Kilasan itu langsung hadir begitu saja. Seakan waktu sengaja membawanya kembali ke masa dua tahun silam. Ia memejam, mencoba mengusir kenangan menyakitkan itu.
Saat matanya perlahan terbuka. Ia dihadapkan dengan kenyataan yang lebih menyakitkan dari kenangannya yaitu sosok nyata dari Alfa. Berdiri di depan gerbang kampus sambil menatap Syila dengan penuh pengharapan.
Tubuh Syila kaku. Ia memalingkan wajah dan menerobos mahasiswa lain yang juga keluar dari kampus. Tak peduli protes dari mereka yang tanpa sengaja Syila tabrak.
“Syil!”
Suara Alfa terus berteriak memanggil namanya. Langkah Syila semakin cepat karena ia tahu Alfa pasti mengejarnya.
Sejak dari tadi Alfa sengaja menunggu Syila keluar dari gerbang kampus. Tujuannya adalah satu, yaitu berbicara padanya dan menyelesaikan masalah di antara mereka. Ia tahu itu akan sulit. Namun, ia h
Rasa itu masih ada meskipun berkali-kali menepisnya. Kekhawatiran itu diam-diam menjalar, walau kebencian terlalu pongah untuk merajai sisi hati. ***Raka tak habis pikir dengan adegan yang tanpa sengaja ia lihat di depan kafe dekat kampusnya. Awalnya ia ingin bertemu seseorang di kafe tersebut. Namun, sebuah pemikiran terlintas di benak Raka, membuatnya mengurungkan niat untuk masuk ke dalam kafe tersebut.Apakah ancaman Raka kemarin tak berarti apa-apa baginya?Mengingat hal itu Raka semakin geram. Dilihatnya Syila masuk ke dalam mobil Julian setelah Julian membukakan pintu mobil untuk Syila.Mobil itu perlahan berjalan meninggalkan pelataran parkir. Helm yang dipakai Raka belum sempat ia lepas. Terlebih lagi ia masih nangkring di atas motor sport merah-nya. Sehingga hal itu mem
Setelah mendapatkan informasi dari petugas resepsionis rumah sakit. Raka segera berlari menyusuri lorong rumah sakit tanpa menggubris protes orang-orang yang sempat ia tabrak. Bukan waktunya sekarang untuk meminta maaf, karena ada hal yang lebih penting dan itu menyangkut nyawa Tora, papanya.Di luar pintu ruang UGD, Raka bisa melihat Farida berjalan mondar-mandir menantikan dokter yang saat ini sedang menangani suaminya. Raka langsung menghampiri Farida. Farida yang melihat Raka sudah datang, langsung menghambur ke pelukan Raka."Papa, Ka." suara Farida tercekat.Bisa Raka rasakan air mata membasahi jaket yang ia pakai. Lalu Raka mengusap punggung mamanya, mencoba menenangkan."Raka yakin, Papa akan baik-baik saja," hibur Raka.Seorang dokter pria beruban yang menangani Tora akhirnya keluar dari Ruang Unit Gawat Darurat."Bagaimana keadaan suami saya, dok?" Farida langsung melepaskan pelukannya dan mengha
Kuatkah aku ketika kenyataan lebih kejam dari yang kukira kembali membayangi? Saat cincin itu terselip di sela jarimu saat itu juga kau telah menghancurkanku.***Matahari sudah lama tenggelam dan Syila masih sibuk mencari liontin pemberian Raka yang kemungkinan hilang di lapangan outdoor. Naomiㅡsahabatnya, juga turut mencarinya. Walaupun hanya sebentar, Syila cukup terbantu dengan kehadiran Naomi. Naomi sendiri harus pulang untuk mempersiapkan keperluannya karena keesokan harinya dia harus terbang ke Australia. Terpaksa ia meninggalkan Syila sendirian di sekolah yang mulai sepi."Ceroboh banget, sih kamu Syil," rutuk Syila pada dirinya sendiri.Dia sudah mencari ke segala tempat. Mulai dari loker, mungkin dia lupa menaruhnya di sana. Tetapi hasilnya nihi
