Restoran Gorgeous adalah restoran terkenal nan mewah dengan mengusung tema bernuansa Eropa. Begitu pula dengan masakan yang disuguhkan keseluruhannya ala-ala Barat. Di sanalah Syila dan Resti bekerja sebagai seorang waitress.
Saat ini mereka sedang berada di loker untuk mengganti pakaian dengan seragam dan bersiap untuk memulai bekerja. Namun, sebelum mereka mulai bekerja, seluruh pelayan dan asisten chef dikumpulkan untuk melakukan breafing yang akan dipimpin langsung oleh Chef Julian—anak dari pemilik Restoran Gorgeous.
"Malam ini kita kedatangan tamu yang sangat istimewa. Mereka menginginkan sebuah makan malam yang elegan dan spesial. Saya harap kita semua bisa melakukannya dengan baik. Menyajikan masakan yang lezat dan bukan hanya itu saja, saya berharap pelayanannya juga dapat memuaskan mereka. Okay, semuanya selamat bekerja!"
"Yes, Chef!!!" Jawab mereka serempak.
Mereka membubarkan diri kembali ke pekerjaan masing-masing untuk mempersiapkan pekerjaan mereka tentunya.
"Syila?" panggil Julian.
Syila memalingkan kepala ke arah Julian, lalu menyahut, "Ya, Chef?"
Julian tertawa pelan mendengar suara Syila yang terdengar kaku. "Bisa kau ikut denganku sebentar ke ruanganku?"
Syila mengangguk. Lantas berjalan mengikuti Julian di belakangnya. Mereka berdua sampai di sebuah ruangan tempat kerja Julian yang berada di lantai tiga. Syila tertegun melihat ruangan itu begitu mewah dengan interior bergaya minimalis, tapi modern. Ia pikir ruangan itu sangat sesuai dengan karakter Julian. Tegas, berwibawa sekaligus hangat.
"Duduklah!"
Syila terlihat canggung ketika ia duduk di hadapan Julian, sedangkan Julian menduduki kursi kebesarannya. Julian terkekeh melihat kecanggungan yang ditunjukkan Syila. Padahal setahunya mereka berdua sudah saling mengenal sebelum ia pergi ke New York. Tepatnya lima tahun lalu. Ya, walaupun jarang bertemu.
Julian adalah sahabat Raka sejak kecil. Ia sempat menempuh magisternya di salah satu universitas terkenal di sana selama lima tahun. Selama dia di New York, ia sama sekali tak tahu-menahu jika banyak sekali perubahan yang terjadi pada sahabatnya itu. Dan empat bulan lalu, ia pulang ke Indonesia untuk mengurusi bisnis keluarganya. Dia menyadari banyak sekali perubahan yang dialami Raka. Sebagai sahabat, ia ingin sekali membantu. Diam-diam tanpa sepengetahuan Raka, ia telah menyelidiki sesuatu yang sangat mengejutkannya. Sesuatu yang menjadi alasan kenapa Raka berubah.
"Bagaimana kabarmu?" tanya Julian.
"Sa ... saya baik. Sebenarnya Chef menyuruh saya ke sini untuk apa?" tanya Syila heran.
Syila bingung dengan respons Julian yang malah tertawa. Apakah ada yang lucu? Syila rasa tidak ada.
Julian menghentikan tawa, lantas berdeham sejenak. "Syila, bukannya kita sudah saling kenal sebelumnya? Jangan terlalu formal begitu. Panggil aku Kak Ian seperti dulu."
Syila membelalak, terperangah. Ia tak menyangka jika pria yang berstatus sebagai bosnya itu adalah Kak Ian, sahabat dekat Raka.
"Terkejut?"
Syila mengangguk. Tentu saja Syila terkejut. Lima tahun bukanlah waktu yang singkat, wajar saja jika Syila tak mengenali sosok Julian yang menurutnya jauh berbeda dari yang pernah ia kenal sebelumnya.
Pada waktu itu, diselenggarakannya acara penyambutan kedatangan Julian sekaligus menggantikan ayahnya sebagai bos baru di Restoran Gorgeous dan kesan pertama kali saat Syila melihat Julian adalah pria itu merupakan tipe idaman kaum Hawa. Tanpa terpikirkan pernah mengenalnya.
