Respon ramah Janet yang biasanya selalu dia tunjukkan kini tidak bisa kami temui. Aku refleks mengetuk punggung tangan Bree yang berdiri di sebelahku. Bree langsung mendenguskan senyuman.
"What. Are. You. Doing. Here?" Pertanyaan Janet seharusnya ditujukan padaku, tapi karena Bree tinggi dan dia sedang cengar-cengir, Janet jadi memelototinya.
Sepupunya murka padaku pagi tadi. Ini adalah perlakuan yang sepanjang jalan sudah kunanti-nanti, tapi aku tidak bisa berbohong bahwa aku terkejut. Janet marah. Janet yang cantik, santai, dan lucu marah. Mataku terpejam sekejap. Sialan. Begini. Apa saja tadi opsi dialog yang ingin kusampaikan pada Janet kalau dia yang membuka pintu vila?
Mataku lalu terbuka dan kurasakan bahu yang menegang kini lebih santai. Aku menunjuk ke dalam. "I want to make up for the wrong I did to Sylvia, if you let me see her."
"That's not one of a brilliant idea sci
Kami mendengar gerbang didorong terbuka dan tertutup pukul satu malam waktu Hans pulang. Segera setelahnya kami pergi untuk tidur. Tapi dengan tangan panjang Max terbentang lebar di kasur seperti kolonialis haus kekuasaan, aku tentu tidak bisa pergi tidur begitu saja. Jadi untuk tiga menit yang tidak berarti aku hanya duduk di meja belajar Bree sambil memandangi jemari kaki Max yang masing-masingnya berbentuk mirip tunas jahe. Di antara jari-jari itu timbul pemikiran seandainya kaki diciptakan juga untuk memegang sesuatu, aku akan menggunakannya untuk memegang pulpen, dan aku akan menulis segalanya dengan keempat alat gerakku, yang pasti akan memakan waktu lebih singkat. Tidak perlu tulisan bagus, yang penting bisa terbaca. Dan mungkin saja aku bisa mencoba menuliskan sepuluh kejadian yang diminta Olaf dengan menggunakan tangan kiri sebagai pemanasan.Begitulah. Aku mengambil pulpen hitam dari wadah keramik putih di atas meja dan merogoh laci untuk menem
Tidak biasanya Hyunji menghubungiku. Malahan, kupikir dia tidak lagi ingin bicara padaku. Tapi dering telepon yang membangunkanku pukul setengah enam pagi di hari Minggu datang darinya. Aku terbangun dalam kebingungan singkat sebelum membaca namanya berkelip di layar handphoneku. Waktu kuangkat, suara tenangnya yang familier langsung menyapaku."Selamat pagi, Thomas. Kau merasa baik?"Aku menggumamkan jawaban, masih berkeras membuka mata yang perih dan lengket. Terbayang olehku bagaimana lendir putih kehijauan merekatkan kedua pelupuk, saling meregang saat aku berusaha menjauhkan keduanya. Dan itu jorok, cukup parah untuk membuatku bergidik dan membuka mata secara paksa."… tidak bisa mendengarmu. Kau baru bangun, ya?""Hm," gumamku, kehilangan semangat dalam usaha mengerahkan tenaga untuk bangkit duduk di sandaran kayu. "Kau menghubungiku. Ada apa?""Aku mengirim pesan, tapi
Bree bergumam dan mengangguk sebagai jawaban. Aku pun kembali menyorotkan sinar senter ke langit-langit kamar. Dan akhirnya, di sana, tampaklah Orion sang pemburu yang menghunus pedang ke atas dan menahan tameng dengan tangan lainnya."Akan seperti apa dia?" bisik Bree."Keanu Reeves?"Bree tertawa. "Hm, baiklah, boleh juga." Tanganku digenggam. Aku menolehnya. Bree juga menolehku. Dengan tatapan terkunci pada mataku, dia mengarahkan telunjukku ke atas untuk menelusuri setiap bintang yang membentuk tubuh Orion. Bree mencengkeram pergelangan tanganku dan meluruskan telunjuknya di dalam kepalan telapak tanganku. "Lihat baik-baik," katanya setelah sosok itu selesai kami telusuri. Setiap detik yang berlalu dan membuat sentuhan kami menjadi semakin intim, aku tidak bisa berkonsentrasi terhadap hal di luar dirinya. Suaranya, panas tubuhnya, fokusnya.Tapi aku mencoba, membiarkan diriku dilelehkan oleh panas
