Yuda mempercepat laju kendaraannya menuju sekolahan tempat Aisyah mengajar siang itu. Semoga saja dia belum pulang. Kabar yang disampaikan salah seorang temannya membuat pria itu terkejut sekaligus bingung. Padahal kemarin dia baru saja menerima akta cerainya dengan Aisyah. Tapi hari ini dia mendapati kenyataan lain yang membuat detak jantungnya berdetak sangat kencang. Mobil berhenti tidak jauh dari sekolahan yang sudah sepi. Emperan sebelah barat tempat biasa murid-murid menaruh sepeda sudah kosong. Beberapa ruangan kelas juga sudah di tutup. Hanya ruang guru yang masih terbuka. Tapi apa Aisyah yang kini sudah menjadi mantan istrinya itu masih di sana?Di tengah kegelisahannya, ia melihat Aisyah keluar dari kantor. Wanita itu memakai seragam korpri yang tampak sangat ketat di bagian pinggang. Bodohnya, beberapa kali bertemu di pengadilan kenapa ia tidak menyadari perubahan bentuk badan mantan istrinya.Yuda turun dari mobil lantas tergesa menghampiri Aisyah yang masih berdiri di s
"Aisyah, aku bawain seblak. Katanya kemarin kamu pengen makan seblak," kata Mbak Iin -anak perempuan Budhe Maryam- pada Aisyah yang baru saja keluar kamar habis shalat zhuhur siang itu. Sedangkan Mbak Iin masuk rumah lewat pintu samping."Makasih, Mbak. Bikin sendiri apa beli?" tanya Aisyah sambil menerima sebungkus seblak yang masih panas."Bikin sendiri, sekalian untuk takjil orang-orang yang kerja di sawah."Kedua perempuan itu melangkah ke ruang makan. Suasana rumah Aisyah masih sepi. Bu Khodijah habis shalat zhuhur tadi langsung ke sawah untuk mengirim makanan pada beberapa orang yang sedang menanam padi. Azam juga belum pulang dari kuliah.Mbak Iin memandang adik sepupunya yang tengah menikmati seblak dengan lahap. Hatinya nelangsa pada Aisyah. Wanita yang sedang hamil biasanya ingin dimanja, ada suami yang mendampingi dan selalu ada untuknya. Terlebih pada trimester pertama ketika sedang mabuk-mabuknya. Namun Aisyah menjalani kehamilannya sendirian, menghadapi perceraian, dikhi
Yuda masih berdiri di dekat jendela kamarnya. Memandang area persawahan yang gelap tanpa ada sinar rembulan. Di kejauhan tampak kelap-kelip lampu dari rumah warga desa. Di bagian sanalah rumah Aisyah berada. Mantan istri yang telah ditemuinya tadi siang. Sikap Aisyah tetap sopan meski terlihat sangat dingin. Dia juga tidak berniat memberitahu kehamilan itu padanya. Bahkan seperti tidak peduli ketika Yuda bertanya mengenai kandungannya. Apakah Aisyah memang sudah mati rasa terhadapnya?Dulu Jelita tidak pernah mendapatkan perhatian dari ibu kandungnya semenjak lahir. Dan sekarang, apa anak keduanya juga akan mengalami nasib yang sama? Lahir ketika dirinya dan Aisyah sudah bercerai. Jangankan untuk menemaninya bersalin, menyentuh perutnya saja sudah tidak diperbolehkan lagi.Semilir angin malam menyapanya dalam keheningan. Ada perasaan kehilangan yang menyusup demikian dalam. Bayangan Aisyah dalam balutan baju korpri yang ketat dibagian pinggang tak mau sirna dalam ingatannya. Wajahnya
