Hari ini mom berangkat ke New York. Beberapa kliennya ingin dirinya langsung yang menjadi pengacara. Mom tidak tahu kapan dia akan pulang. Mungkin dua minggu lagi, atau mungkin sebulan lagi.
Setelah membantunya melipat beberapa pakaian untuk dimasukkan kedalam koper, mom menutup koper, mendorong koper itu hingga bergerak menjauh dan membentur kursi goyang. Mom melirik sekilas arlojinya, kemudian menjatuhkan tubuhnya ke ranjang.
Wajahnya menatapku, dengan seringaian lucu. "Beberapa hari ini berjalan dengan baik?"
Aku masih kesal dengan ibuku. Tapi bagaimanapun juga, dia adalah ibuku. Rasa sayangku padanya jauh lebih besar dari kekesalanku.
Mungkin karena kami hidup berdua. Mungkin karena aku hanya memilikinya.
Aku mendengus. Bergabung dengan ibuku. "Orang-orang berpikir aku terpuruk karena Sid dan Ben. Tapi semuanya baik-baik saja." Jelasku.
Mom bergerak miring, menarik kepalaku. Membawanya kedalam dekapannya. Hal yang sejak kecil selal
Aku menyelesaikan seluruh tugas yang diberikan guru-guru kepadaku dalam waktu empat hari. Mengurus beberapa hal untuk akhir semester, sebelum aku menyerahkannya ke bagian administrasi. Aku tidak perlu ikut ujian semester, hal yang memang kuinginkan. Dan aku akan menghabiskan beberapa minggu menjelang libur semester dengan kehidupanku yang tenang—kuharap. Hari jumat sepulang sekolah, aku mencuci mobil dan menyelesaikan beberapa pekerjaan rumah. Kuselesaikan daftar pekerjaan yang ingin kukerjakan dengan sebaik mungkin. Mom akan menghabiskan akhir minggu dirumah—janjinya semalam saat aku menelponnya—jadi aku akan membuat rumah ini menjadi layak untuk ditinggali. Setelah menyelesaikan pekerjaan rumah, aku mengecek surel. Melihat pesan masuk dari beberapa universitas tempatku mendaftar kuliah. Dua sudah membalas, selebihnya belum. Jadi aku memutuskan untuk menutup laptop dan menyiapkan makan siangku. Omelet bukanlah hal yang sulit untuk dimasak. Aku selesai membua
Damien pulang bersamaan dengan kedatangan mom. Mereka berbicara beberapa saat, kemudian Damien melambaikan tangan dengan mom—dan aku. Aku membantu mom mengeluarkan koper di bagasi. Ada beberapa tas belanja yang khusus dibeli untukku. "Dame berkunjung?" Aku mengangguk. Kutaruh koper mom kedalam kamar, dan barang-barang lainnya diruang TV. "Ransel?" tanyaku saat aku mengeluarkan isi tas belanja—tidak menggubris pertanyaan mom. "Hm," suara mom terdengar di dapur. Kemudian dia ikut bergabung denganku dan membuka barang belanja mom. "Sudah berbaikan dengannya?" Mendengar pertanyaannya membuatku memutar mata. Mom mendelik tak suka, tapi aku membalasnya dengan dengusan. "Kupikir berbaikan bukan kata yang tepat." Mom tertawa, "Jadi?" "Berusaha memaafkan." Jawabku cepat. "Aku hanya berpikir, jika hidupku akan lebih tenang jika memaafkannya." Jawabku. Kulirik mom, dia mengangguk. Dia tersenyum, tapi kemudian cepat-cepat disembunyikannya. "Dan?"
