Syila menatap nanar kertas undangan berwarna silver di tangannya. Belum dibaca pun ia sudah tahu isi dari undangan itu. Tubuhnya mulai bergetar. Dia harus kuat! Kuat! Seperti mantra yang akan memberikan kekuatan baginya.
Felisya tersenyum sinis penuh kemenangan. Ya, impiannya sudah tercapai sekarang. Menyingkirkan yang menghalangi jalannya dan mendapatkan apa yang ia impikan selama ini.
“Sebenarnya aku tidak ingin mengundangmu, tapi setelah kupikir-pikir ... kamu sepertinya pantas untuk ikut merasakan kebahagiaanku. Ya, walaupun kamu bukan lagi anggota keluargaku, setidaknya kamu pernah menjadi bagian dari keluarga Harahap.” Perkataan Felisya tak luput dari sindiran yang menyakitkan.
“Selamat Kak, aku turut berbahagia. Aku pasti akan datang.”
Felisya tersenyum mengejek. “Hmm ... ternyata kamu masih punya muka, ya? Aku heran setelah sebelumnya mencoreng nama baik keluarga Harahap, kamu masih punya nyali untuk bertemu muka dengan mereka.”
Suara Syila tercekat di tenggorokan. Kering dan sakit saat ia menelan saliva. Kilasan dua tahun lalu langsung menyerbu. Dadanya bukan hanya sakit, tetapi terasa kebas oleh penyesalan, dan hal yang dia inginkan sekarang adalah meninggalkan dunia ini saking tidak kuatnya ia menahan kesakitan di rongga dada.
“Oke, adik kecil. Semoga hal buruk tak terjadi padamu saat bertemu dengan keluarga Harahap. Bye!” lantas tubuhnya melenggang pergi.
Felisya berbalik saat ia teringat sesuatu. “Oh, aku lupa seharusnya aku tidak lagi memanggilmu adik,” sindirnya penuh penekanan pada ucapannya yang terakhir.
Sepeninggal Felisya, tubuh Syila meluruh ke lantai koridor. Bahunya terus gemetar. Ia meringis tak sanggup menahan rasa sakit layaknya terkena pedang yang sangat tajam. Tangannya memukul dada bertubi-tubi. Berharap rasa sakitnya hilang. Sayang, tidak berguna.
Tangisnya pecah disertai suara isakan memilukan. Padahal bibirnya sengaja ia gigit untuk menahan sedu sedan, tetapi hal itu percuma saja. Justru kian bertambah tatkala kilasan-kilasan ingatan masa lalu berkelebat sangat cepat di benaknya. Hingga tak sanggup untuk dihentikan.
***
“Kak, Feli udah makan? Aku bawain makanan kesukaan Kakak.”
Syila meletakkan bungkusan plastik di nakas samping ranjang rumah sakit tempat di mana Felisya berbaring sekarang. Felisya membuang muka ke arah lain, malas rasanya untuk sekadar melihat Syila. Orang yang menyebabkan ia harus dirawat di rumah sakit karena kecelakaan mobil.
Patah tulang pada kakinya serta beberapa tulang rusuknya. Belum lagi kakinya sampai saat ini belum bisa digerakkan. Dokter bilang tidak akan sampai menyebabkan kelumpuhan total dan butuh waktu lama untuk memulihkan tubuhnya lewat terapi.
Tentu saja Felisya menyalahkan Syila. Kalau saja ia tak menjemput Syila ke sekolahnya, mungkin ia tak akan berakhir di rumah sakit.
“Jangan harap kebaikanmu itu bisa membuatku memaafkanmu,” ucap Felisya dengan kebencian nyata di setiap perkataan.
Syila memandang Felisya dengan sedih. Dia merasa sangat bersalah pada kakaknya yang sangat ia sayangi itu. Harusnya ia tak meminta Ranti, mamanya untuk menyuruh Felisya menjemputnya. Ia melakukan itu semua karena ia ingin bisa lebih dekat dengan Felisya. Menghabiskan waktu bersama seperti dulu.
Kesibukan Felisya merenggangkan hubungan kakak beradik itu. Ditambah perubahan signifikan yang ditunjukkan Felisya membuat Syila bertanya-tanya, apa gerangan yang sudah mengubah sikap Felisya yang dulunya sangat menyayanginya kini terlihat sangat membencinya?
