Teramat dalam luka yang tertoreh, hingga kepercayaan pun sukar 'tuk tergenggam.
***
Sepasang kekasih itu melangkah penuh percaya diri. Tak peduli jika mereka menjadi pusat perhatian semua orang. Kemesraan yang mereka ciptakan, membuat semua orang diam-diam merasa iri. Secara keduanya memiliki fisik yang sempurna. Cantik dan tampan. Wajar jika mereka semua merasa iri melihatnya. Seolah keduanya memang sengaja diciptakan sebagai sepasang kekasih yang sempurna.
Keduanya sudah terbiasa mendapatkan tatapan itu selama satu tahun hubungan mereka berlangsung. Berjalan bersama di tempat umum, saling berpegangan tangan tanpa niatan untuk melepaskan adalah momen romantis yang sering mereka tunjukkan di depan umum.
Pandangan iri dari orang-orang itu terputus, tatkala sepasang kekasih itu masuk ke sebuah toko perhiasan. Langsung saja mereka disambut oleh seorang wanita cantik.
"Hai, Felisya. Apa kabar?" Irene langsung menghampiri Felisya dan mereka saling bercipika-cipiki.
"Hai, aku baik."
Irene menatap seorang lagi yang berdiri di samping Felisya. Tampaknya ia terkagum-kagum dengan sosok lelaki yang menurutnya paket komplit, tipe idaman kaum wanita.
Felisya tahu dan sangat hafal tingkah kaum wanita jika mereka melihat Raka. Dan Irene termasuk salah satu di antaranya. Sengaja ia menyenggol lengan Irene untuk menyadarkannya dari khayalannya tentang Raka.
"Sori ya. Kalau yang ini udah nggak available lagi. Jadi, cari buruan yang lain sana," sindir Felisya sambil bergelayut manja di lengan Raka.
Irene cemberut. "Siapa tau dia khilaf tunangan sama kamu."
Felisya melotot garang. Irene malah memasang wajah innocent, seolah tanpa dosa.
"Siapa, Fel?" tanya Raka.
"Dia Irene pemilik toko jewelry ini sekaligus yang nge-desain cincin pertunangan kita."
Raka menjulurkan tangan, memperkenalkan diri. "Raka."
Irene gugup bukan main saat tangannya bergerak menyambut uluran tangan Raka. Kapan lagi bisa bersalaman dengan cowok ganteng, pikirnya.
"Irene," ucapnya dengan suara selembut mungkin.
Felisya langsung menarik tangan Irene. Karena jika terlalu lama ia tak yakin jika Irene kebal akan pesona yang dimiliki Raka.
"Elah, nggak liat orang senang dikit." Irene mencibir perlakuan Felisya yang terlalu posesif.
"Cuma memperingati. Gimana cincinnya udah jadi?" tanya Felisya.
Irene mencibir. "Pengalihan topik. Ikut aku!"
Raka dan Felisya mengikuti langkah Irene yang berjalan ke arah ruang kerjanya. Mereka berdua duduk selagi Irene mengambil pesanan mereka dan tak butuh waktu lama Irene kembali dengan kotak beludru warna merah di tangan.
Irene meletakkan kotak itu di atas meja kerjanya. Saat ia membuka kotak, dua cincin berwarna silver berpendar indah tertimpa cahaya lampu ruangan.
Ukirannya sederhana tetapi itu membuatnya tampak lebih elegan. Felisya benar-benar jatuh hati dengan cincin yang dibuat khusus untuknya dan Raka. Sungguh persis seperti apa yang ia bayangkan.
"Gimana?" tanya Irene meminta pendapat.
"Aku nggak pernah meragukan kemampuanmu. Ini sesuai dengan keinginanku," ucap Felisya sambil menatap kagum kedua cincin itu.
Irene tersenyum puas.
"Gimana sayang?" tanya Felisya meminta pendapat dari Raka.
Raka tersenyum. "Aku suka," jawabnya singkat.
"Kamu tahu. Aku membuat cincin ini karena aku terinspirasi dari melihat bulan dan bintang."
