Share

28

Author: Mustacis
last update Last Updated: 2023-12-25 04:19:31

“Hah? Kamu hamil?”

Aku mengangguk atas reaksi kaget Mbak Keke. Siang ini dia ada di kamar kosku setelah aku memberitahu alamat padanya. Karena aku tak bisa berkendara ke rumahnya yang cukup jauh.

Keheningan menyelimuti kamar. Kami sama-sama terlarut dalam pikiran masing-masing.

“Jadi … kamu mau apa sekarang?”

Aku menunduk dengan helaan napas pendek yang penuh keresahan. “Aku juga nggak tahu, Mbak.”

“Gini aja. Lakukanlah masa percobaan dulu. Mungkin satu atau dua bulan. Kalau mereka tetap memperlakukanmu secara nggak baik, aku sendiri yang bakal jemput kamu di rumah itu.”

Itu ide yang tidak buruk. “Aku nggak yakin, Mbak. Bagiku rumah dan kampung itu seperti neraka. Aku yang nggak hamil aja memilih kabur, bagaimana dengan aku yang sedang hamil?”

“Mungkin mereka akan berubah karena kamu sedang hamil. Bukannya kamu sendiri yang bilang kalau mereka mengucilkanmu karena kamu belum punya anak?”

Aku terdiam lama. Apakah mereka akan memperlakukanku dengan baik setelah mendengar kabar kehamil
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Enggan Punya Anak   29

    ‘Aku mau ketemu, Mas.’Pesan itu kukirimkan pada Mas Herman. Lima detik kemudian, pria itu menelepon. Namun, aku menghiraukan dan mengirimkan alamat di mana kami harus bertemu. Rasanya sia-sia saja mengganti nomor ponsel dan memblokir pria itu. Esoknya aku berangkat ke tempat perjanjian kami di kafe dekat kantor pria itu. Aku menunggu agak lama. Tidak begitu keberatan karena bisa memiliki waktu yang cukup banyak untuk merenung dan mempersiapkan diri. Pintu kafe terbuka cukup keras. Aku melihat Mas Herman yang mengedarkan pandangan ke seluruh kafe lalu berlari ketika melihatku. Napasnya terengah-engah ketika sampai di mejaku. Aku melihat kegelisahan dari sorot matanya. Kemeja yang penuh keringat dan kancing yang dipasang asal-asalan. Rambutnya juga tidak serapi dulu. Lelaki ini cukup berantakan. “Kamu dari mana aja, Sayang? Mas kangen banget sama kamu.” Tangannya terulur seperti hendak memelukku. Namun, aku menepis. Membuang muka dan menunjuk kursi di hadapanku. “Duduk dulu, Mas.”

    Last Updated : 2023-12-26
  • Enggan Punya Anak   30

    “Mas nggak pernah menyangka kamu akan membuatku memilih antara istri atau keluarga. Keduanya sama-sama penting, Farah.”“Memangnya aku bukan keluargamu? Aku nggak menyuruhmu memilih. Kita pindah dan menengok ibumu sesering mungkin. Aku nggak masalah memasak banyak setiap hari dan membawakan ke rumah mereka.”Ada kegelisahan yang sangat dalam pada kedua mata lelaki itu. Ia tidak menjawab. Matanya sibuk menerawang. “Buka amplop yang satunya.” Tangan Mas Herman gemetar membuka amplop yang kecil. Ia terpaku diam ketika mengeluarkan alat test pack bergaris dua itu. “Ini ….”“Aku hamil,” lirihku. Biar bagaimanapun Mas Herman perlu tahu. Mata lelaki itu membulat bersama bibirnya yang terbuka. “Kamu hamil?!”Aku melirik ke sekitar dan merasa malu ketika orang-orang mulai memperhatikan kami. “Ibu pasti akan senang kalau dengar ini. Ayo kita pulang, Dek." Mas Herman sangat antusias, bangkit dari duduknya dan bersiap menarik tanganku. “Maaf, Mas. Sepertinya kamu salah paham.”“Apa?” Mulut