Di tangannya sebuah kartu undangan berwarna silver masih terbungkus rapi. Bola matanya yang indah menatap kartu undangan itu penuh pertimbangan. Suara detak jarum jam mengisi kesunyian yang tercipta dan ia sadar jika waktu terus bergulir.Akankah ia datang?Ketika matanya beralih menatap pantulan dirinya di cermin, ia tahu dirinya tidak dalam keadaan baik-baik saja. Bayangan seorang gadis yang duduk di tepian ranjang, mengenakan dress selutut tanpa lengan berwarna peach dengan aksen pita di pinggang, terlihat sangat memukau. Namun, ia sadar di balik itu semua ia menyembunyikan kerapuhan yang sewaktu-waktu bisa saja hancur.Ia menarik napas dalam. Membuang rasa sesak itu jauh-jauh. Ia beranjak dari duduk, berdiri di depan cermin. Mengamati pantulan wajahnya yang dipoles make up tipis. Cantik. Tetapi tak bisa menyembunyikan sisa-sisa kesedihan semalam."Syil, kamu sudah siap belum? Chef Julian udah datang."Hari ini pasti akan datang juga. Bertemu ke
"Halo." Syila mengangkat telepon dan suara musik yang berdentuman sangat keras langsung terdengar di telinga."Alfa?" panggil Syila gusar."Apa ini Syila?" Syila mengerutkan dahi, mendengar suara milik seorang laki-laki asing dan bukan Alfa yang berbicara. Ia melirik layar ponselnya, memastikan ID caller Alfa yang menghubunginya. Namun, kenapa suaranya asing?"Iya," jawab Syila ragu. Ia tidak tahu siapa yang sedang meneleponnya sekarang dan ia penasaran kenapa suara di seberang mengetahui namanya."Alfa sekarang lagi mabuk berat. Berkali-kali meracau menyebut namamu. Jemput dia di Club Light sekarang juga."Syila ingin bertanya lebih lanjut, tetapi sambungan lebih dahulu terputus. Ia berjalan mondar-mandir di kamarnya. Ia melirik jam dinding telah menunjukkan pukul 11 malam. Satu jam lagi akan tengah malam, pasti kedua orang tuanya tidak akan mengizinkannya keluar rumah di
Semburat cahaya mentari menembus jendela kamar. Kelopak mata itu perlahan terbuka dan cahaya matahari langsung menyilaukan kedua mata. Ia mengerang, menghalau silaunya cahaya dengan menutup wajah dengan tangan. Perlahan ia mengerjap, menyesuaikan pandangan sampai ia benar-benar bisa melihat dengan jelas. Dahinya mengerut ketika ia menatap nyalang langi-langit kamar. Lalu pandangannya menyelusuri seluruh ruangan.Tubuhnya terduduk, mengusap kedua mata perlahan. Apa ini mimpi? Ia sangat yakin semalam ia pergi ke klub untuk mencari keberadaan Alfa dan setelah meminum orange juice, ia tidak ingat apa-apa. Namun, kenapa ia bisa berada di kamarnya sekarang. Siapa yang sudah memindahkannya?Sehari setelah kejadian itu, ia tidak pernah lagi melihat Alfa di sekolah. Pesan yang ia kirimkan padanya sama sekali tak dibalas, begitu juga dengan teleponnya yang tak pernah dijawab. Sungguh Syila ingin meminta penjelasan dari Alfa mengenai kejadian yang menimpanya kemarin.Lalu
Ponsel di saku Syila bergetar. Ia merogoh sakunya dan mendapati sebuah pesan dari nomor tak dikenal.081xxxBagaimana ya reaksi orang-orang yang kamu cintai mengetahui foto dan video itu? Sudah kukatakan kan untuk menjauhi Raka, tapi ternyata kamu menemuinya dan menganggap ancamanku main-main. Baiklah apa boleh buat aku akan menyebarkannya.Kedua tangan Syila mencengkeram erat railing tangga. Tenaganya seolah telah lenyap, hingga tak mampu menopang tubuh. ia terpuruk pada anak tangga terbawah. Tangisnya langsung pecah.Tiga hari setelah pertemuannya dengan Raka, ia mengira semua akan baik-baik saja. Namun, ternyata di luar dugaan, orang yang mengancamnya benar-benar menyebar foto dan video itu. Dia sendirian. Tidak ada yang menopang beban masalahnya. Tidak Alfa maupun Raka. Lalu apa yang harus ia lakukan sekarang."Syila!"Syila tertegun mendengar suara teriakan yang berasal dari ruang tamu. Pemilik suara itu muncul, melangkah dengan lan