"Maaf baru bisa menyapa sekarang. Padahal aku sudah tiga bulan bekerja di sini. Kamu tahu, kan aku orang yang sibuk," ucap Julian penuh penyesalan.
Syila tersenyum kikuk. "Gak apa-apa Kak. Gimana kabar Kakak?"
"Aku baik. Tapi kurasa kamu tidak dalam kondisi yang baik," tukas Julian khawatir saat ia mengamati wajah Syila yang tampak sangat pucat.
"Aku baik kok, Kak. Mungkin karena kelelahan harus bekerja dan mengerjakan tugas kuliah."
Kamu tak bisa berbohong padaku, Syil, batin Julian.
"Kalau kamu sakit, kamu bisa izin tidak bekerja hari ini. Aku yang akan mengurusnya," desak Julian.
Syila menggeleng. "Aku tidak apa-apa, Kak. Sungguh. Kalau begitu aku akan mulai bekerja sekarang," ujar Syila keras kepala.
Julian menghela napas, terpaksa mengangguk. Namun, sebelum Syila membuka pintu ruangan itu, Julian berucap, "Kuharap malam ini kamu akan baik-baik saja."
Syila menoleh. Dia menatap wajah Julian yang kini balik menatapnya dengan pandangan serius. Ia mengerutkan dahi menanggapi ucapan Julian. Ada sesuatu yang membuatnya tak enak hati akan terjadi. Namun, apa?
***
Mereka sudah mempersiapkan segala hal untuk menyambut kedatangan tamu istimewa kali ini. Hingga tamu yang ditunggu-tunggu pun datang. Dua laki-laki berpakaian tuxedo masuk ke restoran itu. Yang satu masih muda dan yang satunya lagi laki-laki paruh baya. Lalu disusul seorang wanita cantik paruh baya, memakai gaun berwarna hijau nan elegan, melekat sempurna di tubuhnya.
Seorang pelayan mempersilakan mereka duduk di meja yang telah disediakan. Ada enam kursi. Mereka menempati tiga kursi di antaranya. Sedangkan tiga lagi masih kosong. Mereka menunggu ketiganya dan tak lama berselang, orang-orang yang mereka tunggu akhirnya datang juga. Seorang gadis cantik mengenakan gaun merah masuk lebih dulu, lalu disusul sepasang suami istri yang terlihat sangat harmonis. Ketiganya bangkit dari duduk untuk menyambut kedatangan keluarga tersebut.
"Maaf, ya. Kami datang terlambat," ujar Ranti penuh penyesalan.
"Gak juga, kok. Kita juga baru datang," timpal Farida.
"Selamat datang di Restoran Gorgeous!" sambut Julian yang datang dari arah dapur.
Julian menghampiri kedua keluarga tersebut. Semuanya menoleh kepadanya dan mengukir senyum. Laki-laki muda itu bangkit dari duduk lalu menghampiri Julian. Dipeluknya sahabat baiknya itu dengan sangat erat.
''Hai, brother. What's up?" sapa Raka seraya melepaskan pelukan.
"Gue baik, Ka. Ke mana aja lo?"
Raka terkekeh mendengar nada bicara Julian, terdengar seperti merindukan sang kekasih yang sekian lama tak berjumpa.
"Bukannya gue yang harusnya tanya begitu?" ucap Raka kesal.
Julian mengusap tengkuk. "Hehe ... sorry, Bro. Gue sibuk."
"Om, dengar. Sekarang kamu menggantikan ayahmu mengurusi restoran Gorgeous?" Toraㅡsuami Faridaㅡmenyahut.
"Benar, Om."
"Tuh, denger, Ka. Contoh Julian dia mau mengurus bisnis keluarganya. Sedangkan kamu masih saja main-main," sindir Tora pada Raka.
Raka mengerling jengkel, lalu berkata ketus, "Pa. Aku nggak main-main. Aku cuman mau membangun bisnis dengan tanganku sendiri. Tanpa bantuan dari Papa sedikit pun."
"Lihat dia sangat keras kepala," balas Tora tak mau kalah.
Raka membuka mulut untuk membalas ucapan Tora, ayahnya. Namun Farida, Mama Raka secepat kilat memotong.