“Fel, kamu tidak boleh bilang begitu. Kecelakaan yang kamu alami bukan semata-mata kesalahan Syila,” sergah Ranti yang tiba-tiba masuk ke ruang perawatan itu. Dia sungguh sangat kecewa jika anak sulungnya melimpahkan semua kesalahan pada Syila.
Felisya memalingkan wajah pada Ranti. “Jadi, Mama menyalahkanku? Mama lupa? Aku hampir lumpuh karena dia dan Mama masih membelanya?!”
“Felisya!” pekik Ranti.
Ranti berusaha menahan amarah, lalu berkata, “Mama nggak pernah ngajarin kamu untuk bersikap seperti itu. Seolah-olah apa yang sudah kamu alami adalah kesalahan Syila sepenuhnya. Mama tidak ingin dengar kamu berkata seperti itu lagi.”
“Terus aja Mama belain Syila! Bukan dia aja anak Mama, aku juga. Tapi Mama lebih menyayangi Syila daripada aku. Mama masih tetap memilih membela Syila bukannya aku yang saat ini terluka parah. Mungkin jika aku mati Mama nggak akan peduli sama sekali.”
“Felisya!”
“Ma,” panggil Syila mengingatkan. Syila mengelus lengan Ranti, mencoba untuk meredakan emosi yang telah menguasai mamanya itu.
“Ma, ingat. Mama nggak boleh marah seperti ini nanti penyakit Mama kambuh. Sepertinya Kak Feli butuh istirahat, kita sebaiknya keluar dari sini.”
Ranti berusaha mengatur kembali pernapasan. Tubuhnya lelah diakibatkan emosi yang meluap-luap. Syila segera menuntun tubuh Ranti yang terlihat rapuh keluar ruangan. Setelah itu, Ia kembali. Ada hal yang ingin ia sampaikan pada Felisya.
“Kak, jika Kakak beranggapan bahwa aku yang menyebabkan Kakak celaka, aku sungguh meminta maaf dan sangat menyesalinya. Aku ....”
“Kamu lihat Mama lebih membela putri kesayangannya daripada aku yang terbaring lemah tak berdaya seperti ini. Bahkan Papa lebih menyayangimu. Kamu merebut semuanya dariku.” ucap Felisya penuh kebencian.
*
Dua minggu telah berlalu. Setelah melalui pengobatan dan terapi secara intens, Felisya akhirnya bisa berjalan pelan-pelan, walaupun harus di bantu dengan kruk. Terpaksa ia harus merelakan seluruh waktunya demi mendekam di kamarnya. Tanpa melakukan kegiatan apa pun bahkan kuliahnya juga terpaksa cuti. Ia merasakan bosan yang teramat dan ia ingin sekali menghirup udara segar di luar kamar.
Bermodalkan kenekatan, ia meraih kruk yang disandarkan di dekat tempat tidur. Perlahan Felisya berjalan ke luar kamar. Tiba-tiba pendengarannya menangkap suara-suara canda tawa dari lantai bawah. Saat pandangannya terpusat pada dua sosok yang sangat ia kenali sedang duduk di ruang tengah, dia tahu jika dia sangat tidak menyukai keakraban yang terjalin di antara mereka.
“Kamu itu masih bocah. Tahu apa kamu soal kehidupan pria dewasa,” ejek Raka sambil menjepit hidung Syila dengan kedua jarinya, jempol dan telunjuk.
“Aw ... lepas sakit, tauk! Lagian umurku bentar lagi 18 tahun dan itu sudah dikategorikan dewasa,” balas Syila bersungut-sungut.
Raka terkekeh mendengar suara Syila yang sengau. “Kamu harus sering diginiin biar hidung kamu mancung.”
Syila memberikan tatapan bengis. Namun, hal itu tak berpengaruh sama sekali pada Raka. Ia malah melempar tatapan geli. benar-benar sangat lucu.
“Ini bukan pesek, tapi kecil. Ish! Kakak nyebelin!” rajuk Syila sambil membalikkan badan, membelakangi Raka.
Raka menoel-noel pipi Syila, tak pelak Syila menepisnya. “Ngambek, nih ceritanya. Jangan marah, dong nanti kakak beliin kamu es krim, deh,” bujuk Raka mencoba bernegoisasi.
“Beneran?!” Syila membalikkan badan cepat menghadap Raka. Matanya berbinar-binar saat mendengar Raka menyebut es krim.
