"Jadi tuan putri yang cantik ini cemburu pada saudara kembarmu?"
Sa--saudara kembar? Siapa yang dimaksud saudara kembar bang Alfin? Gue menatap papi penuh tanya. Namun lagi-lagi papi tertawa melihat muka cengo gue.
"Sepertinya begitu, Pi," jawab bang Alfin. Senyumnya merekah melihat gue kebingungan seperti orang bodoh.
"Apa, sih? Sebenarnya yang kalian bicarakan ini apa, sih? Cemburu? Siapa yang cemburu?" ucap gue sewot. Gue merasa seperti seekor tikus yang dikeroyok kucing. Semua mata memandang gue geli. Jangan lupakan tawa-tawa membahana itu. Gue semakin muak melihat sandiwara ini.
"Nadia sayang, apa kamu belum tahu siapa Aisyah itu?" tanya mami lembut. Gue hanya menatap sekilas tanpa minat. Untuk apa juga tahu siapa dia. Sudah jelas dia wanitanya bang Alfin, kan? Dasar aneh semuanya.
"Yakin nggak mau tahu? Ntar nyesel loh," imbuh mami.
"Apaan sih, Mi. Nggak usah bertele-tele, deh. Katakan saja yang sebe
Entah kenapa mendengar permintaannya yang sederhana itu, membuat kedua mata gue merebak dan mengaburkan pandangan. Bang Alfin meraih tubuh gue dan mendekap dalam dada bidangnya. Detak jantung kami menyatu. Saling tumpang tindih dengan degub yang begitu keras.Sebuah gelang emas putih dengan hiasan berupa dua huruf, A dan N yang menyatu, disematkan pada pergelangan tangan ini. "Makasih, Bang," ucap gue dengan mata berbinar."Jangan pernah tinggalkan abang lagi, ya?" bisiknya membuat gue tersipu. "Abang nggak sanggup melihatmu, tapi nggak bisa menjangkau."Gue mengangguk dalam dekapannya. Rasanya seperti mimpi. Tadi siang gue masih nangis-nangis meratapi nasib pernikahan kami yang hampir kandas. Tapi sekarang, kami sudah seperti pengantin baru yang saling bucin. Ah, ternyata seindah ini, mencintai dalam kehalalan.Mengingat masa-masa awal pernikahan kami yang tidak menyenangkan akibat perjodohan paksa itu membuat gue tersenyum geli.&
'Buku, sudah. Proposal, sudah. HP, sudah. Ah, kayaknya sudah semua, deh,' gumam gue. Setelah menata semua barang yang akan gue bawa ke kampus, gue mematut diri di depan cermin.Celana bahan dipadu tunik semata kaki dan kerudung pasmina warna kunyit menambah segar penampilan gue. 'Perfect,' ucap gue memuji diri sendiri. Dari kaca gue lihat bang Alfin terus menatap intens ke gue, membuat gue salah tingkah.Mencoba mangabaikan, gue memoleskan liptint soft pink ke bibir supaya tak pucat. Sekali lagi gue memutar tubuh untuk memastikan penampilan gue hari ini tidak ada yang kurang. Pasalnya, hari ini gue akan seminar proposal di depan dosen pembimbing. Semester depan, gue akan PKL di sebuah perusahaan."Yuk!" ucap Bang Alfin tiba-tiba. Tangannya meraih tas gue yang masih tergeletak di kursi."Kemana, tadi kan Nadia sudah bilang nggak bisa ke Lombok sekarang. Hari ini Nadia ada semin
"Eh, maaf, Pak. Saya buru-buru. Permisi," ucap gue langsung meninggalkan Pak Rafael dan ketiga teman gue. Supaya tak terlihat oleh dosen ganteng itu, gue berusaha menyusup di antara para mahasiswa yang berjalan menuju gerbang.Sebelum masuk mobil, sekali lagi gue memastikan mereka tak melihat gue. Secepat kilat gue langsung masuk dan duduk di samping bang Alfin. Gue menekan dada untuk menetralkan degup jantung yang berdentam-dentam ini."Kenapa, sih?""Astaghfirullah, Bang. Bikin kaget aja, deh!"Bang Alfin menatap gue curiga. Matanya menelisik menjadikan jantung ini semakin berdebar."Kamu kenapa, sih? Kayak maling aja ngumpet-ngumpet.""Udah, ah. Jalan yuk, Bang!"Akhirnya mobil melaju meninggalkan kampus. Sepanjang jalan Bang Alfin terus melirik gue. Sementara pikiran gue fokus pada pada kejadian tadi. Hampir saja Pak Rafael tahu kalau gue dijemput."Bang, e
Wajah gue pasti semakin merah dengan pujiannya. Ah, Bang Alfin, kenapa baru sekarang sih membuat bunga-bunga di taman hati gue mekar? Kemana saja selama ini? Ah iya. Gue yang terlalu egois. Gue yang salah paham. Dalam hati gue merutuki kebodohan yang selama ini terpelihara.Kebetulan hari ini sedang libur. Bang Alfin mengajak ke kafe yang wajtu itu gue datangi bersama teman-teman. Sesampainya di Kafe, semua karyawan menyapa ramah pria ini. Beberapa ada yang saling sikut melihat kami yang bergandengan."Biasa aja lihatnya. Kami sudah halal, kok," ucap Bang Alfin membuat mata mereka membulat. Mungkin tak percaya pria yang usianya sepantaran mereka mendapat istri belia seperti gue."Loh, ini kan yang waktu itu maksa pengen ketemu pak bos?" Aduh, mati gue. Kalau pria ini sampai keceplosan ngomong sama Bang Alfin, bisa habis gue. Tatapan kami bertemu, gue mendelik memberi kode supaya pria ini tak mengatakannya pada Bang Alfin.