    Last Updated : 2023-12-26
  • Enggan Punya Anak   31

    Akhirnya aku menerima tawaran Farel. Duduk di sampingnya dan diam selama perjalanan. Kami menaiki mobil pick up. Karena Farel bersikeras ingin mengangkut motorku juga. “Sepertinya Mbak berniat menetap.”Aku hanya menoleh sekilas sekalian memberikan senyum tipis sebagai jawaban. “Aku nggak mau ikut campur. Mbak ada masalah dengan suaminya, ya?”Kali ini aku tetap menatap ke luar jendela. “Tahu dari mana kosku?” Lalu mengalihkan pembicaraan. “Dari Mbak Keke. Kebetulan ketemu dan sekalian tanya-tanya soal Mbak.”Lalu suasana di antara kami kembali disisipi keheningan. Tak ada pembicaraan lagi selama satu jam perjalanan. Farel menghentikan mobil dan masuk ke dalam minimarket. Kembali membawa sekantong camilan dan air mineral. “Minum dulu, Mbak.” Ia membukakan tutup botol lalu mengulurkannya padaku. Sembari meneguk air mineral, aku tahu Farel sedang menatapku. Sorotnya dipenuhi rasa penasaran. “Aku boleh tanya tentang suami Mbak?” Aku menutup kembali botol yang tersisa setengah itu.

    Last Updated : 2023-12-27
  • Enggan Punya Anak   32

    “Bapak ndak liat suamimu. Sendiri kamu, Nak?”Betapa berat mulutku terbuka untuk memberitahu mereka. Sementara Farel berjalan ke arah kami sambil membawa semua tasku. Bibirnya tersenyum ramah lalu menyalami Bapak dan Emak. “Ini siapa, Nak? Kok ndak datang sama suamimu? Masih bertengkar kalian? Dia ndak datang menjemputmu?”Farel melemparkan tatapan canggung padaku. “Anu, Pak. Bisa nggak bantuin Farel nurunin motorku? Aku mau masukin barang-barang.”“Ah, iya.” Kening Bapak mengerut bingung, tapi tetap menuruti permintaanku. Sementara Emak mengekor masuk dan membantu mengangkat tas besar milikku. Ia lalu berdiri diam dengan pandangan menerawang. “Barangmu banyak begini, ditambah dengan bawa motor, pulang bersama orang lain. Sepertinya masalah dengan suamimu memang sangat besar.”Aku menarik napas sebisaku. Melihat raut Emak yang tiba-tiba menjadi murung menambah rasa sesak di dadaku. “Nanti akan Farah ceritakan, Mak. Bisa nggak Farah ajak teman Farah masuk dulu minum teh? Dia pasti

    Last Updated : 2023-12-27
  • Enggan Punya Anak   33

    Tiga tahun kemudian.“Kali ini kamu kerjanya di mana, Far?” Emak sedang duduk di kursi rotan sambil memangku putraku yang berumur dua tahun. Hanif namanya. Berkulit putih dengan tubuh yang sedang, tak kurus juga tidak gembul. Bagaimanapun keadaannya, aku tetap mencintainya.Sementara aku duduk di lantai sambil melipat pakaian. “Itu, keponakannya Pak Salim. Rumahnya agak jauh. Mesti tempuh dua jam perjalanan.”Pak Salim adalah ketua RT di kampung ini. Beliau khusus memintaku untuk jadi MUA di pernikahan keponakannya. “Oalah, keponakan yang selalu dia banggakan itu, ya? Yang katanya sarjana dan kerja kantoran?”“Iya, Mak. Katanya nikah sama teman sekantornya.”“Perjaka apa duda?”Aku menertawai kekepoan Emak. “Katanya duda.”“Oalah. Ndak papa itu, yang penting orangnya baik, keluarganya juga baik.” “Semoga aja, Mak.”Hanif tampak tenang dalam pangkuan Emak sambil memainkan kalung emas neneknya. “Nikah itu bukan cuma nikahin orangnya, tapi juga nikahin keluarganya. Kita juga mesti co

