Bahkan sebelum tepat pukul dua belas malam, kembang api telah diledakkan di beberapa sisi langit Amsterdam. Tiga menit menjelang pergantian tahun, Bree menghubungi Max yang terkantuk-kantuk dan menggumam-gumam dan Junko yang melepas masker mata bergambar mata panda dengan tampang kusut. Mama juga melakukan panggilan video dengan Edy. Aku mengintip sedikit ke layar handphone Mama yang memperlihatkan ruangan gelap berpenerangan lampu neon pink dan biru dan lampu retro kecil. Edy mengenakan kemeja hitam yang bagian lengannya disisingkan sampai siku.
"Jam berapa kau akan pulang?"
"Lampu sudah dimatikan. Aku akan segera pulang."
Aku menoleh sedikit ke arah Mama dan Papa yang tampaknya mengerti Edy berada di mana dan sedang mengerjakan apa. Wajahku tidak tampak di kamera depan karena aku tidak ingin terlihat oleh Edy. Tapi sungguh, aku penasaran. Apa yang dilakukannya sampai pukul enam pagi di suatu tempat
Aplikasi radio bawaan handphone-ku sangat membantu dalam menyiarkan berita-berita mengenai cuaca. Tapi tiada satu pun saluran yang memprediksi datangnya badai salju. Hanya gerimis yang kemungkinan besar akan terjadi sejak pukul enam sore. Saat ini masih pukul tiga, dan walaupun mendung, tidak akan terjadi sesuatu di luar dugaan.Setelah puas memandangi keris itu, aku keluar dari gedung museum, menyusuri kembali halamannya dengan langkah kaki yang terasa berat. Pertanyaannya adalah kenapa, yang kemudian disambung dengan aku masih merasa berat hati, seberat langkah-langkahku menuju sekat besi di parkiran sepeda, melepaskannya? Setelah May dalam kepalaku berangsur-angsur menghilang, aku akan segera menjadi orang yang merdeka. Tinggal mencari cara untuk berhenti menjadi pengkhianat. Karena memang itulah tujuanku mengusir May dalam kepalaku. Aku yakin Olaf tahu apa yang harus dilakukan. Tapi sekarang, aku hanya perlu fokus
Aku kembali masuk. Kami menggunakan sabun berwangi esens sakura dan kayu manis yang sama. Tapi ketika digunakan orang lain, wanginya terbentuk dengan nyata, menyelubungi kulitnya dan terus melontar ke hidungku seperti penyemprot ruangan otomatis. Tidak seperti yang menempel dengan longgar di tubuhku dan lalu lenyap begitu saja. Kusandarkan pinggangku di tepian meja wastafel, berdiri menghadap Bree. "Kau sudah jatuh cinta pada Hyunji?" tanyanya tiba-tiba. Sejenak, aku kehilangan arah dan nyaris mengangguk karena saking panik mendengar pertanyaannya yang seolah tidak datang dari mana pun tapi tiba-tiba muncul di antara kami. Aku jadi mengingat perbincangan tentang materi gelap. Pertanyaan Bree terasa seperti itu. Setelah dapat menguasai diriku kembali, aku langsung berpaling ke cermin untuk meraih sikatku di keranjang kecil logam yang dicat hitam doff. "Bukan hal yang ingin kubagi," jawabku.