Bang Alfin mengerikan ternyata kalau sedang cemburu. Pribadinya yang kaku berubah jadi lebih garang seperti emak-emak nggak dikasih uang jatah sebulan. Apa pun yang gue katakan tak mampu membuatnya langsung percaya begitu saja.Baru tahu kan rasanya terbakar api cemburu? Ya begitu, Bang rasanya. Sakit. Namun tak berdarah. Ini baru lihat istri disukai pria lain, belum pernah melihat bermesraan atau berduaan di depan matanya sendiri. Bayangkan apa yang gue rasakan saat Abang tiba-tiba membawa perempuan lain ke rumah. Lalu mengabaikan keberadaan gue dan selalu memujinya di depan gue. Apa itu tidak menyakitkan, Bang? Sayangnya semua itu hanya gue katakan dalam hati.Gue tak mau menambah masalah dengan membandingkan dua kasus ini. Terpenting sekarang adalah bagaimana caranya supaya lelaki yang telah berhasil mencuri hati gue ini percaya kalau gue nggak main api seperti apa katanya."Buktikan pada Abang kalau kamu benar-benar nggak ada hubungan sama
Kuliah hari ini terasa begitu membosankan. Entah karena mata kuliahnya yang kurang menarik atau karena suasana hati gue yang lagi badmood. Teman-teman mengajak jalan dulu sebelum pulang. Sebenarnya sangat ingin ikut mereka, sayangnya pangeran gue sudahstandbydi parkiran saat kami he dak berangkat."Kok cemberut gitu, nggak suka ya Abang jemput?"Kepala gue memutar ke kanan, menatap pria berbaju navy ini lalu tersenyum. Penampilannya begitu segar dengan pakaian santai seperti ini. Apa dia sengaja supaya dilirik gadis-gadis di sini? Seketika dada gue terbakar membayangkan hal ini."Sudah lama, Bang?""Sepuluh menitan lah. Nungguin bidadari cantik seperti kamu mah, jangankan sepuluh menit, seharian juga Abang jabanin." Dia terkekeh. Tangannya tetap sibuk memutar kemudi, dengan pandangan fokus ke depan. Namun sesekali menatap gue dengan senyum mengembang."Sekalian cuci mata ya, Ban
Kuliah hari ini terasa begitu membosankan. Entah karena mata kuliahnya yang kurang menarik atau karena suasana hati gue yang lagi badmood. Teman-teman mengajak jalan dulu sebelum pulang. Sebenarnya sangat ingin ikut mereka, sayangnya pangeran gue sudah standby di parkiran saat kami he dak berangkat."Kok cemberut gitu, nggak suka ya Abang jemput?"Kepala gue memutar ke kanan, menatap pria berbaju navy ini lalu tersenyum. Penampilannya begitu segar dengan pakaian santai seperti ini. Apa dia sengaja supaya dilirik gadis-gadis di sini? Seketika dada gue terbakar membayangkan hal ini."Sudah lama, Bang?""Sepuluh menitan lah. Nungguin bidadari cantik seperti kamu mah, jangankan sepuluh menit, seharian juga Abang jabanin." Dia terkekeh. Tangannya tetap sibuk memutar kemudi, dengan pandangan fokus ke depan. Namun sesekali menatap gue dengan senyum mengembang."Sekalian cuci mata ya, Bang?"Tiba-tiba mobil berhenti mendadak, menyebabkan jidat gue y
Habis subuh, gue mempersiapkan sarapan untuk kami berdua. Nggak ribet, hanya roti bakar dan dua gelas juz. Sementara Bang Alfin belum pulang dari masjid. Selesai urusan dapur, gue langsung membersihkan rumah. Ya, mulai hari ini gue akan menjalankan tugas sebagai istri.Setelah mendapat banyak pencerahan dari buku yang gue baca, juga dari suami tercinta, gue mengazamkan diri untuk belajar menerima status baru ini. Meski awalnya aneh, tapi rasanya nggak buruk juga. Lagian, harusnya gue bersyukur mendapat suami Bang Alfin yang selalu menjaga gue dari dosa.Orangnya yang sabar dan dewasa, itulah yang mampu membuat gue berubah dari gadis urakan dan pecicilan menjadi wanita shalehah yang didambakan suami. Pipi gue memanas mengingat kejadian semalam. Malam yang begitu panjang. Mengukuhkan cinta kami berdua.Jarum jam sudah menunjukkan pukul 7 pagi. Gegas gue bersiap untuk ke kampus. Di depan lemari, gue sibuk memilih-milih pakaian untuk menutup tubuh gue. Netraku jatuh