"Sudah-sudah. Anak sama Ayah sama saja."
Mereka semua yang ada di meja tersebut tertawa mendengar celetukan Farida.
"Baik kalau begitu, saya harus kembali ke dapur segera," ucap Julian di sela tawa-tawa mereka.
Raka menepuk pundak Julian. "Lo harus di sini. Gue ingin lo jadi orang pertama yang mendengar kabar baik dari kami semua."
Julian mengernyih. Ia melihat satu per satu wajah yang ada di meja itu. Tatapannya berhenti pada gadis bergaun merah yang tersipu malu. Lalu ia kembali memandang Raka. Perasaannya jadi tidak enak. Julian pun mengangguk. Ia mengambil kursi di meja lain dan ikut bergabung bersama mereka.
"Kabar baik?" tanya Julian penasaran.
"Aku dan Felisya akan segera bertunangan," kata Raka lugas.
Julian menatap Raka dengan pandangan terperangah bercampur tak percaya. Dia memandangi Felisya yang tak bisa menyembunyikan kebahagiaan di matanya. Maupun, dua pasang suami istri yang tak berhenti menyunggingkan senyum.
"Iya, dan kami di sini semua untuk membahas rencana pertunangan Raka dan Felisya." Anton, suami Ranti sekaligus ayah Felisya menambahkan.
"Wah, benar-benar kejutan. Gue turut bahagia dengarnya." Senyum Julian tersungging, tapi bukan senyum kebahagiaan, melainkan karena dipaksakan.
"Iya, dan aku harap kamu bisa datang di acara pertunangan kami," kata Felisya penuh kebahagiaan.
"Tentu. Gue nggak nyangka akhirnya lo sama Raka. Gue kira Raka akan berakhir sama Syila." Julian melayangkan sindiran halusnya pada Felisya.
Perkataan Julian bagaikan petir di siang bolong bagi semua orang di meja tersebut. Mereka terlihat sangat syok. Suasana yang awalnya terasa hangat dan kegembiraan tercetak jelas lewat senyum yang terus mengembang di wajah mereka, mendadak lenyap seketika. Suasana berubah menjadi sunyi dan canggung. Julian melihat perubahan signifikan dari raut wajah Raka. Tangannya terkepal sangat kuat di atas meja dan rahangnya mengeras. Julian tahu ia salah dalam berucap, tapi ia penasaran akan reaksi yang mereka tunjukkan jika ia membahas Syila.
"Oh iya, ngomong-ngomong Syila gimana kabarnya, Tante?"
Ranti membisu. Tubuhnya bergetar menahan emosi yang berlebihan. Anton yang melihatnya langsung menggenggam tangan Ranti. Lantas mengusapnya seolah-olah sedang menenangkan istrinya yang mendadak pucat.
"Fel ...."
Suara piring pecah menghentikan ucapan Julian. Dia menoleh melihat sumber suara yang sontak membuatnya terkejut. Semua orang juga ikut menoleh, melihat seorang pelayan perempuan sedang memunguti pecahan piring dan gelas.
Julian bergegas menghampirinya. Dia berjongkok menahan tangan pelayan itu yang saat ini gemetaran mengambil pecahan piring.
"Ma ... maaf," ucap pelayan itu bergetar.
"Jangan diambil," cegah Julian.
Namun, pelayan itu tak menggubris. Masih sibuk memunguti pecahan piring dan gelas serta makanan yang berhamburan di lantai.
"Syila!"
Pelayan yang bernama Syila itu mendongak menatap Julian ketika bahunya dicekal tangan kekar Julian. Julian menatapnya sendu tatkala ia mendapati mata coklat Syila berubah nanar.
"Kembali ke dapur, sekarang!" titah Julian tak bisa diganggu gugat.
Syila berdiri diikuti Julian. Sekilas matanya menangkap dua keluarga itu di balik punggung Julian. Tatapannya menyiratkan rasa rindu sekaligus perih tak tertahankan.
"Jangan dilihat!'' ucap Julian memperingati.
