Lorong kelas penuh sesak karena hujan lebat tiba-tiba turun pagi ini. Beberapa orang melepaskan jaket yang setengah basah, mengibaskan untuk menghilangkan air yang menempel. Dulu, seminggu setelah aku pindah dari New York ke Forks, aku menggerutu setiap kali terkena cipratan air dari jaket yang dikibaskan. Berbeda dengan diriku yang sekarang, tidak peduli dengan masalah sepele itu lagi.
Aku menempelkan jariku ke pemindai sidik jari di lokerku saat Christina mendatangiku yang memakai sweater toska dengan celana jins berwarna hitam. Ujung-ujung celananya basah karena cipratan air hujan. “Tok tok.” Sapanya. Dia nyengir dengan sebelah alis terangkat. “Masa hibernasi selesai, huh?”
Aku mengambil beberapa buku yang akan kubutuhkan, kemudian menutup pintu loker dengan setengah membanting. “Dan aku siap menggigit,” jawabku ketus.
Christina memutar matanya. Dia menarik lenganku dengan cepat kemudian memeluknya. Langkah gadis itu cukup lebar sehingga aku hampir setengah berlari ketika dia menyeretku menuju kelas. "Beberapa siswa heboh ketika mereka tahu kau putus dengan Ben.” Suaranya setengah berbisik. Tapi aku mampu mendengar dengan jelas nada suara Christina yang kesal. “Mereka bilang kau terlalu lemah.”
Aku mendengus, “Dan mereka menganggapku pecundang idiot, kan?”
Christina mendorong pintu kelas fisika dengan bahunya. Sekilas dia melirikku dengan pandangan kesal—karena kalimatku barusan. “Kau yang menganggap dirimu pecundang,”
“Aku melihat mobil bagus diluar, yang sudah lama tak keluar dari sarangnya!” Jeremy yang duduk dibelakang menunjuk-nunjukku dengan semangat. “apa itu salah satu dari taktik balas dendam?”
Mau tak mau aku memutar mataku. Perbincangan yang kami lakukan dengan berbisik disepanjang jalan menuju kelas tidak akan mungkin dilanjutkan lagi, karena sekarang hampir seluruh kelas berusaha untuk berbicara denganku.
“Dan aku memiliki banyak mobil bagus di New York. Ingatkan aku untuk menghadiahimu satu saat kau ulang tahun, okay?” gurauku pada Jeremy yang mulai bersorak-sorak dengan teman-temannya. Beberapa cowok yang duduk dibelakang juga ikut bersorak karena kalimatku.
"Whoa," Sorak para cowok, "Si Ben idiot!"
Tak membalas ucapan dari Jeremy, aku langsung duduk di kursiku. Kuletakkan semua peralatanku diatas meja. Kelas kembali ramai ketika Sidney masuk kelas dengan menggelayuti lengan Ben. Beberapa gadis didepanku mengumpati tingkah Sidney—yang jujur saja, membuatku tersenyum puas.
Sidney duduk di kursi yang sudah disiapkan oleh rombongannya. Mereka adalah teman-temanku dulu—yang kusebut sahabat—saat mereka sering menginap dirumahku dan mengadakan girls day disetiap akhir bulan. Dan mereka tetap teman Sidney, karena seluruh anggota kelompok Sidney adalah teman satu sekolah.
Berbeda dengan Sidney yang memusuhiku, mereka tidak. Aku tahu mereka tidak memiliki alasan untuk membenciku, karena bukan aku yang melakukan perbuatan menyebalkan itu. Aku berani menjamin itu, karena Mia masih mengirim pesan padaku tadi malam, menanyakan kabarku. Steph masih menelponku dua hari yang lalu, menyuruhku untuk masuk sekolah. Tapi ketika itu berhubungan dengan Sidney, mereka berusaha untuk menuruti gadis itu.
Bukan karena Sidney memiliki pengaruh yang besar di sekolah atau kekayaan yang Sidney miliki. Tapi Forks adalah lingkungan yang kecil. Hampir seluruh orang tua siswa saling mengenal, bahkan mereka menghabiskan waktu kecil bersama.
Jadi aku tidak membenci teman-temanku yang kini menjaga jarak dariku.
“Kau tahu kabar tentang Mrs. Cooper?” pertanyaan Christina membuatku menoleh kearahnya. Kunaikkan sebelah alisku—tidak tahu. Aku bukan orang yang ingin tahu seluruh gosip di Forks. Tapi jika pembicaraan itu menyangkut soal guru fisika favoritku, aku merasa penasaran.
Christina memahami ekspresi wajahku yang ingin tahu, jadi dia melanjurkan, “Dia berselingkuh dengan Gerald Winfrey dan sekarang lari ke Canada.”
Aku langsung tertawa tak percaya begitu mendengar gosip itu. Susanne Cooper adalah guru yang baik dan juga teman yang enak untuk diajak mengobrol. Aku bahkan pernah beberapa kali mengunjungi rumahnya untuk membantunya menyusun laporan tahunan. Justin dan Ceryl—dua anak Mrs. Cooper—cukup dekat denganku. Bahkan Jackson Cooper adalah suami yang ramah. Jadi bagaimana bisa keluarga bahagia seperti itu diterpa gosip murahan?
“Kau tidak percaya?” aku langsung mengangguk. Christina mendesah berat. “Aku juga. Tapi sejak seminggu yang lalu kabar itu sudah tersebar.”
“Apa tidak ada yang menyelidiki kebenarannya?” tanyaku menyangkal.
Christina mendengus, “Forks hanya sebesar telapak tanganmu, Abby. Gosip murahan atau fakta mengejutkan akan diketahui dengan cepat.” Christina ingin kembali mengatakan sesuatu, tetapi pembicaraan kami diinterupsi dengan kedatangan guru fisika.