Jemariku terasa kebas. Aku berkedip-kedip. Paru-paruku kering. Kulitku dijalari angin berdebu yang rendah dan tajam. Orang-orang berlari ke sofa, melaluiku, berkerumun di sekitar tangan Junko yang mengulurkan handphone. Tapi Bree kemudian merebut handphone itu dan berbalik entah ke mana. "Apa yang sebenarnya dia pikirkan?" hardik Max, diwarnai nada baru dalam suaranya: berang. Biasanya dia hanya memiliki tiga jenis tanggapan, yaitu bercanda, cuek, dan mengantuk. Aku menoleh ke belakang, pada Bree yang menggapai kursi bar dengan tangan kanan sementara kepalanya masih menunduk ke arah handphone Junko. Sandra bergumam, tapi aku tidak bisa mendengarnya. Entah karena terlalu lirih atau karena aku hanya sedang ingin memikirkan nasibku sendiri. Salah satu media sosial Kenny dipenuhi oleh foto-foto dirinya dan Bree sedang bermesraan. Apa pun artinya itu… sialan. Itu pasti berarti sesuatu. Dia seol
Untuk mengambil kunci rumahnya, Hyunji memintaku datang ke kampusnya. Tidak perlu masuk ke dalam gedung. Aku bisa menunggu di mana pun yang kumau di sekitaran area kampus, misalnya saja di tanah berpasir dekat warteg beratap kampil yang didirikan dengan bambu di sebelah parkiran terbuka kampus, atau di istana boneka (toko, bukan istana sungguhan) yang dipimpin oleh raja Teddy Bear raksasa di fasad kaca dan letaknya sekitar dua puluh langkah memutari ujung gang di sebelah kampus, atau di mana pun.Dia rela berjalan jauh demi aku.Rok hitam panjangnya yang berbelahan sampai betis dan menyatukan kakinya seperti ekor putri duyung berkelepak di dekat pergelangan kaki ketika dia melangkah dengan cepat. Hyunji mengenakan blazer hitam yang terkancing sampai dada sehingga membuatnya tampak formal, menunjukkan sedikit kemeja biru kobalt yang mentereng di bagian kerah.Rambut pirangnya berkibar, membuat orang-orang yang berada da
Dusta. Bree mengerjap-ngerjap. Aku hanya tidak tahu lagi bagaimana cara mengakhirinya. Tentu saja aku berutang penjelasan padanya tentang mengapa aku harus mengakhirinya, tentang rasa sakit yang ditimbulkannya tapi malah menyelamatkanku dari dosa pengkhianatan, tentang hukum universal menyerahkan sebanyak yang pernah diserahkan kepadaku. Kalau aku ngotot mendapatkannya, mungkin saja yang akan terjadi selanjutnya lebih buruk lagi. Karena… itu tadi. Semesta mengambil dariku sebanyak yang kuambil darinya. Bree adalah berkah besar. Aku tidak bisa menukarnya dengan apa pun, kurasa. Tapi tidak mendapatkannya mungkin bisa menyelamatkan banyak hal. Bagaimana caraku mengetahui itu sekarang? Entahlah. Tapi nanti. Nanti pasti akan kuketahui secepatnya. Kemalangan yang nyaris mengenaiku tapi meleset karena aku telah bertindak bijak dan adil dengan melepaskan Bree. Dan kemalangan itu akan melesat seperti batu yang diluncurkan dari katapel yang han