    Last Updated : 2023-12-29
  • Enggan Punya Anak   34 (End)

    Sesampainya di ruangan mempelai pria, aku dihadapkan pada Mas Herman yang memamerkan sorot gelisahnya. Aku duduk di kursi, berdampingan dengannya. Sebab aku tahu pria itu tidak ingin didandani. “Apa kabar, Dek, maksudku Farah?” Aku mengangguk. “Baik. Hanif juga begitu. Sekarang dijaga oleh Emak dan Bapak.” Sejak kepulanganku ke rumah Emak, beberapa kali Mas Herman ingin berkunjung, apalagi setelah mendengar kabar aku sudah melahirkan. Namun, aku melarangnya dan hanya mengizinkan melihat anak kami lewat panggilan video atau telepon saja. “Aku nggak tahu kalau kamu yang jadi MUA-nya.” “Itu nggak penting, Mas. Ini pekerjaanku, aku harus profesional.” “Maaf. Aku nggak bermaksud–” “Nggak usah merasa bersalah. Meski merasa nggak nyaman, tapi aku tidak membencimu. Kamu tidak perlu khawatir.” “Dia rekan kerja. Setiap hari membantu pekerjaanku. Setelah kamu pergi, suatu hari Ibu melihatku berboncengan dengannya–aku cuma memberikan tumpangan seperti waktu itu–lalu berniat mendekatkan

    Last Updated : 2024-01-04
  • Enggan Punya Anak   1

    “Yuurrrrr~ sayuurrrrrr~”Senandung panjang seperti bunyi mesin motor itu membuatku bergegas keluar rumah. Dengan daster kuning bermotif bunga sebatas lutut dan rambut yang terikat rapi, aku mendekat ke tukang sayur gerobak yang biasanya memang selalu hadir di pagi hari. “Ada apa aja, Kang Yur?” tanyaku pada tukang sayur yang sebenarnya bernama Yudi itu, dipanggil Kang Yur karena teriakan sayurnya yang khas.“Biasa, Mbak, dipilih aja. Semua sayur ada kok itu. Masih pres!” Aku melongokkan kepala mencari-cari sayur apa yang enak dimasak hari ini. Jari menunjuk beberapa sayuran yang tergantung di gerobak.“Labu sama kacang hijau aja, Mbak. Enak tuh dimasak ama santan. Behhh muantapp!” Sepertinya itu memang perpaduan yang enak. Membayangkannya saja membuat perut berbunyi. Aku memasang senyum tipis. “Mertuaku asam urat, Kang. Gak boleh makan kacang-kacangan.” Kusembunyikan helaan napas kecewa. Padahal kepengin sekali makan kacang panjang.“Perhatian kali kamu, Farah. Jadi, selama ini ka

    Last Updated : 2023-10-21
  • Enggan Punya Anak   2

    “Ya jelas, Farah ‘kan nggak mau berkorban, Bu-Ibu. Doi masih kepengin cantik dan berbody aduhai.”“Sebaiknya punya anak aja, Neng. Jangan ditunda terlalu lama. Entar kalau umur udah lewat 30 udah susah lahiran. Anak adalah ladang rezeki buat orang tua.”“Iya, Neng Farah. Lagian nunda-nunda punya anak begitu cuma buat orang kaya. Kita orang miskin nggak usah ikut-ikutan.” Bukankah sebaliknya? Keputusan untuk menunda atau tidak memiliki anak harusnya dipikirkan oleh orang miskin, sebab biaya tidak cukup untuk menghidupi maupun menyekolahkan anak.Dadaku terasa semakin sesak mendengarkan omongan mereka yang terus dikompori oleh Lastri. Entah mengapa Lastri tidak menyukaiku. Mungkin karena sering mendengar curhatan Mbak Yuli tentangku. “Ini uangnya, Kang. Makasih, ya.” Kang Yur menatapku tidak enak sambil menerima uang.“Saya permisi dulu, ya. Mesti masak.” “Cepat amat belanjanya, Farah. Kalau dikasih tahu sama orang tua ya kudu didengerin. Jangan kabur. Kepala batu juga, ya kamu.” S