Yang jelas bukan Mrs. Cooper.
Mungkin hanya pengganti sementara sebelum sekolah mendapatkan guru tetap.
Tapi pendapat yang baru saja tergambar dikepalaku disangkal oleh Christina yang menyodorkan kertas padaku, dengan tulisan: aku hanya ingin mengatakan jika guru fisika pengganti Mrs. Cooper adalah pria terkseksi yang pernah kulihat selama aku hidup!!!
Aku membaca tulisan itu dengan cepat kemudian kulipat kertas itu dan kuselipkan di salah satu buku diatas meja. Aku mematung ketika mendengar suara guru fisika yang membuka kelas. Suara berat dan seraknya dibalas dengan antusias oleh seluruh siswa disini. Terlebih siswa perempuan.
Dan hanya aku yang terkejut dengan suara yang ditangkap oleh indra pendengarku.
Antusiasme dalam diriku surut. Merosot hingga ke titik nol dan tidak muncul lagi. Tanpa aku melihat pemilik suara itu, aku sudah memiliki firasat buruk tentang orang yang berdiri didepan kelas.
Christina menyikutku pelan dengan ritme cepat. Membuatku mau tak mau melirik gadis itu. Dia menyuruhku untuk melihat kedepan, agar kalimat dalam suratnya terbukti benar. Aku ingin menolak, tapi suara guru fisika itu mengejutkan kami berdua—terlebih diriku.
“Well, jadi salah satu anggota yang belum kukenal dikelas ini adalah kau, Abigail Miles.”
Sial! Sial! Sial! Batinku berteriak nyaring, membuatku ingin mendesis tajam kearah suara itu.
Tapi kebodohan yang kulakukan selanjutnya adalah, aku mendongak. Dengan memaksakan seulas senyum yang mungkin terlihat kikuk didepan seluruh orang yang sekarang memperhatikanku. “Maaf tidak mengikuti kelasmu minggu lalu, sir.” Jawabku cepat.
Aku bisa melihat Christina terkikik lewat ekor mata. Guru fisika didepanku mengangguk sekali. Kemudian dia memberikanku senyum, yang anehnya membuat seluruh siswa perempuan dikelas ini terkesiap.
Oke, aku memang mengakui senyumnya adalah sebuah kutukan bagiku. Senyum itu terlalu mempesona. Tapi sayangnya saat ini aku tidak bisa menikmatinya.
“Baik, kau akan diberi beberapa tugas untuk mengejar ketertinggalanmu,”
Saat dia berbalik untuk menulis dipapan tulis, Christina lagi-lagi menyikutku dengan cepat. Dia menyodorkan kertas padaku, yang langsung kubuka: Bukankah dia tampan?
Aku melirik Christina, yang juga melirikku dengan senyum mengembang. Akhirnya aku mengangguk setuju saat Christina terus melirikku dengan senyumnya itu.
Siapa namanya? Kubalas pertanyaan Christina yang kutulis dibawah tulisannya, kemudian menyodorkan kepadanya dengan cepat.
Sejujurnya, aku tidak pernah ingin tahu namanya. Aku juga tidak mengharapkan kehadirannya ditempat tinggal baruku. Salah satu alasan aku menyetujui pindah ketempat yang lebih sering hujan ketimbang cerah ini adalah untuk menghindarinya. Tapi, jika masa laluku mengejarku seperti ini, pilihan apa lagi yang kubuat selain mengikuti permainannya?
DAMIEN PRIESSLE.
Christina menulis nama itu dengan huruf kapital, memaksaku untuk menjejalkan kembali namanya di otakku. Setelah kubaca nama itu sekali, kuremas kertas itu kemudian kulemparkan kedalam laci meja.
Dan aku mau tak mau memperhatikan dirinya yang menjelaskan tentang torsi. Damien jelas bukan guru favoritku. Ketampanan dirinya yang membuat satu sekolah gempar, tidak menjadikannya salah satu guru yang menyenangkan untukku. Dia kompeten, jelas. Aku bisa memahami dengan baik apa yang dia jelaskan. Tapi hanya itu kelebihan dirinya dimataku saat ini.
Jadi saat kelas fisika berakhir, aku dengan cepat mengemasi buku-buku diatas meja. Menjejalkan sebagian kedalam tas dan beberapa buku kupeluk didada. Aku tidak menunggu Christina yang tampak jelas ingin berlama-lama di kelas.
Dengan langkah lebar aku meninggalkan ruang kelas sialan itu, meninggalkan Damien yang nampak jelas sejak berakhirnya pelajaran berusaha untuk berbicara denganku.
●●●
Kelas olahraga adalah salah satu kelas favoritku. Mr. Mc.Craken adalah pria berumur setengah abad dengan semangat yang tinggi. Tapi dia memberikan banyak keringanan pada siswa perempuan. Jam olahraga adalah jam terpanjang dalam jam pelajaran di sekolah ini. Kami menghabiskan waktu hampir empat jam untuk berolahraga. Untuk siswa perempuan, biasanya Mr. Mc.Craken akan menyuruh kami melakukan kegiatan olahraga selama dua jam, dan kegiatan bebas selama dua jam.
Aku dan Savannah berdiri di pojok ruang gymnasium, bersiap untuk bermain tenis meja. Ada dua kelompok yang duduk menunggu giliran. Sidney dan teman-temannya yang duduk di kursi penonton, dan beberapa gadis yang duduk didekat kami untuk menonton.
Aku melihat Savannah memukul bola dan dengan cepat kubalas. Kami bermain dengan santai karena Mr. Mc.Craken tidak mengambil nilai latihan. Aku memperhatikan ekspresi Savannah. Sekilas bibirnya mengerucut, sementara alisnya berkerut. Ada sesuatu yang ingin dikatakannya, tapi dia mencoba untuk menahannya.