Melepaskan dan berdamailah dengan masa lalu. Maka beban seberat apa pun yang kau pikul akan terasa lebih ringan nantinya. ***Julian mengambil gelas berkaki berisi minuman berwarna merah di meja prasmanan. Ia mengamati dari kejauhan sosok Raka yang sedang menyambut uluran tangan dari beberapa rekan bisnis orang tuanya.Rasanya Julian ingin sekali menonjok wajah Raka yang saat ini menampilkan senyuman lebar, seolah ia tak memiliki masalah apa pun yang berarti. Padahal sangat jelas, jika dia dihadapkan pada masalah yang sangat rumit.Smirk muncul, memperlihatkan deretan gigi putih. “Aku akan membuat pria bodoh itu sadar,” gumamnya sambil meneguk pelan cairan merah itu sampai tersisa setengah. Ia meletakkan gelas itu di meja dan menghampiri Raka.
TV plasma 21 inch itu menayangkan acara komedi di channel lokal. Kendatipun volume suara lumayan keras, telinga Syila seolah kedap suara. Matanya mungkin menyorot penuh ke layar TV, tetapi tidak dengan pikirannya. Sebelumnya kekhawatiran diam-diam menyelusup. Menunggu dengan tak sabar kedatangan Raka. Harusnya ia bertanya lebih spesifik Raka kembali pada jam berapa. Kalau ia tahu kan ia tak secemas ini dan lagi jika ia bisa menghubungi Raka minimal lewat telepon, sayangnya ia tak tahu nomornya. "Sedang melamun?" Syila terlonjak dari duduknya, adrenalinnya meningkat drastis seirama dentuman jantungnya yang bekerja ekstra. "Kak Raka!" sahutnya cepat bercampur kesal. Raka tertawa kecil. Ia duduk di samping Syila dan memandangnya dengan hangat. Usapannya pada kepala Syila melenyapkan kerisauan Syila terhadapnya. "Kakak ke mana saja? Aku sendirian di sini. Menunggu Kak Raka yang tidak datang-datang membuatku gelisah." ketus Syila. "Merindukanku, heh?" Raka terkekeh. Reaksi salah tin
Syila terbangun dari tidurnya. Mengerjap beberapa kali selagi ia mengumpulkan nyawa. Dalam detik berikutnya matanya melotot, serampangan ia bangun dan terduduk dengan mata menelusuri tubuh yang mendengkur halus di sampingnya. Ia tak mempercayai apa yang ia lihat. Namun, tak ada keraguan untuk menyimpulkan bahwa ini nyata. Raka bukan mimpi belaka. Semburat merah muncul di pipinya mengingat ia memeluk Raka dalam tidur. Saking sibuknya Syila dengan pergolakan batinnya tentang sosok Raka yang terasa seperti bayangan semu, ia tak menyadari jika Raka telah bangun. Kini Raka memandangnya penuh minat. Untuk pertama kalinya ia bisa tidur sepulas ini dalam kurun waktu dua tahun dan hal pertama yang ia lihat saat membuka mata adalah disambut wajah cantik pujaan hatinya. Hatinya langsung dibanjiri perasaan kebahagiaan. Ingatkan ia untuk membuat sebuah janji seumur hidup, karena ia akan melakukan apa saja demi melihat Syila, hal pertama kali yang ia lihat ketika membuka mata dari tidurnya. "Pagi
