Benar kata Dokter Farah, Ben sangat baik. Dia banyak sekali berbicara, sehingga Raisa tidak merasa rikuh saat bersama sang atasan.
Ben melihat jam di tangannya, lalu mengalihkan pandangan ke arah Raisa yang tengah sibuk memeriksa berkas.
"Raisa, waktunya makan siang."
"Sebentar lagi, Pak. Tanggung." Raisa menjawab dengan mata tetap fokus pada berkas di depannya. Tangannya cekatan membuka lembaran-lembaran berkas.
Ben bersyukur memiliki bawahan seperti Raisa. Perempuan itu begitu rajin. Tidak seperti asisten sebelumnya.
Ben mendekat ke arah Raisa, dua tangannya menyentuh ujung meja. Merasakan ada seseorang di dekatnya, Raisa menengadahkan wajah.
"Ada apa, Pak?" tanya Raisa, penasaran.
Yang ditanya malah tersenyum dengan penuh arti. Raisa mengernyit bingung, hingga kemudian tatapan lekat itu membuat perempuan itu merasa jengah.
"Aku ingin kamu menemaniku makan siang."
Raisa menyengir, menganggap ucapan Ben hanyalah g
"Kun, papa tunggu di rumah.""Ada perlu apa, Pa? Kun sedang ada janji," jawab Kun yang tengah mengemudikan mobilnya. Dia harus segera ke rumah Delila. Perempuan itu merengek ingin diajak jalan-jalan sejak tadi."Pulang, papa ingin bicara." Sanjaya bekata datar."Bicara saja, Pa ...."Sambungan telepon terputus. Kun menahan geram mendapati papanya sangat bersikukuh agar dirinya pulang. Dia sudah dapat menduga-duga apa pemicu sikap Sanjaya yang terkesan marah.Sementara, pesan WhatsApp dari Delila berjejal. Kun hanya memandang pesan-pesan tersebut tanpa berniat membacanya, kemudian pria itu memutar balik kendaraan.Hari sudah gelap ketika Kun sampai di depan pagar. Lisa segera menghambur ke arah pagar begitu terdengar pekikan klakson. Perempuan itu menarik pagar.Di ruang tamu, Sanjaya bergelut dengan pikirannya yang berkecamuk sejak tadi. Bagaimana mungkin Kun bisa menceraikan Raisa seperti ucapan Bi Imas?Setelah didesak agar a
Raisa segera menghambur ke arah Sulaiman yang menatapnya dengan tatapan tajam. Gamang, Raisa bergelut dengan ragam tanya yang tiba-tiba memenuhi benak."Bapak kapan datang?" Raisa mengulurkan tangan.Namun, bukan sambutan yang Raisa dapat, jutru tamparan keras menghantam pipi halusnya."Raisa!" Dokter Farah berseru panik, lalu menghampiri Raisa.Wajah Raisa tertoleh ke arah kiri sebab tamparan sang bapak. Pipi itu terasa panas, tapi lebih panas lagi hatinya saat ini. Raisa sudah dapat meraba apa yang sedang terjadi. Perempuan itu menegakkan kepala, memberanikan diri menatap wajah nanar Sulaiman."Kamu telah mecoreng nama bapak!""Apa ... maksud Bapak?""Kamu selama ini membohongi bapak. Kenapa, Raisa? Kenapa!" teriak Sulaiman.Raisa menggeleng. Air matanya mengucur deras."Pak ... dengarkan Raisa. Raisa tidak pernah ....""Jangan mencoba-coba membohongi bapak lagi!" Sulaiman mengacungkan jari telunjuk tepat di dep
Layaknya hari-hari sebelumnya, Raisa menjalani hidup dengan lebih ringan. Beban-beban yang selama ini memenuhi kepala, satu-persatu terurai.Pada saat jam istirahat, Raisa terpikirkan pada percakapannya dengan Pras tempo hari. Tentang janji makan siang bersama. Pras tidak menagih, tapi entah kenapa Raisa ingin sekali bertemu dengannya. Beberapa hari ini, mereka hanya berpapasan tanpa ada kalimat terlontar. Hanya berbalas senyum, tidak lebih.Raisa meraih ponsel di atas mejanya. Mengetik sesuatu untuk Pras.[Sibuk?]Pesan masuk. Tak butuh waktu lama, balasan dari Pras masuk. Sontak senyum Raisa terpantik.[Tidak. Kenapa?][Bagaimana kalau kita makan siang bareng?]Pesan terbaca, tetapi hingga beberapa detik Pras tak kunjung membalas. Raisa yang tidak sabar, kembali mengirimi pesan.[Kalau tidak bisa, tidak apa]Tak berselang lama, Pras membalas.[Oke, kita ketemu di kantin]Raisa tersenyum. Ini begitu