Julian tahu persis apa yang sekarang dialami Syila. Dia bahkan bisa merasakan apa yang dirasakan Syila saat ini. Maka dari itu, ia menyuruh Syila meninggalkan tempat itu segera. Ia tak ingin terjadi sesuatu hal yang buruk menimpa Syila, terutama saat ini ketika ia harus dihadapkan pada masa lalunya.
Syila mengangguk. Kemudian berjalan gontai ke dapur, membiarkan begitu saja kekacauan yang ia buat. Setelah Syila tak terlihat lagi, Julian memanggil pelayan yang kebetulan melewatinya dan menyuruhnya untuk membersihkan pecahan-pecahan yang berserak. Serta menyiapkan kembali hidangan baru. Barulah setelah itu, Julian kembali ke meja di mana kedua keluarga tersebut duduk.
"Maaf, tadi ada sedikit insiden. Aku sudah meminta untuk segera menyiapkan hidangan baru. Semoga kalian tidak terganggu," sesal Julian.
"Tentu saja tidak," sahut Anton.
Anton ingin bertanya pada Julian lebih lanjut, tapi diurungkannya sesaat setelah melihat insiden tersebut. Ada perasaan yang mengganjal, namun tak tahu apa itu.
Julian tanpa sengaja mengalihkan pandangan pada Raka. Ia mengerutkan dahi saat melihat Raka balas menatapnya dengan tajam. Seolah mereka berkomunikasi lewat tatapan mata.
Jangan campuri urusan gue! Sekalipun lo sahabat gue.
Begitu yang Julian tangkap dari tatapan Raka.
Sekuat apa pun dirimu mencoba menghapus kenangan masa lalu, tak akan mampu jika cinta yang melekat belumlah sepenuhnya memudar. ***Seminggu setelah kejadian itu, Syila berusaha mengubur segala rasa sakit hatinya dengan menyibukkan diri dengan aktivitas perkuliahan dan pekerjaannya sebagai pelayan di Restoran Gorgeous. Di sampingitu, Resti juga selalu berada di dekat Syila. Ia harus memastikan kalau sahabatnya itu tak lagi sedih. Seperti membicarakan hal-hal umum lainnya atau mencoba menjadi mak comblang bagi Syila.Banyak cowok di kelasnya ataupun berbeda jurusan yang diam-diam, bahkan terang-terangan menyukai Syila. Banyak cara yang mereka lakukan untuk menarik perhatian Syila. Namun, mereka harus gigit jari karena Syila selalu menutup diri.Suatu hari, Resti pernah menjodohkannya dengan s
Syila menatap nanar kertas undangan berwarna silver di tangannya. Belum dibaca pun ia sudah tahu isi dari undangan itu. Tubuhnya mulai bergetar. Dia harus kuat! Kuat! Seperti mantra yang akan memberikan kekuatan baginya.Felisya tersenyum sinis penuh kemenangan. Ya, impiannya sudah tercapai sekarang. Menyingkirkan yang menghalangi jalannya dan mendapatkan apa yang ia impikan selama ini.“Sebenarnya aku tidak ingin mengundangmu, tapi setelah kupikir-pikir ... kamu sepertinya pantas untuk ikut merasakan kebahagiaanku. Ya, walaupun kamu bukan lagi anggota keluargaku, setidaknya kamu pernah menjadi bagian dari keluarga Harahap.” Perkataan Felisya tak luput dari sindiran yang menyakitkan.“Selamat Kak, aku turut berbahagia. Aku pasti akan datang.”Felisya tersenyum mengejek. “Hmm ... ternyata kamu masih punya muka, ya? Aku heran setelah sebelumnya menc