Pada posisi seperti ini, aku bukanlah pihak yang senang saat ditanya suatu kebenaran. Klarifikasi adalah hal yang penting untukku, tapi untuk masalah percintaan—terlebih kisah cinta menyebalkan seperti ini—aku tak ingin mengatakan apapun.
“Kau putus dengan Ben?” pertanyaan itu tidak terlontar dari mulut Savannah. Aku bisa melihat lawan bermainku itu terkejut sesaat, hingga bola yang aku oper padanya jatuh ke lantai.
Tidak ingin melihat siapa yang bertanya, kufokuskan diriku dengan bola yang akan dipukul oleh Savannah. Semua orang yang berada di sekitarku terdiam, menunggu jawabanku. “Yeah. Sama seperti cerita yang kalian dengar. Sidney dan Ben hadir di pesta Zac, mereka saling menggesekkan tubuh, dan berciuman, dan...” pukulanku pada bola ping pong cukup kuat hingga memantul ke lantai dan bergulir jauh. “seks,” tutupku.
“Zac menemukan mereka di kamar tamu, saat dia membersihkan sisa pesta.” Salah satu anggota dari kerumunan kecil itu bersuara. “Aku bahkan berada disana dan melihatnya,”
Tawa sinis lolos dari bibirku. Kembali perhatian kelompok kecil itu fokus kepadaku. “Kau melihatnya. Seseorang bahkan memotret mereka saat bercumbu malam itu.” Kutatap kelompok kecil itu dengan ekspresi bosan, “Dan yah, aku mengetahui itu esoknya, saat mereka berada di kelas dan saling menempel.”
“Cukup!” Savannah bersuara. Dia meletakkan bet di meja, mengambil sebotol air dari dalam tasnya, dan memberikannya padaku. “Kita sudah mengetahui apa yang terjadi, lalu mengapa kembali bertanya hanya untuk melukai hati seseorang?”
Seluruh sekolah pernah memberikan label si bijak menyebalkan kepada Savannah. Dan hari ini aku membenarkan label itu. Tanpa adanya kata menyebalkan. Dia gadis yang bijak. Pola pikir Savannah bukan seperti remaja yang ingin mengorek luka orang lain.
Kuambil minuman yang disodorkan Savannah, kemudian keluar dari permainan. Aku mengambil duduk dipojok paling atas kursi penonton. Menyandarkan sebelah kepalaku ke dinding, melihat ke lapangan.
Lingkungan kecil seperti forks membuat rahasia yang kau simpan akan mudah diketahui oleh seluruh penduduk. Membuatmu merasa ingin melakukan sesuatu tapi selalu sia-sia. Seperti ruam kulit yang sangat gatal kau garuk tetapi menimbulkan luka.
Dan aku belum terbiasa dengan itu.
Memfokuskan diri untuk melihat lapangan olahraga, aku melihat Sidney tertawa dengan teman-temannya. Beberapa kali aku melihat Sidney menatapku secara terang-terangan, kemudian kembali tertawa.
Jika aku kembali mengingat kejadian seminggu yang lalu, mungkin hal yang paling pertama ingin kulakukan adalah mendorongnya ke sungai Sol Duc. Tapi aku seperti orang idiot hanya melihat mereka saling menempel menjijikkan. Dan tidak meminta penjelesan apapun pada Ben.
Berbicara tentang Sidney, dia bukan gadis remaja dengan kisah cinta yang sederhana seperti remaja lainnya. Kisah cinta Sidney seperti sebuah petualangan. Dia memiliki banyak kekasih yang akan memberikan apa saja keinginannya, sementara kekasih lain Sidney juga sedang berusaha menarik perhatiannya.
Seperti sebuah kompetisi, lebih tepatnya.
Saat aku masih dekat dengannya, biasanya dia akan menceritakan tentang para kekasihnya. Dia akan memamerkan padaku barang-barang yang diberikan oleh kekasihnya. Tas, sepatu, ponsel, jam, apapun yang Sidney inginkan. Kemudian cerita tentang dirinya dan Ben sewaktu kecil. Mereka mandi bersama, bermain sepeda bersama, bermain hujan bersama, dan jutaan kegiatan bersama mereka.
Aku terusik dengan cerita itu. Tapi pikiran bodohku selalu menganggap bahwa mereka hanya sebatas sahabat sejak lahir. Dan kemudian pesta dirumah Zac berlangsung. Foto mereka berciuman beredar di grup pesan. Bahkan video singkat saat mereka ketahuan berada di ranjang yang sama juga sempat kulihat—sebelum video itu dihapus.
Kemudian satu sekolah tahu tentang itu. Menjadikan itu sebagai sebuah bahan perbincangan di setiap kesempatan. Aku, sebagai pacar Ben yang terlalu bodoh hanya menyaksikan itu semua tanpa menanyakan apapun pada Ben.
Aku hanya terlalu malu untuk bertanya. Harga diriku terluka.
Dan aku melarikan diri dari tatapan semua orang selama satu minggu. Mungkin aku akan tetap berada dirumah selama sisa akhir bulan jika mom tidak memaksaku berangkat kesekolah.
Savannah melambaikan tangan padaku, yang langsung kubalas dengan tatapan bertanya. “Kami akan ke kafetaria. Kau ingin ikut?” tawarnya.
Aku menimbang-nimbang sejenak. Ingin menolak jika saja aku tidak melihat Damien masuk dari pintu timur. Aku langsung berdiri untuk menyusul Savannah.
“Ms. Miles!” suara serak itu tidak ingin kudengar untuk selamanya. Tapi pada akhirnya suara itu kembali memanggilku dengan setengah berteriak. Membuat seluruh orang yang berada di ruang gymnasium menatapku dan Damien bergantian.