Seseorang keluar dari ruangan di mana Raisa berada. Perempuan dengan setelan seragam warna putih tersenyum ramah pada Pras yang buru-buru berdiri dengan wajah panik. Dia adalah dokter kedua yang menangani Raisa. Sebelumnya dokter pria dengan kacamata minus."Bagaimana keadaan Raisa, Dok?""Keadaannya baik-baik saja. Selamat, ya, Pak. Istri anda hamil," ucap dokter itu dengan wajah semringah.Sementara, Pras hanya bisa menelan ludah. Istri? Itu adalah mimpinya dulu."Terima kasih, Dok," ucap Pras pelan.Dokter di hadapan Pras mengangguk, sebelum kemudian berderap pergi. Pras masuk untuk menemui Raisa. Perempuan itu menatap haru pria yang tengah berjalan mendekat dengan senyum terulas tipis.Ternyata Pras yang telah menbawanya ke sini. Saat tadi menunggu ojek pesanannya, Raisa merasakan perut mual dan kepalanya sangat pusing. Perlahan, segala yang terlihat seperti bergelombang. Hingga akhirnya dia terjatuh di kursi yang didudukinya dan pandang
"Nanti malam ada meeting dengan klien," kata Ben.Raisa segera mencatatnya tanpa mengeluarkan sepatah kata pun."Kamu tidak mau tanya di manaa, jam berapa dan apa-apa yang harus disiapkan?" Ben mengeluarkan suara lagi. Dahinya berkerut dalam. Entah kenapa ada yang aneh dengan Raisa pagi ini, padahal sebelum-sebelumnya perempuan itu terlihat ceria. Ben bertanya-tanya adakah hal yang dilakukannya sehingga membuat Raisa berubah?Raisa mengalihkan pandangan kepada Ben dan berusaha tersenyum."Kalau ada apa-apa cerita," kata Ben setelah melangkah mendekati Raisa."Tidak ada, Pak." Raisa menjawab. Sekali lagi senyum ramah berusaha dia suguhkan meski mungkin tampak ganjil dipandangan Ben."Benar? Apa aku ada salah?" Ben memastikan.Raisa menggeleng cepat, meski sebenarnya ada beberapa unek-unek yang selama ini mengganggu hati terkait sikap Ben padanya. Namun, tidak elok rasanya jika Raisa mengeluarkan. Hal itu tentu akan membuat
Hari ini, Raisa hendak ke kampung mengunjungi keluarganya. Sebenarnya, Raisa ingin sekali mengajak Dokter Farah ikut serta, tapi dokter Farah menolak. Dia ingin beristirahat dan melakukan beberapa kegiatan."Lain kali saja, Raisa. Masih banyak waktu," kata Dokter Farah.Raisa membuang napas malas, lalu menyahut, "Mbak terlalu sering menunda. Makanya sampai saat ini masih jomlo."Dokter Farah tertawa mendengar dirinya disindir."Dih, nyindir. Siapa bilang aku jomlo?""Aku!""Kan, enggak semua harus dibeberkan," kata Dokter Farah keceplosan."Hah?! Jadi Mbak Farah sudah punya cowok?" tanya Raisa dengan gurat serius.Dokter Farah menyengir sambil menggaruk tengkuk. Memang dirinya saat ini sedang dekat dengan seseorang. Namun, mereka hanya sebatas teman, meski Dokter Farah merasakan jika lelaki tersebut menyimpan rasa yang sama. Jadi, dia tidak ingin bercerita terlebih dahulu kepada Raisa sebelum ada hubungan jelas."E
