Demi mendapatkan kesegaran kembali, aku melompat dan menceburkan diri di kolam renang. Benar-benar terasa kesegarannya.
Kuselami kolam hingga dasar, terdiam sejenak hingga napas mencapai batas waktu yang dapat kutahan.
Setelah itu, aku kembali ke permukaan dan duduk di kursi payung sembari mengusap tetes-tetes air yang menempel di tubuh menggunakan handuk.
Tak lama kemudian, sepasang tangan melingkar di tubuhku. Ada seseorang di belakangku. Terkesiap, aku memutar kepala 90 derajat ke kanan.
Ternyata hanya Elaine.
“Sudah berapa hari kamu libur, Adrian?”
Dia berbisik di telinga kananku.
Sebetulnya, aku sudah harus bekerja lagi seperti biasa. Hanya saja, tubuh seolah-olah tidak mengizinkan. Oleh sebab itulah, aku masih santai menikmati waktu istirahat.
Lagi pula, keadaan Gladis masih kritis. Berkali-kali aku berusaha menemui, dia hanya bisa terbaring dan bungkam. Tak ada jawaban sama sekali ketika aku mengajaknya berbi
Untungnya, aku bisa melewati masa-masa stress meski harus mengorbankan kesehatan sendiri karena mata tak dapat terpejam selama beberapa hari.Yang lebih aku syukuri, Elaine dan Kiana punya kontribusi yang sangat besar dalam hal ini. Elaine dengan caranya sendiri dan Kiana demikian.Gladis.Sudah beberapa minggu ia tak kunjung sadar. Setiap hari, aku selalu membesuknya di rumah sakit. Mengganti bunga di vas yang telah mulai kering. Berbicara sejenak walau sebenarnya aku tak pernah mendapatkan jawaban pasti.Bibir yang terkatup dan terlihat begitu pucat. Tubuh yang terbaring lemah dengan posisi yang tak pernah berubah. Suara alat elektrokardiogram dengan ritme yang teratur.Elemen-elemen itulah yang aku ingat, terpahat di pikiran sebagai kenangan yang mungkin akan sangat sulit terlupakan.Yang jelas, aku kembali beraktivitas seperti biasa.“Meet up lagi?!”“Ya, acara pertemuan dengan penggemar. Ini dilakukan unt
Untuk menghindar dari Tante Wanda, aku berusaha melarikan diri ke gedung agensi dan bersembunyi di balik dinding.“Adrian sayang?! Adrian sayang! Ke mana kamu, Sayang!”Benar-benar perempuan berbahaya. Jika dia sampai mengetahui keberadaanku, bahkan berhasil menangkapku, yakin sekali bahwa diriku tidak akan bisa lolos dari cengkeramannya.Yang jelas, sebisa mungkin, aku harus bersembunyi di tempat-tempat yang tak dapat ia jangkau.Derap langkahnya terdengar semakin dekat. Dan itu mengharuskanku untuk mencari tempat persembunyian lain.Pandanganku mengedar ke seluruh koridor. Agar dia tidak mendengar derap sepatu pantofel yang kugunakan, segera kucopot.Langkah sempurna!Kemudian, aku melangkah pelan, naik ke lantai atas menggunakan lift. Tiba di lantai empat, semestinya aku sudah tak perlu khawatir lagi.Sayangnya. Saat berjalan mundur, punggungku membentur sepasang gundukan. Langkahku langsung terhenti.Samb
“Jadi, kamu lebih memilih untuk bersenang-senang sama dia, ya, Adrian?! Kamu tega sekali sama tante. Tega!”Apa-apaan dengan suasana penuh drama ini?Memangnya kami sedang berada di televisi dengan drama memuakkan, apa?Akibat itu, Sevanya jadi lengah dan aku bisa melepaskan diri darinya. Maka, kubiarkan saja keduanya bersiteru dengan argumen masing-masing.Lagi pula, mereka sama-sama ular berbisa. Jadi, tak apa-apa sekali-sekali bertemu dan saling adu ketahanan lidah.Untung saja, aku bisa kembali ke gedung aula, lalu menikmati segelas Wine yang dibagikan gratis, khusus untuk orang-orang dari agensi dan tamu undangan dari agensi lain.Saat mengalihkan pandangan ke beberapa stand, Nindya bersama gandengannya berdiri di stand yang memampang poster dirinya.Tak kusangka, dia malah melihat ke arahku dengan tampang seolah-olah ingin pamer kemesraan.Yang benar saja. Aku bukan lelaki lemah yang bisa menangis hanya karena