Tersisa satu UAS lagi. Bu Diana memindahkannya ke hari Senin, di luar minggu UAS yang dijadwalkan karena beliau baru saja kembali dari sebuah penelitian tentang perancangan smart village di daerah Jawa Timur. Penundaan ini, tak pelak, agak merugikanku. Sebab jadwalku sangat padat mendekati keberangkatanku ke Belanda. Aku berencana membeli rempah-rempah titipan Mama pada hari UAS terakhir itu, yang jatuh pada tanggal 20. Tanggal 21 aku akan berkemas dan memastikan kesiapan bagasiku sekali lagi.Tanggal 19 Desember, yaitu besok, aku harus memenuhi undangan Jake untuk menghadiri grand opening Buen Tiempo, restoran Mexiconya. Dia menerapkan dress code formal, yang artinya aku harus memakai setelan. Jake menawariku setelan sewaan, dan dia berjanji akan membayarnya untukku. Namun, penawaran itu tidak hanya datang dari Jake.Tadi sore, Junko menghubungiku. Kupikir dia sudah tidak marah lagi padaku, tapi ternyata yang
Bergantian diamatinya antara aku dan Rain. Merasa risih dengan pemindaian Mario, Rain melepaskan gandengannya dariku. Mario pun memisahkan diri dari rombongan teman-temannya yang telah berhenti memperhatikan kami.Mirip kilasan di masa lalu. Ketika dia mendengarku berselingkuh dengan kekasihnya, seperti inilah caranya melangkah padaku di kafetaria pada suatu siang. Satu tangan di kantung celana, dagu diangkat tinggi-tinggi, mata menusuk bagai sebilah sabit, dan langkahnya kelihatan ringan tapi mengancam. Dulu, aku tak punya Victor. Mati-matian harus berlari untuk menyelamatkan diri dari atlet sepak bola ini.Kubu pertemanan kami sempat terpecah menjadi dua: golongan otot dan golongan otak. Dia dan aku. Tukang onar tidaklah memiliki banyak teman dahulu kala. Teman-teman yang sedang beranjak dewasa mengerti bahwa semakin tinggi tingkatan kelas kami, satu-satunya yang kami butuhkan adalah pikiran yang bagus untuk lulus. Aku memiliki itu se
Aku dirawat di rumah sakit selama dua hari. Yuda tak mengatakan apa pun pada siapa pun. Bree tak mengatakan apa pun pada siapa pun. Hanya ada aku dan Yuda di parkiran seluas itu saat perkelahian itu berlangsung sehingga tak ada saksi mata lainnya. Kata Sandra, mengherankan betapa Bree bersikap sekalem ini menghadapi pengeroyokan terhadapku. Tapi berbeda dengan semua orang, Bree, walau tak melihat, tahu apa yang terjadi. Utangku pada Yuda sudah terbayarkan atau belum, aku juga tidak tahu. Pasalnya, aku merasa hanya berutang informasi bahwa aku tahu. Dan aksi penggebukan itu kumaksudkan sebagai pelunasan utang. Bonus pelunasan utang. Sekarang, seharusnya utangku telah terbayarkan. Tapi, kalau ditelaah lebih jauh, aku juga berutang waktu kepadanya, sesuatu yang takkan pernah berhasil kubayarkan dengan tuntas. Begitu siuman, aku dibawa pulang. Administrasi rumah sakit diselesaikan, keluargaku tak diberi kabar, sesuai pesanku pada
Pertanyaan terakhir Edy padaku sebelum terbang ke Belanda adalah, "Apakah ada alasan lain mengapa kau membenciku?" Bree menolehku, Edy menatapku, aku berdiri termangu-mangu beberapa detik, mencari-cari di antara serabut otakku, liku urat, dinding daging lembek, tapi aku yakin bahwa jawabannya hanya mentok sampai pertanyaannya saja. Aku pun menggeleng. Edy dan Bree saling mengangguk. Dan kemudian Edy pun pergi.Dua malam setelahnya, kami mengadakan perombakan besar-besaran pada kamar tamu di lantai satu rumah Bree karena aku tidak lagi tinggal sebagai penumpang, melainkan sebagai anggota tetap keluarga mereka. Terlepas dari ada atau tidaknya hubungan romantis dengan Bree, kini aku resmi menjadi anak kesayangan Sandra. Lemari lapuk dikeluarkan dari kamar seluas 12m² tersebut, diganti dengan walk-in closet yang kudesain secara darurat. Dinding di sebelah lemari kupajangi lukisan-lukisan abstrak geometris. Cetakan jernih lukisan Broadway Boogie
