Tiga tahun kemudian …
“Terima kasih, Ma’am. Terima kasih, Sir. Jangan ragu untuk mampir lagi di kemudian hari,” seru Esme seraya tersenyum ramah pada pasangan Tuan dan Nyonya Eideens yang hampir berusia paruh baya. Tuan dan Nyonya Eideens tersenyum lembut pada Esme, sembari mengangguk.
“Tentu, Sayang. Kami akan sering mampir ke sini. Kue dan roti buatanmu sangat lezat. Tetapi, bagian yang paling aku sukai adalah rasa yang muncul saat menyantap kue dan roti buatanmu, seakan kembali ke masa lalu. Ada aroma dan rasa yang sudah hampir hilang dari rasa kue dan roti buatan masa kini. Padahal, rasa itulah yang membuat kue dan roti lebih lezat, lebih empuk tapi tetap padat. Dan kau berhasil menghadirkannya di karyamu. Aku sangat menyukainya, membuatku merindukan masa lalu dan semua tersaji dalam karyamu ini.”
“Oh, Mrs. Eideens, terima kasih untuk pujianmu. Aku sangat menghargainya, meskipun menurutku kau terlalu b
Dave mengajak Esme turun di sebuah restoran elit di pusat kota New York. Begitu mereka masuk melewati pintunya, lagu Perfect-nya Ed Sheeran mengalun bagai sambutan bagi mereka. Mereka duduk di meja yang sudah di reserved oleh Dave. Pelayan datang membawakan menu. Setelah mereka memesan dan pelayan pergi, Dave mulai menatap Esme kembali. Sebelah tangannya memegang tangan Esme. “Kau suka restoran ini?” tanyanya lembut. “Ya, aku suka. Suasananya enak. Nyaman. Tenang,” jawab Esme apa adanya. “Ini punya kakakku yang laki,” kata Dave lagi. “Oh! Kenapa tak kau bilang dari tadi?” Dave terkekeh. “Tidak apa-apa. Hanya kejutan.” Jari jemari Dave membelai lembut punggung tangan Esme dengan tatapan yang terus terarah pada Esme. Gadis itu sendiri heran. Mereka sudah berkencan hampir satu tahun, tetapi tatapan Dave padanya tak pernah berubah. Selalu memujanya. “Selagi menunggu makanan, ayo berdansa denganku,” ajak Dave
“Datang saja ke Emerald Cake and Bakery. Itu toko miliknya.” Suara Catherine terus bergema dalam benak Darren. Nama yang telah dia kubur selama 3 tahun ini, tiba-tiba mencuat lagi dan didengarnya lagi dari Catherine yang tak sengaja ditemuinya semalam. Nama itu telah membuatnya tak bisa tidur. Dia bolak balik gelisah dengan hati penuh tanda tanya, apakah Esme telah berhasil mengubah hidupnya? Apakah gadis itu berhasil meraih impiannya? Ting tong. Bunyi bel di apartemennya memaksa Darren untuk bangun dan menuju pintu. Trisha di luar menjulurkan wajahnya mendekat ke arah peeping hole, dengan senyum cerianya seperti biasa. Darren membuka pintu unitnya dengan perasaan datar. Dia tak menginginkan Trisha terus-terusan mendatangi apartemennya seperti ini. Tapi, dia pun tak mampu memintanya untuk berhenti. Dia takut gadis itu tersinggung. “Morning, Captain!” sapa wanita itu riang. Darren melebarkan pintunya dan wanita berambut pendek s
“Kalian … apa saling kenal?” tanya Trisha menyadari keheningan tiba-tiba di antara mereka. Darren yang pertama bereaksi. Pria itu mengangguk kecil, meski masih tanpa suara. Sedangkan Trisha menunggu Darren mengenalkan Esme padanya. Tetapi sepertinya Darren lupa semua itu. Dia masih menatap Esme dengan tatapan dalam yang mengandung jutaan emosi dari hatinya. Esme pun memandangi Darren dalam diam. Setelah Darren mengiyakan mengenal Esme, gadis itu akhirnya mengambil napasnya dalam-dalam dan mempersilakan mereka duduk. “Kami punya menu andalan Chocolate Bavarian Torte untuk hari ini.” Thalia menunjuk ke arah rak pajangnya. “It’s so fresh from the oven, literally.” Trisha tersenyum simpul dan geli. Sembari duduk, dia berkata pada Darren, “Kau tidak mau mengenalkannya padaku? Jangan menjadi tidak sopan begitu.” Darren terkesiap. “Oh, maaf. Aku sampai lupa. Esme, ini Trisha, rekan kerjaku. Dan Trisha, ini Esme, err … kenalanku.” Darren seben
Esme terus bertanya-tanya ke mana Dave akan membawanya. Kenapa tempat tujuan mereka semakin sepi, seakan-akan berada diluar kota New York. “Kau mau mengajakmu makan malam di mana, Dave?” tanya Esme semakin penasaran. “Ini, sedikit lagi sampai,” jawab Dave lagi seraya membelokkan mobil menuju sebuah perumahan yang terlihat sederhana namun asri. Dave menghentikan mobilnya tepat di sebuah rumah yang tidak terlalu besar. Dia memarkir mobil di halaman berumput itu dan mematikan mesin mobil dan turun. Esme mengikutinya. Dave sudah meraih pinggang perempuan itu saat menuju teras rumah dan memencet bel. Seorang wanita paruh baya membuka pintu dan berseru pada Dave dengan senyum lebarnya. “Dave! Akhirnya kau sampai juga.” “Hai, Mom. Aku harap kami tidak terlambat.” Wanita yang adalah ibunya Dave menoleh pada Esme. “Diakah kekasihmu?” “Iya. Mom, kenalin ini Esme. Dia adiknya Enrique, teman band-ku. Esme, ini ibuku.