"Oh, ya? Jadi cincin ini ada maknanya?" Felisya tampak sangat antusias.
"Tentu," ujarnya bangga.
"Kalian ibarat bulan dan bintang. Dua benda langit dengan sinar yang indah. Jika salah satu di antaranya hilang, maka yang lain akan melindungi dengan cahaya. Saling melengkapi tak peduli dengan pekatnya malam atau awan mendung yang menutupinya."
Mata Felisya berkilat-kilat senang. "Wah, aku nggak nyangka sedalam ini makna cincin pertunangan kami dan aku suka perumpamaanmu kami seperti bulan dan bintang."
"Sayang, menurutmu aku bulan atau bintang?" tanya Felisya pada Raka.
Raka menatap Felisya cukup lama, sebelum akhirnya berkata, "Bintang."
"Kenapa?"
"Karena bulan sendiri tak ada artinya tanpa bintang di sisinya."
Felisya menatap Raka penuh cinta. Penjelasan Raka barusan sudah cukup baginya untuk mengetahui perasaan Raka yang tak bisa hidup tanpanya.
Lain hal dengan Raka. Memang ia mengucapkannya dengan tulus, tetapi ada kehampaan yang ia rasakan. Dia tidak tahu apa itu. Diam-diam penjelasan Irene mengusik hati dan pikiran Raka. Liontin, bulan sabit dan bintang. Dua hal itu langsung menyeret ingatannya kembali ke masa dua tahun silam.
***
Felisya menggenggam erat tangan Raka di atas meja. Dari tadi Raka hanya diam dan menatap makanan di atas meja tanpa sedikit pun menyentuhnya. Hal itu membuat Felisya terganggu tentunya.
Raka tersentak ketika tangannya disentuh oleh Felisya. Ia menatap tangannya dan beralih menatap Felisya. Lamunannya buyar seketika.
"Apa ada masalah?" tanya Felisya cemas.
Raka menggeleng, "Tidak ada."
"Tapi kamu nggak nyentuh sama sekali makananmu sejak makanan ini ada di meja. Apa makanannya nggak enak?"
Raka menarik napas. "Bukan itu. Aku cuma memikirkan pekerjaanku aja," balas Raka datar.
Raka menarik tangannya dari genggaman Felisya. Ia mengambil sendoknya dan mulai menyuap. Felisya tak sepenuhnya percaya. Melihat perubahan sikap yang ditunjukkan Raka, terlintas sebuah pertanyaan yang siap ia lontarkan. Namun, mungkin hanya perasaannya saja. Sehingga ia tak jadi bertanya.
"Kak Felisya? Kak Raka?"
Seorang gadis muncul tiba-tiba menghentikan acara makan mereka di food court. Felisya menatap gadis itu penuh tanda tanya.
"Siapa, ya?" tanya Felisya penasaran.
Tanpa meminta izin terlebih dahulu, gadis itu langsung duduk di samping Felisya. Kaget. Hal pertama yang dirasakan gadis itu saat pertemuan tak sengajanya dengan Felisya dan Raka. Dia begitu sangat gembira terlihat dari wajahnya.
"Aku Naomi, Kak. Teman Syila waktu SMA," ucap Naomi antusias.
"Naomi?" ulang Felisya tak percaya.
Naomi mengangguk. "Apa kabar, Kak?"
"Baik. Kamu ke mana aja?"
Naomi mengerutkan dahi. "Lho, Syila emang nggak cerita, ya sama Kakak?"
Kebingungan tercetak jelas di raut wajah Felisya.
"Aku pindah sekolah ke Australia, Kak," jelas Naomi.
"Oh." Felisya tak mampu berkomentar apa pun.
"Ngomong-ngomong Syila di mana, Kak? Biasanya, kan kalian bertiga selalu bersama kalau jalan keluar," tanya Naomi heran.
Pertanyaan Naomi membuat Felisya tak berkutik. Jujur dia tak memiliki alasan bagus untuk menjawab pertanyaan Naomi.
"Dia lagi sibuk kuliah." Kali ini Raka yang menjawab.
