiri dengan test pack atau memeriksakan ke rumah sakit.”“Saya boleh minta tolong?” Aku mencoba berdiri dengan kedua kaki meski rasa mual itu terus saja mengobrak-abrik perut. “Tentu, saya siap bantu.”“Bisakah Mbak mengambilkan hasil surat tuntutan percer
Tiga hari kemudian, aku baru bisa bangkit dari tempat tidur. Mendapati kamar yang sempit dan kosong. Aku perlu membeli kompor dan peralatan masak. Untunglah aku masih punya banyak tabungan dari upah jadi asisten MUA ditambah dengan emas-emas yang Mas Herman belikan. Aku beranjak ke pasar. Motor yang kupakai adalah kendaraan yang dicicilkan Bapak sebelum menikah dengan Mas Herman, jadi aku juga membawanya. Aku membeli kompor, tabung gas, peralatan makan dan alat-alat memasak serta kipas angin berukuran kecil. Memutuskan memenuhi kosanku dengan barang-barang agar aku bisa tinggal lebih nyaman. “Eh, Mbak Farah. Lagi belanja, ya?” Suara yang renyah dan sopan itu membuatku menoleh. “Oh, Mas Farel.”“Nggak usah panggil Mas. Aku masih mahasiswa kok.”Aku memberikan senyum canggung. Lelaki itu lebih muda, tapi jauh lebih tinggi dariku. “Udah dapat kosan?” “Sudah.”“Oh, sini barangnya biar aku bawain. Motornya di mana?”Belum sempat aku setuju, Farel sudah merebut semua belanjaan dari ta