Hidangan malam ini diolah Mama dan Bree dari bahan-bahan makanan yang aku dan Bree beli di Albert Cuypmarkt. Seperti halnya Mevrouw Bella memaksanya tetap tinggal di dapur untuk mengajarinya cara menguleni adonan kerststol dengan benar, Mama pun bersikeras Bree harus mewarisi kepandaiannya memasak. Setidaknya cukup lebih baik dariku. Tapi dengan waktu mepet mendekati perpisahan dengan Mama, Bree jadi tergupuh-gupuh mempelajari semuanya sekaligus. Keberadaan enam lauk yang menemani nasi dan kentang tumbuk yang mengelilingi meja makan disebabkan oleh Mama yang bertindak cepat memandu keahlian memasak Bree. Aku tidak mengerti sejauh apa yang telah dikuasainya, tapi melihat dari menu-menu yang tidak sederhana tersaji di meja seperti sup ercis berkuah kental, hachee dari daging burung tanpa sayur, sup kepala ikan, braciole sapi, satu makanan berkuah kacang, dan satu lagi yang kelihatan seperti sup balado bertabur brokoli hijau, Bre
Aku sendiri butuh waktu untuk menyusuri masing-masing kepingan yang menyusun masa laluku pada masa itu. Setiap kepingan kubolak-balik, kuresapi, kubandingkan dengan kepingan masa kiniku. Tepatkah, timpangkah, atau saling bergeser dengan tidak nyaman seperti kerak bumi yang saling menyelip? Di hadapan Olaf, berdua dengannya, dalam percakapan satu sisi dengan dirinya berperan hanya sebagai pendengar dan menempatkanku dalam posisi seolah-olah aku hanya sedang bergumam pada diriku sendiri mengenai kejujuran masa laluku, 10 KEJADIAN DI MASA LALU YANG DAPAT MEMBUATKU MERASA SELESAI DENGAN MAY terasa sangat benar. Itulah bagian yang kini kuulangi lagi pada Bree seakan-akan aku sedang membacakan salah satu kisah sejarah.Aku begitu yakin sebab-akibat yang merundungku bukan berasal dari ketidaktahuanku atau kebodohanku dalam memprediksi masa depan, melainkan dari keputusan-keputusan yang kubuat secara asal seperti, contohnya, pernah menerima Hyun
Dalam pengaruh ikat tatapannya, aku menggeleng. Bree menuntunku, tetap begitu, menatapku dan menjadikan diriku sebagai aku. Ketika dia melalukannya, setiap kali menatapku, dia mampu membuatku merasa yakin bahwa aku adalah pribadi mandiri. Yang dia cari adalah Thomas Dustin dan dia hanya menemukannya lewat mata ini, mata yang dia tatap sedemikian rupa."Bagaimana dengan Thomas berhenti berkhianat pada sang Teman? Karena, otomatis, setelah perselingkuhannya dengan Sahabat Gadis berakhir, berakhir pula pengkhianatannya pada Gadis. Menurutmu, plot kisahnya akan bagus?"Aku mengangguk, tapi tak sanggup menjawabnya secara verbal. Selama ini, itulah yang menjadi intrik dalam pikiranku yang menyebabkannya saling berkelahi satu sama lain. Bagaimana caranya berhenti berkhianat tanpa benar-benar merasakan dampak negatifnya?"Kita akan mencari cara untuk menulis kelanjutan plotnya." Bree menjumput helai-helai rambutku. Ke
Ketukan tiga kali di pintu utama membuyarkan sedikitnya 43 skenario sapaan yang sopan tanpa membuat May kabur tunggang-langgang saat melihatku. Belum lagi aku sempat mendaftarkan sapaan khusus untuk pacar Belgianya: haruskah aku mengangguk dengan kalem, atau membungkuk dalam-dalam seperti orang Korea atau Jepang saat memberi salam, atau hanya berkata hi dengan ringkas atau apa kabar atau selamat pagiatau apa pun. Mungkin, karena tidak adanya balasan dari dalam, orang di luar itu membunyikan lonceng di sebelah pintu, yang membuat Mama terpaksa bangun dan dengan wajah jengkel menendang lututku menggunakan lutut lancip mungilnya. Mama bersungut-sungut dan aku bersyukur Mama termasuk jenis wanita yang jarang memoles lipstick karena kalau dia mengerucutkan bibirnya begitu, orang-orang akan berlomba-lomba menggebuk semut api di tempat yang seharusnya adalah bibirnya. Mama sendiri yang membukakan pin
