Share

Bagian 5

last update Last Updated: 2021-07-15 14:56:25

Satu tahun yang lalu

“Baik, aku menyerah!” aku tidak suka belajar. Tapi mom memberikan syarat mengerikan itu jika aku ingin ponsel baru. Hanya untuk ponsel!

Damien tersenyum singkat sebelum kembali menatap buku. Seakan-akan buku itu bisa berlubang jika terus dia tatap, Damien tak mengalihkan pandangannya bahkan saat aku bergulingan seperti kaleng bir kosong.

Aku melemparkan kacamataku pada Damien. Dia menoleh sejenak, kemudian kembali membaca bukunya. “Demon,” rengekku seperti anak kecil.

Jika mom melihat kelakuanku sekarang maka hal pertama yang akan dilakukannya adalah melempariku dengan bantal. Tapi beruntungnya aku hari ini karena mom sedang lembur di kantor dan akan pulang larut.

“Damien!” kutarik-tarik lengan kemeja Damien, membuatnya terpaksa untuk kembali mengalihkan fokusnya padaku. Wajahnya mencair sejenak—aku bisa melihat ekspresinya yang terlihat terganggu—kemudian kembali seperti semula. “Aku lapar,” keluhku.

“Kau akan mendapatkan makananmu jika menyelesaikan soal-soal itu.” suaranya terdengar menyenangkan ditelingaku, meskipun hanya berupa gumaman.

Aku menarik diriku untuk duduk. Kemudian kusandarkan kepalaku pada meja, sementara tanganku menyentuh bulu-bulu karpet yang menjadi alas duduk kami.

Jika saat seperti ini Damien tidak akan luluh dengan kata-kata yang kuucapkan, maka langkah selanjutnya yang harus kulakukan adalah merajuk. Kutatap dia dengan pandangan kesal dengan bibir mencebik khas diriku.

Dan Damien hanya bertahan selama dua menit. Dia akhirnya menutup buku yang sedang dibacanya, kemudian menarikku hingga berdiri bersamanya.

Dengan cepat kulingkarkan kedua tanganku pada lehernya, kemudian kedua kakiku pada pinggangnya. Kusurukkan wajahku ke ceruk lehernya. Mengcium bau tubuhnya yang selalu kurindukan. Damien membawa tubuhnya ke sofa panjang di ruang TV. Menyandarkan tubuhnya pada lengan sofa, dengan kedua tangannya yang memelukku erat.

“Aku ada kelas besok,” ujarnya.

“Aku akan membolos besok,” balasku cepat.

Ugh! Aku hanya ingin menghabiskan esok hari dengan dirinya. Hanya dengan dirinya. Bergelung di selimut, membahas banyak hal dan bermalas-malasan. Aku tidak ingin keluar rumah. Aku hanya ingin di rumah dengan dirinya, seharian.  

Angel—”

“Aku ingin kau bolos denganku,” kataku keras kepala. Kulepaskan wajahku dari ceruk lehernya, menatap Damien yang membalas tatapanku dengan datar. “Aku merindukan dirimu.” Lanjutku.

Damien menarik wajahku padanya. Memberikan bibirnya pada bibirku, melepaskan kerinduan yang selama ini kumiliki untuknya. Dia yang pertama melepaskan ciuman kami. Wajahnya menatapku.

Ekspresinya penuh luka.

“Ada apa?”

Kuarahkan jariku pada wajahnya. Menyentuh pelipisnya, turun ke pipi, kemudian pada rahangnya. Aku mengusap bekas luka pada rahangnya, bekas yang ayahnya tinggalkan untuk dirinya. Selamanya.

Damien memejamkan mata. Wajahnya yang terlihat baik-baik saja saat didepan semua orang berbeda saat bersamaku. Saat ini, aku melihat wajahnya yang rapuh. Ekspresi penuh lukanya, keinginannya untuk mati, keinginannya untuk membunuh ayahnya, kebenciannya pada dunia, kebenciannya pada dirinya sendiri. Aku melihat semuanya.

Saat ini.

Damien menyunggingkan senyum.

Senyum yang rasanya cukup mengerikan. Seperti seorang psikopat yang tersenyum setelah selesai menggantung korbannya. Senyum dirinya pada keinginan kelamnya. Senyum yang sudah beberapa tahun terakhir jarang kulihat.