Mobil yang dikendarai Pras dan Ayu melaju tenang memasuki sebuah desa. Perempuan di samping Pras mengedarkan pandangan pada sekeliling dengan senyum merekah. Baru kali ini dia ke sini, jadi wajar rasa ingin tahunya sangat besar.Pras memandang wajah itu, dan dia baru tersadar jika Ayu sangat cantik. Tahi lalat di bawah bibir membuat perempuan itu tampak semakin manis, apalagi saat tersenyum. Tidak hanya itu, Ayu juga memiliki sifat yang sangat ramah.Selama ini Pras menganggap keberadaan Ayu tak lebih dari teman kerja. Padahal jelas-jelas sikap Ayu menunjukkan jika perempuan itu memiliki rasa pada Pras.Kedatangan Raisa juga sempat menyita perhatian Pras. Dirinya sadar jika rasa itu masih bercokol di hatinya, tetapi kenyataan bahwa Raisa telah dimiliki membuatnya memaksa hati untuk menjauh.Pras berpikir sudah saatnya dia memulai hidup baru. Hidup bersama dengan orang yang benar-benar mencintai dan bersedia menerimanya apa adanya. Wanita itu adalah
"Raisa." Terdengar seseorang menyapa.Raisa mengalihkam pandangan pada Ben yang mendekat ke arahnya. Tanpa disuruh pria itu menarik kursi di depan Raisa dan mendudukinya. Gurat wajahnya tampak khawatir, membuat kepala Raisa ditumbuhi tanya."Kenapa kamu masuk kalau masih belum baikan?"Kening Raisa berkerut dalam, bertanya-tanya kenapa Ben tiba-tiba bertanya seperti itu."Aku baik-baik saja, Kak.""Mulai besok kamu tidak perlu masuk kantor. Kamu istirahat saja di rumah.""Tapi, Kak ....""Aku akan membayar utuh gaji kamu. Tenang saja."Raisa merasa tidak nyaman. Selama ini Ben terlalu bersikap berlebihan padanya. Dia seolah menganakemaskan Raisa, berbeda dengan sikap pria itu terhadap karyawan lain. Ya, meski Raisa tahu ada motif tersembunyi dari segala sikap atasannya tersebut."Persalinanku masih tiga bulan lebih, Kak." Lagi, Raisa mencoba menolak permintaan Ben.Ben menghela napas dalam-dalam, lalu
Saat itu, setelah mendapatkan kecewa lagi dari perempuan yang sangat dicintainya, Ben langsung pergi begitu saja, tidak menghiraukan panggilan Raisa.Beberapa hari terakhir, pria itu juga tidak masuk kantor. Raisa semakin gelisah sebab nomor Ben tak dapat dihubungi.Raisa berjalan menuju sebuah rungan di mana Pras berada. Barangkali dia tahu di mana keberadaan Ben kini."Pak Ben tidak masuk kerja beberapa hari. Kamu tahu dia ke mana?""Ben sedang ke luar negeri. Aku tidak tahu pasti ada urusan apa," jawab Pras.Raisa tersenyum dan berterima kasih. Lalu dia berderap keluar ruangan.Waktu pulang tiba. Rasa penat yang mendera kian bertambah saat Dokter Farah menunjukkan sebuah foto.Raisa membekap mulut saat tiba-tiba dadanya terasa terhimpit."Ini Pak Ben, bukan?" Dokter Farah awalnya ragu untuk memberi tahu Raisa. Namun, jika mendiamkannya, sama halnya dengan mengkhianati Raisa.Raisa tak mampu berkata-kata, dia han
Ben tidak kuasa menahan cemburu saat Raisa bertemu Kun. Bayangan Kun ketika membingkai wajah Raisa bergelantungan di matanya. Kejadian empat hari lalu itu benar-benar membuat hatinya perih.Ben mendengkus, sebelum akhirnya Raisa masuk dengan membawa sebuah baki berisi segelas teh dan kudapan."Ada apa?" tanya Raisa. Perempuan itu mengambil posisi duduk di depan Ben."Tidak ada apa-apa, Raisa." Ben berbohong.Raisa mengangguk dengan senyum lembut tersungging. Kemudian dia berlalu dari hadapan Ben.Tadi pagi, Sanjaya mengabarkan pada Raisa jika Kun akan dibawa pulang besok. Berkat Raisa yang selalu datang menemui Kun, kondisi pria itu berangsur pulih.Sementara, Raisa merasa ragu untuk memberi tahu Ben jika setiap hari dirinya mengunjungi Kun. Takut pria itu cemburu.Setelah mempertimbangkan, Raisa memutuskan untuk tetap merahasiakannya pada Ben. Dia yakin sebentar lagi Kun akan kembali seperti sediakala dan dirinya tidak perlu mengunju