Jalanku adalah menujumu. Bahagia dan kepedihanmu adalah bahagia dan kepedihanku. ***Pagi ini teramat buruk bagi Karin sepanjang ia berada di London atau bahkan mungkin dalam hidupnya. Di samping badannya yang dipaksa tidur semalaman di sofa panjang yang menimbulkan pegal dan sakit, insomnia dan hipotermia juga turut menyerangnya.Satu-satunya ranjang di kamar itu dikuasai sepenuhnya oleh dua sejoli yang sedang dimabuk romantika. Terkutuklah dengan yang namanya cinta. Rasanya ia ingin menghancurkan sesuatu sampai hancur sehancur-hancurnya. Itu salah satu perwujudan dari kegerahan hatinya yang bertentangan dengan suhu udara kota London yang minus di bawah nol derajat.Kau iri kan? Karin mengernyitkan dahi mendengar kata hatinya. Apa mungkin ia merasa iri melihat Syila dan Raka tidur saling berpelukan? Lantas cemburu karena kebalikan dengan kisah perjalanan cintanya yang berliku dan berakhir tragis? Tidak! Tidak! Mungkin itu efek dari insomnia."Berhenti berpikiran yang tidak-tidak Kar
"Tidak ada yang akan menyakitimu lagi. Aku janji ini terakhir kalinya kamu menderita." Kehangatan rengkuhan itu membungkus Syila dalam kedamaian. Menciptakan rasa aman. Melindunginya dari ketakutan. Namun, lambat laun rengkuhan itu terurai, jarak pun tercipta. Kepanikan tak ayal melingkupi Syila tatkala bayangan Raka menjauh. Senyuman itu terkembang untuk Syila hingga akhirnya tenggelam dalam kegelapan. "Tidak! Jangan pergi!" teriak Syila. Tangannya menggapai-gapai udara kosong. Tangisnya pecah, gagal menarik tangan itu yang tak tampak lagi. Kegelapan pun perlahan semakin menelannya. Syila tersentak. Terduduk dalam ranjangnya dalam keadaan napas tersengal. Peluhnya bercucuran membingkai wajahnya yang memancarkan ketakutan. Matanya nyalang menatap ke sekeliling. Cahaya temaram berasal dari lampu tidur di nakas samping ranjang yang menemaninya. Dia Sendirian. Ia mengusap peluhnya di dahi lantas terisak pelan. Tidak ada rengkuhan. Tidak pula dengan adanya sosok Raka. "Jadi, itu hanya
Saat tangan ini merengkuhmu, saat itu pula kepingan hati yang telah lama menghilang, kembali dalam genggaman. Melengkapi hati yang telah lama mati sejak aku melepasmu pergi. ***"Akhirnya aku menemukanmu." Rengkuhannya pada Syila kian mengerat. Tubuh Syila pun bergetar. Jantungnya tak beraturan bergemuruh. Mengalun di antara sunyi senyap. Setetes cairan hangat mengalir. Begitu pula suara tangisnya yang tertahan."Jangan menangis." Lembut suara itu, namun makin membuat Syila sulit mengontrol tangis.Pundak Syila diputar lembut. Syila tak sanggup mengangkat kepala, menolak jika ilusinya memang benar adanya. Karena benaknya terus saja meneriaki kata tak mungkin berulang kali.Namun, saat jemari itu menghapus jejak air matanya. Tangan itu pulalah yang perlahan mengangkat dagu Syila. Kedua matanya mencoba mengerjap, meniadakan kekaburan. Ia terhenyak tatkala senyuman itu tertarik untuknya. Keyakinannya akan sosok di depannya belumlah sepenuhnya terkumpul. Tangannya bergerak mengusap pipi
Telapak tangannya terjulur. Merasakan dinginnya sekaligus kelembutan salju yang berjatuhan di telapak tangan. Senyumnya mengembang, walau tak selebar dulu. Sweater yang ia kenakan tak membantu sama sekali untuk mengusir rasa dingin, padahal sejak kemarin ia tak merasakan dingin seekstrem ini. Mungkin kekacauan pikirannya dan bahaya yang menghadang mematikan saraf kulitnya.Keterpaksaan untuk menelan kepahitan hidup membuatnya nyaris menyerah. Kalaupun ia tetap bangkit, untuk siapa ia harus berjuang. Ia sendirian. Semua orang meninggalkannya. Kecuali, Resti. Bagaimana ia bisa melupakannya. Kesadarannya itu memunculkan kerinduan untuknya. Pasti sahabatnya itu sangat khawatir dan tentunya akan berusaha mencarinya.Syila mendesah. Tangannya menyentuh dinginnya birai pembatas balkon, lantas menatap langit abu-abu. Mendadak ia bersin. Tangannya mengusap hidungnya yang terasa gatal. Syila mendesah. Kenapa baru sekarang ia terserang flu.Dulu, flu sesuatu hal yang sangat tak disukai Syila dan