Sepanjang perjalanan, Felisya dan Raka terus berbicara dan sesekali tertawa bersama. Syila yang duduk di jok belakang mobil memandangi keakraban mereka. Sama sekali tidak mengajaknya ikut dalam perbincangan. Sepertinya ia cuma dijadikan obat nyamuk.Tak apalah. Asalkan kakaknya bisa tersenyum bahagia dia juga turut bahagia. Ya, walaupun hubungan mereka tak seperti dulu setidaknya kakaknya tak sebenci saat di rumah sakit.Felisya juga mulai mengajaknya bicara, meski tak sesering dulu. Menurut Syila itu sudah kemajuan yang baik untuk hubungannya dengan Felisya.Tak terasa mobil telah sampai di parkiran sebuah taman hiburan. Raka langsung membantu Felisya keluar dari mobil. Syila juga turut keluar sambil membawa kruk. Setelah mengantri membeli tiket, berbagai wahana langsung tertangkap mata, ketika mereka memasuki taman hiburan itu.Felisya terlonjak senang. “Aku mau naik r
Hidup dalam bayang-bayang masa lalu, mungkin terasa menyakitkan hingga untuk bernapas pun sulit. Namun, sanggupkah untuk mengelak, sementara hidup harus terus berjalan?***"Syil."Resti menyenggol lengan Syila cukup keras hingga pekerjaannya menata kursi terganggu dengan kehadiran Resti di sampingnya. Ia melempar ekspresi kesal, sedangkan Resti nyengir lebar."Dari tadi Chef Julian ngeliatin kamu terus," goda Resti sambil memainkan alisnya naik turun.Benar saja saat pandangan Syila menangkap sosok itu, pria itu sedang mengamatinya dengan menyilangkan kedua tangan di dada. Rasanya Syila mulai jengah."Apaan, sih Res," ucap Syila sebal. Kembali ia melanjutkan pekerjaannya menata kursi."Baru kali ini lho, aku lihat Chef Julian mandangin cewek seintens itu." Resti masih belum menyerah untuk terus menggoda.
Keesokan harinya, sebuah mobil Range Rover hitam terparkir tak jauh dari gerbang kos-kosan. Kedatangannya menarik perhatian penghuni kos lainnya yang sebagian besar wanita. Bisik-bisik mulai terdengar saat pemilik mobil itu keluar.Seorang pria blasteran, berkemeja biru dongker, memakai celana jeans dan kacamata hitam bertengger di hidungnya yang mancung. Menambah kadar kemaskulinan sang lelaki hingga membuatnya menjadi dambaan kaum hawa. Apalagi garis rahang yang membingkai wajah serta cambang yang membuat siapa pun yang melihatnya tak akan mampu menahan decakan kekaguman.Saat lelaki itu membuka kacamata hitamnya, tak terelakkan lagi teriakan demi teriakan tertahan dari gadis-gadis yang sengaja mencuri kesempatan menarik perhatian si lelaki. Sayangnya, ia tak mengindahkan.Yang ia pedulikan adalah sesosok tubuh mungil keluar dari gerbang. Rambutnya yang tergerai mempercantik penampilannya yang hanya memakai
Teramat dalam luka yang tertoreh, hingga kepercayaan pun sukar 'tuk tergenggam.***Sepasang kekasih itu melangkah penuh percaya diri. Tak peduli jika mereka menjadi pusat perhatian semua orang. Kemesraan yang mereka ciptakan, membuat semua orang diam-diam merasa iri. Secara keduanya memiliki fisik yang sempurna. Cantik dan tampan. Wajar jika mereka semua merasa iri melihatnya. Seolah keduanya memang sengaja diciptakan sebagai sepasang kekasih yang sempurna.Keduanya sudah terbiasa mendapatkan tatapan itu selama satu tahun hubungan mereka berlangsung. Berjalan bersama di tempat umum, saling berpegangan tangan tanpa niatan untuk melepaskan adalah momen romantis yang sering mereka tunjukkan di depan umum.Pandangan iri dari orang-orang itu terputus, tatkala sepasang kekasih itu masuk ke sebuah toko perhiasan. Langsung saja mereka disambut oleh seorang wanita cantik."Hai, Felisya.