    Last Updated : 2023-10-21

Latest chapter

  • Enggan Punya Anak   34 (End)

    Sesampainya di ruangan mempelai pria, aku dihadapkan pada Mas Herman yang memamerkan sorot gelisahnya. Aku duduk di kursi, berdampingan dengannya. Sebab aku tahu pria itu tidak ingin didandani. “Apa kabar, Dek, maksudku Farah?” Aku mengangguk. “Baik. Hanif juga begitu. Sekarang dijaga oleh Emak dan Bapak.” Sejak kepulanganku ke rumah Emak, beberapa kali Mas Herman ingin berkunjung, apalagi setelah mendengar kabar aku sudah melahirkan. Namun, aku melarangnya dan hanya mengizinkan melihat anak kami lewat panggilan video atau telepon saja. “Aku nggak tahu kalau kamu yang jadi MUA-nya.” “Itu nggak penting, Mas. Ini pekerjaanku, aku harus profesional.” “Maaf. Aku nggak bermaksud–” “Nggak usah merasa bersalah. Meski merasa nggak nyaman, tapi aku tidak membencimu. Kamu tidak perlu khawatir.” “Dia rekan kerja. Setiap hari membantu pekerjaanku. Setelah kamu pergi, suatu hari Ibu melihatku berboncengan dengannya–aku cuma memberikan tumpangan seperti waktu itu–lalu berniat mendekatkan

  • Enggan Punya Anak   33

    Tiga tahun kemudian.“Kali ini kamu kerjanya di mana, Far?” Emak sedang duduk di kursi rotan sambil memangku putraku yang berumur dua tahun. Hanif namanya. Berkulit putih dengan tubuh yang sedang, tak kurus juga tidak gembul. Bagaimanapun keadaannya, aku tetap mencintainya.Sementara aku duduk di lantai sambil melipat pakaian. “Itu, keponakannya Pak Salim. Rumahnya agak jauh. Mesti tempuh dua jam perjalanan.”Pak Salim adalah ketua RT di kampung ini. Beliau khusus memintaku untuk jadi MUA di pernikahan keponakannya. “Oalah, keponakan yang selalu dia banggakan itu, ya? Yang katanya sarjana dan kerja kantoran?”“Iya, Mak. Katanya nikah sama teman sekantornya.”“Perjaka apa duda?”Aku menertawai kekepoan Emak. “Katanya duda.”“Oalah. Ndak papa itu, yang penting orangnya baik, keluarganya juga baik.” “Semoga aja, Mak.”Hanif tampak tenang dalam pangkuan Emak sambil memainkan kalung emas neneknya. “Nikah itu bukan cuma nikahin orangnya, tapi juga nikahin keluarganya. Kita juga mesti co

  • Enggan Punya Anak   32

    “Bapak ndak liat suamimu. Sendiri kamu, Nak?”Betapa berat mulutku terbuka untuk memberitahu mereka. Sementara Farel berjalan ke arah kami sambil membawa semua tasku. Bibirnya tersenyum ramah lalu menyalami Bapak dan Emak. “Ini siapa, Nak? Kok ndak datang sama suamimu? Masih bertengkar kalian? Dia ndak datang menjemputmu?”Farel melemparkan tatapan canggung padaku. “Anu, Pak. Bisa nggak bantuin Farel nurunin motorku? Aku mau masukin barang-barang.”“Ah, iya.” Kening Bapak mengerut bingung, tapi tetap menuruti permintaanku. Sementara Emak mengekor masuk dan membantu mengangkat tas besar milikku. Ia lalu berdiri diam dengan pandangan menerawang. “Barangmu banyak begini, ditambah dengan bawa motor, pulang bersama orang lain. Sepertinya masalah dengan suamimu memang sangat besar.”Aku menarik napas sebisaku. Melihat raut Emak yang tiba-tiba menjadi murung menambah rasa sesak di dadaku. “Nanti akan Farah ceritakan, Mak. Bisa nggak Farah ajak teman Farah masuk dulu minum teh? Dia pasti