Raka mengacak rambut Syila dengan gemas. “Katanya dewasa tapi denger es krim aja, langsung heboh kayak anak kecil,” cibir Raka.
Syila mengerucutkan bibir kesal. Tentu saja ia sangat kesal jika Raka mulai menggodanya dan menyangkut-pautkan dirinya yang masih seperti anak kecil. Jelas-jelas ia sudah dewasa, sudah punya Kartu Tanda Penduduk pula.
“Aww!!!”
Raka dan Syila terkejut. Ketika mereka melihat Felisya terduduk di dekat tangga sambil memegangi kaki kanannya yang masih diperban.
Mereka berdua dengan sigap menghampiri Felisya. Raka langsung membantunya berdiri. Memapahnya menuju sofa terdekat. Felisya meringis kesakitan.
“Tahan,'' tukas Raka panik.
Felisya mengangguk. Di belakang mereka, Syila membawa kruknya. Ia terlihat sangat khawatir dengan kondisi Felisya.
“Sakit banget?” tanya Raka setelah mendudukkan Felisya di sofa, tempat di mana Raka duduk sebelumnya.
Felisya mengangguk, ringisannya belum sepenuhnya menghilang.
“Kakak nggak apa-apa, kan?” tanya Syila khawatir.
“Gak apa-apa.”
“Kamu itu masih sakit sok-sokan jalan sendiri,” kata Raka sambil berjongkok di depan Felisya untuk mengecek kakinya yang diperban.
Felisya mendengkus. Harusnya Raka khawatir, bukan malah menceramahinya.
“Aku bosan di kamar terus. Makanya aku keluar kamar. Cari udara segar,” sangkal Felisya dengan ketus.
“Kamu bisa, kan minta tolong orang lain?”
“Aku nggak mau ngrepotin,'' kekeh Felisya.
Raka menghela napas. Ia tahu ia akan kalah berdebat dengan Felisya. Sebuah ide terlintas begitu saja di pikiran.
“Gimana kalau aku ajak kamu ke taman hiburan?”
“Emang boleh?” wajah Felisya langsung semringah.
Raka mejawil ujung hidung Felisya. ”Aku nggak mau sahabatku yang satu ini depresi lalu jadi zombie.”
Felisya mencubit perut Raka kencang. Hingga membuat Raka terpekik kesakitan.
“Gak segitunya kali ....” Felisya cemberut.
“Hahaha ....” Tawa Raka meledak.
***
Sepanjang perjalanan, Felisya dan Raka terus berbicara dan sesekali tertawa bersama. Syila yang duduk di jok belakang mobil memandangi keakraban mereka. Sama sekali tidak mengajaknya ikut dalam perbincangan. Sepertinya ia cuma dijadikan obat nyamuk.Tak apalah. Asalkan kakaknya bisa tersenyum bahagia dia juga turut bahagia. Ya, walaupun hubungan mereka tak seperti dulu setidaknya kakaknya tak sebenci saat di rumah sakit.Felisya juga mulai mengajaknya bicara, meski tak sesering dulu. Menurut Syila itu sudah kemajuan yang baik untuk hubungannya dengan Felisya.Tak terasa mobil telah sampai di parkiran sebuah taman hiburan. Raka langsung membantu Felisya keluar dari mobil. Syila juga turut keluar sambil membawa kruk. Setelah mengantri membeli tiket, berbagai wahana langsung tertangkap mata, ketika mereka memasuki taman hiburan itu.Felisya terlonjak senang. “Aku mau naik r
Hidup dalam bayang-bayang masa lalu, mungkin terasa menyakitkan hingga untuk bernapas pun sulit. Namun, sanggupkah untuk mengelak, sementara hidup harus terus berjalan?***"Syil."Resti menyenggol lengan Syila cukup keras hingga pekerjaannya menata kursi terganggu dengan kehadiran Resti di sampingnya. Ia melempar ekspresi kesal, sedangkan Resti nyengir lebar."Dari tadi Chef Julian ngeliatin kamu terus," goda Resti sambil memainkan alisnya naik turun.Benar saja saat pandangan Syila menangkap sosok itu, pria itu sedang mengamatinya dengan menyilangkan kedua tangan di dada. Rasanya Syila mulai jengah."Apaan, sih Res," ucap Syila sebal. Kembali ia melanjutkan pekerjaannya menata kursi."Baru kali ini lho, aku lihat Chef Julian mandangin cewek seintens itu." Resti masih belum menyerah untuk terus menggoda.