Sanjaya semringah melihat Kun tersenyum. Sudah sangat lama dirinya tidak melihat sang anak segembira itu. Hampir setiap malam, Kun mengalami mimpi buruk.Lalu saat terjaga, maka yang selalu disebut adalah nama Raisa. Hingga sakit yang diderita Kun semakin parah dan tubuhnya semakin kurus.Beberapa psikiater sudah dikunjungi. Akan tetapi, tidak ada hasil signifikan. Semua menyarankan agar Kun dipertemukan dengan seseorang yang selalu disebutnya.Semakin hari, Kun semakin aneh. Nama Raisa selalu diracaukan olehnya. Terkadang, ketika melihat seorang wanita berhijab, maka dia tersenyum girang dan sambil berseru nama Raisa. Begitu mendekat, maka senyum itu menguncup."Raisa ...."Raisa yang sejak tadi melamun, menoleh ke arah Sanjaya di sampingnya. Menunggu kalimat lanjukan yang akan dikatakan oleh pria itu.Hari sudah hampir gelap. Sesuai janjinya, Sanjaya akan mengantar perempuan itu pulang."Terima kasih," ucap Sanjaya.
Seorang diri, Ben termenung meratapi betapa sialnya nasibnya. Setelah sekian lama berjuang untuk mendapatkan cinta Raisa, dia kira semuanya akan berjalan mulus sesuai harapan. Nyatanya anggapannya meleset. Pada saat makan malam waktu itu, setelah kedua orang tuanya tau jika Raisa janda dan sudah memiliki anak, mereka dengan lantang mengutarakan ketidaksetujuan pada hubungan Ben dan Raisa. "Pokoknya Mama tidak setuju kamu menikah dengan Raisa!" Ben yang sudah melihat jejak tidak mengenakkan di wajah sang mama, menghela napas panjang. Dia menggeleng pelan dengan kepala terasa berdenyut. "Apa yang salah dengan dia, Ma?" Ben bertanya dengan suara keras dan dahi mengkerut, sekilas menatap sang Papa yang hanya menyimak dengan mata fokus pada layar televisi yang tengah menampilkan berita. "Apa kamu sudah tidak waras, Ben? Tidak adakah wanita yang masih gadis?" Perempuan itu menatap nanar wajah sang anak. Ben membuang napas. Dia sangat t
Raisa mematut diri di depan cermin. Saat ini, dia merasakan jantungnya berdetak lebih kencang. Ben akan memperkenalkan dirinya kepada orangtua pria tersebut. Entahlah, ini benar-benar membuat dia gugup.Setelah segalanya siap, Raisa menoleh kepada Nadia di dalam box bayi. Perempuan anggun itu menatap wajah polos sang bayi. Tiba-tiba berkelebat wajah pria yang sangat familier saat melihat sang anak. Ya, wajah bayi itu begitu mirip dengan Kun.Teringat kembali tentang permintaan Sanjaya dua hari lalu agar menemui Kun, Raisa merasa kepalanya berdenyut. Itu adalah kunjungan Sanjaya yang kedua kalinya dengan permintaan sama."Apakah Kun benar-benar sakit? Atau ini hanya akalan mereka saja?" Raisa memijit pelipis sebelum akhirnya sebuah ketukan pintu terdengar."Masuk," kata Raisa.Rahmi masuk dan langsung berkata, "Pak Ben menunggu di ruang tamu."Raisa mengerutkan kening lalu buru-buru melihat ponsel. Benar saja, ada dua panggilan tak terjawab d