“Ke ruanganku. Sekarang.” Ujarnya ketika aku berbalik dan menatapnya dengan pandangan menusuk. Aku menggeram kesal. Tanpa menatap Savannah dan teman-temanku lainnya, aku mengikuti langkahnya.
Lorong cukup ramai karena pergantian jam. Hampir setiap mata yang berada di lorong menatap Damien dan aku bergantian. Ben berada didekat lokernya ketika aku melewatinya. Kutatap dia dengan pandangan datar. Ben terlihat ingin mengatakan sesuatu. Tetapi teman-temannya menggodanya dengan bersorak dan meninjunya.
Ruangan Damien Priessle berada tepat disebelah ruang kelas fisika. Ruangannya luas, dengan berbagai alat-alat belajar. Saat Susanne Cooper masih menjabat sebagai guru fisika senior, aku sering mampir ke ruangannya sekedar untuk menanyakan kabar. Kadang-kadang aku menanyakan tugas yang diberikannya. Tapi saat ruangan ini diisi oleh pria yang memiliki masa lalu yang sama denganku, aku tidak ingin menginjakkan kaki disini lagi.
Aku tidak benci ruangannya, ataupun pelajarannya. Aku hanya membenci pria yang sekarang menjadi guru fisikaku.
Damien menyuruhku duduk. Dia duduk diseberangku. Kami hanya berbatas meja kerjanya, tapi aku berani bertaruh akan mencakar wajahnya jika dia berani macam-macam denganku.
Senyum tipis Damien muncul. Seluruh jarinya tertaut sementara kedua sikunya bertumpu pada meja kerja. “Jadi, bagaimana Forks?”
Aku ingin menertawai pertanyaannya. Pertanyaan dasar semua orang ketika lawan bicara baru menetap di suatu tempat. “Cukup menyenangkan.”
“Aku melihat info lowongan kerja ketika aku membuka laman internet. Kupikir Forks akan menyenangkan untukku.” Dia tersenyum sekilas. Matanya terlihat ramah saat menatapku. “Kota kecil dengan banyak hal-hal menyenangkan, kan?”
Oke, jika Damien berusaha untuk berbasa-basi denganku, maka aku akan mengatakan—aku tidak memiliki waktu. Ada banyak hal yang harus kulakukan, dan dia menjebakku di ruangan ini untuk menanyakan hal-hal tidak penting.
“Apakah ibumu masih sering ke New York?”
Aku berdiri dari dudukku. “Mr. Priessle, jika tidak ada yang ingin Anda katakan padaku, aku akan ke kelasku.”
Wajahnya mendongak, menatapku dengan pandangan bersalah. Akhirnya setelah beberapa lama kami saling menatap, Damien mengalah. Dia menunduk. Tangannya mengambil secarik kertas didekatnya, kemudian menyodorkannya padaku.
Kulihat sekilas tulisan tangannya yang rapi. Tugas untuk mengejar ketertinggalanku. Kemudian kulipat kertas itu dan kumasukkan kedalam saku celana trainingku. “Aku akan mengumpulkan sebelum tenggat waktunya.”
Dia tersenyum—paksa. Mengangguk sekali. Tidak membuang-buang waktu, aku langsung berjalan dengan cepat, membuka pintu kemudian menutupnya dengan setengah membanting.
Beberapa siswa yang berada disekitar ruangan itu menoleh saat pintu ruangan Damien dibanting. Kemudian menatapku yang masih menjadi perbincangan untuk menjadikanku lagi sebagai bahan cerita.
●●●
Tidak ada yang lebih menyenangkan daripada membolos di jam pelajaran Ms. Gwen. Dia adalah guru dengan slogan: benci siswa perempuan, cintai siswa laki-laki. Tidak ada keramah tamahan saat siswa cewek bertanya padanya. Dia bahkan sering menggerutu ketika melihat beberapa siswa yang sedang berpacaran.
Biasanya saat jam pelajaran sastra inggris, Ms. Gwen akan memutar film roman dan akan menyuruh kami untuk membuat laporan. Kelompok dalam tugas adalah homogen. Untuk siswa cowok, biasanya Ms. Gwen akan memberikan nilai sempurna. Meskipun mereka adalah sekumpulan berandalan. Dan nilai rata-rata akan diberikan pada siswa perempuan.
Dan sekarang aku duduk di halaman belakang sekolah dengan beberapa teman kelasku yang ikut membolos. Cukup menyenangkan ketika mengetahui Savannah yang juga sekelas denganku di pelajaran sastra inggris ikut membolos. Bahkan Oscar yang sangat patuh dengan tata tertib sekolah juga ikut bergabung dengan kelompok kecil kami.
Sam baru saja kembali dari kafetaria, membawa beberapa bungkus keripik untuk kami. Oscar dengan cekatan membuka bungkus keripik. “Kau tahu, Sidney sedang berjalan kemari.” Katanya saat dia meletakkan bungkus keripik di atas meja.
Aku mengikuti arah pandang kelompok kecilku. Melihat Sidney berjalan dengan pinggul digoyangkan secara berlebihan. Ben mengikutinya dibelakang, nampak kesal karena sesuatu.
Pada momen seperti ini, kecemburuan bukanlah hal nomer satu. Aku hanya merasa lucu. Lucu karena aku bodoh pernah menyukai Ben—yang ternyata tidak punya pendirian. Dan juga merasa lucu dengan tingkah Sidney yang ingin menunjukkan eksistensinya padaku.
“Hai,” suara centil milik Sidney yang tidak kudengar selama seminggu terakhir membuat telingaku gatal. Dia duduk di pojok kursi panjang di seberangku. Sementara Ben berdiri dibelakangnya dan menatap kearah hutan belakang sekolah.