Keesokan harinya, sebuah mobil Range Rover hitam terparkir tak jauh dari gerbang kos-kosan. Kedatangannya menarik perhatian penghuni kos lainnya yang sebagian besar wanita. Bisik-bisik mulai terdengar saat pemilik mobil itu keluar.Seorang pria blasteran, berkemeja biru dongker, memakai celana jeans dan kacamata hitam bertengger di hidungnya yang mancung. Menambah kadar kemaskulinan sang lelaki hingga membuatnya menjadi dambaan kaum hawa. Apalagi garis rahang yang membingkai wajah serta cambang yang membuat siapa pun yang melihatnya tak akan mampu menahan decakan kekaguman.Saat lelaki itu membuka kacamata hitamnya, tak terelakkan lagi teriakan demi teriakan tertahan dari gadis-gadis yang sengaja mencuri kesempatan menarik perhatian si lelaki. Sayangnya, ia tak mengindahkan.Yang ia pedulikan adalah sesosok tubuh mungil keluar dari gerbang. Rambutnya yang tergerai mempercantik penampilannya yang hanya memakai
Teramat dalam luka yang tertoreh, hingga kepercayaan pun sukar 'tuk tergenggam.***Sepasang kekasih itu melangkah penuh percaya diri. Tak peduli jika mereka menjadi pusat perhatian semua orang. Kemesraan yang mereka ciptakan, membuat semua orang diam-diam merasa iri. Secara keduanya memiliki fisik yang sempurna. Cantik dan tampan. Wajar jika mereka semua merasa iri melihatnya. Seolah keduanya memang sengaja diciptakan sebagai sepasang kekasih yang sempurna.Keduanya sudah terbiasa mendapatkan tatapan itu selama satu tahun hubungan mereka berlangsung. Berjalan bersama di tempat umum, saling berpegangan tangan tanpa niatan untuk melepaskan adalah momen romantis yang sering mereka tunjukkan di depan umum.Pandangan iri dari orang-orang itu terputus, tatkala sepasang kekasih itu masuk ke sebuah toko perhiasan. Langsung saja mereka disambut oleh seorang wanita cantik."Hai, Felisya.
Sudah sepuluh menit Resti berdiri di depan kamar Syila. Berkali-kali ia mengetuk pintu kamarnya. Namun, tak ada respons. Semenjak kepulangan Syila, Resti merasa ada yang tidak beres dengan Syila. Ia ingin bertanya pada Syila apa yang sudah terjadi padanya. Namun, pertanyaannya tak sempat ia ucapkan. Pasalnya, Syila langsung mengurung diri dan tak mau keluar.Lamat-lamat ia mendengar suara tangisan tertahan dari dalam. Resti menghentikan aksi mengetuk pintu. Ia sadar jika Syila butuh waktu untuk menyendiri dan sekarang bukan waktunya ia untuk bertanya. Mungkin nanti jika Syila sudah merasa tenang."Bagaimana?" tanya Julian.Semenjak ia mengikuti taksi yang membawa Syila pergi dari Cafe Orchid, rasa khawatir terus melanda Julian. Ia takut jika Syila kenapa-kenapa makanya ia terus mengikuti taksi itu. Julian sangat lega ternyata Syila pulang ke kos-kosannya dan sekarang ia menyusul Resti karena ia tak sabar menunggu di luar. Hanya untuk
Seberapa keras pun kamu menghapus rasa cintamu terhadapnya, tetap akan sia-sia. Sekalipun berhasil tetap masih ada cinta yang tertinggal.***Sejak kejadian di Cafe Orchid, Syila berubah menjadi sosok yang sangat dingin dan sulit tersentuh. Resti menyadari perubahan itu. Masa lalu Syila memang mengubahnya menjadi gadis yang jarang tersenyum, datar dan sedikit bicara.Kali ini Syila sudah sangat keterlaluan. Dia membangun benteng tak kasat mata yang berdiri kokoh dan sulit tertembus oleh siapa pun. Bahkan, Resti tidak melihat ada sinar kehidupan sedikit pun di kedua bola mata Syila. Seolah raganya hidup, namun jiwanya telah mati.Syila semakin jarang mengajak Resti mengobrol. Itu pun ia lakukan jika ia membutuhkan sesuatu atau bertanya soal tugas kuliah. Selebihnya, Syila memendamnya sendiri. Resti
