"Nanti malam ada meeting dengan klien," kata Ben.
Raisa segera mencatatnya tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.
"Kamu tidak mau tanya di manaa, jam berapa dan apa-apa yang harus disiapkan?" Ben mengeluarkan suara lagi. Dahinya berkerut dalam. Entah kenapa ada yang aneh dengan Raisa pagi ini, padahal sebelum-sebelumnya perempuan itu terlihat ceria. Ben bertanya-tanya adakah hal yang dilakukannya sehingga membuat Raisa berubah?
Raisa mengalihkan pandangan kepada Ben dan berusaha tersenyum.
"Kalau ada apa-apa cerita," kata Ben setelah melangkah mendekati Raisa.
"Tidak ada, Pak." Raisa menjawab. Sekali lagi senyum ramah berusaha dia suguhkan meski mungkin tampak ganjil dipandangan Ben.
"Benar? Apa aku ada salah?" Ben memastikan.
Raisa menggeleng cepat, meski sebenarnya ada beberapa unek-unek yang selama ini mengganggu hati terkait sikap Ben padanya. Namun, tidak elok rasanya jika Raisa mengeluarkan. Hal itu tentu akan membuat
Hari ini, Raisa hendak ke kampung mengunjungi keluarganya. Sebenarnya, Raisa ingin sekali mengajak Dokter Farah ikut serta, tapi dokter Farah menolak. Dia ingin beristirahat dan melakukan beberapa kegiatan."Lain kali saja, Raisa. Masih banyak waktu," kata Dokter Farah.Raisa membuang napas malas, lalu menyahut, "Mbak terlalu sering menunda. Makanya sampai saat ini masih jomlo."Dokter Farah tertawa mendengar dirinya disindir."Dih, nyindir. Siapa bilang aku jomlo?""Aku!""Kan, enggak semua harus dibeberkan," kata Dokter Farah keceplosan."Hah?! Jadi Mbak Farah sudah punya cowok?" tanya Raisa dengan gurat serius.Dokter Farah menyengir sambil menggaruk tengkuk. Memang dirinya saat ini sedang dekat dengan seseorang. Namun, mereka hanya sebatas teman, meski Dokter Farah merasakan jika lelaki tersebut menyimpan rasa yang sama. Jadi, dia tidak ingin bercerita terlebih dahulu kepada Raisa sebelum ada hubungan jelas."E
Mobil yang dikendarai Pras dan Ayu melaju tenang memasuki sebuah desa. Perempuan di samping Pras mengedarkan pandangan pada sekeliling dengan senyum merekah. Baru kali ini dia ke sini, jadi wajar rasa ingin tahunya sangat besar.Pras memandang wajah itu, dan dia baru tersadar jika Ayu sangat cantik. Tahi lalat di bawah bibir membuat perempuan itu tampak semakin manis, apalagi saat tersenyum. Tidak hanya itu, Ayu juga memiliki sifat yang sangat ramah.Selama ini Pras menganggap keberadaan Ayu tak lebih dari teman kerja. Padahal jelas-jelas sikap Ayu menunjukkan jika perempuan itu memiliki rasa pada Pras.Kedatangan Raisa juga sempat menyita perhatian Pras. Dirinya sadar jika rasa itu masih bercokol di hatinya, tetapi kenyataan bahwa Raisa telah dimiliki membuatnya memaksa hati untuk menjauh.Pras berpikir sudah saatnya dia memulai hidup baru. Hidup bersama dengan orang yang benar-benar mencintai dan bersedia menerimanya apa adanya. Wanita itu adalah
"Raisa." Terdengar seseorang menyapa.Raisa mengalihkam pandangan pada Ben yang mendekat ke arahnya. Tanpa disuruh pria itu menarik kursi di depan Raisa dan mendudukinya. Gurat wajahnya tampak khawatir, membuat kepala Raisa ditumbuhi tanya."Kenapa kamu masuk kalau masih belum baikan?"Kening Raisa berkerut dalam, bertanya-tanya kenapa Ben tiba-tiba bertanya seperti itu."Aku baik-baik saja, Kak.""Mulai besok kamu tidak perlu masuk kantor. Kamu istirahat saja di rumah.""Tapi, Kak ....""Aku akan membayar utuh gaji kamu. Tenang saja."Raisa merasa tidak nyaman. Selama ini Ben terlalu bersikap berlebihan padanya. Dia seolah menganakemaskan Raisa, berbeda dengan sikap pria itu terhadap karyawan lain. Ya, meski Raisa tahu ada motif tersembunyi dari segala sikap atasannya tersebut."Persalinanku masih tiga bulan lebih, Kak." Lagi, Raisa mencoba menolak permintaan Ben.Ben menghela napas dalam-dalam, lalu
Setelah kejadian yang baru saja terjadi, wajah Raisa merona. Mobil melaju tanpa ada kata-kata terucap dari keduanya hingga beberapa menit. Di balik kemudi, pria itu tak kuasa menahan senyum mengingat respons Raisa saat dirinya melakukan aksi mendebarkan itu.Saat Ben mendekatkan wajah, mata Raisa membulat dengan tubuh terasa panas dingin. Dia menelan ludah susah payah. Tenggorokannya terasa kerontang. Napas Ben yang berembus menerpa wajah Raisa membuat jantung perempuan itu berpacu dua kali lebih kencang.Saat menyadari hal gila itu tak patut terjadi, Raisa segera berseru, "Apa yang Kak Ben ...."Kalimat Raisa menggantung saat Ben ternyata meraih seat belt dan memasangkannya kepada Raisa. Kontan saja perempuan itu menjadi salah tingkah. Rikuh."Jangan berpikir aneh-aneh," kata Ben setelah seat belt terpasang.Raisa hanya mematung dengan pipi terasa menghangat. Perempuan itu kikuk seketika, kemudian membuang muka keluar jendela, memandang kosong lam