“Oh, Abby,” wajahnya mendramatisir saat dia menyebut namaku. “aku ingin mengklarifikasi masalah yang terjadi seminggu yang lalu. Aku—”
Kupotong kalimat penuh bisa milik Sidney dengan gelengan kuat. “Tidak, Sid. Aku bahkan tidak peduli.”
Ben menatapku saat aku mengatakan itu. Dia cukup terkejut dan mungkin juga merasa terluka. Tapi aku tidak peduli.
“Apapun penjelasanmu, aku tidak peduli. Aku melihat semuanya, aku tidak memberikan kesempatan untuk berbaikan. Tidak padamu, tidak pada Ben.”
Sidney mendengus, “Kau tidak menyukai Ben selama ini, kan?”
Pertanyaan konyol Sidney membuatku memutar mata. “Sweety, jika aku tidak menyukai Ben, aku tidak akan mengencaninya. Aku bahkan bisa mengencani pria yang jauh lebih tampan darinya.”
Bisa kulihat wajah Sidney berubah memerah. Gadis itu bukanlah seseorang yang senang saat dilawan. Dia adalah anak manja, dengan banyak keinginannya yang selalu dipenuhi oleh orang-orang disekitarnya.
Sidney berdiri, dia berjalan kearahku. Tangannya dengan cepat menarik sebelah kerah kemejaku. “Kau,” suara centilnya berubah mengintimidasi. “membuatku semakin membencimu!”
Aku tertawa karena kalimatnya. “Apa kau sekarang menunjukkan wajah aslimu?” tantangku.
“Sidney lepaskan!” Savannah ikut berdiri, mencekal tangan Sidney yang menarik kerah kemejaku. Tapi cengkeraman Sidney sangat kuat. Tangan yang dipenuhi cat kuku itu tidak bergerak meskipun Savannah berusaha menyentaknya.
“Hentikan, Abby. Orang-orang mulai berkumpul.” Kali ini Savannah mengalihkan perhatiannya padaku.
“Apa kau tahu Ben menceritakan rahasiamu kepadaku, Sid?” tanyaku menyulut kemarahannya. Memancing kemarahan Sidney bukanlah yang sulit. Sidney seperti granat yang akan meledak ketika pemicunya dilepas. Begitu mudah untuk meledak.
“Brengsek kau, jalang!” teriaknya histeris. Dia mendorongku kuat. Membuatku mundur beberapa langkah. Savannah memegangi pundakku sebelum aku jatuh terjengkang.
Sidney menatap Ben dengan kemarahan yang mendidih. Kemudian tatapannya beralih kearahku. Wajah merah Sidney hampir berubah menjadi ungu karena kemarahannya. “Kau yakin masih ingin menceritakan rahasia kelammu pada Ben?” sulutku lagi.
Sidney kembali ingin menyerangku, tapi Ben dengan cepat menarik Sidney. Aku tertawa menghina. Savannah bahkan terdiam karena kemampuanku membuat seseorang naik darah. “Jaga dia baik-baik Ben. Anjing selalu menyalak. Buat anjingmu diam.”
Aku mengambil tasku dengan sentakan. Kemudian dengan cepat pergi meninggalkan Sidney yang mulai berteriak histeris seperti orang gila.
Tak jauh dari pusat drama, aku melihat Damien Priessle berdiri dengan kedua tangan terlipat. Menatapku dengan datar.
Kuputuskan untuk pulang kerumah. Kulihat pintu kamar mom terbuka. Dia sedang memasukkan pakaian kedalam koper. Ketika melihatku berdiri didepan pintu kamarnya, dia langsung melihat arloji di tangannya. Kemudian kembali memasukkan beberapa pakaian formal sebelum menutup koper. “Kau sudah pulang?”“New York?” tanyaku tanpa menjawab pertanyaannya.Mom menggeleng, “Miami.”Dapat kulihat sudut bibir mom berkedut menahan senyum. Sementara aku mengerang kesal. “Kau ke Miami tanpa diriku?”Tawa mom pecah saat aku menjatuhkan diri ke ranjang disebelahnya. Berguling seperti anak berumur lima tahun yang sedang merajuk.Yeah, aku merindukan udara seperti Miami. Aku merindukan matahari yang menyengat menusuk kulitku! Dan mom pergi sendiri tanpa mengajakku.“Okay, aku harus berangkat sekarang. Aku harus secepatnya berangkat, Abby. Membutuhkan hampir lima jam menuju Seattle.” Mom menggoyang-goyangkan tubuhku yang tertelungkup. Aku ingin m
Aku bergelung pada selimut lembut yang tebal. Rasanya hangat. Bunyi klakson dikejauhan membuatku berpikir ulang. Forks tidak seramai ini. Kubuka mataku perlahan. Langit mendung diluar jendela besar membuatku merasa mengantuk. Salju sedang turun. Aku ingin kembali tidur, tapi tubuhku menolak.Kulepaskan diri dari gelungan selimut. Dengan malas berjalan ke kamar mandi untuk menyikat gigi dan mencuci muka. Kesadaranku baru benar-benar merasuki diri saat aku menatap pantulan wajahku pada cermin diatas westafel.Bukan. Cermin ini bukanlah cermin yang sama dengan cerminku di Forks. Aku berputar, menatap dinding dengan cat berwarna gading. Dibagian atas dekat langit-langit ada lukisan telapak tangan berwarna biru dan kuning yang dulu pernah kubuat dengan mom.Bukan. Ini bukan kamar mandiku di Forks. Ini adalah kamar mandiku di New York!Dengan cepat aku melangkah pergi dari kamar mandi. Kuputar gagang pin