Entah apa yang membawanya berada di depan Restoran Gergeous. Mungkin, satu hal yang ia tahu bahwa hatinya penuh dengan perasaan ambigu. Antara percaya dan tidak. Pikirannya juga penuh dengan pertanyaan-pertanyaan yang akhir-akhir ini mulai mengganjal.Tarikan napas adalah hal yang pertama ia lakukan untuk meyakinkan diri bahwa jawaban atas pertanyaannya ada di sini. Setelah ia yakin dengan keputusannya adalah tepat, ia melangkah, memasuki restoran itu.Seorang laki-laki yang menjabat sebagai manajer restoran datang menghampiri. Manajer itu sangat mengenal baik sosoknya."Selamat datang, Pak Raka. Ada yang bisa saya bantu?" sapa manajer itu dengan ramah."Aku ingin bertemu langsung dengan Julian. Dia ada?" ucap Raka datar."Tentu. Beliau sedang berada di ruang kerjanya di lantai tiga.""Bisa kau antar aku ke ruangannya?""Silakan ikuti say
Mungkin kamu telah melepasku. Membiarkan mata hatimu tertutup oleh kabut dusta. Namun, biarlah aku tetap meraihmu sekalipun kau memilih tuk pergi menjauh. ***Uh!Kalau saja Resti tidak melarikan diri setelah kelas usai, Syila tidak akan membawa terlalu banyak buku tebal yang ia pinjam di perpustakaan kampus sebagai referensinya untuk mengerjakan tugas makalah.Ia pasti menyuruh Resti untuk membantu membawakannya dan jika Syila bertemu dengan Resti nanti, dia pastikan sahabatnya itu akan mendapatkan balasannya nanti.Karena sibuk merutuki sahabatnya itu, tanpa sadar ia menabrak seseorang. Akibatnya buku-buku di tangannya jatuh berserakan di lantai koridor. Syila menunduk. Memungut buku-bukunya satu per satu tanpa melihat siapa yang ia tabrak.“Maaf ...
TV plasma 21 inch itu menayangkan acara komedi di channel lokal. Kendatipun volume suara lumayan keras, telinga Syila seolah kedap suara. Matanya mungkin menyorot penuh ke layar TV, tetapi tidak dengan pikirannya. Sebelumnya kekhawatiran diam-diam menyelusup. Menunggu dengan tak sabar kedatangan Raka. Harusnya ia bertanya lebih spesifik Raka kembali pada jam berapa. Kalau ia tahu kan ia tak secemas ini dan lagi jika ia bisa menghubungi Raka minimal lewat telepon, sayangnya ia tak tahu nomornya. "Sedang melamun?" Syila terlonjak dari duduknya, adrenalinnya meningkat drastis seirama dentuman jantungnya yang bekerja ekstra. "Kak Raka!" sahutnya cepat bercampur kesal. Raka tertawa kecil. Ia duduk di samping Syila dan memandangnya dengan hangat. Usapannya pada kepala Syila melenyapkan kerisauan Syila terhadapnya. "Kakak ke mana saja? Aku sendirian di sini. Menunggu Kak Raka yang tidak datang-datang membuatku gelisah." ketus Syila. "Merindukanku, heh?" Raka terkekeh. Reaksi salah tin
Syila terbangun dari tidurnya. Mengerjap beberapa kali selagi ia mengumpulkan nyawa. Dalam detik berikutnya matanya melotot, serampangan ia bangun dan terduduk dengan mata menelusuri tubuh yang mendengkur halus di sampingnya. Ia tak mempercayai apa yang ia lihat. Namun, tak ada keraguan untuk menyimpulkan bahwa ini nyata. Raka bukan mimpi belaka. Semburat merah muncul di pipinya mengingat ia memeluk Raka dalam tidur. Saking sibuknya Syila dengan pergolakan batinnya tentang sosok Raka yang terasa seperti bayangan semu, ia tak menyadari jika Raka telah bangun. Kini Raka memandangnya penuh minat. Untuk pertama kalinya ia bisa tidur sepulas ini dalam kurun waktu dua tahun dan hal pertama yang ia lihat saat membuka mata adalah disambut wajah cantik pujaan hatinya. Hatinya langsung dibanjiri perasaan kebahagiaan. Ingatkan ia untuk membuat sebuah janji seumur hidup, karena ia akan melakukan apa saja demi melihat Syila, hal pertama kali yang ia lihat ketika membuka mata dari tidurnya. "Pagi