“Aku memimpikan dia.”

Oh!

Kalimat singkatnya membuatku bertindak secara impulsif. Kuraih bibirnya, mengambil seluruh ucapan mengerikan yang belum dia keluarkan. Membuatnya lupa untuk sesaat. Damien membalas ciumanku. Tangannya yang memelukku erat mulai melonggar, merambat lambat menciptakan hasrat yang selalu kami tahan. Sebelah tangannya menelusup kedalam kaosku. Tangannya menyentuh kulitku.

Tapi kemudian dia melepaskan ciuman kami. Tangannya kembali ketempat asalnya. Wajahnya menatapku yang merasa kecewa. “Aku mencintaimu.” Ujarnya.

“Aku lebih mencintaimu.” Balasku sebelum kembali menciumnya.

Damien menggenggam penuh rambutku, menekan dengan keras, hingga aku bisa merasakan keinginannya yang dia tahan. “Apapun itu, jangan.” Ujarku. “Kau harus terus berjalan, demon. Aku selalu bersamamu,” janjiku.

Untuk saat ini, aku tidak ingin memikirkan apapun. Aku hanya ingin ketenangan jiwanya. PTSD yang dia idap, harus ada jalan keluarnya. Psikiatri yang sering kami kunjungi memberikan banyak progres positif.

Damien mampu terlihat baik-baik saja. Psikiaternya sangat menyukai perubahan sikap Damien dari waktu ke waktu. Tapi dibelakang psikiaternya, pikiran menyeramkan Damien tetap ada. Kemarahan yang dia simpan dengan rapi; kebencian yang dia pupuk; ketakutan yang menjeratnya; delusi yang menggerogotinya—semuanya mampu dia simpan dengan baik dan di tumpahkan padaku.

Damien… terlalu lihai dalam menyimpan semuanya. 

“Mungkin kau bisa, tapi aku tidak.” Balasnya cepat. “Aku bukan orang yang pantas untukmu. Mimpiku kembali lagi, angel. Setiap malam, setiap aku memejamkan mata, aku memimpikan dirinya. Memimpikan dia menghantam ibuku dengan kursi. Menancapkan pisau pada punggungnya. Tawa mengerikannya. Aku memimpikan semuanya selama beberapa bulan terakhir.

“Kemudian saat aku bangun, aku membayangkan untuk membunuhnya dengan banyak cara kejam yang aku tahu. Kadang-kadang jika aku beruntung didalam mimpiku aku mampu membunuhnya. Kemudian ibuku kembali hidup. Kami mengubur mayatnya, atau menghanyutkannya. Kadang-kadang aku hanya meninggalkan mayatnya. Kami bahagia.

“Tapi aku hanya bermimpi, angel. Saat aku terbangun semuanya terasa menyakitkan. Aku meminum antidepresan, tapi tidak ada yang berpengaruh.”

“Kau punya aku, Damien.” Bisikku pelan.

Damien mengangguk setuju. “Hanya dirimu. Hanya kau yang selalu membuatku tenang. Setiap aku tidur dan memelukmu, aku tidak akan memimpikan apapun. Aku bergantung padamu, tapi aku tidak bisa menyeretmu pada kegilaanku. Aku tidak normal, Abby. Keinginanku untuk membunuhnya semakin kuat setiap harinya. Aku ingin berhenti. Tapi keinginan berhenti hanya saat bersamamu.”

“Bawa aku, Damien. Aku selalu bersamamu.” Jawabku cepat—menatap wajahnya yang begitu tersiksa.

Oh sayangku!

“Kumohon, jangan lakukan apapun, sayang. Aku mengetahui dirimu, aku—”

“Tapi aku tidak, angel. Aku tidak mengenal diriku.” Jawabnya. “Suatu saat kau akan takut padaku. Suatu saat kau akan membenciku. Aku tidak ingin mengalami itu,”

“Kau tidak akan mengalaminya.” Kurengkuh wajahnya. “Damien lihat aku! Apapun yang terjadi aku selalu bersamamu, aku menjamin itu. Jadi jangan melepaskan aku, okay?”

Aku bisa menatap ketidakyakinan pada matanya. Tapi Damien mencari jawaban dari ketidakyakinannya padaku. “Berjanjilah padaku, Dame. Tidak membunuh dan selalu bersamaku. Jangan tinggalkan aku, jangan tinggalkan dirimu yang selama ini kau paksa untuk bertahan.”