Aku menuruti penuturan Olaf. Sertai keterpurukannya sampai dia sadar aku ada di sana untuknya, menemaninya. Berbelit di sekitarnya, lakukan dengan mulus, tapi jangan intens. Sebab, Olaf ingin aku menjadi satu dari orang-orang yang cukup dipercayainya, dan bukan orang yang paling dipercayainya. Merunut cerita Victor tentang bagaimana Yuda melibatkan Mike dalam urusan privasinya, kata Olaf, Yuda pastilah orang yang mudah memercayai hampir siapa pun. Dia tepat dijuluki ekstrover putus asa. Begitu ingin bergabung dalam keramaian, tapi tak tahu bagaimana caranya membaurkan diri.Jadi dalam sebulan terakhir, aku, yang biasanya menghindari Yuda, berlaku sebaliknya. Dalam kerja-kerja kelompok, aku menyertakannya. Aku juga mengajaknya (kalau sempat melakukannya sebelum kelas pagi dimulai) sarapan dan makan siang. Dan kuceramahi pula dia tentang kelas-kelas semester lalu yang harus diulanginya pada semester ini.Dan aku, merasa sangat berkebalika
Tubuh kebal Edy siap menjalani bertahun-tahun kembali tanpa diserang penyakit. Dia tampak lebih kuat setelah memutuskan untuk turun kasur permanen. Kami mencopot seluruh kain kotor berikut gorden, kasur, sampul bantal, selimut, pakaian apak yang terlalu lama digantung di lemari dari kamarnya, dan membawanya ke penatu terdekat. Pada bulan Februari, saat libur semester ganjilku berakhir, kampus Edy baru menjatah libur. Durasi libur itulah yang dipergunakannya sebaik mungkin untuk mengurus kelengkapan dokumen pengunduran diri dari kampus karena ternyata kabar dari Bree benar adanya: Edy memutuskan untuk pindah ke Belanda selamanya, meninggalkanku sebatang kara di sini sampai lulus kuliah. Mama masih agak khawatir padanya sehingga mengutusku untuk menemani Edy mengurus hampir segala keperluannya dan Edy, tampak sama sekali, tak keberatan. Mirip seperti dulu, yang baru saja dikatakan Reza beberapa waktu lalu. Aku mengikuti Edy ke mana pun
"Seharusnya memang begitu." "Tapi, katanya mustahil ada perempuan seperti aku. Sungguh, aku menahan diri untuk tidak bertanya seperti aku itu sebenarnya seperti apa? Dan demi mencegah berbagai macam spekulasi ngawur, seperti misalnya aku ini transgender atau lesbian atau disuntik hormon testosteron, kubilang saja kenapa mustahil kalau aku adalah bukti yang duduk di hadapanmu?Dan, yah, katanya, benar juga. Lalu kami mulai membicarakanmu." "Kalian tertawa-tawa. Sepertinya menertawakanku?" "Edward bilang kau belum bisa cuci pantat sendiri setelah buang air besar sampai kelas satu." Aku mulai mengerang. Bree tertawa dengan penuh kemenangan mendapati cerita itu ternyata benar. Dan memang benar. Dan juga memalukan. "Rambutmu dulu sulit sekali tumbuhnya. Mereka sudah membaluri minyak kemiri, gel lidah buaya, pasta bawang merah, dan segalanya, tapi rambutmu tumbuh dengan lambat. Dan ternyata