"O, ada Nak Yuda. Mari masuk, Nak!" Bu Khodijah yang tiba-tiba muncul di tengah ketegangan mantan ipar mempersilakan Yuda dengan ramah. Namun laki-laki itu sungkan karena Aisyah yang ingin ditemuinya diam saja. Apalagi ada Azam yang menatapnya dengan bengis."Zam, kamu ke dalam sana!" perintah Bu Khodijah pada anak lelakinya. Azam segera pergi, meski hatinya sangat dongkol. Namun ia tidak akan membantah ibunya. Tidak ada ibu yang tidak kecewa putrinya disakiti. Namun sebagai orang tua yang juga memiliki anak laki-laki, wanita itu tetap berusaha bersikap ramah dan menepikan semua emosi dan egonya. Apalagin beliau mengenal baik Bu Yekti. Dan wanita itu pun tidak henti-hentinya memohon maaf atas kelakuan putranya."Nak Yuda, ayo masuk!" kata Bu Khodijah lagi sambil menghampiri Yuda di depan pintu.Yuda mencium tangan mantan mertuanya. "Saya minta maaf, Bu. Saya hanya ingin mengantarkan susu dan buah untuk Aisyah.""O, iya!""Uty ...!" teriak Jelita yang baru turun dari bocengan motor b
Nency tergesa-gesa masuk ke dalam kamar mandi. Rasa mualnya tidak bisa ditahan lagi. Perempuan itu muntah di wastafel. Namun yang keluar hanya air saja, karena sejak pagi dia belum makan apa-apa. Tubuhnya lemas dan kepalanya terasa berputar-putar. Setelah menyiram bekas muntahan, Nency kembali duduk di meja ruang kerjanya di bagian belakang butik."Mbak, saya beliin teh anget sama nasi ya?" Dengan hati-hati Ida menghampiri Bu Bos yang memejam di kursi putarnya.Nency mengangguk pelan. "Belikan aku ayam geprek saja, Da.""Iya, Mbak.""Tunggu! Sekalian kamu pergi ke apotek dan belikan testpack."Ida mengangguk lalu ke luar ruangan. Haidnya sudah telat hampir sepuluh hari ini. Dan semenjak itu ia sudah merasakan keanehan dalam tubuhnya. Cepat lelah dan sering sakit kepala. Nency takut kecewa jika melakukan pemeriksaan dengan cepat dan ternyata hasilnya negative. Sebab ia menyadari kalau haidnya memang tidak pernah teratur. Namun ia tidak mengeluh pada Roy. Terlebih suaminya sekarang si
Roy membuka pintu rumah dengan kunci duplikat yang di bawanya. Biasa Nency yang membukakan pintu disaat mendengar motornya memasuki halaman rumah. Setelah kembali mengunci pintu, Roy melihat istrinya sedang salat isya di kamar. Ia pun segera mengambil baju ganti dan langsung ke belakang untuk mandi.Hanya butuh beberapa menit untuk Roy menyegarkan tubuh dan sekalian berwudhu. Sambil lewat pandangannya tertuju pada keranjang buah yang isinya penuh di meja makan. Ada juga kue talam. Pria itu tergoda untuk membuka tudung saji yang masih tertutup rapat. Masak apa istrinya untuk makan malam mereka?Namun di bawah tudung saji itu tidak ada makanan apapun, selain amplop warna putih. Roy meraih benda tipis itu dan membukanya.Terkejut? Sudah pasti. Apalagi setelah melihat benda kecil yang sering dipakai istrinya untuk test urine jika ia terlambat haid. Tapi kali ini Roy melihat ada dua garis di benda pipih itu. Tidak seperti biasanya, hanya garis satu yang membuat bibir istrinya manyun satu
Yuda diam tanpa mampu berucap apa-apa. Luka Aisyah terlalu dalam. Apalagi dia tidak berusaha memperjuangkannya di saat masih ada kesempatan. Ketika Aisyah masih menunggu uluran tangan untuk membawa kembali dalam dekapannya, Yuda tidak bergerak sedikitpun. Dia terlena pada pesona mantan kekasih yang mencoba kembali berlabuh padanya. Bodoh. Dan Yuda mengakui itu."Aku minta maaf, Aisyah. Aku lelaki bodoh yang nggak tahu bagaimana menghargaimu. Aku kurang ajar dan nggak tahu diri."Aisyah tersenyum. "Nggak apa-apa, Mas. Jangan disesali. Aku sudah maafin kamu." Aisyah menjawabnya dengan intonasi pelan. Wajah yang terlihat baik-baik saja tidak bisa menyembunyikan luka yang ada dalam sorot matanya. Memang bibir bisa saja bilang memaafkan, tapi hati tidak semudah itu untuk melupakan. "Kisah kita hanya akan jadi masa lalu. Sekarang kita sudah menjadi orang asing antara satu sama lain.""Tapi yang kamu kandung itu anak kita.""Kita hanya sebagai orang tua dari bayi ini," jawab Aisyah sambil m