Kereta selanjutnya dari Leiden menuju Belgia berangkat pukul 18.15. May dan Jeremy segera berpamitan tepat pada pukul setengah enam sore. Mereka berkata akan mencari bus menuju Leiden tapi Papa mengoper kunci mobil padaku dan diam-diam memintaku mengeluarkan mobil dari garasi. Masalah membujuk, serahkan saja pada Bree. Dan begitu mobil siap di depan rumah, May dan Jeremy terbukti telah termakan bujuk rayu Bree. Tentu saja harus Bree karena baik Mama maupun Papa bukan merupakan orang yang tepat melakukan segala daya upaya persuasif. Perjalanan menuju Leiden menggunakan mobil memakan waktu delapan belas menit karena Papa yang menyetir. Setidaknya, kami memangkas waktu lima menit dari biasanya (kalau yang menyetir adalah orang selain Papa). May dan Jeremy segera turun di depan fasad kerangka besi Stasiun Leiden Centraal. Kebetulan, tidak banyak kendaraan yang mengantar pengunjung ke stasiun sore ini sehingga dalam satu lompatan lincah, May mengetu
"Bukankah kau harus mengambil semua barang-barangmu dari sana?" Aku masih merasa bingung. Bree mengangkat alis dan mencebik ketika melihatku menelengkan kepala. "Untuk memperbaiki hubunganmu dengan kakakmu, hal pertama yang harus kaulakukan adalah tinggal bersamanya, benar?" Barulah aku mengerti. Tapi, sayangnya, kini aku tahu Breelah yang tidak mengerti. Ada hal-hal yang tidak diketahuinya, yang tidak terlalu senang kubagi dengannya menyangkut persaudaraanku yang rusak dengan Edy. Salah satunya adalah ketakutan tidak mendasarku kembali ditinju Edy. Padahal, akulah yang mulai mengangkat tangan padanya, tapi ketika Edy membalas hanya demi melindungi dirinya sendiri dari terkamanku, aku malah merasa sedang dikeroyok, dihina, dipermalukan, dan disingkirkan. Kau tidak perlu merasa dirimu orang asing sehingga pantas disingkirkan, kata Olaf pada sesi konseling pertama kami. Dia benar. Seharusnya aku berhenti merasa begitu.
Aku dirawat di rumah sakit selama dua hari. Yuda tak mengatakan apa pun pada siapa pun. Bree tak mengatakan apa pun pada siapa pun. Hanya ada aku dan Yuda di parkiran seluas itu saat perkelahian itu berlangsung sehingga tak ada saksi mata lainnya. Kata Sandra, mengherankan betapa Bree bersikap sekalem ini menghadapi pengeroyokan terhadapku. Tapi berbeda dengan semua orang, Bree, walau tak melihat, tahu apa yang terjadi. Utangku pada Yuda sudah terbayarkan atau belum, aku juga tidak tahu. Pasalnya, aku merasa hanya berutang informasi bahwa aku tahu. Dan aksi penggebukan itu kumaksudkan sebagai pelunasan utang. Bonus pelunasan utang. Sekarang, seharusnya utangku telah terbayarkan. Tapi, kalau ditelaah lebih jauh, aku juga berutang waktu kepadanya, sesuatu yang takkan pernah berhasil kubayarkan dengan tuntas. Begitu siuman, aku dibawa pulang. Administrasi rumah sakit diselesaikan, keluargaku tak diberi kabar, sesuai pesanku pada