Felisya memandang Raka penuh antisipasi. Takut apa yang dia khawatirkan akan terjadi pada Raka. Namun, ia tak melihat perubahan ekspresi sedikit pun. Datar tanpa emosi. Saat menjawab pun terdengar tenang dan enteng.
"Oh. Aku kangen banget sama dia, Kak. Sejak dua minggu kepindahanku ke Aussie. Kita jarang banget kontak-kontakan. Terus tiba-tiba kita lost kontak gitu." Nada suara Naomi terdengar sedih.
"Aku inget banget waktu sebelum aku berangkat ke Aussie. Dia sedih banget waktu kehilangan liontinnya. Katanya hilang pas jam pelajaran olahraga. Aku ikut bantu dia nyari liontin itu, Kak. Sampai magrib di lapangan outdoor. Aku merasa bersalah, deh nggak bisa bantu dia soalnya aku harus prepare buat berangkat ke Aussie paginya."
Felisya tersentak. Tubuhnya langsung menegang. Ia memalingkan wajah menatap Raka. Pandangannya masih datar tanpa emosi sedikit pun.
"Tapi liontin itu udah ketemu kan, Kak?" tanya Naomi waswas.
"Iya," ucap Raka datar.
"Syukur, deh. Aku kasihan sama Syila waktu tahu ia kehilangan liontinnya. Dia kelihatan sedih banget terus nangis. Katanya liontin itu sangat berarti baginya," katanya lega.
"Oh ya, Kak. Kakak punya nomer HP-nya Syila?"
Felisya terdiam. Ia berpikir untuk mencari sejuta alasan untuk menyangkal pertanyaan Naomi. Namun, tak ada satu pun jawaban yang tercetus di otaknya.
"Na, gue cariin ternyata lo di sini. Filmnya mau mulai, nih."
Seorang laki-laki datang tiba-tiba dengan wajah menahan kesal. Ia menatap Naomi dengan tajam, tetapi aksinya tidak berpengaruh sama sekali pada Naomi. Bukannya takut, ia malah tertawa.
Seketika ketegangan Felisya mengendur. Entah dia harus bersyukur atau berterima kasih sebab suara yang menginterupsi tadi mengalihkan perhatian Naomi.
"Gue lagi ngobrol sama Kakak temen gue."
Vikri menatap Naomi dengan dongkol. "Tapi filmnya udah mau mulai. Sia-sia dong gue beli tiket, tapi kita nggak jadi nonton."
"Bawel. Bentar dulu dong, Vik." Naomi mulai kesal jika pacarnya itu mulai cerewet.
"Gue kasih 30 detik tanpa ada bantahan," ucap Vikri penuh otoriter.
"Maaf ya, Kak. Aku harus pergi sekarang. Kalau nggak nanti bantengnya ngamuk."
Vikri, pacar Naomi langsung memelototinya. Sedangkan Naomi sama sekali tak peduli.
''Salam buat Syila, ya, Kak. Bilang sama dia aku kangen banget sama dia."
Felisya mengangguk kikuk.
"Bye, Kak Feli, Kak Raka." Naomi melambaikan tangan sebelum pergi.
Felisya menatap kepergian keduanya yang saling berpegangan tangan. Perasaannya campur aduk. Beralih menatap Raka, pria itu sibuk dengan makanannya. Sepertinya kejadian tadi bukan hal yang mengganggu baginya.
Felisya tentunya bernapas lega. Perkataan Naomi tak berpengaruh bagi Raka. Sehingga tak ada yang perlu untuk dikhawatirkan. Kembali ia menyantap makanannya yang sempat tertunda dengan perasaan lega.
Apa yang dipikirkan Felisya sepenuhnya salah besar. Bukan berarti apa yang ditunjukkan Raka di permukaan sama persis dengan isi hatinya. Mungkin Felisya menganggap raut wajah Raka yang datar menunjukkan jika dia sudah melupakan masa lalunya dan ia sama sekali tak peduli. Padahal di dalam hatinya ada pergolakan batin yang membuat berbagai kemungkinan muncul secara perlahan.
Liontin. Bulan dan bintang.