Catherine memilih dress ketat, berlengan panjang, berwarna pink marron, dipadukan dengan mini skrit berwarna hitam yang panjangnya setengah pahanya, dengan pita kecil di bagian perut. Pakaian clubbingnya ini terlihat sopan, kecuali bagian kerahnya yang berbentuk V yang memanjang dari bahu dan berakhir hingga ke pinggang. Belahan dadanya terlihat jelas. Dia tidak mengenakan bra di dalamnya. Akan tetapi, itulah yang disukai Catherine. Dia suka tampil seksi dan membuat mata para pria penasaran untuk melihat apa yang ada di balik bajunya. Bukan Esme saja yang bisa bepergian. Dia pun bisa ke club lagi. Jika kemarin dia tidak mendapatkan mangsa yang diinginkannya, kecuali Darren yang sepertinya tidak terpancing provokasinya untuk mendatangi Esme, malam ini, Catherine akan beraksi lagi. Hasratnya sedang tinggi-tingginya. Dan dia ingin melampiaskannya dengan percintaan yang panas membara. Gadis itu memanggil taxi dan menuju club langganannya. Langkahny
“Kau baik-baik saja?” tanya Dave saat mereka berdua telah berada di dalam mobil lagi, melaju untuk kembali ke rumah masing-masing. Pagi-pagi sekali mereka bangun. Setelah minum segelas kopi, mereka berpamitan pada orang tua Dave. Tidak terjadi apa-apa lagi semalam setelah gerayangan tangan Dave pada Esme. Dan Esme mensyukuri itu.TEtapi, bukan berarti semua masalah selesai. Esme kesulitan untuk terlelap. Bayangan wajah Darren selalu singgah setiap kali dia memejamkan mata. Segala perasaannya pada pria itu kembali bercampur aduk. Dia benci, dia marah, tapi dia juga rindu pada Darren. Dan itu semua masih sangat menyiksanya.“Aku baik. Jangan terus menanyai itu, Dave. Kau akan membuatku merasa bersalah telah menolak hal semalam itu,” jawab Esme berusaha tersenyum lembut pada Dave. Pria di sampingnya ini telah banyak melalui hari demi harinya bersama Esme. Dengan sifatnya yang periang dan humoris, ESme merasa nyaman. Bersama Dave, dia
Ting tong. Ting tong.Bunyi bel apartemennya menghentikan Darren dari latihan push up yang dia lakukan. Hitungannya terhenti di angka 133 dan pria itu bangkit berdiri, menyeka sedikit keringatnya dengan handuk, kemudian menuju pintu. Siapa kira-kira yang mengunjunginya di malam hari Jumat seperti ini.Meski begitu, saat kakinya belum tiba di depan pintu, dia sudah bisa menerka siapa tamunya itu.Siapa lagi? Dan benar saja, wajah ceria yang cantik itu yang datang menyapanya.“Hai, Darren. Kau lagi sibuk?” tanya Trisha begitu pintu dibukakan dan dia diperbolehkan masuk. Kedua tangannya memeluk sekantung kertas belanjaan dari supermarket. Dapat Darren lihat jika isinya berupa sayur-sayuran serta beberapa bumbu pelezat masakan. Hanya melihat itu saja, Darren sudah mengetahui niat Trisha.“Aku sedang work out. Ada apa?” tanya Darren basa basi.Trisha berbinar pandangannya mendengar jawaban Darren apalagi saat
Keesokan harinya, sore tiba dengan cepat. Sepanjang pagi dan siang, cukup banyak pelanggan yang datang ke Emerald Cake and Bakery. Esme menjadi super sibuk. Begitu juga Catherine, yaaaa meskipun gadis itu lebih banyak duduk dan bermain ponsel. Hanya sesekali saja dia mengurusi pembayaran dari pelanggan. Meski begitu, saat tiba waktunya menutup toko, Catherine lebih dulu mengeluh.“Uuurgh, pinggangku kayak dipasang batu bata. Capek sekali dari tadi hanya duduk di sini,” keluh gadis berambut pirang pendek itu seraya memutar-mutar pinggangnya.Esme yang mendengarnya sontak memutar bola matanya. Dia pun sengaja menjawab Catherine dengan kata-kata pedasnya. “Kau itu kurang bergerak, makanya pegal. Coba kalau kau ikut rapikan sedikit meja, kursi, dan kue-kue yang ada, aku rasa kau gak akan merasa capek lagi.”“Kalau aku turun dan ikut bekerja, siapa yang mengawasi pembayaran,” kilah Catherine dengan memberengutkan wa