Dave mengajak Esme turun di sebuah restoran elit di pusat kota New York. Begitu mereka masuk melewati pintunya, lagu Perfect-nya Ed Sheeran mengalun bagai sambutan bagi mereka.
Mereka duduk di meja yang sudah di reserved oleh Dave. Pelayan datang membawakan menu. Setelah mereka memesan dan pelayan pergi, Dave mulai menatap Esme kembali. Sebelah tangannya memegang tangan Esme.
“Kau suka restoran ini?” tanyanya lembut.
“Ya, aku suka. Suasananya enak. Nyaman. Tenang,” jawab Esme apa adanya.
“Ini punya kakakku yang laki,” kata Dave lagi.
“Oh! Kenapa tak kau bilang dari tadi?”
Dave terkekeh. “Tidak apa-apa. Hanya kejutan.”
Jari jemari Dave membelai lembut punggung tangan Esme dengan tatapan yang terus terarah pada Esme. Gadis itu sendiri heran. Mereka sudah berkencan hampir satu tahun, tetapi tatapan Dave padanya tak pernah berubah. Selalu memujanya.
“Selagi menunggu makanan, ayo berdansa denganku,” ajak Dave
“Datang saja ke Emerald Cake and Bakery. Itu toko miliknya.” Suara Catherine terus bergema dalam benak Darren. Nama yang telah dia kubur selama 3 tahun ini, tiba-tiba mencuat lagi dan didengarnya lagi dari Catherine yang tak sengaja ditemuinya semalam. Nama itu telah membuatnya tak bisa tidur. Dia bolak balik gelisah dengan hati penuh tanda tanya, apakah Esme telah berhasil mengubah hidupnya? Apakah gadis itu berhasil meraih impiannya? Ting tong. Bunyi bel di apartemennya memaksa Darren untuk bangun dan menuju pintu. Trisha di luar menjulurkan wajahnya mendekat ke arah peeping hole, dengan senyum cerianya seperti biasa. Darren membuka pintu unitnya dengan perasaan datar. Dia tak menginginkan Trisha terus-terusan mendatangi apartemennya seperti ini. Tapi, dia pun tak mampu memintanya untuk berhenti. Dia takut gadis itu tersinggung. “Morning, Captain!” sapa wanita itu riang. Darren melebarkan pintunya dan wanita berambut pendek s
“Kalian … apa saling kenal?” tanya Trisha menyadari keheningan tiba-tiba di antara mereka. Darren yang pertama bereaksi. Pria itu mengangguk kecil, meski masih tanpa suara. Sedangkan Trisha menunggu Darren mengenalkan Esme padanya. Tetapi sepertinya Darren lupa semua itu. Dia masih menatap Esme dengan tatapan dalam yang mengandung jutaan emosi dari hatinya. Esme pun memandangi Darren dalam diam. Setelah Darren mengiyakan mengenal Esme, gadis itu akhirnya mengambil napasnya dalam-dalam dan mempersilakan mereka duduk. “Kami punya menu andalan Chocolate Bavarian Torte untuk hari ini.” Thalia menunjuk ke arah rak pajangnya. “It’s so fresh from the oven, literally.” Trisha tersenyum simpul dan geli. Sembari duduk, dia berkata pada Darren, “Kau tidak mau mengenalkannya padaku? Jangan menjadi tidak sopan begitu.” Darren terkesiap. “Oh, maaf. Aku sampai lupa. Esme, ini Trisha, rekan kerjaku. Dan Trisha, ini Esme, err … kenalanku.” Darren seben
Esme terus bertanya-tanya ke mana Dave akan membawanya. Kenapa tempat tujuan mereka semakin sepi, seakan-akan berada diluar kota New York. “Kau mau mengajakmu makan malam di mana, Dave?” tanya Esme semakin penasaran. “Ini, sedikit lagi sampai,” jawab Dave lagi seraya membelokkan mobil menuju sebuah perumahan yang terlihat sederhana namun asri. Dave menghentikan mobilnya tepat di sebuah rumah yang tidak terlalu besar. Dia memarkir mobil di halaman berumput itu dan mematikan mesin mobil dan turun. Esme mengikutinya. Dave sudah meraih pinggang perempuan itu saat menuju teras rumah dan memencet bel. Seorang wanita paruh baya membuka pintu dan berseru pada Dave dengan senyum lebarnya. “Dave! Akhirnya kau sampai juga.” “Hai, Mom. Aku harap kami tidak terlambat.” Wanita yang adalah ibunya Dave menoleh pada Esme. “Diakah kekasihmu?” “Iya. Mom, kenalin ini Esme. Dia adiknya Enrique, teman band-ku. Esme, ini ibuku.