  • Enggan Punya Anak   31

    Akhirnya aku menerima tawaran Farel. Duduk di sampingnya dan diam selama perjalanan. Kami menaiki mobil pick up. Karena Farel bersikeras ingin mengangkut motorku juga. “Sepertinya Mbak berniat menetap.”Aku hanya menoleh sekilas sekalian memberikan senyum tipis sebagai jawaban. “Aku nggak mau ikut campur. Mbak ada masalah dengan suaminya, ya?”Kali ini aku tetap menatap ke luar jendela. “Tahu dari mana kosku?” Lalu mengalihkan pembicaraan. “Dari Mbak Keke. Kebetulan ketemu dan sekalian tanya-tanya soal Mbak.”Lalu suasana di antara kami kembali disisipi keheningan. Tak ada pembicaraan lagi selama satu jam perjalanan. Farel menghentikan mobil dan masuk ke dalam minimarket. Kembali membawa sekantong camilan dan air mineral. “Minum dulu, Mbak.” Ia membukakan tutup botol lalu mengulurkannya padaku. Sembari meneguk air mineral, aku tahu Farel sedang menatapku. Sorotnya dipenuhi rasa penasaran. “Aku boleh tanya tentang suami Mbak?” Aku menutup kembali botol yang tersisa setengah itu.

  • Enggan Punya Anak   30

    “Mas nggak pernah menyangka kamu akan membuatku memilih antara istri atau keluarga. Keduanya sama-sama penting, Farah.”“Memangnya aku bukan keluargamu? Aku nggak menyuruhmu memilih. Kita pindah dan menengok ibumu sesering mungkin. Aku nggak masalah memasak banyak setiap hari dan membawakan ke rumah mereka.”Ada kegelisahan yang sangat dalam pada kedua mata lelaki itu. Ia tidak menjawab. Matanya sibuk menerawang. “Buka amplop yang satunya.” Tangan Mas Herman gemetar membuka amplop yang kecil. Ia terpaku diam ketika mengeluarkan alat test pack bergaris dua itu. “Ini ….”“Aku hamil,” lirihku. Biar bagaimanapun Mas Herman perlu tahu. Mata lelaki itu membulat bersama bibirnya yang terbuka. “Kamu hamil?!”Aku melirik ke sekitar dan merasa malu ketika orang-orang mulai memperhatikan kami. “Ibu pasti akan senang kalau dengar ini. Ayo kita pulang, Dek." Mas Herman sangat antusias, bangkit dari duduknya dan bersiap menarik tanganku. “Maaf, Mas. Sepertinya kamu salah paham.”“Apa?” Mulut

  • Enggan Punya Anak   29

    ‘Aku mau ketemu, Mas.’Pesan itu kukirimkan pada Mas Herman. Lima detik kemudian, pria itu menelepon. Namun, aku menghiraukan dan mengirimkan alamat di mana kami harus bertemu. Rasanya sia-sia saja mengganti nomor ponsel dan memblokir pria itu. Esoknya aku berangkat ke tempat perjanjian kami di kafe dekat kantor pria itu. Aku menunggu agak lama. Tidak begitu keberatan karena bisa memiliki waktu yang cukup banyak untuk merenung dan mempersiapkan diri. Pintu kafe terbuka cukup keras. Aku melihat Mas Herman yang mengedarkan pandangan ke seluruh kafe lalu berlari ketika melihatku. Napasnya terengah-engah ketika sampai di mejaku. Aku melihat kegelisahan dari sorot matanya. Kemeja yang penuh keringat dan kancing yang dipasang asal-asalan. Rambutnya juga tidak serapi dulu. Lelaki ini cukup berantakan. “Kamu dari mana aja, Sayang? Mas kangen banget sama kamu.” Tangannya terulur seperti hendak memelukku. Namun, aku menepis. Membuang muka dan menunjuk kursi di hadapanku. “Duduk dulu, Mas.”