Aku terbangun karena alarmku berbunyi nyaring. Rasanya ingin tetap berada dibawah selimut. Tapi aku harus bersekolah. Kupandang sejenak langit Forks yang berkabut. Hujan semalam membuat suhu semakin dingin.Pagi ini, aku bangun dengan perasaan kacau. Aku bahkan menemukan jejak air mata di wajahku. Mimpiku tentang Damien, yang sudah hampir tujuh bulan tidak menghantuiku, kini mulai kembali. Ada rasa penyesalan dihatiku karena tidak menyelesaikan permasalahanku dengannya dulu. Tapi kemudian kusingkirkan perasaan bodoh itu dengan berpikir bahwa dirinya yang memicu masalah.Kuperiksa ponselku sebentar. Menemukan pesan mom yang mengatakan dia akan terbang ke New York, sebelum melanjutkan perjalanan ke Miami. Lalu pesan dari nomer semalam yang menanyakan kabarku hari ini.Aku mengerang kesal. Ingat bahwa hari ini ada kemungkinan aku akan bertemu dengan Damien Priessle meskipun secara kebetulan.Akhirnya, setelah aku selesai merutuki mimp
Satu tahun yang lalu“Baik, aku menyerah!” aku tidak suka belajar. Tapi mom memberikan syarat mengerikan itu jika aku ingin ponsel baru. Hanya untuk ponsel!Damien tersenyum singkat sebelum kembali menatap buku. Seakan-akan buku itu bisa berlubang jika terus dia tatap, Damien tak mengalihkan pandangannya bahkan saat aku bergulingan seperti kaleng bir kosong.Aku melemparkan kacamataku pada Damien. Dia menoleh sejenak, kemudian kembali membaca bukunya. “Demon,” rengekku seperti anak kecil.Jika mom melihat kelakuanku sekarang maka hal pertama yang akan dilakukannya adalah melempariku dengan bantal. Tapi beruntungnya aku hari ini karena mom sedang lembur di kantor dan akan pulang larut.“Damien!” kutarik-tarik lengan kemeja Damien, membuatnya terpaksa untuk kembali mengalihkan fokusnya padaku. Wajahnya mencair sejenak—aku bisa melihat ekspresinya yang terlihat terganggu—kemudia
Damien mengeluarkan kunci yang disimpannya. Memutar kunci hingga pintu itu terbuka. Tapi aku kembali menutupnya. Kusandarkan tubuhku di pintu. Mengurangi keterkejutanku pada kalimatnya. Tubuhku ingin ambruk, tapi aku memaksa kakiku untuk menyangga. “Katakan kau berbohong,” suaraku bergetar. Kularikan tanganku ke bibir, menutup mulutku dengan sebelah tanganku. Damien menatapku dengan ekspresinya yang tanpa topeng. Wajahnya terlihat kecut, dia menarik sudut bibirnya, tersenyum miris. Aku tidak ingin mempercayainya. Tapi aku mengetahui dirinya hampir seluruh hidupku. Ekspresinya yang menyakitkan, yang membahagiakan, aku mengetahui semuanya. Udara terasa menyesakkan. Aku tidak tahu kapan aku menangis. Aku baru menyadari saat wajahku sudah basah karena air mata. “Damien katakan kau berbohong!” bentakku. Aku bisa melihat tubuhnya mundur selangkah. Langkah defensif yang dia ambil, menolak untuk menjawab secara halus. Ada jejak jijik p
Satu tahun yang laluSudah satu minggu aku tidak bisa menghubungi Damien. Aku sudah mengirimkan puluhan pesan suara padanya. Dan mungkin dia juga belum mendengarnya.Seminggu yang lalu Damien menceritakan kisah lucunya padaku. Kisah tentang dirinya yang ingin menguliti ayahnya. Menjadikannya bagian-bagian kecil untuk dijadikan umpan ikan saat dia pergi berlayar di pertengahan tahun nanti.Fantasi-fantasi liar Damien yang membuatku takut. Keinginan mengerikan Damien yang jarang muncul, tapi masih membuatku merinding setiap kali mendengarnya. Kembali kuraih ponsel yang sejak sepuluh menit yang lalu kutatap nyalang. Kutekan speed dial dengan penuh cemas. Damien harus mengangkat ponselnya atau aku akan mendobrak apartemennya.“Abby?” Suara Damien terdengar berdengung. Dia pasti sedang mabuk. Aku bersyukur dia akhirnya menghidupkan ponselnya, tapi tidak dengan keadaan mabuk seperti ini. “Ab
Selama satu minggu ini, cuaca Forks cukup baik. Matahari muncul menjelang pukul sepuluh dan kabut yang tidak terlalu tebal. Semua orang melakukan aktivitas diluar rumah dengan bahagia. Tapi tidak denganku. Aku bergelung pada selimut, memasang pemanas ruangan meskipun cuaca tidak terlalu sejuk. Selama satu minggu ini, aku kembali mengasingkan diriku didalam rumah. Mengabaikan seluruh panggilan dan juga pesan dari teman-temanku. Mengabaikan pertanyaan kesal mom yang semakin hari berubah menjadi pertanyaan kebingungan. Aku tidak mengatakan apapun. Aku tidak ingin melihat siapapun. Mom mengetuk pintuku untuk yang kelima kalinya pagi ini. Memaksaku untuk keluar kamar dan mengatakan sesuatu. Tapi aku hanya mengatakan bahwa aku baik-baik saja. Mungkin mom mengira aku belum siap melihat Ben dan Sidney di sekolah. Dan aku sedang tidak ingin meluruskan pemikiran mom yang salah. Kubiarkan seluruh asumsi orang-orang yang melihatku kembali mengurun