Pagi hari, aku terbangun dengan mimpi Damien yang berusaha menelanjangi Hannah. Mimpi sialan itu membuat perasaanku campur aduk. Kularikan pandanganku ke sudut bawah ranjang. Melirik jaket denim yang harus kuberikan pada Damien. Ini menyebalkan! Aku baru berusaha untuk memaafkan perbuatan yang dilakukannya setahun yang lalu padaku. Tapi mimpi yang barusan kualami terasa begitu jelas, seperti kejadian yang kulihat semalam. Begitu segar, begitu memuakkan. Ponselku bergetar. Menemukan pesan dari nomer tak tersimpan. Damien, sudah pasti. Kau sudah bangun? Anehnya, pesan itu terlihat tidak seperti Damien. Pesan yang biasanya dia kirimkan hanya pesan-pesan penting, tidak seperti sekarang yang terdengar basa-basi. Setelah menatap layar ponselku selama satu menit, kuputuskan untuk mengabaikan pesannya. Kularikan tubuhku ke kamar mandi. Menyetel air hangat di shower dan me
Aku tidak tahu harus kemana. Ini masih pagi—dan hujan. Berkeliling di Forks hanya membuat bensinku habis tanpa mendapatkan apapun. Aku membutuhkan pakaian kering. Jadi, saat aku melintasi FunkyForks milik orang tua West, kulihat toko pakaian milik mereka sudah terbuka. Kutepikan mobilku disebelah jalan masuk rumah West. Dengan cepat aku keluar dan berlari menuju tempat pakaian itu. Mendapati Joan sedang menyusun kaos-kaos di bagian atasan. Dia menoleh ketika bunyi lonceng diatas pintu berdenting pelan. Wajahnya berkerut bingung karena pakaianku yang basah kuyup. "Kau berjalan kaki kemari, Abby?" suaranya terdengan kuatir. Dengan cepat dia meraih mantel baru disebelahnya, kemudian menyelimutiku yang menggigil kedinginan. Aku mengerang senang ketika mantel itu menyelimutiku. Sedetik kemudian aku teringat dengan jaket yang sempat kubawa dan kulemparkan kebelakang jok pengemudi. "Trims, Mrs. Harvey." Balasku dengan suara penuh syukur. "Dimana Wes
Aku menghabiskan sisa hari ini dengan mengelilingi Port Angeles. Melihat matahari terbenam diantara gedung-gedung didepanku, merasakan angin yang menyapu tubuhku, membuang seluruh kenangan menjengkelkan hari ini. Aku tidak menjawab telepon dari mom. Hal yang memang ingin aku lakukan sejak pagi tadi. Ada puluhan pesan yang terpampang di ponselku, dan pastinya itu semua berasal dari mom. Ada sedikit sensasi kemenangan dalam diriku ketika pada akhirnya ponselku terus bergetar tanpa jeda. Teror darinya benar-benar membuatku merasa puas. Kubalas puluhan panggilan dan pesan yang sengaja tak kujawab dengan pesan singkat. Aku tidak ingin diganggu. Matahari terbenam didepanku kembali menarik perhatianku. Juga membuatku memutuskan untuk kembali ke Forks, sebelum hari berubah gelap. Kuhidupkan mesin mobilku, kemudian keluar dari tempat parkir gedung perkantoran yang terlihat sederhana. Mata
Aku tidak mampu mencerna seutuhnya kejadian berikutnya. Yang kutahu aku tiba-tiba sudah berada didalam mobil Damien. Sementara dirinya masih berada diluar, berjongkok didepan tubuh Sid yang sudah mampu untuk mengatur napas dengan baik dan duduk di tanah. Kemudian Damien beranjak pergi. Mengambil barang-barangku di mobil dengan cepat, memindahkannya ke mobilnya, dan masuk ke bagian pengemudi. Sepuluh menit kemudian—mungkin—aku sudah sampai dirumah dan langsung menuju kamar tanpa berbicara apapun pada mom ataupun Damien. Aku bahkan tidak memberitahu Savannah atas gagalnya aku menginap dirumahnya. Kuhabiskan malam itu dengan memori yang terus berputar berulang-ulang pada kejadian itu. Kemudian seberkas sinar matahari yang masuk kedalam kamarku menyadarkanku pada waktu yang berputar terlalu cepat. Seharusnya aku menikmati matahari pagi yang bersinar dengan lembut di Forks. Tapi aku tidak mampu menikmatinya—benar-benar tidak mampu. Rentetan kejadian itu terus berp