  • Enggan Punya Anak   28

    “Hah? Kamu hamil?”Aku mengangguk atas reaksi kaget Mbak Keke. Siang ini dia ada di kamar kosku setelah aku memberitahu alamat padanya. Karena aku tak bisa berkendara ke rumahnya yang cukup jauh. Keheningan menyelimuti kamar. Kami sama-sama terlarut dalam pikiran masing-masing. “Jadi … kamu mau apa sekarang?”Aku menunduk dengan helaan napas pendek yang penuh keresahan. “Aku juga nggak tahu, Mbak.”“Gini aja. Lakukanlah masa percobaan dulu. Mungkin satu atau dua bulan. Kalau mereka tetap memperlakukanmu secara nggak baik, aku sendiri yang bakal jemput kamu di rumah itu.”Itu ide yang tidak buruk. “Aku nggak yakin, Mbak. Bagiku rumah dan kampung itu seperti neraka. Aku yang nggak hamil aja memilih kabur, bagaimana dengan aku yang sedang hamil?”“Mungkin mereka akan berubah karena kamu sedang hamil. Bukannya kamu sendiri yang bilang kalau mereka mengucilkanmu karena kamu belum punya anak?”Aku terdiam lama. Apakah mereka akan memperlakukanku dengan baik setelah mendengar kabar kehamil

  • Enggan Punya Anak   27

    Aku terperanjat. Rasanya seperti jatuh dari ketinggian. Tubuh ini hampir luruh ke lantai jika wanita itu tak segera menangkapku. “Kebetulan saya bidan. Mbak mau saya antar ke puskesmas tempat saya praktik?”Aku masih tidak fokus. Kepala tiba-tiba menjadi kosong. Suara- kencang suara di sekitar tidak begitu terdengar. Jantung ini melesat hingga terasa sakit. “Saya … mau cerai.”Kesunyian kembali menyelimuti. Aku mendongak dan sekilas melihat ekspresi bersalah di wajah bidan itu. “Saya mengerti. Mau saya antarkan ke suami Mbak?”Aku menggeleng keras. Tak tahu apa yang harus kulakukan kedepannya. Apakah harus memberitahukannya pada Mas Herman?“Tentu penilaian saya nggak begitu akurat. Untuk mengetahui lebih jelas, Mbak bisa tes sendiri dengan test pack atau memeriksakan ke rumah sakit.”“Saya boleh minta tolong?” Aku mencoba berdiri dengan kedua kaki meski rasa mual itu terus saja mengobrak-abrik perut. “Tentu, saya siap bantu.”“Bisakah Mbak mengambilkan hasil surat tuntutan percer

  • Enggan Punya Anak   26

    Tiga hari kemudian, aku baru bisa bangkit dari tempat tidur. Mendapati kamar yang sempit dan kosong. Aku perlu membeli kompor dan peralatan masak. Untunglah aku masih punya banyak tabungan dari upah jadi asisten MUA ditambah dengan emas-emas yang Mas Herman belikan. Aku beranjak ke pasar. Motor yang kupakai adalah kendaraan yang dicicilkan Bapak sebelum menikah dengan Mas Herman, jadi aku juga membawanya. Aku membeli kompor, tabung gas, peralatan makan dan alat-alat memasak serta kipas angin berukuran kecil. Memutuskan memenuhi kosanku dengan barang-barang agar aku bisa tinggal lebih nyaman. “Eh, Mbak Farah. Lagi belanja, ya?” Suara yang renyah dan sopan itu membuatku menoleh. “Oh, Mas Farel.”“Nggak usah panggil Mas. Aku masih mahasiswa kok.”Aku memberikan senyum canggung. Lelaki itu lebih muda, tapi jauh lebih tinggi dariku. “Udah dapat kosan?” “Sudah.”“Oh, sini barangnya biar aku bawain. Motornya di mana?”Belum sempat aku setuju, Farel sudah merebut semua belanjaan dari ta

DMCA.com Protection Status