Damien tersenyum sedih, memberikan sisa-sisa kepercayaannya padaku. Dia pertaruhkan sedikit rasa keinginannya untuk bertahan padaku, kemudian mengangguk setuju.

Pada seorang gadis yang baru berumur tujuh belas tahun.

Yang belum memahami dunia yang menyeramkan.

Kubalas senyum sedihnya dengan senyum tulusku. Kutepuk pelan punggungnya. “Sekarang aku benar-benar ingin makan.” Kataku mengingatkan.

Related chapters

  • Effervescent   Bagian 6

    Damien mengeluarkan kunci yang disimpannya. Memutar kunci hingga pintu itu terbuka. Tapi aku kembali menutupnya. Kusandarkan tubuhku di pintu. Mengurangi keterkejutanku pada kalimatnya. Tubuhku ingin ambruk, tapi aku memaksa kakiku untuk menyangga. “Katakan kau berbohong,” suaraku bergetar. Kularikan tanganku ke bibir, menutup mulutku dengan sebelah tanganku. Damien menatapku dengan ekspresinya yang tanpa topeng. Wajahnya terlihat kecut, dia menarik sudut bibirnya, tersenyum miris. Aku tidak ingin mempercayainya. Tapi aku mengetahui dirinya hampir seluruh hidupku. Ekspresinya yang menyakitkan, yang membahagiakan, aku mengetahui semuanya. Udara terasa menyesakkan. Aku tidak tahu kapan aku menangis. Aku baru menyadari saat wajahku sudah basah karena air mata. “Damien katakan kau berbohong!” bentakku. Aku bisa melihat tubuhnya mundur selangkah. Langkah defensif yang dia ambil, menolak untuk menjawab secara halus. Ada jejak jijik p

    Last Updated : 2021-07-18
  • Effervescent   Bagian 7

    Satu tahun yang laluSudah satu minggu aku tidak bisa menghubungi Damien. Aku sudah mengirimkan puluhan pesan suara padanya. Dan mungkin dia juga belum mendengarnya.Seminggu yang lalu Damien menceritakan kisah lucunya padaku. Kisah tentang dirinya yang ingin menguliti ayahnya. Menjadikannya bagian-bagian kecil untuk dijadikan umpan ikan saat dia pergi berlayar di pertengahan tahun nanti.Fantasi-fantasi liar Damien yang membuatku takut. Keinginan mengerikan Damien yang jarang muncul, tapi masih membuatku merinding setiap kali mendengarnya. Kembali kuraih ponsel yang sejak sepuluh menit yang lalu kutatap nyalang. Kutekan speed dial dengan penuh cemas. Damien harus mengangkat ponselnya atau aku akan mendobrak apartemennya.“Abby?” Suara Damien terdengar berdengung. Dia pasti sedang mabuk. Aku bersyukur dia akhirnya menghidupkan ponselnya, tapi tidak dengan keadaan mabuk seperti ini. “Ab

    Last Updated : 2021-07-21
  • Effervescent   Bagian 8

    Selama satu minggu ini, cuaca Forks cukup baik. Matahari muncul menjelang pukul sepuluh dan kabut yang tidak terlalu tebal. Semua orang melakukan aktivitas diluar rumah dengan bahagia. Tapi tidak denganku. Aku bergelung pada selimut, memasang pemanas ruangan meskipun cuaca tidak terlalu sejuk. Selama satu minggu ini, aku kembali mengasingkan diriku didalam rumah. Mengabaikan seluruh panggilan dan juga pesan dari teman-temanku. Mengabaikan pertanyaan kesal mom yang semakin hari berubah menjadi pertanyaan kebingungan. Aku tidak mengatakan apapun. Aku tidak ingin melihat siapapun. Mom mengetuk pintuku untuk yang kelima kalinya pagi ini. Memaksaku untuk keluar kamar dan mengatakan sesuatu. Tapi aku hanya mengatakan bahwa aku baik-baik saja. Mungkin mom mengira aku belum siap melihat Ben dan Sidney di sekolah. Dan aku sedang tidak ingin meluruskan pemikiran mom yang salah. Kubiarkan seluruh asumsi orang-orang yang melihatku kembali mengurun