Hari ini mom berangkat ke New York. Beberapa kliennya ingin dirinya langsung yang menjadi pengacara. Mom tidak tahu kapan dia akan pulang. Mungkin dua minggu lagi, atau mungkin sebulan lagi. Setelah membantunya melipat beberapa pakaian untuk dimasukkan kedalam koper, mom menutup koper, mendorong koper itu hingga bergerak menjauh dan membentur kursi goyang. Mom melirik sekilas arlojinya, kemudian menjatuhkan tubuhnya ke ranjang. Wajahnya menatapku, dengan seringaian lucu. "Beberapa hari ini berjalan dengan baik?" Aku masih kesal dengan ibuku. Tapi bagaimanapun juga, dia adalah ibuku. Rasa sayangku padanya jauh lebih besar dari kekesalanku. Mungkin karena kami hidup berdua. Mungkin karena aku hanya memilikinya. Aku mendengus. Bergabung dengan ibuku. "Orang-orang berpikir aku terpuruk karena Sid dan Ben. Tapi semuanya baik-baik saja." Jelasku. Mom bergerak miring, menarik kepalaku. Membawanya kedalam dekapannya. Hal yang sejak kecil selal
Kencan adalah hal yang menyenangkan untukku. Damien memiliki banyak kejutan menyenangkan, sama seperti dulu, saat kami masih remaja dan ibunya masih hidup. Dia banyak tertawa, banyak bercerita. Membuatku lupa jika aku pernah melalui hari-hari yang berat saat berpisah dengannya, atau saat Sidney memusuhiku. Saat ini, berada di rumahnya, dengan api unggun dan halaman belakang yang dipenuhi bantal dan lampu, kami duduk bergelung. Saling memeluk dan melilitkan kaki. Meskipun dalam lingkungan kecil, rumah-rumah berjarak cukup lebar, memberikan kami privasi untuk melakukan hal-hal yang menyenangkan. Hanya kami berdua. Damien sedang bersenandung. Menyanyikan lagu pengantar tidur untukku. Seperti setahun yang lalu. "Aku bosan bernyanyi lagu yang sama selama dua jam." Keluhnya dipertengahan lagu. Aku tertawa. Memberikannya ciuman menyemangati untuknya. "Aku ingin satu jam lagi." Pintaku. Dia mendengus disela nyanyiannya, tapi tetap tak memprotes dan me
Bergelung didalam selimut adalah suatu hal yang menyenangkan untukku. Aku sedang ingin bermalas-malasan. Kuabaikan suara berkelontang yang berasal dari dapur di lantai bawah. Mom pasti sedang berperang dengan api dan wajan. Dan aku tak ingin mengganggunya. Hal yang menyenangkan kedua setelah bergelung adalah, sarapan yang dia antarkan untuk diriku. Bukan karena aku anak manja, tapi panas tubuhku belum berkurang sejak tiga hari yang lalu. Mungkin efek percobaan pembunuhan yang dilakukan Sidney seminggu yang lalu. Dan suaraku belum begitu membaik. Dokter bilang, ada trauma pada pita suaraku. Beruntung aku tidak bisu, karena kuatnya cekikan yang diberikan Sidney. Kabar Sidney? Dia dipenjara. Kedua orang tuanya memberikan pengacara terbaik untuk mengurangi hukumannya. Tapi tak ada yang bisa mengalahkan mom. Aku yakin ibuku akan memberikan hukuman maksimal, yang setimpal dengan yang dilakukannya. "Abby, kau sudah bangun?" Mom membuka pelan pintu kamarku. Melongok
Suaraku serak nyaris hilang. Memanggil Damien yang kesetanan seperti malam sewaktu Sidney menghancurkan mobilku adalah suatu hal yang sia-sia. Kuseret tubuhku, melindas pecahan kaca dan rongsokan microwave yang berserakan dilantai. Semua itu tak terasa sakit dibanding Sidney memukul dan mencoba mencekikku. Berada ditengah ruangan, dua orang itu seperti berada dalam lingkup sendiri. Sidney sibuk meronta, mencakari tangan Damien yang bergeming. Sementara kedua kakinya menendang udara. Kupaksa tubuhku semakin cepat bergerak. Hingga akhirnya aku berhasil menarik ujung kemejanya yang tak terkancing. "Dame." Suaraku seperti bisikan. Aku melihat tubuh Damien yang tersentak. Dengan cepat kedua tangannya terlepas dari leher Sidney. Dia menoleh, menatapku dengan sorot menyesal. Gerakannya terlihat cepat. Tahu-tahu dia sudah mengangkatku, membawaku keluar dari kekacauan di ruangan ini. Damien mendudukkanku di ruang TV. Tak menunggu lama, dia langsung menghilang
Damien selesai memasukkan mobilku kedalam garasi. Aku bisa mendengar langkah cepatnya di tangga, kemudian pintu kamarku terbuka. Dia memelukku sekilas, mendaratkan bibirnya pada bibirku, kemudian mencebik. "Kau bisa kembali malam nanti," bujukku sambil menepuk pelan lengannya. "Aku benar-benar butuh waktu sendiri. Hanya beberapa jam kedepan," "Aku tidak suka ini, Angel." Rengutnya tak setuju. Kuselipkan sebelah tanganku pada rambutnya-mengusap-usap pelan. "Aku benci membuatmu sendirian." Mendengar tingkahnya yang merajuk seperti anak berumur enam tahun membuatku tertawa. "Kau bisa kemari jam tujuh, okay?" "Aku benci bernegosiasi denganmu," dengusnya. Dia menciumku kembali, sebelum akhirnya mengalah dan pulang. Pintu kamarku ditutup dengan pelan, kemudian langkah kaki Damien terdengar menuruni tangga. Kularikan tubuhku mendekati jendela. Melihat Damien yang menembus gerimis menuju mobilnya. Dia menekan klakson satu kali, sebelum keluar