Catherine memilih dress ketat, berlengan panjang, berwarna pink marron, dipadukan dengan mini skrit berwarna hitam yang panjangnya setengah pahanya, dengan pita kecil di bagian perut. Pakaian clubbingnya ini terlihat sopan, kecuali bagian kerahnya yang berbentuk V yang memanjang dari bahu dan berakhir hingga ke pinggang. Belahan dadanya terlihat jelas. Dia tidak mengenakan bra di dalamnya. Akan tetapi, itulah yang disukai Catherine. Dia suka tampil seksi dan membuat mata para pria penasaran untuk melihat apa yang ada di balik bajunya. Bukan Esme saja yang bisa bepergian. Dia pun bisa ke club lagi. Jika kemarin dia tidak mendapatkan mangsa yang diinginkannya, kecuali Darren yang sepertinya tidak terpancing provokasinya untuk mendatangi Esme, malam ini, Catherine akan beraksi lagi. Hasratnya sedang tinggi-tingginya. Dan dia ingin melampiaskannya dengan percintaan yang panas membara. Gadis itu memanggil taxi dan menuju club langganannya. Langkahny
“Kau baik-baik saja?” tanya Dave saat mereka berdua telah berada di dalam mobil lagi, melaju untuk kembali ke rumah masing-masing. Pagi-pagi sekali mereka bangun. Setelah minum segelas kopi, mereka berpamitan pada orang tua Dave. Tidak terjadi apa-apa lagi semalam setelah gerayangan tangan Dave pada Esme. Dan Esme mensyukuri itu.TEtapi, bukan berarti semua masalah selesai. Esme kesulitan untuk terlelap. Bayangan wajah Darren selalu singgah setiap kali dia memejamkan mata. Segala perasaannya pada pria itu kembali bercampur aduk. Dia benci, dia marah, tapi dia juga rindu pada Darren. Dan itu semua masih sangat menyiksanya.“Aku baik. Jangan terus menanyai itu, Dave. Kau akan membuatku merasa bersalah telah menolak hal semalam itu,” jawab Esme berusaha tersenyum lembut pada Dave. Pria di sampingnya ini telah banyak melalui hari demi harinya bersama Esme. Dengan sifatnya yang periang dan humoris, ESme merasa nyaman. Bersama Dave, dia
Ting tong. Ting tong.Bunyi bel apartemennya menghentikan Darren dari latihan push up yang dia lakukan. Hitungannya terhenti di angka 133 dan pria itu bangkit berdiri, menyeka sedikit keringatnya dengan handuk, kemudian menuju pintu. Siapa kira-kira yang mengunjunginya di malam hari Jumat seperti ini.Meski begitu, saat kakinya belum tiba di depan pintu, dia sudah bisa menerka siapa tamunya itu.Siapa lagi? Dan benar saja, wajah ceria yang cantik itu yang datang menyapanya.“Hai, Darren. Kau lagi sibuk?” tanya Trisha begitu pintu dibukakan dan dia diperbolehkan masuk. Kedua tangannya memeluk sekantung kertas belanjaan dari supermarket. Dapat Darren lihat jika isinya berupa sayur-sayuran serta beberapa bumbu pelezat masakan. Hanya melihat itu saja, Darren sudah mengetahui niat Trisha.“Aku sedang work out. Ada apa?” tanya Darren basa basi.Trisha berbinar pandangannya mendengar jawaban Darren apalagi saat