    Last Updated : 2021-07-21
  • Effervescent   Bagian 9

    Hari ini mom berangkat ke New York. Beberapa kliennya ingin dirinya langsung yang menjadi pengacara. Mom tidak tahu kapan dia akan pulang. Mungkin dua minggu lagi, atau mungkin sebulan lagi. Setelah membantunya melipat beberapa pakaian untuk dimasukkan kedalam koper, mom menutup koper, mendorong koper itu hingga bergerak menjauh dan membentur kursi goyang. Mom melirik sekilas arlojinya, kemudian menjatuhkan tubuhnya ke ranjang. Wajahnya menatapku, dengan seringaian lucu. "Beberapa hari ini berjalan dengan baik?" Aku masih kesal dengan ibuku. Tapi bagaimanapun juga, dia adalah ibuku. Rasa sayangku padanya jauh lebih besar dari kekesalanku. Mungkin karena kami hidup berdua. Mungkin karena aku hanya memilikinya. Aku mendengus. Bergabung dengan ibuku. "Orang-orang berpikir aku terpuruk karena Sid dan Ben. Tapi semuanya baik-baik saja." Jelasku. Mom bergerak miring, menarik kepalaku. Membawanya kedalam dekapannya. Hal yang sejak kecil selal

    Last Updated : 2021-07-21
  • Effervescent   Bagian 10

    Aku menyelesaikan seluruh tugas yang diberikan guru-guru kepadaku dalam waktu empat hari. Mengurus beberapa hal untuk akhir semester, sebelum aku menyerahkannya ke bagian administrasi. Aku tidak perlu ikut ujian semester, hal yang memang kuinginkan. Dan aku akan menghabiskan beberapa minggu menjelang libur semester dengan kehidupanku yang tenang—kuharap. Hari jumat sepulang sekolah, aku mencuci mobil dan menyelesaikan beberapa pekerjaan rumah. Kuselesaikan daftar pekerjaan yang ingin kukerjakan dengan sebaik mungkin. Mom akan menghabiskan akhir minggu dirumah—janjinya semalam saat aku menelponnya—jadi aku akan membuat rumah ini menjadi layak untuk ditinggali. Setelah menyelesaikan pekerjaan rumah, aku mengecek surel. Melihat pesan masuk dari beberapa universitas tempatku mendaftar kuliah. Dua sudah membalas, selebihnya belum. Jadi aku memutuskan untuk menutup laptop dan menyiapkan makan siangku. Omelet bukanlah hal yang sulit untuk dimasak. Aku selesai membua

    Last Updated : 2021-07-21
  • Effervescent   Bagian 11

    Damien pulang bersamaan dengan kedatangan mom. Mereka berbicara beberapa saat, kemudian Damien melambaikan tangan dengan mom—dan aku. Aku membantu mom mengeluarkan koper di bagasi. Ada beberapa tas belanja yang khusus dibeli untukku. "Dame berkunjung?" Aku mengangguk. Kutaruh koper mom kedalam kamar, dan barang-barang lainnya diruang TV. "Ransel?" tanyaku saat aku mengeluarkan isi tas belanja—tidak menggubris pertanyaan mom. "Hm," suara mom terdengar di dapur. Kemudian dia ikut bergabung denganku dan membuka barang belanja mom. "Sudah berbaikan dengannya?" Mendengar pertanyaannya membuatku memutar mata. Mom mendelik tak suka, tapi aku membalasnya dengan dengusan. "Kupikir berbaikan bukan kata yang tepat." Mom tertawa, "Jadi?" "Berusaha memaafkan." Jawabku cepat. "Aku hanya berpikir, jika hidupku akan lebih tenang jika memaafkannya." Jawabku. Kulirik mom, dia mengangguk. Dia tersenyum, tapi kemudian cepat-cepat disembunyikannya. "Dan?"