"Rujuk?" tanya Mbak Iin. Wanita itu kaget ketika Aisyah menceritakan percakapannya dengan Yuda tadi malam. Di mana lelaki itu mengutarakan niat untuk mengajaknya rujuk lagi.Aisyah mengangguk."Kamu sendiri bagaimana?"Aisyah tersenyum getir sambil menerawang ke langit sore. "Kurasa dia hanya kecewa pada masa lalunya, kemudian ingin kembali padaku, Mbak. Kalau dia bahagia dengan Mahika, mana mungkin akan mencariku lagi." Aisyah menarik napas perlahan. "Aku merasakan jadi istri yang dimuliakan hanya dua bulan setelah pernikahan. Karena kami masih dalam momen bulan madu. Sisanya dia sibuk dengan masa lalunya. Sibuk chat diam-diam dengan wanita itu."Mbak Iin juga menarik napas dalam-dalam. Sebenarnya dia ikut sakit hati atas perlakuan Yuda pada adik sepupunya, tapi di sisi lain ia juga kasihan bayi yang dikandung Aisyah jika lahir tanpa orang tua yang lengkap. Kasihan juga pada pria itu. Kelihatan sekali kalau ia sangat tertekan. Apalagi melihat Aisyah hamil, tentu nalurinya sebagai seo
Jelita sudah berumur sembilan tahun sekarang. Dia cantik berjilbab warna merah muda. Kemudian ikut bermain bersama adik dan si kembar.Bu Salim menyambut hangat kedatangan Yuda dan keluarganya. Wanita sepuh itu selalu bahagia jika rumahnya di datangi tamu yang membawa anak-anak. "Mbak Jingga, hamil lagi?" tanya Aisyah yang baru melihat perut Jingga yang membulat."Iya, Mbak. Mau jalan empat bulan. Kembar lagi ini.""Masya Allah, yang bener, Mbak?"Jingga mengangguk."Surprise."Mereka dan anak-anak sangat akrab. Karena tiap kali pulang ke Nganjuk, Fariq sering mengajak mereka mampir di rumahnya Yuda meski hanya sebentar."Pak Raul masuk rumah sakit semingguan yang lalu. Mas Yuda di kabari, nggak?" tanya Fariq ketika mereka ngobrol berdua di gazebo taman samping rumah."Nggak, Mas. Saya tahunya dari Mas Fariq ini. Nanti sebelum pulang, saya mau ngajak mereka mampir sebentar ke sana.""Kalau sekarang Pak Raul sudah di rumah. Tapi masih dalam pengawasan medis terus karena hipertensi dan
Netra Bu Salim berkaca-kaca pagi itu setelah diberitahu Fariq kalau Jingga tengah hamil bayi kembar lagi. "Masya Allah, Alhamdulillah, Nak. Kamu akan memiliki anak kembar lagi?" kata Bu Salim sambil memeluk putranya. Beliau tidak tahu kalau Jingga kemarin periksa ke dokter kandungan. Yang beliau tahu, Jingga belanja keperluan anak-anak."Ya, Ma. Alhamdulillah!""Udah berapa minggu?""Enam minggu.""Masya Allah. Berarti setelah dia lepas KB-nya langsung isi?"Fariq mengangguk. Bu Salim menyeka air matanya. Dulu bagaimana Fariq dan mantan istrinya terus berusaha hampir tiap bulan supaya lekas dapat momongan. Namun hasilnya selalu nihil. Tapi lihatlah sekarang, begitu mudahnya Allah mengabulkan keinginannya. Setelah malam pengantin mereka, Jingga langsung hamil bulan depannya. Sekarang juga begitu, setelah berhenti memakai kontrasepsi Jingga langsung hamil lagi. Tak ada yang mustahil jika Allah sudah menghendaki.Kebahagiaan tiada terkira memenuhi dada Fariq, meskipun dia sangat kasihan