Keesokan harinya, sore tiba dengan cepat. Sepanjang pagi dan siang, cukup banyak pelanggan yang datang ke Emerald Cake and Bakery. Esme menjadi super sibuk. Begitu juga Catherine, yaaaa meskipun gadis itu lebih banyak duduk dan bermain ponsel. Hanya sesekali saja dia mengurusi pembayaran dari pelanggan. Meski begitu, saat tiba waktunya menutup toko, Catherine lebih dulu mengeluh.“Uuurgh, pinggangku kayak dipasang batu bata. Capek sekali dari tadi hanya duduk di sini,” keluh gadis berambut pirang pendek itu seraya memutar-mutar pinggangnya.Esme yang mendengarnya sontak memutar bola matanya. Dia pun sengaja menjawab Catherine dengan kata-kata pedasnya. “Kau itu kurang bergerak, makanya pegal. Coba kalau kau ikut rapikan sedikit meja, kursi, dan kue-kue yang ada, aku rasa kau gak akan merasa capek lagi.”“Kalau aku turun dan ikut bekerja, siapa yang mengawasi pembayaran,” kilah Catherine dengan memberengutkan wa
Darren menatap tautan tangan Trisha di lengannya. Pikirannya teringat kejadian kemarin. Masalahnya, dia pun sudah menjawab Trisha dengan tegas tentang perasaannya yang biasa saja pada wanita itu. Tetapi hari ini, wanita ini mulai berlagak mereka pasangan kekasih lagi. Ya, anggaplah ini karena mereka memang sedang menyamar, berbaur menjadi tamu, sebagai pasangan kekasih. Tetapi, kentara sekali jika Trisha melakoni ini semua dengan antusiasme yang mencuat dari dasar hati terdalamnya. Darren hanya bisa menghela napas lega dan berusaha mengabaikan tangan yang menggamit lengannya serta pipi Trisha yang bersandar manja di bahunya. Mereka melangkah masuk, langkah demi langkah, mengamati lukisan demi lukisan. Memang, setiap lukisan Mr. Bautiste sangatlah hidup. Jika disandingkan dengan foto aslinya atau bahkan barang aslinya, lukisan itu tidak aka nada bedanya dengan yang asli. Tangan Mr. Bautiste sangatlah piawai menggoreskan pensil dan mengulas kuas dan cat.
Tiga hari di Claymont terasa kurang bagi Darren maupun Esme. Akan tetapi, apa mau dikata. Mereka sudah harus pulang. Pekerjaan Darren menantinya. Dengan pangkat baru, tanggung jawab baru, Darren tidak bisa berlama-lama cuti, meskipun dia berharap dia bisa. Sebelum meninggalkan Claymont di hari itu, pagi harinya Esme mengajak Darren menuju ke perkebunan anggur. Dia ingin membawa pulang anggur berkualitas yang langsung bisa dia petik di perkebunan itu. Kebetulan, pemilik perkebunan mengenal baik keluarga Darren. Mereka menyusuri perkebunan itu dengan Mr. Thompson, pemilik perkebunan. Pria paruh baya itu sambil menjelaskan pohon anggur mana yang buahnya berkualitas baik. Hingga tiba di deretan pohon yang berada tepat di tengah-tengah kebun, Mr. Thompson berhenti. “Ini yang paling berkualitas di sini. Dan kau beruntung, ada yang baru berbuah dan belum dipetik. Jika kau datang siang ini, aku yakin buah ini sudah tidak ada di sini.” Esme tersenyum senang. “Trims, Mr. Thompson. Tapi, ak
“Aku ingin tempat yang lebih tenang untuk hidup. Kota kecil atau pedesaan rasanya lebih cocok untukku.”“Pedesaan? Bagaimana kau bisa hidup di pedesaan?”“Aku bisa bertani. Atau beternak. Rasanya lebih menantang, dari pada hanya duduk seharian di apartemen dan menghabiskan uangku untuk minum dan makan saja.”Selesai mengucapkan itu, Martinez melewati Catherine begitu saja.Catherine begitu shock hingga dia tidak tahu apa yang harus dia katakan. Dia juga tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Mengejar pria itu? Atau membiarkannya pergi? Catherine seperti kehilangan akalnya sendiri.Baru saat langkah Martinez semakin jauh darinya, Catherine baru tersadar. Gegas dia mengejar pria itu.“Jangan! Jangan pergi!”Martinez menghela napasnya. “Tekadku sudah bulat, Cath.”“Sudah bulat bagaimana? Kenapa kau tiba-tiba pergi? Padahal kau tidak boleh pergi! Kau ha