    Last Updated : 2021-07-21
  • Effervescent   Bagian 12

    Pagi hari, aku terbangun dengan mimpi Damien yang berusaha menelanjangi Hannah. Mimpi sialan itu membuat perasaanku campur aduk. Kularikan pandanganku ke sudut bawah ranjang. Melirik jaket denim yang harus kuberikan pada Damien. Ini menyebalkan! Aku baru berusaha untuk memaafkan perbuatan yang dilakukannya setahun yang lalu padaku. Tapi mimpi yang barusan kualami terasa begitu jelas, seperti kejadian yang kulihat semalam. Begitu segar, begitu memuakkan. Ponselku bergetar. Menemukan pesan dari nomer tak tersimpan. Damien, sudah pasti. Kau sudah bangun? Anehnya, pesan itu terlihat tidak seperti Damien. Pesan yang biasanya dia kirimkan hanya pesan-pesan penting, tidak seperti sekarang yang terdengar basa-basi. Setelah menatap layar ponselku selama satu menit, kuputuskan untuk mengabaikan pesannya. Kularikan tubuhku ke kamar mandi. Menyetel air hangat di shower dan me

    Last Updated : 2021-07-21
  • Effervescent   Bagian 13

    Aku tidak tahu harus kemana. Ini masih pagi—dan hujan. Berkeliling di Forks hanya membuat bensinku habis tanpa mendapatkan apapun. Aku membutuhkan pakaian kering. Jadi, saat aku melintasi FunkyForks milik orang tua West, kulihat toko pakaian milik mereka sudah terbuka. Kutepikan mobilku disebelah jalan masuk rumah West. Dengan cepat aku keluar dan berlari menuju tempat pakaian itu. Mendapati Joan sedang menyusun kaos-kaos di bagian atasan. Dia menoleh ketika bunyi lonceng diatas pintu berdenting pelan. Wajahnya berkerut bingung karena pakaianku yang basah kuyup. "Kau berjalan kaki kemari, Abby?" suaranya terdengan kuatir. Dengan cepat dia meraih mantel baru disebelahnya, kemudian menyelimutiku yang menggigil kedinginan. Aku mengerang senang ketika mantel itu menyelimutiku. Sedetik kemudian aku teringat dengan jaket yang sempat kubawa dan kulemparkan kebelakang jok pengemudi. "Trims, Mrs. Harvey." Balasku dengan suara penuh syukur. "Dimana Wes

    Last Updated : 2021-07-21

Latest chapter

  • Effervescent   Epilog

    Kencan adalah hal yang menyenangkan untukku. Damien memiliki banyak kejutan menyenangkan, sama seperti dulu, saat kami masih remaja dan ibunya masih hidup. Dia banyak tertawa, banyak bercerita. Membuatku lupa jika aku pernah melalui hari-hari yang berat saat berpisah dengannya, atau saat Sidney memusuhiku. Saat ini, berada di rumahnya, dengan api unggun dan halaman belakang yang dipenuhi bantal dan lampu, kami duduk bergelung. Saling memeluk dan melilitkan kaki. Meskipun dalam lingkungan kecil, rumah-rumah berjarak cukup lebar, memberikan kami privasi untuk melakukan hal-hal yang menyenangkan. Hanya kami berdua. Damien sedang bersenandung. Menyanyikan lagu pengantar tidur untukku. Seperti setahun yang lalu. "Aku bosan bernyanyi lagu yang sama selama dua jam." Keluhnya dipertengahan lagu. Aku tertawa. Memberikannya ciuman menyemangati untuknya. "Aku ingin satu jam lagi." Pintaku. Dia mendengus disela nyanyiannya, tapi tetap tak memprotes dan me

  • Effervescent   Bagian 23

    Bergelung didalam selimut adalah suatu hal yang menyenangkan untukku. Aku sedang ingin bermalas-malasan. Kuabaikan suara berkelontang yang berasal dari dapur di lantai bawah. Mom pasti sedang berperang dengan api dan wajan. Dan aku tak ingin mengganggunya. Hal yang menyenangkan kedua setelah bergelung adalah, sarapan yang dia antarkan untuk diriku. Bukan karena aku anak manja, tapi panas tubuhku belum berkurang sejak tiga hari yang lalu. Mungkin efek percobaan pembunuhan yang dilakukan Sidney seminggu yang lalu. Dan suaraku belum begitu membaik. Dokter bilang, ada trauma pada pita suaraku. Beruntung aku tidak bisu, karena kuatnya cekikan yang diberikan Sidney. Kabar Sidney? Dia dipenjara. Kedua orang tuanya memberikan pengacara terbaik untuk mengurangi hukumannya. Tapi tak ada yang bisa mengalahkan mom. Aku yakin ibuku akan memberikan hukuman maksimal, yang setimpal dengan yang dilakukannya. "Abby, kau sudah bangun?" Mom membuka pelan pintu kamarku. Melongok