Fariq yang terkejut diam beberapa detik. Kemudian segera berjongkok di depan kedua jagoannya. Menerima kue yang ada angka empat puluh lima di permukaan puding buah. Pria rupawan itu memeluk dan menciumi kedua putranya sambil mengucapkan banyak terima kasih.Pria itu lantas berdiri ketika sang mama merentangkan tangan hendak memeluknya. "Terima kasih, Ma," jawab Fariq sambil mengusap punggung sang mama setelah wanita yang melahirkannya itu mengucapkan selamat ulang tahun dan merapalkan doa untuk putra terkasihnya.Mbak Mus dan Sumi juga mengucapkan selamat pada majikannya. Di susul oleh Cak Pri yang baru saja datang untuk menjemput istrinya. Sebab kalau habis Maghrib Mbak Mus akan pulang. Anak-anak kalau malam tidur di kamar mereka di temani Sumi. Sesekali si kembar dilatih tidur sendiri. Tapi Jingga bisa mengawasi dari layar monitor yang ada di dalam kamarnya."Anak-anak, kalian tunggu di meja makan ya. Biar papa mandi dulu."Farras dan Farel langsung berlari menuju ruang makan. Diiku
Jam tujuh malam keluarga Roy sampai di rumah sakit. Bu Warni segera duduk menghampiri putranya setelah menyalami besan laki-lakinya. "Kenapa kamu di sini? Kamu nggak nemeni istrimu di dalam?" tanya Bu Warni heran."Nency nggak mau aku temani, Bu," jawab Roy dengan nada frustasi. "Loh, kenapa?" Bu Warni makin tak mengerti. Akhirnya Pak Aziz turut menjelaskan kalau putrinya memang yang menyuruh Roy keluar. Bu Warni yang merasa heran langsung diam. Apalagi Pak Karim memberi isyarat pada istrinya agar tidak banyak bertanya. Mereka bertiga duduk diam di depan ruang bersalin. Cemas dengan perasaan masing-masing. Sudah sejak Asar tadi dan sampai sekarang belum ada perkembangan. Roy berjalan mondar-mandir di lorong itu. Bagaimana ia bisa tenang, sementara bayinya belum juga dilahirkan. Ingin tahu keadaannya, tapi Nency sendiri melarangnya. Roy heran. Permintaan jenis apa itu? Geram bercampur haru dibuatnya.Dari ujung lorong, Heni berjalan tergopoh-gopoh sendirian menghampiri adik iparny
Yuda juga mengajak Aisyah kembali ke kamar. Mereka tidak merencanakan untuk jalan-jalan. Waktu yang tersisa hanya beberapa jam itu di manfaatkan untuk tetap tinggal di kamar dan menikmati gerimis dari balik jendela kaca sambil bercerita. Lelaki itu memeluk istrinya dari belakang sambil bersandar di kepala ranjang. Satu hal yang sangat ia syukuri, cepat tersadar lalu kembali pada Aisyah. Dan lebih bersyukur lagi saat wanita itu masih mau menerimanya dengan tangan terbuka. Menerima masa lalu dan memaafkan kekhilafahannya. Wanita sederhana yang memperlakukannya sangat istimewa."Kita check out jam berapa, Mas?" tanya Aisyah setelah terdiam cukup lama menikmati rintik hujan.Yuda mengeratkan lengan, meletakkan dagu di pundak istrinya. "Kita check out barengan sama Mas Fariq. Dia mengajak kita mampir ke rumahnya. Mau kan?""Iya, nggak apa-apa. Nggak usah lama-lama di sana, nanti Jelita nyariin kita. Lagian malam tadi Mas kan sudah bilang kalau siang ini kita sudah sampai di rumah.""Iya,
Yuda berdiri dan tersenyum pada Fariq yang tengah mendorong stroller kedua putranya. Sedangkan Jingga yang merangkul lengan sang suami hanya mengikuti langkah Fariq untuk menghampiri Yuda dan Aisyah."Hai, surprise kita bertemu di sini ya!" ujar Fariq sambil menyambut uluran tangan Yuda. Dua pria yang bersalaman sangat erat."Iya, Mas. Nggak nyangka ya kita bisa bertemu di sini.""Kenalin ini istriku, Jingga. Dari Nganjuk juga." Fariq memperkenalkan istrinya. Jingga tersenyum pada Yuda lalu menyalami Aisyah. "Nganjuknya mana, Mbak?" tanya Jingga pada Aisyah."Saya dari Tanjung Kalang, Mbak," jawab Aisyah."Ini Mas Yuda, Sayang. Yang pernah Mas ceritakan." Fariq memberikan penjelasan dan Jingga langsung paham tanpa banyak bertanya. Ia ingat tentang kisah Mahika dan pria bernama Yuda. "Jelita nggak diajak, Mas?" tanya Fariq karena ia tak melihat anak perempuan kecil bersama mereka."Nggak, Mas. Kebetulan dia ikut adik saya yang baru pulang dari Jogja.""O."Mereka duduk di bangku tepi