"Maaf, Kak. Aku nggak sengaja menghilangkan liontin pemberian Kakak pas jam pelajaran olahraga. Aku udah cari liontin itu, tapi nggak ketemu."
***
Raka menggenggam erat liontin berbentuk bulan sabit dan bintang itu penuh amarah. "Lo temuin ini di mana?"
"Di klub."
Raka menatap tajam ke arah lelaki yang berdiri tepat di hadapannya. Dia salah satu orang yang bekerja di klub.
''Bohong!"
"Terserah lo mau percaya atau nggak. Gue punya bukti lain selain liontin ini. Bukti kalau dia sering datang ke sini."
Satu pukulan telak menghantam rahang lelaki itu hingga ia jatuh tersungkur. Dengan cepat, Raka menindih tubuh lelaki itu dan mencengkeram kerah kemejanya. Amarah sudah menguasai Raka sepenuhnya. Dua pukulan kembali ia layangkan ke wajah lelaki itu hingga darah terlihat di sudut bibirnya.
Lelaki itu bahkan tak sedikit pun menampakkan ketakutan saat matanya bertubrukan dengan mata Raka yang kesetanan. Ia malah memasang smrik, seolah menantang Raka.
"Bahkan gue pernah nyicipin tubuhnya."
***
Sudah sepuluh menit Resti berdiri di depan kamar Syila. Berkali-kali ia mengetuk pintu kamarnya. Namun, tak ada respons. Semenjak kepulangan Syila, Resti merasa ada yang tidak beres dengan Syila. Ia ingin bertanya pada Syila apa yang sudah terjadi padanya. Namun, pertanyaannya tak sempat ia ucapkan. Pasalnya, Syila langsung mengurung diri dan tak mau keluar.Lamat-lamat ia mendengar suara tangisan tertahan dari dalam. Resti menghentikan aksi mengetuk pintu. Ia sadar jika Syila butuh waktu untuk menyendiri dan sekarang bukan waktunya ia untuk bertanya. Mungkin nanti jika Syila sudah merasa tenang."Bagaimana?" tanya Julian.Semenjak ia mengikuti taksi yang membawa Syila pergi dari Cafe Orchid, rasa khawatir terus melanda Julian. Ia takut jika Syila kenapa-kenapa makanya ia terus mengikuti taksi itu. Julian sangat lega ternyata Syila pulang ke kos-kosannya dan sekarang ia menyusul Resti karena ia tak sabar menunggu di luar. Hanya untuk
Seberapa keras pun kamu menghapus rasa cintamu terhadapnya, tetap akan sia-sia. Sekalipun berhasil tetap masih ada cinta yang tertinggal.***Sejak kejadian di Cafe Orchid, Syila berubah menjadi sosok yang sangat dingin dan sulit tersentuh. Resti menyadari perubahan itu. Masa lalu Syila memang mengubahnya menjadi gadis yang jarang tersenyum, datar dan sedikit bicara.Kali ini Syila sudah sangat keterlaluan. Dia membangun benteng tak kasat mata yang berdiri kokoh dan sulit tertembus oleh siapa pun. Bahkan, Resti tidak melihat ada sinar kehidupan sedikit pun di kedua bola mata Syila. Seolah raganya hidup, namun jiwanya telah mati.Syila semakin jarang mengajak Resti mengobrol. Itu pun ia lakukan jika ia membutuhkan sesuatu atau bertanya soal tugas kuliah. Selebihnya, Syila memendamnya sendiri. Resti
Entah apa yang membawanya berada di depan Restoran Gergeous. Mungkin, satu hal yang ia tahu bahwa hatinya penuh dengan perasaan ambigu. Antara percaya dan tidak. Pikirannya juga penuh dengan pertanyaan-pertanyaan yang akhir-akhir ini mulai mengganjal.Tarikan napas adalah hal yang pertama ia lakukan untuk meyakinkan diri bahwa jawaban atas pertanyaannya ada di sini. Setelah ia yakin dengan keputusannya adalah tepat, ia melangkah, memasuki restoran itu.Seorang laki-laki yang menjabat sebagai manajer restoran datang menghampiri. Manajer itu sangat mengenal baik sosoknya."Selamat datang, Pak Raka. Ada yang bisa saya bantu?" sapa manajer itu dengan ramah."Aku ingin bertemu langsung dengan Julian. Dia ada?" ucap Raka datar."Tentu. Beliau sedang berada di ruang kerjanya di lantai tiga.""Bisa kau antar aku ke ruangannya?""Silakan ikuti say