Karin berulang kali mendesah. Kakinya begitu lihai membawanya ke depan pintu sebuah kamar hotel. Padahal hatinya terus mengelak. Kalau bukan karena merasa kasihan pada Syila dan ingin membantunya, demi apa pun di dunia ini ia tidak akan sudi merendahkan diri muncul di depan pria brengsek itu.Karin bergelut dengan pikirannya. Dan pada akhirnya ia menyerah dan berinisiatif mengorek informasi kepada resepsionis hotel. Sempat terjadi perang urat saraf dengan wanita pirang bermulut nyinyir—julukan Karin pada resepsionis tersebut—ia akhirnya mengetahui Julian Alexander Widjaya ternyata menginap di hotel yang sama dengannya.Lagi-lagi Karin mengurungkan niat untuk mengetuk pintu. Ia merasa sangat bodoh, berdiri di depan pintu hanya untuk menenangkan dentuman jantungnya yang berisik. Sebenarnya ia belum siap untuk berhadapan dengan Julian. Mengingat betapa ia terburu-buru me-judge Julian sebelum mengetahui fakta yang sesungguhnya. Lantas mencaci makinya tanpa ampun. Ia benar-benar tidak puny
Syila benar-benar merasa bingung dengan serentetan pertanyaan tanpa henti yang diajukan Karin padanya. Pertanyaannya adalah kenapa laki-laki itu dikait-kaitkan? Dan pada kenyataannya tidak ada hubungannya sama sekali.“Jawab!” tuntut Karin, lalu ia berkata dengan marah, “nanti biar aku yang akan membalas semua perbuatannya!”Syila mengerutkan dahi, ia mencerna semua kalimat yang terucap dari Karin. Lantas ia menyimpulkan satu hal bahwa Karin telah salah paham. “Kakak salah paham.”“Hah?” Karin melongo. Buru-buru ia membekap mulutnya dan melotot tajam. “Maksudnya?” tanyanya tolol.“Bukan Kak Julian, tapi ....” tiba-tiba tenggorokan Syila seolah disumpal benda tajam, terasa sakit dan napasnya pun tersendat-sendat layaknya dicekik tangan-tangan transparan.Karin memandangi buliran air mata yang meleleh di sudut mata Syila. “Tidak apa-apa kalau kamu tak bisa mengatakannya.” Karin bergerak merengkuh pundak Syila, sementara ia tak kuasa menahan gejolak kesedihan berupa isak tangis.Syila me
Syila benar-benar merasa bingung dengan serentetan pertanyaan tanpa henti yang diajukan Karin padanya. Pertanyaannya adalah kenapa laki-laki itu dikait-kaitkan? Dan pada kenyataannya tidak ada hubungannya sama sekali.“Jawab!” tuntut Karin, lalu ia berkata dengan marah, “nanti biar aku yang akan membalas semua perbuatannya!”Syila mengerutkan dahi, ia mencerna semua kalimat yang terucap dari Karin. Lantas ia menyimpulkan satu hal bahwa Karin telah salah paham. “Kakak salah paham.”“Hah?” Karin melongo. Buru-buru ia membekap mulutnya dan melotot tajam. “Maksudnya?” tanyanya tolol.“Bukan Kak Julian, tapi ....” tiba-tiba tenggorokan Syila seolah disumpal benda tajam, terasa sakit dan napasnya pun tersendat-sendat layaknya dicekik tangan-tangan transparan.Karin memandangi buliran air mata yang meleleh di sudut mata Syila. “Tidak apa-apa kalau kamu tak bisa mengatakannya.” Karin bergerak merengkuh pundak Syila, sementara ia tak kuasa menahan gejolak kesedihan berupa isak tangis.Syila me