Pagi itu, Darren duduk di kursi makannya. Dia sedang menyesap kopinya saat matanya tertuju pada layar ponsel. Claire mengiriminya undangan pesta pernikahan. Sebagai kakaknya, tanpa dikirimi undangan pun Darren pasti harus hadir. Tetapi, adiknya itu tetap ingin mengiriminya undangan.Melihat undangan itu, Darren merasa ada yang menggelitik hatinya.Sepiring poblano peppers tersaji di hadapannya secara tiba-tiba. Esme menyusul dengan duduk di sebelah pria itu. Wajahnya tersenyum lembut, memancarkan kebahagiaan.“Wow! Sarapan yang menggiurkan,” ucap Darren dengan matanya berbinar penuh gejolak.“Ya! Tadi kebetulan bangun lebih pagi, dan semua bahannya ini lengkap. Jadi, aku masak saja ini.” Esme mengambil satu dan memasukkannya ke dalam mulut. Dia mengunyah dengan perlahan dan sambil menikmatii rasa yang bercampur dalam mulutnya.“Hmmm, ini sangat lezat. Kau tidak makan?”“Tentu, aku akan
“Apa yang terjadi di sini, biarlah berlalu. Tidak perlu disimpan dalam hati apalagi sampai dibawa pulang ke rumah kita. Aku tidak ingin kebersamaan kita nantinya ternoda dengan segala hal yang diucapkan Claire padamu. Bisakah?”Mendengar ucapan Darren, air mata Esme luruh lagi. Dia menganggukkan kepalanya. Darren menghapus air mata itu dan mengecup wajah Esme dengan penuh kasih.Setelahnya, mereka membawa segala barang bawaan mereka keluar kamar.Baru juga membuka pintu, sosok Claire sudah menghadang Esme di sana.“Mau apa lagi kau?” hardik Esme pada Claire. Rasanya seluruh persendian tubuhnya terasa sakit karena segala emosinya tersentak pada perseteruannya dengan Claire.Darren pun yang masih menarik koper di belakang Esme langsung menghardik Claire juga. “Claire, please. Apa tidak capek kau memikirkan hal itu terus-menerus?”Claire menggeleng. Wajahnya terlihat pucat dan lemah. Dan dengan
Catherine menahan napasnya selama perkelahian mereka dan baru mengembuskan napasnya itu saat Garry telah kehilangan kesadaran. Dia mengangkat wajahnya dan pandangannya tertaut pada tatapan mata Martinez. Di benaknya, dia mengharapkan Martinez akan menanyakan dengan lembut, ‘apa kau tidak apa-apa?’ Namun yang terjadi sesungguhnya, pria itu menatapnya marah dan membentaknya. “Apa kau sudah gila?! Apa kau sudah tidak punya harga diri lagi?!” Catherine shock minta ampun. Dia sampai terbelalak dan mulutnya menganga lebar. Martinez masih melanjutkan kemarahannya pada Catherine. “Kalau kau bodoh, lebih baik kau tinggal di rumah dan mengurus bayimu. Bukannya berkeliaran mencari lelaki lajang. Kau haus belaian atau apa, huh?!” Kata-kata Martinez begitu menusuk hati Catherine. Dia yang baru saja merasakan keterkejutan karena perlakuan Garry yang membuatnya takut, kini malah harus menghadapi kemarahan Martinez. Dia bahkan dikatai b