Mungkin kamu telah melepasku. Membiarkan mata hatimu tertutup oleh kabut dusta. Namun, biarlah aku tetap meraihmu sekalipun kau memilih tuk pergi menjauh. ***Uh!Kalau saja Resti tidak melarikan diri setelah kelas usai, Syila tidak akan membawa terlalu banyak buku tebal yang ia pinjam di perpustakaan kampus sebagai referensinya untuk mengerjakan tugas makalah.Ia pasti menyuruh Resti untuk membantu membawakannya dan jika Syila bertemu dengan Resti nanti, dia pastikan sahabatnya itu akan mendapatkan balasannya nanti.Karena sibuk merutuki sahabatnya itu, tanpa sadar ia menabrak seseorang. Akibatnya buku-buku di tangannya jatuh berserakan di lantai koridor. Syila menunduk. Memungut buku-bukunya satu per satu tanpa melihat siapa yang ia tabrak.“Maaf ...
Meski cinta terlalu menyakitkan, akankah tetap menyalahkannya sekalipun kata maaf terbuka lebar. Tetap saja akan sulit jika hatimu telah mematikan dirinya sendiri. *** Langit memperlihatkan warna biru memukau mata. Tak kalah birunya dengan deburan ombak yang saling berkejar-kejaran seirama arah angin yang berembus. Embusannya menerbangkan helaian rambut panjang milik seorang gadis cantik yang kini sedang menatap penuh kekaguman pada ombak pantai yang jarang ia lihat. Kaki telanjangnya tenggelam dalam butiran halus pasir putih. Lalu tak lama ombak menghantam bagian betisnya. Ia tertawa merasakan rok motif bunga-bunganya basah terkena air laut. Tak jauh dari tempat gadis itu berdiri, seorang laki-laki seumuran dengannya sedang duduk mengamati tingkah si gad
Kilasan itu langsung hadir begitu saja. Seakan waktu sengaja membawanya kembali ke masa dua tahun silam. Ia memejam, mencoba mengusir kenangan menyakitkan itu.Saat matanya perlahan terbuka. Ia dihadapkan dengan kenyataan yang lebih menyakitkan dari kenangannya yaitu sosok nyata dari Alfa. Berdiri di depan gerbang kampus sambil menatap Syila dengan penuh pengharapan.Tubuh Syila kaku. Ia memalingkan wajah dan menerobos mahasiswa lain yang juga keluar dari kampus. Tak peduli protes dari mereka yang tanpa sengaja Syila tabrak.“Syil!”Suara Alfa terus berteriak memanggil namanya. Langkah Syila semakin cepat karena ia tahu Alfa pasti mengejarnya.Sejak dari tadi Alfa sengaja menunggu Syila keluar dari gerbang kampus. Tujuannya adalah satu, yaitu berbicara padanya dan menyelesaikan masalah di antara mereka. Ia tahu itu akan sulit. Namun, ia h
Rasa itu masih ada meskipun berkali-kali menepisnya. Kekhawatiran itu diam-diam menjalar, walau kebencian terlalu pongah untuk merajai sisi hati. ***Raka tak habis pikir dengan adegan yang tanpa sengaja ia lihat di depan kafe dekat kampusnya. Awalnya ia ingin bertemu seseorang di kafe tersebut. Namun, sebuah pemikiran terlintas di benak Raka, membuatnya mengurungkan niat untuk masuk ke dalam kafe tersebut.Apakah ancaman Raka kemarin tak berarti apa-apa baginya?Mengingat hal itu Raka semakin geram. Dilihatnya Syila masuk ke dalam mobil Julian setelah Julian membukakan pintu mobil untuk Syila.Mobil itu perlahan berjalan meninggalkan pelataran parkir. Helm yang dipakai Raka belum sempat ia lepas. Terlebih lagi ia masih nangkring di atas motor sport merah-nya. Sehingga hal itu mem
