Author's POVHera luruh ke lantai sambil memeluk lutut dan menangis. Kini hatinya yang terasa sakit. Rusdy pergi pasti untuk bertemu dengan selingkuhannya. Janda dengan satu anak yang sebenarnya juga teman Rusdy sendiri dan Hera juga tahu perempuan itu. Kini ia merasakan bagaimana sakitnya dikhianati. Dulu dirinya mengkhianati Andrean, kini dibalas berkali-kali oleh pengkhianatan Rusdy.Keberadaannya di samping Rusdy hanya sebagai penutup aib suaminya. Hanya sebagai pelengkap status Rusdy di hadapan keluarga besar mereka. Pada kenyataannya, harta tidak menjamin kebahagiaannya sekarang. Padahal itu yang pernah membuatnya silau dan meninggalkan Andrean. Entah sampai kapan ia sanggup bertahan. Atau menunggu saja peluang hingga ia bisa bebas dan menemukan jalan keluar. Sebab tidak ada teman yang benar-benar bisa membantunya keluar dari masalah itu. Siapa juga yang bisa melawan Rusdy.* * *Tepat di jam makan siang di hari Minggu itu Miranda tergesa masuk sebuah kafe, tempat Hendriko menu
Author's POV"Masya Allah, Andrean. Apa kabarmu, Nak? Tante kira kamu nggak datang." Bu Evi tergesa menghampiri keponakannya. Lantas memeluk laki-laki itu.Andrean mengusap punggung Bu Evi, kemudian menyalami dan mencium tangannya. "Apa kabar, Tante?""Kabar baik. Bagus ya, kamu nikah nggak kabar-kabar. Ini istrimu?" Bu Evi memandang ke arah Embun."Ya. Namanya Embun."Embun menyalami dan mencium tangan Bu Evi. Wanita itu ganti mengusap perut Embun. "Sudah berapa bulan?""Enam bulan, Bu.""Alhamdulillah. Sebentar lagi kamu akan jadi ayah. Ayo, ajak istrimu masuk. Oh ya, jangan panggil Bu, panggil Tante saja," ujar Bu Evi pada Embun, lalu berjalan mendahului, diikuti Andrean yang mengandeng istrinya. Di dalam rumah, sudah hadir beberapa kerabat dari Bu Evi dan Pak Bagas. Mereka duduk di karpet ruang tamu. Andrean mengajak istrinya menyalami satu per satu orang-orang yang sudah duduk di sana. Sesekali Andrean berhenti dan menjawab kerabat yang bertanya. Karena memang jarang bertemu, me
Author's POVAndrean menoleh tanpa menjawab.Rusdy tersenyum sinis. "Percuma tampan, gagah, membujang lama tapi dapat barang second."Sindiran Rusdy membuat Andrean naik pitam. Di letakkannya piring yang berisi nasi di atas meja. "Jaga mulut kamu." Tatapnya tajam pada pria di sebelahnya. Embun yang berdiri di sebelah kanan Andrean cemas kalau terjadi keributan. Dia juga meletakkan piringnya, kemudian memeluk lengan sang suami. "Kita pergi dari sini, Mas," ajak Embun.Andrean masih diam menatap tajam Rusdy yang terlihat masih cengengesan. Kejadian itu sempat diperhatikan beberapa tamu undangan. Hera yang berada di sebelah Rusdy tak kalah takutnya. "Apa omonganku salah. Istrimu itu barang second, kan?"Tangan kanan Andrean sudah mengepal kuat. Embun makin erat memeluknya. "Jangan Mas!" pintanya."Lelaki seperti ini perlu dihajar mulutnya. Kamu menepi dulu." Andrean tidak terima istrinya di hina. Waktu kejadian di depan rumah sakit dia masih diam. Tapi kali ini dia tidak takut membuat
Author's POVHendriko tersenyum miring. Dia tidak menggubris sama sekali ucapan mamanya. Mustahil baginya untuk minta maaf pada lelaki seperti Rusdy. Bahkan tadi kalau tidak dihalangi oleh Embun, laki-laki itu pasti sudah dibuat babak belur oleh kakaknya. Babak belur kali kedua setelah di hajar Andrean karena pengkhianatan mereka tujuh tahun yang lalu.Dia tahu bagaimana Andrean kalau sudah marah. Kakaknya yang pendiam itu bisa berubah jadi singa kalau mengamuk. Hanya saja sekarang mungkin berpikir berkali-kali kalau mau bertindak. Ada Embun yang harus dipikirkan perasaannya, dia tempat bernaung istrinya sekarang. Terlebih Embun sedang hamil dan tak lama lagi akan melahirkan."Kamu nggak dengar mama ngomong apa?""Nggak, Ma," jawab Hendriko cepat. Semakin menambah jengkel sang mama."Mama nggak perlu mikir. Itu urusanku.""Mama nggak mau kamu berurusan dengan pihak berwajib.""Mama nggak perlu takut. Aku nggak mungkin diam saja."Bu Salwa akhirnya pergi daripada tambah emosi. Wanita i