Bulan madu yang pertama dulu, mereka lebih banyak hunting kuliner. Sedangkan kali ini, mereka akan menghabiskan banyak waktunya di dalam kamar. Disamping waktunya yang sangat singkat, kasihan juga dengan baby Yusuf kalau di ajak keliling. Usianya baru dua bulan, apalagi hawa di sana sangat dingin."Nanti pas liburan kita ajak anak-anak ke sini, Mas. Deket kalau mau ke Batu Secret Zoo dan musium satwa. Jelita pasti sangat suka kalau kita ajak main ke sana.""Oke," jawab Yuda mengeratkan pelukan. Sambil menikmati rintik-rintik gerimis yang turun sore itu. Mengaburkan pandangan dari indahnya pemandangan di luar hotel. Banyak yang mereka bahas sambil berdekapan. Aisyah menyandarkan punggungnya di dada bidang sang suami. Wangi rambut hitam wanita itu memenuhi penciuman.Kebersamaan itu terjeda oleh bunyi pesan dari ponsel Aisyah yang tergeletak di samping mereka. Wanita itu memaksa mengambilnya, siapa tahu pesan yang dikirimkan kepada ibu kepala sekolah dibalas. Tadi Aisyah meminta tambah
Langit sore tampak kelabu, tak memberi ruang sedikitpun pada sinar matahari bisa menembus bumi. Sebentar kemudian gerimis turun membawa hawa dingin yang menusuk hingga ke pori-pori kulit. Kesiur angin menambah tubuh kian menggigil. Yuda memakaikan sweater warna merah jambu pada Jelita yang duduk bermain di samping adiknya yang tengah terlelap semenjak habis di mandikan. Suasana rumah kembali sepi setelah acara akad nikah pagi tadi. Acara yang jauh lebih sederhana daripada pernikahan mereka setahun lebih yang lalu. Yang sangat meriah dan mewah untuk ukuran orang desa."Kopinya, Mas. Dan ini susunya Jelita." Aisyah membawa nampan berisi dua gelas dan setoples kukis, lalu meletakkannya di depan Yuda."Makasih," jawab pria itu sambil memandang Aisyah yang memakai piyama dan mengurai rambutnya yang panjang. Cantik penampilan Aisyah sore itu. Timbul desiran aneh yang seolah menghentikan aliran darahnya. Sungguh menguji ketahanan diri. Sebab malam itu pun mereka akan tidur berempat, karen
Fariq yang berbaring sejak jam delapan malam tadi susah sekali terlena. Rumah terasa sunyi. Tidak ada celoteh riang si kembar yang menyambutnya saat pulang kerja. Tak ada rengekan minta susu dan tak ada tatapan memuja dari Jingga, Farras, dan Farel. Kesunyian berjauhan dari mereka melebihi sunyinya pasca perceraian kala itu. Benar saja, ia bisa gila kalau terlalu lama berpisah dengan istri dan dua jagoannya.Jika rekan-rekannya paling suka kalau anak dan istrinya sedang bepergian, karena bisa me time seharian. Tapi tidak dengan Fariq. Setelah sekian lama menunggu kehadiran anak, makanya sekarang ia enggan berjauhan dengan anak.Hanya bau minyak telon yang sedikit mengobati kerinduannya dan menunggu hingga hari Sabtu nanti baru bisa menjemput mereka lagi.Fariq meraih ponselnya yang masih sepi. Beberapa pesan yang dikirimkan pada sang istri belum satu pun di terima. Mungkin jika komunikasi lancar, Fariq tak akan kelimpungan seperti sekarang. Tapi bukan hanya dirinya saja yang merasa su