Setelah mendapatkan informasi dari petugas resepsionis rumah sakit. Raka segera berlari menyusuri lorong rumah sakit tanpa menggubris protes orang-orang yang sempat ia tabrak. Bukan waktunya sekarang untuk meminta maaf, karena ada hal yang lebih penting dan itu menyangkut nyawa Tora, papanya.Di luar pintu ruang UGD, Raka bisa melihat Farida berjalan mondar-mandir menantikan dokter yang saat ini sedang menangani suaminya. Raka langsung menghampiri Farida. Farida yang melihat Raka sudah datang, langsung menghambur ke pelukan Raka."Papa, Ka." suara Farida tercekat.Bisa Raka rasakan air mata membasahi jaket yang ia pakai. Lalu Raka mengusap punggung mamanya, mencoba menenangkan."Raka yakin, Papa akan baik-baik saja," hibur Raka.Seorang dokter pria beruban yang menangani Tora akhirnya keluar dari Ruang Unit Gawat Darurat."Bagaimana keadaan suami saya, dok?" Farida langsung melepaskan pelukannya dan mengha
TV plasma 21 inch itu menayangkan acara komedi di channel lokal. Kendatipun volume suara lumayan keras, telinga Syila seolah kedap suara. Matanya mungkin menyorot penuh ke layar TV, tetapi tidak dengan pikirannya. Sebelumnya kekhawatiran diam-diam menyelusup. Menunggu dengan tak sabar kedatangan Raka. Harusnya ia bertanya lebih spesifik Raka kembali pada jam berapa. Kalau ia tahu kan ia tak secemas ini dan lagi jika ia bisa menghubungi Raka minimal lewat telepon, sayangnya ia tak tahu nomornya. "Sedang melamun?" Syila terlonjak dari duduknya, adrenalinnya meningkat drastis seirama dentuman jantungnya yang bekerja ekstra. "Kak Raka!" sahutnya cepat bercampur kesal. Raka tertawa kecil. Ia duduk di samping Syila dan memandangnya dengan hangat. Usapannya pada kepala Syila melenyapkan kerisauan Syila terhadapnya. "Kakak ke mana saja? Aku sendirian di sini. Menunggu Kak Raka yang tidak datang-datang membuatku gelisah." ketus Syila. "Merindukanku, heh?" Raka terkekeh. Reaksi salah tin
Syila terbangun dari tidurnya. Mengerjap beberapa kali selagi ia mengumpulkan nyawa. Dalam detik berikutnya matanya melotot, serampangan ia bangun dan terduduk dengan mata menelusuri tubuh yang mendengkur halus di sampingnya. Ia tak mempercayai apa yang ia lihat. Namun, tak ada keraguan untuk menyimpulkan bahwa ini nyata. Raka bukan mimpi belaka. Semburat merah muncul di pipinya mengingat ia memeluk Raka dalam tidur. Saking sibuknya Syila dengan pergolakan batinnya tentang sosok Raka yang terasa seperti bayangan semu, ia tak menyadari jika Raka telah bangun. Kini Raka memandangnya penuh minat. Untuk pertama kalinya ia bisa tidur sepulas ini dalam kurun waktu dua tahun dan hal pertama yang ia lihat saat membuka mata adalah disambut wajah cantik pujaan hatinya. Hatinya langsung dibanjiri perasaan kebahagiaan. Ingatkan ia untuk membuat sebuah janji seumur hidup, karena ia akan melakukan apa saja demi melihat Syila, hal pertama kali yang ia lihat ketika membuka mata dari tidurnya. "Pagi