  • Effervescent   Bagian 22

    Suaraku serak nyaris hilang. Memanggil Damien yang kesetanan seperti malam sewaktu Sidney menghancurkan mobilku adalah suatu hal yang sia-sia. Kuseret tubuhku, melindas pecahan kaca dan rongsokan microwave yang berserakan dilantai. Semua itu tak terasa sakit dibanding Sidney memukul dan mencoba mencekikku. Berada ditengah ruangan, dua orang itu seperti berada dalam lingkup sendiri. Sidney sibuk meronta, mencakari tangan Damien yang bergeming. Sementara kedua kakinya menendang udara. Kupaksa tubuhku semakin cepat bergerak. Hingga akhirnya aku berhasil menarik ujung kemejanya yang tak terkancing. "Dame." Suaraku seperti bisikan. Aku melihat tubuh Damien yang tersentak. Dengan cepat kedua tangannya terlepas dari leher Sidney. Dia menoleh, menatapku dengan sorot menyesal. Gerakannya terlihat cepat. Tahu-tahu dia sudah mengangkatku, membawaku keluar dari kekacauan di ruangan ini. Damien mendudukkanku di ruang TV. Tak menunggu lama, dia langsung menghilang

  • Effervescent   Bagian 21

    Damien selesai memasukkan mobilku kedalam garasi. Aku bisa mendengar langkah cepatnya di tangga, kemudian pintu kamarku terbuka. Dia memelukku sekilas, mendaratkan bibirnya pada bibirku, kemudian mencebik. "Kau bisa kembali malam nanti," bujukku sambil menepuk pelan lengannya. "Aku benar-benar butuh waktu sendiri. Hanya beberapa jam kedepan," "Aku tidak suka ini, Angel." Rengutnya tak setuju. Kuselipkan sebelah tanganku pada rambutnya-mengusap-usap pelan. "Aku benci membuatmu sendirian." Mendengar tingkahnya yang merajuk seperti anak berumur enam tahun membuatku tertawa. "Kau bisa kemari jam tujuh, okay?" "Aku benci bernegosiasi denganmu," dengusnya. Dia menciumku kembali, sebelum akhirnya mengalah dan pulang. Pintu kamarku ditutup dengan pelan, kemudian langkah kaki Damien terdengar menuruni tangga. Kularikan tubuhku mendekati jendela. Melihat Damien yang menembus gerimis menuju mobilnya. Dia menekan klakson satu kali, sebelum keluar

  • Effervescent   Bagian 20

    Di hari terakhir sekolah, seluruh orang menatapku dengan penasaran. Aku bahkan dipanggil oleh kepala sekolah, menanyakan kabar hubunganku dengan Damien.Sejujurnya, aku ingin berbohong. Tapi semalam Damien datang dengan menyerahkan surat pengunduran diri. Kemudian tadi pagi dia mengantarku ke sekolah dengan sebuah ciuman sebelum aku berjalan ke gerbang sekolah. Disaksikan oleh beberapa orang.Kuakui semuanya pada semua orang yang bertanya padaku. Bahkan kepala sekolah yang kini sedang mengurut pangkal hidungnya."Well, Ms. Miles, kau mengatakan bahwa sebelum kau pindah ke Forks, kau sudah memiliki hubungan dengan Mr. Priessle?"Kulemparkan senyum bahagiaku—yang terlalu nampak kubuat-buat—dan mengangguk mantap. "Ya, sir."Pria tua di depanku mengangguk-angguk pasrah. "Baiklah, kau boleh kembali ke kelas." Ujarnya kemudian.Aku buru-buru keluar dari ruangan. Menemui Mia yang menungguku di luar. Dia menepuk bokongk