Author's POVEmbun baru selesai Salat Zhuhur ketika ponselnya yang sedang di charge berdering. Ada telepon dari Bu Salwa. Tumben sekali beliau menelepon. Terakhir kali menghubunginya saat wanita itu mengundangnya makan malam, sebelum ia menikah dengan Andrean."Halo, Assalamu'alaikum Bu.""Wa'alaikumsalam. Kamu di rumah?""Iya, saya di rumah. Ada apa Bu Salwa menelepon saya?""Ini masalah tadi malam. Antara kamu dan Andrean dengan Rusdy.""Maaf, memangnya ada apa, Bu." Embun tidak paham dengan apa yang diucapkan Bu Salwa. Di seberang terdengar Bu Salwa menghembuskan napas kasar. Kemudian menceritakan kejadian tadi malam. Embun kaget juga. Apalagi urusannya sudah sampai ke pihak yang berwajib."Embun, maaf jika Ibu menceritakan hal ini padamu. Kamu paham kan bagaimana hati seorang ibu. Kamu juga calon ibu. Anak yang masih belum bisa kamu lihat saja, kamu lindungi sepenuh hati. Begitu juga dengan ibu. Ibu nggak ingin urusan ini sampai panjang di pengadilan, apalagi kalau sampai jadi be
Author's POVEmbun merentangkan tangan dan tersenyum. Kemudian mendekat untuk memeluk suaminya. Pipinya yang menempel di dada Andrean terasa sejuk oleh sisa air mandi. Andrean mencium puncak kepala istrinya sambil mendekap erat.Wangi sabun dan sisa parfum memenuhi penciuman Embun. Segar dan menenangkan. Ia juga nyaman bernaung di tubuh itu.Untuk beberapa saat keduanya berpelukan. Andrean merasakan ada sundulan-sundulan kecil dari perut istrinya. Ia menyukai dan menikmati dalam diam. Sepertinya sang anak juga ingin menikmati moment itu. Dia sibuk sendiri di dalam perut mamanya dan membuat Andrean gemas.Terkadang obat untuk menenangkan diri atau memulihkan segala kepenatan raga dan pikiran bukan hanya duduk berdua saling bicara. Meluangkan waktu sejenak untuk bercinta dengan pasangan sahnya bisa juga jadi obat yang mujarab bagi pria. Sedangkan wanita jika ada masalah, lebih senang di dengarkan curahan hatinya terlebih dahulu. Namun kali ini Embun mengalah, membiarkan Andrean menikma
Matahari sudah condong ke ufuk barat ketika Andrean meninggalkan lokasi proyek. Sore itu dia ada janji ketemuan dengan Fariq di sebuah kafe. Saat sampai, Fariq sudah menunggunya di bangku paling pojok. Pebisnis yang sering melakukan pertemuan dengan relasinya di luar kantor, memang suka memilih kafe dengan tempat duduk yang menepi. Supaya tidak terganggu oleh lalu lalang pengunjung yang lain. Sebelum duduk, Andrean memesan ice lemon tea pada seorang pelayan yang berdiri di dekat kasir."Maaf, menunggu," kata Andrean sambil menyalami laki-laki berkemeja warna ungu. Fariq tersenyum. "Nggak apa-apa, Pak Andrean. Saya juga pulang dari kantor langsung ke mari.""Tampaknya ada hal serius yang ingin Pak Fariq bicarakan dengan saya?""Mengenai bisnis kita. Bukankah Pak Andrean waktu itu bilang pada saya, kalau apapun yang terjadi jangan membuat kerjasama kita terhambat."Andrean tersenyum. "Sipp, Pak Fariq. Kita memang harus profesional."Meskipun terlihat cukup tenang. Perasaan Fariq tidak
Author's POVMelihat dua orang di depannya membuat Embun terhenyak. Tidak percaya kenapa mereka bisa jalan bersama. Sedangkan Andrean tetap tenang sambil menggenggam jemari istrinya."Mbak, Mas Andre," panggil Roy. Sekarang yang kaget ganti gadis di sebelahnya. Kenapa Roy bisa kenal pasangan itu.Roy menyalami Andrean baru menyalami Embun. Sedangkan Nency masih diam di tempatnya."Cy, kenalkan ini Embun, kakakku dan suaminya." Cowok jangkung itu mengenalkan Nency pada Embun dan Andrean. "Ya, aku sudah kenal," jawab Nency sambil tersenyum. Roy pula yang sekarang kaget. Kemudian Andrean mengajak mereka minum di warung tenda di taman kota. Empat gelas teh hangat dan pisang goreng cokelat menemani percakapan mereka. Embun melihat kalau sang adik tampak akrab dengan Nency. Dan gadis itu pun tampak enjoy berbincang. Pandangannya juga sekarang hati-hati, tidak sembarangan memandang Andrean seperti kemarin-kemarin.Ingin sekali Embun bertanya darimana mereka saling kenal, tapi pertanyaannya