Pertanyaan terakhir Edy padaku sebelum terbang ke Belanda adalah, "Apakah ada alasan lain mengapa kau membenciku?" Bree menolehku, Edy menatapku, aku berdiri termangu-mangu beberapa detik, mencari-cari di antara serabut otakku, liku urat, dinding daging lembek, tapi aku yakin bahwa jawabannya hanya mentok sampai pertanyaannya saja. Aku pun menggeleng. Edy dan Bree saling mengangguk. Dan kemudian Edy pun pergi.Dua malam setelahnya, kami mengadakan perombakan besar-besaran pada kamar tamu di lantai satu rumah Bree karena aku tidak lagi tinggal sebagai penumpang, melainkan sebagai anggota tetap keluarga mereka. Terlepas dari ada atau tidaknya hubungan romantis dengan Bree, kini aku resmi menjadi anak kesayangan Sandra. Lemari lapuk dikeluarkan dari kamar seluas 12m² tersebut, diganti dengan walk-in closet yang kudesain secara darurat. Dinding di sebelah lemari kupajangi lukisan-lukisan abstrak geometris. Cetakan jernih lukisan Broadway Boogie
Aku menuruti penuturan Olaf. Sertai keterpurukannya sampai dia sadar aku ada di sana untuknya, menemaninya. Berbelit di sekitarnya, lakukan dengan mulus, tapi jangan intens. Sebab, Olaf ingin aku menjadi satu dari orang-orang yang cukup dipercayainya, dan bukan orang yang paling dipercayainya. Merunut cerita Victor tentang bagaimana Yuda melibatkan Mike dalam urusan privasinya, kata Olaf, Yuda pastilah orang yang mudah memercayai hampir siapa pun. Dia tepat dijuluki ekstrover putus asa. Begitu ingin bergabung dalam keramaian, tapi tak tahu bagaimana caranya membaurkan diri.Jadi dalam sebulan terakhir, aku, yang biasanya menghindari Yuda, berlaku sebaliknya. Dalam kerja-kerja kelompok, aku menyertakannya. Aku juga mengajaknya (kalau sempat melakukannya sebelum kelas pagi dimulai) sarapan dan makan siang. Dan kuceramahi pula dia tentang kelas-kelas semester lalu yang harus diulanginya pada semester ini.Dan aku, merasa sangat berkebalika
Tubuh kebal Edy siap menjalani bertahun-tahun kembali tanpa diserang penyakit. Dia tampak lebih kuat setelah memutuskan untuk turun kasur permanen. Kami mencopot seluruh kain kotor berikut gorden, kasur, sampul bantal, selimut, pakaian apak yang terlalu lama digantung di lemari dari kamarnya, dan membawanya ke penatu terdekat. Pada bulan Februari, saat libur semester ganjilku berakhir, kampus Edy baru menjatah libur. Durasi libur itulah yang dipergunakannya sebaik mungkin untuk mengurus kelengkapan dokumen pengunduran diri dari kampus karena ternyata kabar dari Bree benar adanya: Edy memutuskan untuk pindah ke Belanda selamanya, meninggalkanku sebatang kara di sini sampai lulus kuliah. Mama masih agak khawatir padanya sehingga mengutusku untuk menemani Edy mengurus hampir segala keperluannya dan Edy, tampak sama sekali, tak keberatan. Mirip seperti dulu, yang baru saja dikatakan Reza beberapa waktu lalu. Aku mengikuti Edy ke mana pun
"Seharusnya memang begitu." "Tapi, katanya mustahil ada perempuan seperti aku. Sungguh, aku menahan diri untuk tidak bertanya seperti aku itu sebenarnya seperti apa? Dan demi mencegah berbagai macam spekulasi ngawur, seperti misalnya aku ini transgender atau lesbian atau disuntik hormon testosteron, kubilang saja kenapa mustahil kalau aku adalah bukti yang duduk di hadapanmu?Dan, yah, katanya, benar juga. Lalu kami mulai membicarakanmu." "Kalian tertawa-tawa. Sepertinya menertawakanku?" "Edward bilang kau belum bisa cuci pantat sendiri setelah buang air besar sampai kelas satu." Aku mulai mengerang. Bree tertawa dengan penuh kemenangan mendapati cerita itu ternyata benar. Dan memang benar. Dan juga memalukan. "Rambutmu dulu sulit sekali tumbuhnya. Mereka sudah membaluri minyak kemiri, gel lidah buaya, pasta bawang merah, dan segalanya, tapi rambutmu tumbuh dengan lambat. Dan ternyata