Raisa mematung memandang pria yang kini berada di hadapanya. Sementara, pria itu terlihat bingung melihat raut wajah Raisa yang menyiratkan rasa terkejut. Hingga akhirnya dia menyadari siapa wanita di depannya, seketika senyumnya meredup."Kalian saling kenal?" Dokter Farah bertanya, membuat Raisa dan pria itu menoleh bersamaan kepadanya."Ah, tidak. Kami hanya pernah berpapasan kalau tidak keliru," kata pria itu.Raisa hanya terdiam. Mendadak dia ingin segera meninggalkan tempat ini, ingin lekas pulang."Oh, kenalkan ini Mas Farhan ...." Dokter Farah berkata sedikit rikuh, memandang kepada Raisa dan Ben bergantian.Ben mengulurkan tangan dan memperkenalkan diri. Farhan berpindah kepada Raisa yang terlihat menghindari kontak mata. Pria itu mengulurkan tangan yang hanya disambut dengan malas oleh Raisa sambil menyebut nama dengan suara datar, "Raisa."Kemudian dengan cepat Raisa melepas tautan tangannya. Rasa sakit yang dirinya simpan r
Ben sedang berada di beranda ketika merasakan seseorang mendekat. Pria itu terbangun dari pengembaraan jauhnya, menoleh kepada wanita paruh baya yang kini sudah berdiri di dekatnya. Perempuan berwajah teduh yang telah melahirkannya."Ma, Papa belum pulang?" Ben bertanya."Papa lembur. Jadi kapan kamu akan memperkenalkan pacarmu ke mama?" Wanita itu menjawab dan langsung membelokkan topik.Ben mengesah. Selalu itu yang ditanyakan mamanya. Entah sedah berapa kali Ben didesak agar segera menikah mengingat usianya yang tidak lagi muda. Selain itu ada alasan lain kenapa mamanya tersebut selalu mendesak Ben, ingin segera menimang cucu.Ben terdiam dengan pikiran menimbang-nimbang. Sebenarnya, Ben sudah ingin mendekati seorang gadis, tetapi keinginan tersebut buru-buru dia enyahkan setelah bertemu dengan Raisa. Rasa cinta yang masih tersisa di hati, membuatnya kembali menaruh harap pada perempuan itu."Jangan bilang kamu belum menemukan wanita yang cocok?
"Raisa!" Kun memanggil Raisa. Dirinya mencoba mendekati perempuan itu dengan langkah yang terasa sangat berat. Benar-benar sangat aneh."Iya? Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanya Raisa seraya tersenyum ramah. Lagi-lagi terlihat sangat aneh, wanita itu terlihat seolah tak pernah memiliki masalah apa pun dengan Kun."Dia ... anakku?" Kun menunjuk gadis mungil nan manis yang terlihat sedang ketakutan melihat Kun."Bukan. Dia anakku." Raisa merengkuh kepala gadis kecilnya ke pinggul. "Anda membuat anakku takut. Tolong menjauh dari kami.""Raisa, kamu lupa denganku? Aku Kun, suamimu."Raisa menggeleng. "Suamiku sudah mati," ucap Raisa kemudian berlalu dari hadapan Kun.Kun memanggil berkali-kali. Namun, tak sedikit pun Raisa menoleh atau menjawab. Ingin mengejar, tapi persendiannya terasa lumpuh."Raisa!""Raisaaa!"Kun terjaga dengan puluh bersimbah setelah berteriak. Terduduk dengan napas tersengal-sengal.
Kun merasakan gelisah mendera. Benaknya terus saja mengulang percakapan dengan Dokter Farah dua hari lalu, tentang tujuan Raisa menemui Dokter Farah dahulu. Karena penyakit, bukan karena mengontrol kandungan. Itu artinya, Raisa mengandung dari benih Kun, bukan sebab berzina dengan lelaki lain.Betapa kejamnya dirinya yang telah menuduh Raisa berkhianat dan menalaknya pada saat hamil!Bulir bening meniti dari kelopak mata tak terasa. Kun merasa dirinya manusia paling kejam di dunia. Dia adalah monster!Kun meremas rambutnya frustasi.Ingin sekali Kun menemui Raisa. Namun, dia sudah berjanji pada Dokter Farah untuk tidak menemui Raisa lagi.Kun mengusap wajahnya dengan kasar. Ini tidak boleh berlarut-larut. Ah, persetan dengan janji yang pernah diucap!Pria itu beranjak menuju lemari pakaian. Mengambil kemeja sembarang dan mengenakannya. Dia ingin menemui Raisa saat ini juga. Dia harus meminta maaf atas segala kesalahan yang pernah diperbuat.