Aku dan Bree menyetir Jeep ke rumah Hyunji pada pukul sepuluh malam kurang dua belas menit karena perjalanan dari Dalung ke Canggu tidak memakan waktu lebih dari dua puluh menit. Seandainya kami terlambat, keterlambatan itu terletak dalam rentang waktu yang relatif bisa dimaafkan—lima menit? Tujuh? Sepuluh? Aman. Pokoknya, selama Hyunji tidak menganut idealisme hidup ala orang Jepang yang disiplin waktu, semuanya akan baik-baik saja. Mesin bermotor yang punya badan besi hitam tinggi-besar sempurna seperti raksasa ini menyorotkan lampu jauhnya pada jangkauan jalan-jalan tergelap di Canggu. Asap debu mengepul di sepanjang tongkat cahaya kekuningan lampu sorot yang bentuknya membesar di kejauhan, tempat kami bisa mengamati alam Indonesia yang liar dan lebih menyerupai alam yang sesungguhnya. Alam yang tak terjamah manusia dengan pelepah pohon kelapa setinggi lima meter yang tumbuh dari balik pembatas besi melingkar di tikungan jalan yang diterangi oleh lam
Setelah proses lepas landas selesai, Bree kembali menawariku permen karet mentol—yang kutolak dengan menggeleng—sambil menjabarkan seluruh kiat untuk menyukseskan ED Education. Katanya, dia harus berpikir cerdas untuk membagi waktu antara menyelesaikan skripsi dengan mengorganisasi bimbingan belajar rintisannya tersebut. Paling tidak, dia harus bisa mengejar kuota wisudawan bulan Maret. Di bulan itu, ED Education menargetkan sudah mendidik sekitar lima belas murid. "Dan tahukah kau bagian paling kacau dari semua ini?" "Apa?" tanyaku. "Promosi." "Kenapa dengan promosi? Kau bisa saja menyewa jasa orang untuk melakukannya." "Benar. Kok tidak kepikiran, ya?" Bree mengernyit, berpikir secara mendalam sampai akhirnya kembali menolehku. "Aku merasa payah dengan media sosial. Tapi baiklah. Aku akan menuruti saranmu." Kemudian, aku memikirkannya. Tentang menetap di Bel
"Bukankah kau harus mengambil semua barang-barangmu dari sana?" Aku masih merasa bingung. Bree mengangkat alis dan mencebik ketika melihatku menelengkan kepala. "Untuk memperbaiki hubunganmu dengan kakakmu, hal pertama yang harus kaulakukan adalah tinggal bersamanya, benar?" Barulah aku mengerti. Tapi, sayangnya, kini aku tahu Breelah yang tidak mengerti. Ada hal-hal yang tidak diketahuinya, yang tidak terlalu senang kubagi dengannya menyangkut persaudaraanku yang rusak dengan Edy. Salah satunya adalah ketakutan tidak mendasarku kembali ditinju Edy. Padahal, akulah yang mulai mengangkat tangan padanya, tapi ketika Edy membalas hanya demi melindungi dirinya sendiri dari terkamanku, aku malah merasa sedang dikeroyok, dihina, dipermalukan, dan disingkirkan. Kau tidak perlu merasa dirimu orang asing sehingga pantas disingkirkan, kata Olaf pada sesi konseling pertama kami. Dia benar. Seharusnya aku berhenti merasa begitu.
Kereta selanjutnya dari Leiden menuju Belgia berangkat pukul 18.15. May dan Jeremy segera berpamitan tepat pada pukul setengah enam sore. Mereka berkata akan mencari bus menuju Leiden tapi Papa mengoper kunci mobil padaku dan diam-diam memintaku mengeluarkan mobil dari garasi. Masalah membujuk, serahkan saja pada Bree. Dan begitu mobil siap di depan rumah, May dan Jeremy terbukti telah termakan bujuk rayu Bree. Tentu saja harus Bree karena baik Mama maupun Papa bukan merupakan orang yang tepat melakukan segala daya upaya persuasif. Perjalanan menuju Leiden menggunakan mobil memakan waktu delapan belas menit karena Papa yang menyetir. Setidaknya, kami memangkas waktu lima menit dari biasanya (kalau yang menyetir adalah orang selain Papa). May dan Jeremy segera turun di depan fasad kerangka besi Stasiun Leiden Centraal. Kebetulan, tidak banyak kendaraan yang mengantar pengunjung ke stasiun sore ini sehingga dalam satu lompatan lincah, May mengetu