  • Effervescent   Bagian 19

    Mobil Damien terparkir di sudut, dengan dua anak laki-laki berkumpul disana. Aku melihat punggung Sam yang membelakangiku, sementara Damien menekan tuas dongkrak dan salah satu siswa cowok lainnya memegang ban cadangan."Ada apa?" tanyaku saat jarak kami tak terlalu jauh. Damien mendongak memperhatikan Sam bekerja, sementara Sam menoleh mendengar suaraku.Sam menjawab, dengan suara setengah menggeram karena memutar besi yang aku tak tahu apa namanya. "Dean melihat gadis itu menusuk-nusuk ban Mr. Priessle dengan pisau.""Sidney?""Yap." Balas Sam cepat. "Untung saja Dean melihatnya. Mungkin dia akan merusak seluruh ban jika tidak ketahuan,"Kupejamkan mataku sejenak. Mendengar penjelasan Sam membuat kepalaku sakit. Perbuatan Sidney sudah diluar batas kewajaran, dan nampaknya Damien tak ambil pusing dengan hal ini."Dia bahkan mengacung-acungkan pisau itu kewajahku," keluh cowok yang sejak tadi memegang ban."Dasar lembek," ejek Sam.

  • Effervescent   Bagian 18

    Pagi ini aku meminta dirinya untuk menurunkanku di depan rumahku, berangkat sekolah dengan mobilku sendiri. Tapi Damien menolak dengan keras. Dia bahkan tak menggubris kekesalanku, dan memaksaku masuk ke mobilnya. Damien menyeringai ketika aku bungkam di sepanjang perjalanan menuju sekolah. Suasana hatinya terlihat sangat bagus hari ini. Dia bernyanyi dengan lantang, mengikuti lagu di playlist mobilnya. Rasanya perjalanan menuju sekolah sangat singkat. Sekarang aku bisa melihat gerbang sekolah di depanku. Lapangan parkir adalah salah satu tempat paling cepat menyebarkan gosip. Damien sengaja menurunkanku di lapangan parkir siswa. Dengan mengedipkan matanya padaku, dia berlalu menuju parkiran khusus guru. Aku bisa melihat seluruh tatapan orang yang berada di parkiran tertuju padaku. Bahkan ketika aku melirik ke sudut dimana Christina sering berkumpul dengan teman-temanku—mereka menatapku dengan pandangan tak percaya. Langkah lebar Christina me

  • Effervescent   Bagian 17

    Aku meninggalkan rumah Kate dengan buru-buru. Memberitahu keempat temanku bahwa seluruh kaca dirumahku dipecahkan seseorang, sekaligus melarang keras mereka untuk ikut denganku. Mom sedang diluar kota, apa yang akan kukatakan padanya nanti? Jarak rumah Kate menuju rumahku hanya membutuhkan waktu tak lebih dari lima belas menit. Tapi saat ini, kuinjak pedal gas dalam-dalam, dan sampai dirumah kurang dari sepuluh menit. Mobil Damien terparkir di bahu jalan. Dengan cepat kutepikan mobilku dibelakang mobilnya. Halaman rumahku sudah didatangi beberapa orang. Ben, ibunya, kedua orang tua Sid, Damien, dan dua orang polisi. Aku berjalan dengan cepat, kemudian berdiri disebelah Liliana—ibu Ben. Tangannya dengan cepat merangkulku, memberikanku pelukan singkat menenangkan. Rumahku seperti kapal pecah. Seluruh kaca depan dan lantai dua pecah. Aku belum mengecek keadaan jendela bagian samping dan belakang, tapi dapat kupastikan seluruhnya pecah. "M

  • Effervescent   Bagian 16

    "Kemana mom?""San Diego. Empat atau lima hari. Mungkin Amanda akan pulang akhir pekan,"Aku mengangguk, "Bagaimana kau bisa kemari?"Damien terdiam sejenak. Kemudian dia terkekeh pelan, "Dengan perencanaan yang matang. Dan persiapan yang banyak. Karena aku tahu kau akan membenciku. Tapi aku tidak tahu rasanya akan semenyakitkan ini.""Apa sekarang rasanya membaik?""Yap, sangat." jawabnya. Dia mencium puncak kepalaku, kemudian melanjutkan, "Aku belajar banyak hal selama terapi. Tersenyum, menangis, marah, tertawa, kesal, benci—kau tahu ekspresi selayaknya manusia. Orang disekitarku di New York menganggap aku menyenangkan—mungkin karena aku berlatih berekspresi. Tapi saat pindah ke Forks—saat aku bertemu denganmu—aku merasa tidak pantas untuk bahagia.""Kau takut untuk bahagia." Koreksiku."Yah, kau benar. Lebih tepatnya, aku takut untuk kecewa. Aku takut untuk kehilanganmu. Karena aku tahu kau yang paling terl

DMCA.com Protection Status