Jalanku adalah menujumu. Bahagia dan kepedihanmu adalah bahagia dan kepedihanku. ***Pagi ini teramat buruk bagi Karin sepanjang ia berada di London atau bahkan mungkin dalam hidupnya. Di samping badannya yang dipaksa tidur semalaman di sofa panjang yang menimbulkan pegal dan sakit, insomnia dan hipotermia juga turut menyerangnya.Satu-satunya ranjang di kamar itu dikuasai sepenuhnya oleh dua sejoli yang sedang dimabuk romantika. Terkutuklah dengan yang namanya cinta. Rasanya ia ingin menghancurkan sesuatu sampai hancur sehancur-hancurnya. Itu salah satu perwujudan dari kegerahan hatinya yang bertentangan dengan suhu udara kota London yang minus di bawah nol derajat.Kau iri kan? Karin mengernyitkan dahi mendengar kata hatinya. Apa mungkin ia merasa iri melihat Syila dan Raka tidur saling berpelukan? Lantas cemburu karena kebalikan dengan kisah perjalanan cintanya yang berliku dan berakhir tragis? Tidak! Tidak! Mungkin itu efek dari insomnia."Berhenti berpikiran yang tidak-tidak Kar
"Tidak ada yang akan menyakitimu lagi. Aku janji ini terakhir kalinya kamu menderita." Kehangatan rengkuhan itu membungkus Syila dalam kedamaian. Menciptakan rasa aman. Melindunginya dari ketakutan. Namun, lambat laun rengkuhan itu terurai, jarak pun tercipta. Kepanikan tak ayal melingkupi Syila tatkala bayangan Raka menjauh. Senyuman itu terkembang untuk Syila hingga akhirnya tenggelam dalam kegelapan. "Tidak! Jangan pergi!" teriak Syila. Tangannya menggapai-gapai udara kosong. Tangisnya pecah, gagal menarik tangan itu yang tak tampak lagi. Kegelapan pun perlahan semakin menelannya. Syila tersentak. Terduduk dalam ranjangnya dalam keadaan napas tersengal. Peluhnya bercucuran membingkai wajahnya yang memancarkan ketakutan. Matanya nyalang menatap ke sekeliling. Cahaya temaram berasal dari lampu tidur di nakas samping ranjang yang menemaninya. Dia Sendirian. Ia mengusap peluhnya di dahi lantas terisak pelan. Tidak ada rengkuhan. Tidak pula dengan adanya sosok Raka. "Jadi, itu hanya
Saat tangan ini merengkuhmu, saat itu pula kepingan hati yang telah lama menghilang, kembali dalam genggaman. Melengkapi hati yang telah lama mati sejak aku melepasmu pergi. ***"Akhirnya aku menemukanmu." Rengkuhannya pada Syila kian mengerat. Tubuh Syila pun bergetar. Jantungnya tak beraturan bergemuruh. Mengalun di antara sunyi senyap. Setetes cairan hangat mengalir. Begitu pula suara tangisnya yang tertahan."Jangan menangis." Lembut suara itu, namun makin membuat Syila sulit mengontrol tangis.Pundak Syila diputar lembut. Syila tak sanggup mengangkat kepala, menolak jika ilusinya memang benar adanya. Karena benaknya terus saja meneriaki kata tak mungkin berulang kali.Namun, saat jemari itu menghapus jejak air matanya. Tangan itu pulalah yang perlahan mengangkat dagu Syila. Kedua matanya mencoba mengerjap, meniadakan kekaburan. Ia terhenyak tatkala senyuman itu tertarik untuknya. Keyakinannya akan sosok di depannya belumlah sepenuhnya terkumpul. Tangannya bergerak mengusap pipi