Jalanku adalah menujumu. Bahagia dan kepedihanmu adalah bahagia dan kepedihanku. ***Pagi ini teramat buruk bagi Karin sepanjang ia berada di London atau bahkan mungkin dalam hidupnya. Di samping badannya yang dipaksa tidur semalaman di sofa panjang yang menimbulkan pegal dan sakit, insomnia dan hipotermia juga turut menyerangnya.Satu-satunya ranjang di kamar itu dikuasai sepenuhnya oleh dua sejoli yang sedang dimabuk romantika. Terkutuklah dengan yang namanya cinta. Rasanya ia ingin menghancurkan sesuatu sampai hancur sehancur-hancurnya. Itu salah satu perwujudan dari kegerahan hatinya yang bertentangan dengan suhu udara kota London yang minus di bawah nol derajat.Kau iri kan? Karin mengernyitkan dahi mendengar kata hatinya. Apa mungkin ia merasa iri melihat Syila dan Raka tidur saling berpelukan? Lantas cemburu karena kebalikan dengan kisah perjalanan cintanya yang berliku dan berakhir tragis? Tidak! Tidak! Mungkin itu efek dari insomnia."Berhenti berpikiran yang tidak-tidak Kar
"Tidak ada yang akan menyakitimu lagi. Aku janji ini terakhir kalinya kamu menderita." Kehangatan rengkuhan itu membungkus Syila dalam kedamaian. Menciptakan rasa aman. Melindunginya dari ketakutan. Namun, lambat laun rengkuhan itu terurai, jarak pun tercipta. Kepanikan tak ayal melingkupi Syila tatkala bayangan Raka menjauh. Senyuman itu terkembang untuk Syila hingga akhirnya tenggelam dalam kegelapan. "Tidak! Jangan pergi!" teriak Syila. Tangannya menggapai-gapai udara kosong. Tangisnya pecah, gagal menarik tangan itu yang tak tampak lagi. Kegelapan pun perlahan semakin menelannya. Syila tersentak. Terduduk dalam ranjangnya dalam keadaan napas tersengal. Peluhnya bercucuran membingkai wajahnya yang memancarkan ketakutan. Matanya nyalang menatap ke sekeliling. Cahaya temaram berasal dari lampu tidur di nakas samping ranjang yang menemaninya. Dia Sendirian. Ia mengusap peluhnya di dahi lantas terisak pelan. Tidak ada rengkuhan. Tidak pula dengan adanya sosok Raka. "Jadi, itu hanya
Saat tangan ini merengkuhmu, saat itu pula kepingan hati yang telah lama menghilang, kembali dalam genggaman. Melengkapi hati yang telah lama mati sejak aku melepasmu pergi. ***"Akhirnya aku menemukanmu." Rengkuhannya pada Syila kian mengerat. Tubuh Syila pun bergetar. Jantungnya tak beraturan bergemuruh. Mengalun di antara sunyi senyap. Setetes cairan hangat mengalir. Begitu pula suara tangisnya yang tertahan."Jangan menangis." Lembut suara itu, namun makin membuat Syila sulit mengontrol tangis.Pundak Syila diputar lembut. Syila tak sanggup mengangkat kepala, menolak jika ilusinya memang benar adanya. Karena benaknya terus saja meneriaki kata tak mungkin berulang kali.Namun, saat jemari itu menghapus jejak air matanya. Tangan itu pulalah yang perlahan mengangkat dagu Syila. Kedua matanya mencoba mengerjap, meniadakan kekaburan. Ia terhenyak tatkala senyuman itu tertarik untuknya. Keyakinannya akan sosok di depannya belumlah sepenuhnya terkumpul. Tangannya bergerak mengusap pipi
Telapak tangannya terjulur. Merasakan dinginnya sekaligus kelembutan salju yang berjatuhan di telapak tangan. Senyumnya mengembang, walau tak selebar dulu. Sweater yang ia kenakan tak membantu sama sekali untuk mengusir rasa dingin, padahal sejak kemarin ia tak merasakan dingin seekstrem ini. Mungkin kekacauan pikirannya dan bahaya yang menghadang mematikan saraf kulitnya.Keterpaksaan untuk menelan kepahitan hidup membuatnya nyaris menyerah. Kalaupun ia tetap bangkit, untuk siapa ia harus berjuang. Ia sendirian. Semua orang meninggalkannya. Kecuali, Resti. Bagaimana ia bisa melupakannya. Kesadarannya itu memunculkan kerinduan untuknya. Pasti sahabatnya itu sangat khawatir dan tentunya akan berusaha mencarinya.Syila mendesah. Tangannya menyentuh dinginnya birai pembatas balkon, lantas menatap langit abu-abu. Mendadak ia bersin. Tangannya mengusap hidungnya yang terasa gatal. Syila mendesah. Kenapa baru sekarang ia terserang flu.Dulu, flu sesuatu hal yang sangat tak disukai Syila dan