Sudah sepuluh menit Resti berdiri di depan kamar Syila. Berkali-kali ia mengetuk pintu kamarnya. Namun, tak ada respons. Semenjak kepulangan Syila, Resti merasa ada yang tidak beres dengan Syila. Ia ingin bertanya pada Syila apa yang sudah terjadi padanya. Namun, pertanyaannya tak sempat ia ucapkan. Pasalnya, Syila langsung mengurung diri dan tak mau keluar.Lamat-lamat ia mendengar suara tangisan tertahan dari dalam. Resti menghentikan aksi mengetuk pintu. Ia sadar jika Syila butuh waktu untuk menyendiri dan sekarang bukan waktunya ia untuk bertanya. Mungkin nanti jika Syila sudah merasa tenang."Bagaimana?" tanya Julian.Semenjak ia mengikuti taksi yang membawa Syila pergi dari Cafe Orchid, rasa khawatir terus melanda Julian. Ia takut jika Syila kenapa-kenapa makanya ia terus mengikuti taksi itu. Julian sangat lega ternyata Syila pulang ke kos-kosannya dan sekarang ia menyusul Resti karena ia tak sabar menunggu di luar. Hanya untuk
Seberapa keras pun kamu menghapus rasa cintamu terhadapnya, tetap akan sia-sia. Sekalipun berhasil tetap masih ada cinta yang tertinggal.***Sejak kejadian di Cafe Orchid, Syila berubah menjadi sosok yang sangat dingin dan sulit tersentuh. Resti menyadari perubahan itu. Masa lalu Syila memang mengubahnya menjadi gadis yang jarang tersenyum, datar dan sedikit bicara.Kali ini Syila sudah sangat keterlaluan. Dia membangun benteng tak kasat mata yang berdiri kokoh dan sulit tertembus oleh siapa pun. Bahkan, Resti tidak melihat ada sinar kehidupan sedikit pun di kedua bola mata Syila. Seolah raganya hidup, namun jiwanya telah mati.Syila semakin jarang mengajak Resti mengobrol. Itu pun ia lakukan jika ia membutuhkan sesuatu atau bertanya soal tugas kuliah. Selebihnya, Syila memendamnya sendiri. Resti
TV plasma 21 inch itu menayangkan acara komedi di channel lokal. Kendatipun volume suara lumayan keras, telinga Syila seolah kedap suara. Matanya mungkin menyorot penuh ke layar TV, tetapi tidak dengan pikirannya. Sebelumnya kekhawatiran diam-diam menyelusup. Menunggu dengan tak sabar kedatangan Raka. Harusnya ia bertanya lebih spesifik Raka kembali pada jam berapa. Kalau ia tahu kan ia tak secemas ini dan lagi jika ia bisa menghubungi Raka minimal lewat telepon, sayangnya ia tak tahu nomornya. "Sedang melamun?" Syila terlonjak dari duduknya, adrenalinnya meningkat drastis seirama dentuman jantungnya yang bekerja ekstra. "Kak Raka!" sahutnya cepat bercampur kesal. Raka tertawa kecil. Ia duduk di samping Syila dan memandangnya dengan hangat. Usapannya pada kepala Syila melenyapkan kerisauan Syila terhadapnya. "Kakak ke mana saja? Aku sendirian di sini. Menunggu Kak Raka yang tidak datang-datang membuatku gelisah." ketus Syila. "Merindukanku, heh?" Raka terkekeh. Reaksi salah tin
Syila terbangun dari tidurnya. Mengerjap beberapa kali selagi ia mengumpulkan nyawa. Dalam detik berikutnya matanya melotot, serampangan ia bangun dan terduduk dengan mata menelusuri tubuh yang mendengkur halus di sampingnya. Ia tak mempercayai apa yang ia lihat. Namun, tak ada keraguan untuk menyimpulkan bahwa ini nyata. Raka bukan mimpi belaka. Semburat merah muncul di pipinya mengingat ia memeluk Raka dalam tidur. Saking sibuknya Syila dengan pergolakan batinnya tentang sosok Raka yang terasa seperti bayangan semu, ia tak menyadari jika Raka telah bangun. Kini Raka memandangnya penuh minat. Untuk pertama kalinya ia bisa tidur sepulas ini dalam kurun waktu dua tahun dan hal pertama yang ia lihat saat membuka mata adalah disambut wajah cantik pujaan hatinya. Hatinya langsung dibanjiri perasaan kebahagiaan. Ingatkan ia untuk membuat sebuah janji seumur hidup, karena ia akan melakukan apa saja demi melihat Syila, hal pertama kali yang ia lihat ketika membuka mata dari tidurnya. "Pagi