Di hari terakhir sekolah, seluruh orang menatapku dengan penasaran. Aku bahkan dipanggil oleh kepala sekolah, menanyakan kabar hubunganku dengan Damien.Sejujurnya, aku ingin berbohong. Tapi semalam Damien datang dengan menyerahkan surat pengunduran diri. Kemudian tadi pagi dia mengantarku ke sekolah dengan sebuah ciuman sebelum aku berjalan ke gerbang sekolah. Disaksikan oleh beberapa orang.Kuakui semuanya pada semua orang yang bertanya padaku. Bahkan kepala sekolah yang kini sedang mengurut pangkal hidungnya."Well, Ms. Miles, kau mengatakan bahwa sebelum kau pindah ke Forks, kau sudah memiliki hubungan dengan Mr. Priessle?"Kulemparkan senyum bahagiaku—yang terlalu nampak kubuat-buat—dan mengangguk mantap. "Ya, sir."Pria tua di depanku mengangguk-angguk pasrah. "Baiklah, kau boleh kembali ke kelas." Ujarnya kemudian.Aku buru-buru keluar dari ruangan. Menemui Mia yang menungguku di luar. Dia menepuk bokongk
Mobil Damien terparkir di sudut, dengan dua anak laki-laki berkumpul disana. Aku melihat punggung Sam yang membelakangiku, sementara Damien menekan tuas dongkrak dan salah satu siswa cowok lainnya memegang ban cadangan."Ada apa?" tanyaku saat jarak kami tak terlalu jauh. Damien mendongak memperhatikan Sam bekerja, sementara Sam menoleh mendengar suaraku.Sam menjawab, dengan suara setengah menggeram karena memutar besi yang aku tak tahu apa namanya. "Dean melihat gadis itu menusuk-nusuk ban Mr. Priessle dengan pisau.""Sidney?""Yap." Balas Sam cepat. "Untung saja Dean melihatnya. Mungkin dia akan merusak seluruh ban jika tidak ketahuan,"Kupejamkan mataku sejenak. Mendengar penjelasan Sam membuat kepalaku sakit. Perbuatan Sidney sudah diluar batas kewajaran, dan nampaknya Damien tak ambil pusing dengan hal ini."Dia bahkan mengacung-acungkan pisau itu kewajahku," keluh cowok yang sejak tadi memegang ban."Dasar lembek," ejek Sam.
Pagi ini aku meminta dirinya untuk menurunkanku di depan rumahku, berangkat sekolah dengan mobilku sendiri. Tapi Damien menolak dengan keras. Dia bahkan tak menggubris kekesalanku, dan memaksaku masuk ke mobilnya. Damien menyeringai ketika aku bungkam di sepanjang perjalanan menuju sekolah. Suasana hatinya terlihat sangat bagus hari ini. Dia bernyanyi dengan lantang, mengikuti lagu di playlist mobilnya. Rasanya perjalanan menuju sekolah sangat singkat. Sekarang aku bisa melihat gerbang sekolah di depanku. Lapangan parkir adalah salah satu tempat paling cepat menyebarkan gosip. Damien sengaja menurunkanku di lapangan parkir siswa. Dengan mengedipkan matanya padaku, dia berlalu menuju parkiran khusus guru. Aku bisa melihat seluruh tatapan orang yang berada di parkiran tertuju padaku. Bahkan ketika aku melirik ke sudut dimana Christina sering berkumpul dengan teman-temanku—mereka menatapku dengan pandangan tak percaya. Langkah lebar Christina me
Aku meninggalkan rumah Kate dengan buru-buru. Memberitahu keempat temanku bahwa seluruh kaca dirumahku dipecahkan seseorang, sekaligus melarang keras mereka untuk ikut denganku. Mom sedang diluar kota, apa yang akan kukatakan padanya nanti? Jarak rumah Kate menuju rumahku hanya membutuhkan waktu tak lebih dari lima belas menit. Tapi saat ini, kuinjak pedal gas dalam-dalam, dan sampai dirumah kurang dari sepuluh menit. Mobil Damien terparkir di bahu jalan. Dengan cepat kutepikan mobilku dibelakang mobilnya. Halaman rumahku sudah didatangi beberapa orang. Ben, ibunya, kedua orang tua Sid, Damien, dan dua orang polisi. Aku berjalan dengan cepat, kemudian berdiri disebelah Liliana—ibu Ben. Tangannya dengan cepat merangkulku, memberikanku pelukan singkat menenangkan. Rumahku seperti kapal pecah. Seluruh kaca depan dan lantai dua pecah. Aku belum mengecek keadaan jendela bagian samping dan belakang, tapi dapat kupastikan seluruhnya pecah. "M
"Kemana mom?""San Diego. Empat atau lima hari. Mungkin Amanda akan pulang akhir pekan,"Aku mengangguk, "Bagaimana kau bisa kemari?"Damien terdiam sejenak. Kemudian dia terkekeh pelan, "Dengan perencanaan yang matang. Dan persiapan yang banyak. Karena aku tahu kau akan membenciku. Tapi aku tidak tahu rasanya akan semenyakitkan ini.""Apa sekarang rasanya membaik?""Yap, sangat." jawabnya. Dia mencium puncak kepalaku, kemudian melanjutkan, "Aku belajar banyak hal selama terapi. Tersenyum, menangis, marah, tertawa, kesal, benci—kau tahu ekspresi selayaknya manusia. Orang disekitarku di New York menganggap aku menyenangkan—mungkin karena aku berlatih berekspresi. Tapi saat pindah ke Forks—saat aku bertemu denganmu—aku merasa tidak pantas untuk bahagia.""Kau takut untuk bahagia." Koreksiku."Yah, kau benar. Lebih tepatnya, aku takut untuk kecewa. Aku takut untuk kehilanganmu. Karena aku tahu kau yang paling terl