Karin berulang kali mendesah. Kakinya begitu lihai membawanya ke depan pintu sebuah kamar hotel. Padahal hatinya terus mengelak. Kalau bukan karena merasa kasihan pada Syila dan ingin membantunya, demi apa pun di dunia ini ia tidak akan sudi merendahkan diri muncul di depan pria brengsek itu.Karin bergelut dengan pikirannya. Dan pada akhirnya ia menyerah dan berinisiatif mengorek informasi kepada resepsionis hotel. Sempat terjadi perang urat saraf dengan wanita pirang bermulut nyinyir—julukan Karin pada resepsionis tersebut—ia akhirnya mengetahui Julian Alexander Widjaya ternyata menginap di hotel yang sama dengannya.Lagi-lagi Karin mengurungkan niat untuk mengetuk pintu. Ia merasa sangat bodoh, berdiri di depan pintu hanya untuk menenangkan dentuman jantungnya yang berisik. Sebenarnya ia belum siap untuk berhadapan dengan Julian. Mengingat betapa ia terburu-buru me-judge Julian sebelum mengetahui fakta yang sesungguhnya. Lantas mencaci makinya tanpa ampun. Ia benar-benar tidak puny
Syila benar-benar merasa bingung dengan serentetan pertanyaan tanpa henti yang diajukan Karin padanya. Pertanyaannya adalah kenapa laki-laki itu dikait-kaitkan? Dan pada kenyataannya tidak ada hubungannya sama sekali.“Jawab!” tuntut Karin, lalu ia berkata dengan marah, “nanti biar aku yang akan membalas semua perbuatannya!”Syila mengerutkan dahi, ia mencerna semua kalimat yang terucap dari Karin. Lantas ia menyimpulkan satu hal bahwa Karin telah salah paham. “Kakak salah paham.”“Hah?” Karin melongo. Buru-buru ia membekap mulutnya dan melotot tajam. “Maksudnya?” tanyanya tolol.“Bukan Kak Julian, tapi ....” tiba-tiba tenggorokan Syila seolah disumpal benda tajam, terasa sakit dan napasnya pun tersendat-sendat layaknya dicekik tangan-tangan transparan.Karin memandangi buliran air mata yang meleleh di sudut mata Syila. “Tidak apa-apa kalau kamu tak bisa mengatakannya.” Karin bergerak merengkuh pundak Syila, sementara ia tak kuasa menahan gejolak kesedihan berupa isak tangis.Syila me
Syila benar-benar merasa bingung dengan serentetan pertanyaan tanpa henti yang diajukan Karin padanya. Pertanyaannya adalah kenapa laki-laki itu dikait-kaitkan? Dan pada kenyataannya tidak ada hubungannya sama sekali.“Jawab!” tuntut Karin, lalu ia berkata dengan marah, “nanti biar aku yang akan membalas semua perbuatannya!”Syila mengerutkan dahi, ia mencerna semua kalimat yang terucap dari Karin. Lantas ia menyimpulkan satu hal bahwa Karin telah salah paham. “Kakak salah paham.”“Hah?” Karin melongo. Buru-buru ia membekap mulutnya dan melotot tajam. “Maksudnya?” tanyanya tolol.“Bukan Kak Julian, tapi ....” tiba-tiba tenggorokan Syila seolah disumpal benda tajam, terasa sakit dan napasnya pun tersendat-sendat layaknya dicekik tangan-tangan transparan.Karin memandangi buliran air mata yang meleleh di sudut mata Syila. “Tidak apa-apa kalau kamu tak bisa mengatakannya.” Karin bergerak merengkuh pundak Syila, sementara ia tak kuasa menahan gejolak kesedihan berupa isak tangis.Syila me