"Kemana mom?""San Diego. Empat atau lima hari. Mungkin Amanda akan pulang akhir pekan,"Aku mengangguk, "Bagaimana kau bisa kemari?"Damien terdiam sejenak. Kemudian dia terkekeh pelan, "Dengan perencanaan yang matang. Dan persiapan yang banyak. Karena aku tahu kau akan membenciku. Tapi aku tidak tahu rasanya akan semenyakitkan ini.""Apa sekarang rasanya membaik?""Yap, sangat." jawabnya. Dia mencium puncak kepalaku, kemudian melanjutkan, "Aku belajar banyak hal selama terapi. Tersenyum, menangis, marah, tertawa, kesal, benci—kau tahu ekspresi selayaknya manusia. Orang disekitarku di New York menganggap aku menyenangkan—mungkin karena aku berlatih berekspresi. Tapi saat pindah ke Forks—saat aku bertemu denganmu—aku merasa tidak pantas untuk bahagia.""Kau takut untuk bahagia." Koreksiku."Yah, kau benar. Lebih tepatnya, aku takut untuk kecewa. Aku takut untuk kehilanganmu. Karena aku tahu kau yang paling terl
Aku meninggalkan rumah Kate dengan buru-buru. Memberitahu keempat temanku bahwa seluruh kaca dirumahku dipecahkan seseorang, sekaligus melarang keras mereka untuk ikut denganku. Mom sedang diluar kota, apa yang akan kukatakan padanya nanti? Jarak rumah Kate menuju rumahku hanya membutuhkan waktu tak lebih dari lima belas menit. Tapi saat ini, kuinjak pedal gas dalam-dalam, dan sampai dirumah kurang dari sepuluh menit. Mobil Damien terparkir di bahu jalan. Dengan cepat kutepikan mobilku dibelakang mobilnya. Halaman rumahku sudah didatangi beberapa orang. Ben, ibunya, kedua orang tua Sid, Damien, dan dua orang polisi. Aku berjalan dengan cepat, kemudian berdiri disebelah Liliana—ibu Ben. Tangannya dengan cepat merangkulku, memberikanku pelukan singkat menenangkan. Rumahku seperti kapal pecah. Seluruh kaca depan dan lantai dua pecah. Aku belum mengecek keadaan jendela bagian samping dan belakang, tapi dapat kupastikan seluruhnya pecah. "M
Kencan adalah hal yang menyenangkan untukku. Damien memiliki banyak kejutan menyenangkan, sama seperti dulu, saat kami masih remaja dan ibunya masih hidup. Dia banyak tertawa, banyak bercerita. Membuatku lupa jika aku pernah melalui hari-hari yang berat saat berpisah dengannya, atau saat Sidney memusuhiku. Saat ini, berada di rumahnya, dengan api unggun dan halaman belakang yang dipenuhi bantal dan lampu, kami duduk bergelung. Saling memeluk dan melilitkan kaki. Meskipun dalam lingkungan kecil, rumah-rumah berjarak cukup lebar, memberikan kami privasi untuk melakukan hal-hal yang menyenangkan. Hanya kami berdua. Damien sedang bersenandung. Menyanyikan lagu pengantar tidur untukku. Seperti setahun yang lalu. "Aku bosan bernyanyi lagu yang sama selama dua jam." Keluhnya dipertengahan lagu. Aku tertawa. Memberikannya ciuman menyemangati untuknya. "Aku ingin satu jam lagi." Pintaku. Dia mendengus disela nyanyiannya, tapi tetap tak memprotes dan me
Bergelung didalam selimut adalah suatu hal yang menyenangkan untukku. Aku sedang ingin bermalas-malasan. Kuabaikan suara berkelontang yang berasal dari dapur di lantai bawah. Mom pasti sedang berperang dengan api dan wajan. Dan aku tak ingin mengganggunya. Hal yang menyenangkan kedua setelah bergelung adalah, sarapan yang dia antarkan untuk diriku. Bukan karena aku anak manja, tapi panas tubuhku belum berkurang sejak tiga hari yang lalu. Mungkin efek percobaan pembunuhan yang dilakukan Sidney seminggu yang lalu. Dan suaraku belum begitu membaik. Dokter bilang, ada trauma pada pita suaraku. Beruntung aku tidak bisu, karena kuatnya cekikan yang diberikan Sidney. Kabar Sidney? Dia dipenjara. Kedua orang tuanya memberikan pengacara terbaik untuk mengurangi hukumannya. Tapi tak ada yang bisa mengalahkan mom. Aku yakin ibuku akan memberikan hukuman maksimal, yang setimpal dengan yang dilakukannya. "Abby, kau sudah bangun?" Mom membuka pelan pintu kamarku. Melongok