Aku dan Bree menyetir Jeep ke rumah Hyunji pada pukul sepuluh malam kurang dua belas menit karena perjalanan dari Dalung ke Canggu tidak memakan waktu lebih dari dua puluh menit. Seandainya kami terlambat, keterlambatan itu terletak dalam rentang waktu yang relatif bisa dimaafkan—lima menit? Tujuh? Sepuluh? Aman. Pokoknya, selama Hyunji tidak menganut idealisme hidup ala orang Jepang yang disiplin waktu, semuanya akan baik-baik saja. Mesin bermotor yang punya badan besi hitam tinggi-besar sempurna seperti raksasa ini menyorotkan lampu jauhnya pada jangkauan jalan-jalan tergelap di Canggu. Asap debu mengepul di sepanjang tongkat cahaya kekuningan lampu sorot yang bentuknya membesar di kejauhan, tempat kami bisa mengamati alam Indonesia yang liar dan lebih menyerupai alam yang sesungguhnya. Alam yang tak terjamah manusia dengan pelepah pohon kelapa setinggi lima meter yang tumbuh dari balik pembatas besi melingkar di tikungan jalan yang diterangi oleh lam
Setelah proses lepas landas selesai, Bree kembali menawariku permen karet mentol—yang kutolak dengan menggeleng—sambil menjabarkan seluruh kiat untuk menyukseskan ED Education. Katanya, dia harus berpikir cerdas untuk membagi waktu antara menyelesaikan skripsi dengan mengorganisasi bimbingan belajar rintisannya tersebut. Paling tidak, dia harus bisa mengejar kuota wisudawan bulan Maret. Di bulan itu, ED Education menargetkan sudah mendidik sekitar lima belas murid. "Dan tahukah kau bagian paling kacau dari semua ini?" "Apa?" tanyaku. "Promosi." "Kenapa dengan promosi? Kau bisa saja menyewa jasa orang untuk melakukannya." "Benar. Kok tidak kepikiran, ya?" Bree mengernyit, berpikir secara mendalam sampai akhirnya kembali menolehku. "Aku merasa payah dengan media sosial. Tapi baiklah. Aku akan menuruti saranmu." Kemudian, aku memikirkannya. Tentang menetap di Bel
"Bukankah kau harus mengambil semua barang-barangmu dari sana?" Aku masih merasa bingung. Bree mengangkat alis dan mencebik ketika melihatku menelengkan kepala. "Untuk memperbaiki hubunganmu dengan kakakmu, hal pertama yang harus kaulakukan adalah tinggal bersamanya, benar?" Barulah aku mengerti. Tapi, sayangnya, kini aku tahu Breelah yang tidak mengerti. Ada hal-hal yang tidak diketahuinya, yang tidak terlalu senang kubagi dengannya menyangkut persaudaraanku yang rusak dengan Edy. Salah satunya adalah ketakutan tidak mendasarku kembali ditinju Edy. Padahal, akulah yang mulai mengangkat tangan padanya, tapi ketika Edy membalas hanya demi melindungi dirinya sendiri dari terkamanku, aku malah merasa sedang dikeroyok, dihina, dipermalukan, dan disingkirkan. Kau tidak perlu merasa dirimu orang asing sehingga pantas disingkirkan, kata Olaf pada sesi konseling pertama kami. Dia benar. Seharusnya aku berhenti merasa begitu.
Kereta selanjutnya dari Leiden menuju Belgia berangkat pukul 18.15. May dan Jeremy segera berpamitan tepat pada pukul setengah enam sore. Mereka berkata akan mencari bus menuju Leiden tapi Papa mengoper kunci mobil padaku dan diam-diam memintaku mengeluarkan mobil dari garasi. Masalah membujuk, serahkan saja pada Bree. Dan begitu mobil siap di depan rumah, May dan Jeremy terbukti telah termakan bujuk rayu Bree. Tentu saja harus Bree karena baik Mama maupun Papa bukan merupakan orang yang tepat melakukan segala daya upaya persuasif. Perjalanan menuju Leiden menggunakan mobil memakan waktu delapan belas menit karena Papa yang menyetir. Setidaknya, kami memangkas waktu lima menit dari biasanya (kalau yang menyetir adalah orang selain Papa). May dan Jeremy segera turun di depan fasad kerangka besi Stasiun Leiden Centraal. Kebetulan, tidak banyak kendaraan yang mengantar pengunjung ke stasiun sore ini sehingga dalam satu lompatan lincah, May mengetu