Jalanku adalah menujumu. Bahagia dan kepedihanmu adalah bahagia dan kepedihanku. ***Pagi ini teramat buruk bagi Karin sepanjang ia berada di London atau bahkan mungkin dalam hidupnya. Di samping badannya yang dipaksa tidur semalaman di sofa panjang yang menimbulkan pegal dan sakit, insomnia dan hipotermia juga turut menyerangnya.Satu-satunya ranjang di kamar itu dikuasai sepenuhnya oleh dua sejoli yang sedang dimabuk romantika. Terkutuklah dengan yang namanya cinta. Rasanya ia ingin menghancurkan sesuatu sampai hancur sehancur-hancurnya. Itu salah satu perwujudan dari kegerahan hatinya yang bertentangan dengan suhu udara kota London yang minus di bawah nol derajat.Kau iri kan? Karin mengernyitkan dahi mendengar kata hatinya. Apa mungkin ia merasa iri melihat Syila dan Raka tidur saling berpelukan? Lantas cemburu karena kebalikan dengan kisah perjalanan cintanya yang berliku dan berakhir tragis? Tidak! Tidak! Mungkin itu efek dari insomnia."Berhenti berpikiran yang tidak-tidak Kar
"Tidak ada yang akan menyakitimu lagi. Aku janji ini terakhir kalinya kamu menderita." Kehangatan rengkuhan itu membungkus Syila dalam kedamaian. Menciptakan rasa aman. Melindunginya dari ketakutan. Namun, lambat laun rengkuhan itu terurai, jarak pun tercipta. Kepanikan tak ayal melingkupi Syila tatkala bayangan Raka menjauh. Senyuman itu terkembang untuk Syila hingga akhirnya tenggelam dalam kegelapan. "Tidak! Jangan pergi!" teriak Syila. Tangannya menggapai-gapai udara kosong. Tangisnya pecah, gagal menarik tangan itu yang tak tampak lagi. Kegelapan pun perlahan semakin menelannya. Syila tersentak. Terduduk dalam ranjangnya dalam keadaan napas tersengal. Peluhnya bercucuran membingkai wajahnya yang memancarkan ketakutan. Matanya nyalang menatap ke sekeliling. Cahaya temaram berasal dari lampu tidur di nakas samping ranjang yang menemaninya. Dia Sendirian. Ia mengusap peluhnya di dahi lantas terisak pelan. Tidak ada rengkuhan. Tidak pula dengan adanya sosok Raka. "Jadi, itu hanya
Saat tangan ini merengkuhmu, saat itu pula kepingan hati yang telah lama menghilang, kembali dalam genggaman. Melengkapi hati yang telah lama mati sejak aku melepasmu pergi. ***"Akhirnya aku menemukanmu." Rengkuhannya pada Syila kian mengerat. Tubuh Syila pun bergetar. Jantungnya tak beraturan bergemuruh. Mengalun di antara sunyi senyap. Setetes cairan hangat mengalir. Begitu pula suara tangisnya yang tertahan."Jangan menangis." Lembut suara itu, namun makin membuat Syila sulit mengontrol tangis.Pundak Syila diputar lembut. Syila tak sanggup mengangkat kepala, menolak jika ilusinya memang benar adanya. Karena benaknya terus saja meneriaki kata tak mungkin berulang kali.Namun, saat jemari itu menghapus jejak air matanya. Tangan itu pulalah yang perlahan mengangkat dagu Syila. Kedua matanya mencoba mengerjap, meniadakan kekaburan. Ia terhenyak tatkala senyuman itu tertarik untuknya. Keyakinannya akan sosok di depannya belumlah sepenuhnya terkumpul. Tangannya bergerak mengusap pipi