Suaraku serak nyaris hilang. Memanggil Damien yang kesetanan seperti malam sewaktu Sidney menghancurkan mobilku adalah suatu hal yang sia-sia. Kuseret tubuhku, melindas pecahan kaca dan rongsokan microwave yang berserakan dilantai. Semua itu tak terasa sakit dibanding Sidney memukul dan mencoba mencekikku. Berada ditengah ruangan, dua orang itu seperti berada dalam lingkup sendiri. Sidney sibuk meronta, mencakari tangan Damien yang bergeming. Sementara kedua kakinya menendang udara. Kupaksa tubuhku semakin cepat bergerak. Hingga akhirnya aku berhasil menarik ujung kemejanya yang tak terkancing. "Dame." Suaraku seperti bisikan. Aku melihat tubuh Damien yang tersentak. Dengan cepat kedua tangannya terlepas dari leher Sidney. Dia menoleh, menatapku dengan sorot menyesal. Gerakannya terlihat cepat. Tahu-tahu dia sudah mengangkatku, membawaku keluar dari kekacauan di ruangan ini. Damien mendudukkanku di ruang TV. Tak menunggu lama, dia langsung menghilang
Damien selesai memasukkan mobilku kedalam garasi. Aku bisa mendengar langkah cepatnya di tangga, kemudian pintu kamarku terbuka. Dia memelukku sekilas, mendaratkan bibirnya pada bibirku, kemudian mencebik. "Kau bisa kembali malam nanti," bujukku sambil menepuk pelan lengannya. "Aku benar-benar butuh waktu sendiri. Hanya beberapa jam kedepan," "Aku tidak suka ini, Angel." Rengutnya tak setuju. Kuselipkan sebelah tanganku pada rambutnya-mengusap-usap pelan. "Aku benci membuatmu sendirian." Mendengar tingkahnya yang merajuk seperti anak berumur enam tahun membuatku tertawa. "Kau bisa kemari jam tujuh, okay?" "Aku benci bernegosiasi denganmu," dengusnya. Dia menciumku kembali, sebelum akhirnya mengalah dan pulang. Pintu kamarku ditutup dengan pelan, kemudian langkah kaki Damien terdengar menuruni tangga. Kularikan tubuhku mendekati jendela. Melihat Damien yang menembus gerimis menuju mobilnya. Dia menekan klakson satu kali, sebelum keluar
Di hari terakhir sekolah, seluruh orang menatapku dengan penasaran. Aku bahkan dipanggil oleh kepala sekolah, menanyakan kabar hubunganku dengan Damien.Sejujurnya, aku ingin berbohong. Tapi semalam Damien datang dengan menyerahkan surat pengunduran diri. Kemudian tadi pagi dia mengantarku ke sekolah dengan sebuah ciuman sebelum aku berjalan ke gerbang sekolah. Disaksikan oleh beberapa orang.Kuakui semuanya pada semua orang yang bertanya padaku. Bahkan kepala sekolah yang kini sedang mengurut pangkal hidungnya."Well, Ms. Miles, kau mengatakan bahwa sebelum kau pindah ke Forks, kau sudah memiliki hubungan dengan Mr. Priessle?"Kulemparkan senyum bahagiaku—yang terlalu nampak kubuat-buat—dan mengangguk mantap. "Ya, sir."Pria tua di depanku mengangguk-angguk pasrah. "Baiklah, kau boleh kembali ke kelas." Ujarnya kemudian.Aku buru-buru keluar dari ruangan. Menemui Mia yang menungguku di luar. Dia menepuk bokongk
Mobil Damien terparkir di sudut, dengan dua anak laki-laki berkumpul disana. Aku melihat punggung Sam yang membelakangiku, sementara Damien menekan tuas dongkrak dan salah satu siswa cowok lainnya memegang ban cadangan."Ada apa?" tanyaku saat jarak kami tak terlalu jauh. Damien mendongak memperhatikan Sam bekerja, sementara Sam menoleh mendengar suaraku.Sam menjawab, dengan suara setengah menggeram karena memutar besi yang aku tak tahu apa namanya. "Dean melihat gadis itu menusuk-nusuk ban Mr. Priessle dengan pisau.""Sidney?""Yap." Balas Sam cepat. "Untung saja Dean melihatnya. Mungkin dia akan merusak seluruh ban jika tidak ketahuan,"Kupejamkan mataku sejenak. Mendengar penjelasan Sam membuat kepalaku sakit. Perbuatan Sidney sudah diluar batas kewajaran, dan nampaknya Damien tak ambil pusing dengan hal ini."Dia bahkan mengacung-acungkan pisau itu kewajahku," keluh cowok yang sejak tadi memegang ban."Dasar lembek," ejek Sam.