Tak pernah kusangka sebelumnya bahwa Kiana hadir di acara yang terbilang tak umum seperti pertemuan para bintang film panas dengan para penggemar.Meski pada kenyataannya, aku pernah menemukan gadis ini terlihat meneliti gedung agensi, tetap saja itu tidak memengaruhi apa pun mengenai dugaan yang tidak pernah terjadi sebelumnya.Sebelum berhasil mengangkat langkah, Nindya malah menahanku dengan tangannya.“Lo mau ke mana, Adrian?”“Lepasin gue, Nindya. Gue nggak ada urusan lagi sama lo.”“Tapi, Adrian.”Tersebab buru-buru, aku melepaskan tangan gadis ini dengan kasar dan berjalan tergesa. Aku membaur di tengah keramaian.Beberapa pengunjung ingin mengajak berfoto dan meminta tanda tangan, tetapi tak kupedulikan.Bagaimanapun caranya, aku tidak ingin terlihat di mata Kiana sedang berada di aula ini. Bahkan sebagai seorang aktor film panas.Namun, langkahku terhenti sebab berpikir bahwa
Menatap hamparan tanah yang dipenuhi oleh gedung-gedung pencakar langit serta lampu-lampu penerang yang gemerlapan di rooftop gedung aula, mataku menghampa.Sedangkan, Kiana masih berdiri di sampingku sambil memegangi besi pembatas yang setinggi pinggang.“Gimana bisa lo mengatakan kalau gue harus bahagia dengan kehidupan busuk yang gue jalani ini?”Tak ada respons darinya dalam beberapa menit. Kulihat matanya yang bening memantulkan cahaya yang sesekali bertemu dengan maniknya.Sungguh, Kiana memang keindahan yang tak memiliki batas. Entah, apakah ini berlaku juga ketika dirinya menua nanti.Yang kuyakini ialah, dia satu-satunya perempuan elegan dengan harkat dan martabat paling tinggi dan tetap menjadi teman bagiku setelah mengetahui jati diriku.“Kenapa diem, Kiana?”“Oh, maaf, Adrian. Aku jadi keasyikan karena pemandangan kota yang indah ini.”Orang lain mungkin akan begitu bosan melihat
Upacara sakral yang berlangsung sangat singkat. Sangat berbeda dari setiap aku melakukannya dengan perempuan lain.Yah, memang benar. Sebab, dia Kiana, bukan perempuan yang berprofesi sebagai artis film dewasa yang memiliki gairah amat tinggi dan berpengalaman.Bahkan saat diriku melakukannya, bibirnya tak sekali pun terbuka. Bibir itu hanya terkatup, tetapi memberikanku kesempatan untuk sekali saja menerobosnya masuk dengan pengecapku.Walau demikian, kepuasan itu telah aku raih. Kepuasan dalam konteks yang tak terlalu lama. Justru, mungkin aku lebih cenderung ingin merasakannya kembali.Sayang. Kiana mengalihkan pandangannya setelah itu.“Sorry, Kiana. Sorry, gue ….”Sungguh tak satu pun alasan terpikirkan di benak saat ini. Diriku terlampau takut bahwa gadis ini akan menganggapku seorang maniak atau apalah julukan lainnya karena langsung menciumnya tanpa izin.“Gue cuma penasaran.”Alasan yang
Apa yang ada di tanganku sekarang adalah bunga yang telah layu dan bahkan membusuk. Sepucuk bunga yang pernah Gladis berikan padaku di saat dirinya belum mengalami kecelakaan.Ah, betapa aku ingat waktu itu. Aku langsung menyimpannya ke saku karena tidak mengerti apa yang sedang gadis itu lakukan.Dan sekarang, aku berada di ruangan tempat ia berbaring. Untuk kesekian kalinya, vas yang ada di nakas kuganti dengan bunga yang lebih segar.Sementara itu, bunga lusuh yang ada di genggaman, kuletakkan begitu saja di sebelahnya.“Gladis, sampai kapan lo bakalan di situ terus?”Kesedihan akhirnya kembali datang menusuk begitu perih ruang-ruang di kekosongan hati.Begitu malang, bahwa ia pun tak memiliki seorang pun yang begitu memperhatikannya.Tidak, tidak.Jika dikatakan tak memiliki, dia memiliki diriku sebagai seorang kakak yang kemungkinan besar telah gagal menjaga dirinya.Namun, ini tak dihitung, bukan? Sebab