“LEPASKAN! KAU BAJINGAN!” Catherine berusaha keras untuk berteriak, memukul, menendang. Apa saja agar terlepas dari kungkungan Garry. Tetapi, pria itu jauh lebih kuat darinya.Kini, wajah Garry berada di atas wajahnya. Bibirnya menjelajah di sekeliling pipi dan lehernya, membiarkan liurnya menempel di kulit Catherine. Dan pada akhirnya bibir itu mendarat di bibirnya.Catherine meronta-ronta ingin melepaskan dirinya.Namun nyatanya, tangan Garry malah merobek kaosnya.Catherine semakin histeris. Segala tenaga dia kerahkan hanya untuk merasakan terjangan tenaga yang lebih besar lagi dari Garry.“HELP! HELP!!!” teriak Catherine putus asa. Garry sudah bagai binatang buas yang siap membantai korbannya. ***Tok tok tok.Darren mengetuk pintu kamar orang tuanya. Tak lama kemudian, ayahnya membuka pintu dengan perlahan. Te
Sementara itu di kamarnya, Claire juga menangis tersedu. Dia memikirkan betapa James Carter adalah pria yang baik.James sudah berteman dengan Darren sejak mereka di awal karier kepolisian. Claire suka berada di dekat mereka jika James datang ke rumah.Dan entah sejak kapan, James mulai menunjukkan tanda-tanda suka pada Claire. Meskipun gadis itu tidak menganggap James lebih dari seorang teman, Claire tidak pernah meremehkan perasaan James.Di hari ketika kabar tewasnya James tiba di telinganya, Claire mulai sering memikirkan pria itu. Saat itu, Claire merasa tidak ada salahnya membuka hatinya untuk James. Pria itu dewasa dan sangat baik. Dirinya yang manja mungkin akan bisa merasakan cinta yang manis saat bersama James.Claire bahkan sudah menyusun kata-kata yang akan dia ungkapkan pada James, bahwa dia ingin membuka hatinya untuk James.Tetapi kemudian kabar itu datang. Hatinya hancur remuk.Baru bertahun-tahu
Garry benar-benar mengajak Catherine ke apartemennya. Dalam setiap langkahnya, Catherine merasa semakin gelisah.Meskipun semua ini adalah idenya sendiri, tetapi memikirkan dia akan kepergok Martinez mengunjungi apartemen pria lain, yang malahan baru dia kenal lewat kencan buta, tetaplah membuat perutnya terasa mual.Langkah kaki Cahterine hampir saja berbalik arah jika bukan karena wanita itu terngiang lagi akan ucapan Martinez sebelum ini.‘Kau berhak mendapatkan pria lain yang lebih sempurna. Yang layak mendapatkan dirimu.’Huh! Dasar lelaki tidak peka! Memangnya Martinez tidak sadar jika yang Catherine inginkan adalah pria itu sendiri? Dan karena kebodohannya itu, sekarang Catherine benar-benar ingin mencari yang lebih baik dari pria itu. Dia akan tunjukkan bahwa dia tidak akan mengemis cinta.“Unitmu di lantai ini?” tanya Cahterine terkejut saat mereka keluar dari lift. Bahkan unit Garry berada di lantai yang sama denga
Garry pun memberitahu apartemen tempatnya tinggal. Cahterine terkejut karena nama apartemen yang disebut Garry adalah apartemen tempat Martinez tinggal. Mendadak, selintas ide gila lewat di otak Catherine. Dan idenya ini telah menghilangkan rasa malu Cahterine sebagai wanita. Dia berkata, “Boleh aku mampir ke apartemenmu? Ehm, maksudku, sekarang?” Pertanyaan Cahterine sukses membuat Garry tercengang. Tidak ada wanita yang lebih seterus terang dan segesit dia. Garry juga tidak menyangka jika Catherine bisa mengatakan ini semua mengingat saat makan di kafe tadi, Catherine tidak terlihat ramah. Dia begitu cuek, dingin, dan jutek. Wanita itu seperti tidak memiliki pikirannya di tubuhnya. Tetapi sekarang, tiba-tiba wanita ini memintanya untuk mengajaknya ke apartemen? Mungkin sebentar lagi akan hujan uang. Namun begitu, Garry laki-laki normal. Tidak mungkin dia melewatkan kesempatan emas seperti ini. Apalagi Catherine adalah wanita pirang seksi. Sungguh me