Raisa dan Ben memasuki sebuah restoran mewah bergaya Italia yang sudah terlihat ramai oleh pengunjung. Raisa berjalan di samping Ben yang kini memasuki lift. Keduanya tiba di lantai tiga tak lama kemudian berjalan menuju lift. Mereka menuju lantai tiga. Ruangan luas dengan dinding nyaris seluruhnya kaca itu tidak seramai di lantai dasar.Dari sana, Raisa dapat melihat kendaraan yang padat merayap di jalanan. Ben menuju meja di dekat kaca. Tak lama setelah mereka duduk, waiter datang dengan menyerahkan buku menu setelah sebelumnya menyapa dengan begitu ramah."Mau makan apa?" Ben bertanya, membuat Raisa yang sebelumnya melempar pandangan ke luar menoleh ke arah pria di depannya."Apa saja." Raisa menjawab sekenanya, lalu kembali mengarahkan pandangan pada semua objek yang tertangkap mata di luar.Ben mengembuskan napas, kemudian memberitahu waiter menu yang dia pesan."Kamu sepertinya lebih tertarik memandang keluar daripada ke sini," celetuk Ben.&n
Raisa meraih sebuah kunci yang berada di balik selarik kertas kecil. Ragam tanya berkelindan di benak, sebelum akhirnya dirinya menemukan jawaban pada kertas yang ternyata berisi tulisan dari Sanjaya."Raisa, terimalah ini. Ini kunci rumah yang berada di pusat kota. Rumah itu papa hadiahkan untukmu dan Nadia. Papa tahu, itu tidak akan pernah sebanding dengan apa yang telah kami perbuat padamu."Raisa terduduk dengan perasaan campur aduk. Senang? Tidak sama sekali. Bahkan perempuan itu merasa terbenani dengan pemberian Sanjaya. Dengan menerima hadiah besar itu, sama saja dengan membiarkan dirinya dillit hutang budi.'Ah, berpikirlah logis, Raisa! Dia itu bukan Kun. Lagi pula, Sanjaya adalah kakek dari Nadia.'Raisa mengusap wajah sebelum akhirnya terdengar ketukan. Daun pintu melebar setelah dirinya menyuruh Rahmi untuk masuk. Baby sitter Nadia itu berjalan pelan menuju box bayi.Dering ponsel terdengar menggema memenuhi ruangan yang lengang.
Suasana berubah menjadi sangat kaku bagi Raisa. Tak menampik, pria paruh baya di depan Raisa juga merasakan hal sama, hanya saja dia lebih pandai mengontrol kondisi hati, sehingga tidak kentara terlihat di wajahnya.Setelah Sanjaya membayar semua belanjaan Raisa, pria itu mengajak sang mantan menantu untuk duduk di kursi teras supermarket.Rasa kecewa yang diperbuat Kun, membuat Raisa tidak mau berhubungan lagi dengan orang-orang di rumah itu, kecuali dengan Bi Imas yang sudah dianggapnya layaknya orangtua sendiri. Sanjaya, dengan segala ragu yang mendera hati, dia juga enggan menghubungi perempuan di depannya sebab merasa kecewa.Hingga tempo hari Kun mengungkapkan bahwa Raisa tidak pernah melakukan kesalahan apa pun. Dan hari ini setelah meneguhkan hati, Sanjaya mencoba untuk menemui Raisa. Entah kebetulan atau memang rencana Tuhan, dia dipertemukan di sini saat hendak membeli oleh-oleh untuk sang cucu."Apa kabar, Nak?" Suara itu terdengar begitu berat
Kun meringis menahan sakit di bagian pelipisnya. Dia terkesiap setelah pandangannya teralih pada pria yang kini berada di dekat Raisa. Rasa kesal berjelanak, tapi dia tidak ada waktu untuk meladeninya saat ini. Raisa lebih penting dari apa pun."Raisa ...." Kun kembali berseru pelan."Pergi sekarang, atau aku tambah!" Pria di samping Raisa mengancam. Sementara, Raisa terisak. Terpahat rasa iba di wajahnya melihat sang mantan suami yang pelipisnya tampak lebam."Aku tidak punya urusan denganmu!" Kun sudah tegak berdiri. Dia melangkah pelan untuk mendekati Raisa.Sigap, Ben mengangkat tangan untuk menghadiahi pria di depannya dengan satu bogem berikutnya. Namun, Raisa berseru, "Jangan ...!"Merasa dibela, Kun terkekeh dengan menumbuk tatapan sinis kepada Ben yang terlihat kesal."Lihat. Raisa masih ingin mendengarkanku, jadi minggirlah!"Raisa menggeleng. "Aku minta kamu angkat kaki dari sini. Dan jangan pernah temui aku dan Nadia lagi