Telapak tangannya terjulur. Merasakan dinginnya sekaligus kelembutan salju yang berjatuhan di telapak tangan. Senyumnya mengembang, walau tak selebar dulu. Sweater yang ia kenakan tak membantu sama sekali untuk mengusir rasa dingin, padahal sejak kemarin ia tak merasakan dingin seekstrem ini. Mungkin kekacauan pikirannya dan bahaya yang menghadang mematikan saraf kulitnya.Keterpaksaan untuk menelan kepahitan hidup membuatnya nyaris menyerah. Kalaupun ia tetap bangkit, untuk siapa ia harus berjuang. Ia sendirian. Semua orang meninggalkannya. Kecuali, Resti. Bagaimana ia bisa melupakannya. Kesadarannya itu memunculkan kerinduan untuknya. Pasti sahabatnya itu sangat khawatir dan tentunya akan berusaha mencarinya.Syila mendesah. Tangannya menyentuh dinginnya birai pembatas balkon, lantas menatap langit abu-abu. Mendadak ia bersin. Tangannya mengusap hidungnya yang terasa gatal. Syila mendesah. Kenapa baru sekarang ia terserang flu.Dulu, flu sesuatu hal yang sangat tak disukai Syila dan
Karin berulang kali mendesah. Kakinya begitu lihai membawanya ke depan pintu sebuah kamar hotel. Padahal hatinya terus mengelak. Kalau bukan karena merasa kasihan pada Syila dan ingin membantunya, demi apa pun di dunia ini ia tidak akan sudi merendahkan diri muncul di depan pria brengsek itu.Karin bergelut dengan pikirannya. Dan pada akhirnya ia menyerah dan berinisiatif mengorek informasi kepada resepsionis hotel. Sempat terjadi perang urat saraf dengan wanita pirang bermulut nyinyir—julukan Karin pada resepsionis tersebut—ia akhirnya mengetahui Julian Alexander Widjaya ternyata menginap di hotel yang sama dengannya.Lagi-lagi Karin mengurungkan niat untuk mengetuk pintu. Ia merasa sangat bodoh, berdiri di depan pintu hanya untuk menenangkan dentuman jantungnya yang berisik. Sebenarnya ia belum siap untuk berhadapan dengan Julian. Mengingat betapa ia terburu-buru me-judge Julian sebelum mengetahui fakta yang sesungguhnya. Lantas mencaci makinya tanpa ampun. Ia benar-benar tidak puny
Syila benar-benar merasa bingung dengan serentetan pertanyaan tanpa henti yang diajukan Karin padanya. Pertanyaannya adalah kenapa laki-laki itu dikait-kaitkan? Dan pada kenyataannya tidak ada hubungannya sama sekali.“Jawab!” tuntut Karin, lalu ia berkata dengan marah, “nanti biar aku yang akan membalas semua perbuatannya!”Syila mengerutkan dahi, ia mencerna semua kalimat yang terucap dari Karin. Lantas ia menyimpulkan satu hal bahwa Karin telah salah paham. “Kakak salah paham.”“Hah?” Karin melongo. Buru-buru ia membekap mulutnya dan melotot tajam. “Maksudnya?” tanyanya tolol.“Bukan Kak Julian, tapi ....” tiba-tiba tenggorokan Syila seolah disumpal benda tajam, terasa sakit dan napasnya pun tersendat-sendat layaknya dicekik tangan-tangan transparan.Karin memandangi buliran air mata yang meleleh di sudut mata Syila. “Tidak apa-apa kalau kamu tak bisa mengatakannya.” Karin bergerak merengkuh pundak Syila, sementara ia tak kuasa menahan gejolak kesedihan berupa isak tangis.Syila me
Syila benar-benar merasa bingung dengan serentetan pertanyaan tanpa henti yang diajukan Karin padanya. Pertanyaannya adalah kenapa laki-laki itu dikait-kaitkan? Dan pada kenyataannya tidak ada hubungannya sama sekali.“Jawab!” tuntut Karin, lalu ia berkata dengan marah, “nanti biar aku yang akan membalas semua perbuatannya!”Syila mengerutkan dahi, ia mencerna semua kalimat yang terucap dari Karin. Lantas ia menyimpulkan satu hal bahwa Karin telah salah paham. “Kakak salah paham.”“Hah?” Karin melongo. Buru-buru ia membekap mulutnya dan melotot tajam. “Maksudnya?” tanyanya tolol.“Bukan Kak Julian, tapi ....” tiba-tiba tenggorokan Syila seolah disumpal benda tajam, terasa sakit dan napasnya pun tersendat-sendat layaknya dicekik tangan-tangan transparan.Karin memandangi buliran air mata yang meleleh di sudut mata Syila. “Tidak apa-apa kalau kamu tak bisa mengatakannya.” Karin bergerak merengkuh pundak Syila, sementara ia tak kuasa menahan gejolak kesedihan berupa isak tangis.Syila me