Pagi ini aku meminta dirinya untuk menurunkanku di depan rumahku, berangkat sekolah dengan mobilku sendiri. Tapi Damien menolak dengan keras. Dia bahkan tak menggubris kekesalanku, dan memaksaku masuk ke mobilnya. Damien menyeringai ketika aku bungkam di sepanjang perjalanan menuju sekolah. Suasana hatinya terlihat sangat bagus hari ini. Dia bernyanyi dengan lantang, mengikuti lagu di playlist mobilnya. Rasanya perjalanan menuju sekolah sangat singkat. Sekarang aku bisa melihat gerbang sekolah di depanku. Lapangan parkir adalah salah satu tempat paling cepat menyebarkan gosip. Damien sengaja menurunkanku di lapangan parkir siswa. Dengan mengedipkan matanya padaku, dia berlalu menuju parkiran khusus guru. Aku bisa melihat seluruh tatapan orang yang berada di parkiran tertuju padaku. Bahkan ketika aku melirik ke sudut dimana Christina sering berkumpul dengan teman-temanku—mereka menatapku dengan pandangan tak percaya. Langkah lebar Christina me
Aku meninggalkan rumah Kate dengan buru-buru. Memberitahu keempat temanku bahwa seluruh kaca dirumahku dipecahkan seseorang, sekaligus melarang keras mereka untuk ikut denganku. Mom sedang diluar kota, apa yang akan kukatakan padanya nanti? Jarak rumah Kate menuju rumahku hanya membutuhkan waktu tak lebih dari lima belas menit. Tapi saat ini, kuinjak pedal gas dalam-dalam, dan sampai dirumah kurang dari sepuluh menit. Mobil Damien terparkir di bahu jalan. Dengan cepat kutepikan mobilku dibelakang mobilnya. Halaman rumahku sudah didatangi beberapa orang. Ben, ibunya, kedua orang tua Sid, Damien, dan dua orang polisi. Aku berjalan dengan cepat, kemudian berdiri disebelah Liliana—ibu Ben. Tangannya dengan cepat merangkulku, memberikanku pelukan singkat menenangkan. Rumahku seperti kapal pecah. Seluruh kaca depan dan lantai dua pecah. Aku belum mengecek keadaan jendela bagian samping dan belakang, tapi dapat kupastikan seluruhnya pecah. "M
"Kemana mom?""San Diego. Empat atau lima hari. Mungkin Amanda akan pulang akhir pekan,"Aku mengangguk, "Bagaimana kau bisa kemari?"Damien terdiam sejenak. Kemudian dia terkekeh pelan, "Dengan perencanaan yang matang. Dan persiapan yang banyak. Karena aku tahu kau akan membenciku. Tapi aku tidak tahu rasanya akan semenyakitkan ini.""Apa sekarang rasanya membaik?""Yap, sangat." jawabnya. Dia mencium puncak kepalaku, kemudian melanjutkan, "Aku belajar banyak hal selama terapi. Tersenyum, menangis, marah, tertawa, kesal, benci—kau tahu ekspresi selayaknya manusia. Orang disekitarku di New York menganggap aku menyenangkan—mungkin karena aku berlatih berekspresi. Tapi saat pindah ke Forks—saat aku bertemu denganmu—aku merasa tidak pantas untuk bahagia.""Kau takut untuk bahagia." Koreksiku."Yah, kau benar. Lebih tepatnya, aku takut untuk kecewa. Aku takut untuk kehilanganmu. Karena aku tahu kau yang paling terl