Telapak tangannya terjulur. Merasakan dinginnya sekaligus kelembutan salju yang berjatuhan di telapak tangan. Senyumnya mengembang, walau tak selebar dulu. Sweater yang ia kenakan tak membantu sama sekali untuk mengusir rasa dingin, padahal sejak kemarin ia tak merasakan dingin seekstrem ini. Mungkin kekacauan pikirannya dan bahaya yang menghadang mematikan saraf kulitnya.Keterpaksaan untuk menelan kepahitan hidup membuatnya nyaris menyerah. Kalaupun ia tetap bangkit, untuk siapa ia harus berjuang. Ia sendirian. Semua orang meninggalkannya. Kecuali, Resti. Bagaimana ia bisa melupakannya. Kesadarannya itu memunculkan kerinduan untuknya. Pasti sahabatnya itu sangat khawatir dan tentunya akan berusaha mencarinya.Syila mendesah. Tangannya menyentuh dinginnya birai pembatas balkon, lantas menatap langit abu-abu. Mendadak ia bersin. Tangannya mengusap hidungnya yang terasa gatal. Syila mendesah. Kenapa baru sekarang ia terserang flu.Dulu, flu sesuatu hal yang sangat tak disukai Syila dan
Karin berulang kali mendesah. Kakinya begitu lihai membawanya ke depan pintu sebuah kamar hotel. Padahal hatinya terus mengelak. Kalau bukan karena merasa kasihan pada Syila dan ingin membantunya, demi apa pun di dunia ini ia tidak akan sudi merendahkan diri muncul di depan pria brengsek itu.Karin bergelut dengan pikirannya. Dan pada akhirnya ia menyerah dan berinisiatif mengorek informasi kepada resepsionis hotel. Sempat terjadi perang urat saraf dengan wanita pirang bermulut nyinyir—julukan Karin pada resepsionis tersebut—ia akhirnya mengetahui Julian Alexander Widjaya ternyata menginap di hotel yang sama dengannya.Lagi-lagi Karin mengurungkan niat untuk mengetuk pintu. Ia merasa sangat bodoh, berdiri di depan pintu hanya untuk menenangkan dentuman jantungnya yang berisik. Sebenarnya ia belum siap untuk berhadapan dengan Julian. Mengingat betapa ia terburu-buru me-judge Julian sebelum mengetahui fakta yang sesungguhnya. Lantas mencaci makinya tanpa ampun. Ia benar-benar tidak puny
Syila benar-benar merasa bingung dengan serentetan pertanyaan tanpa henti yang diajukan Karin padanya. Pertanyaannya adalah kenapa laki-laki itu dikait-kaitkan? Dan pada kenyataannya tidak ada hubungannya sama sekali.“Jawab!” tuntut Karin, lalu ia berkata dengan marah, “nanti biar aku yang akan membalas semua perbuatannya!”Syila mengerutkan dahi, ia mencerna semua kalimat yang terucap dari Karin. Lantas ia menyimpulkan satu hal bahwa Karin telah salah paham. “Kakak salah paham.”“Hah?” Karin melongo. Buru-buru ia membekap mulutnya dan melotot tajam. “Maksudnya?” tanyanya tolol.“Bukan Kak Julian, tapi ....” tiba-tiba tenggorokan Syila seolah disumpal benda tajam, terasa sakit dan napasnya pun tersendat-sendat layaknya dicekik tangan-tangan transparan.Karin memandangi buliran air mata yang meleleh di sudut mata Syila. “Tidak apa-apa kalau kamu tak bisa mengatakannya.” Karin bergerak merengkuh pundak Syila, sementara ia tak kuasa menahan gejolak kesedihan berupa isak tangis.Syila me
Syila benar-benar merasa bingung dengan serentetan pertanyaan tanpa henti yang diajukan Karin padanya. Pertanyaannya adalah kenapa laki-laki itu dikait-kaitkan? Dan pada kenyataannya tidak ada hubungannya sama sekali.“Jawab!” tuntut Karin, lalu ia berkata dengan marah, “nanti biar aku yang akan membalas semua perbuatannya!”Syila mengerutkan dahi, ia mencerna semua kalimat yang terucap dari Karin. Lantas ia menyimpulkan satu hal bahwa Karin telah salah paham. “Kakak salah paham.”“Hah?” Karin melongo. Buru-buru ia membekap mulutnya dan melotot tajam. “Maksudnya?” tanyanya tolol.“Bukan Kak Julian, tapi ....” tiba-tiba tenggorokan Syila seolah disumpal benda tajam, terasa sakit dan napasnya pun tersendat-sendat layaknya dicekik tangan-tangan transparan.Karin memandangi buliran air mata yang meleleh di sudut mata Syila. “Tidak apa-apa kalau kamu tak bisa mengatakannya.” Karin bergerak merengkuh pundak Syila, sementara ia tak kuasa menahan gejolak kesedihan berupa isak tangis.Syila me