Terlampau senang hatiku karena mengetahui Gladis tengah berusaha untuk meninggalkan dunia tempat ia nyaman saat ini.Kesekian kalinya, doaku dikabulkan oleh Dewa Penolong yang dulu pernah kukutuk sebagai Dewa yang mencurangi hidupku.“Lo pasti bisa, Glad!”Rasanya begitu tak sabar melihat dia kembali membuka mata, lalu melihat senyumannya seperti sedia kala.“Saya akan memanggil dokter.”Elaine pun turut antusias dan membantu. Dia keluar untuk menuju ruangan dokter, sekiranya bisa mendapatkan laporan kemajuan mengenai keadaan Gladis.Dia tengah berusaha sekarang.Meski diriku yang tidak percaya akan takdir, sejauh perkembangan Gladis yang telah sekian lama kunanti, persentase itu pun mulai bergeser ke kanan.Hingga pada akhirnya, doa itu seperti begitu banyak cahaya yang beterbangan di langit asa yang gelap. Terbang menyinari.Kedua mata Gladis terbuka meski mungkin masih dirasakan begitu berat. S
“Aku udah bilang sama kamu, kan?”Sepasang tangan memelukku dari belakang. Sementara diriku masih saja tak bisa berpaling dari bayangan Carissa yang telah meninggalkanku dengan lelaki bernama Alex. Dia tak lagi terlihat di kedua mataku.Perempuan ini melepaskan dekapannya, lalu berdiri di hadapanku dengan sebuah senyuman. Sesekali, dia membenarkan kacamatanya yang sempat melorot.“Kita pulang, yuk.”Entah mengapa aku menurut begitu saja, lalu berjalan sambil bergandengan tangan dengannya. Kami masuk ke dalam mobilku. Namun, aku kembali bergeming.“Udah, nggak apa-apa. Sini, aku masih sama kamu.”Aku mengangguk pelan, lalu perempuan berkacamata ini membenamkan kepalaku dalam dekapannya. Sungguh hangat. Sungguh nyaman dan aku terbuai akan sebuah perasaan.“Kenapa semua harus terjadi sama gue? Kenapa orang-orang yang gue cintai nggak pernah bisa menetap dan menemani gue?”“Aku
“Kenapa, Carissa? L-lo bilang kalau kita akan selalu bersama. Tapi, kenapa sekarang kamu bilang kita nggak bisa bersama?”Begitulah aku bertanya pada Carissa yang sedang tertunduk di depanku. Mungkin aku sudah tidak bisa mengeluarkan air mata kesedihan. Sebab, ini terlalu sulit untuk dipercaya. Hanya karena sebuah kesalahan, kenangan yang telah kami jalani bersama akan sirna begitu saja.“Adrian, saya sudah memikirkan ini cukup lama. Atau tepatnya ketika saya jatuh cinta padamu. Saya merasa sangat mencintaimu, tapi rasanya sangat sulit jika kamu terus-menerus nggak bisa mengendalikan dirimu sendiri.”“B-bukannya semua gangguan yang aku alami atas Skizo ini udah perlahan-lahan berkurang? Maksudku, aku udah nggak mengalami Skizo lagi dalam beberapa bulan terakhir. Aku nggak mengalami ilusi dan delusi lagi,” jelasku.Terdengar bahwa napas Carissa begitu berat saat mengembus. Aku menduga bahwa dia pun begitu sulit untuk men
Tanpa pikir panjang setelah melihat bahwa lelaki bernama Alex ini melakukan hal yang tidak seharusnya pada Carissa, aku berlari dengan penuh amarah. Kemudian, tanganku yang terkepal melayang begitu saja hingga menghantam wajahnya.“Sialan lo! Berani-beraninya lo ngelakuin hal nggak pantes sama cewek gue!”Amarahku tidak terkendali. Aku menjadi orang yang sangat brutal dan emosi itu semakin lama semakin bergejolak.“Adrian! Jangan, Adrian!”Aku tahu aku mendengar suara Carissa yang berusaha menyabarkan hatiku. Hanya saja, aku sudah tidak terkendali lagi. Begitu lelaki bertubuh tinggi ini terjatuh, aku segera meraih kerah pakaiannya, lalu menghantamnya lagi dan lagi.“Lo cowok sialan! Lo nggak tahu kalau Carissa udah punya pacar?! Sialan lo! Goblok!”Secara terus-menerus kuhujani Alex dengan tinjuku. Sesekali, kakiku menendangnya tak tanggung-tanggung. Bagiku, dia sangat pantas mendapatkan perlakuan seperti
Aku tak tahu siapa laki-laki berambut pirang dan berbola mata kuning yang menyerukan nama Carissa barusan. Namun, dari gelagatnya, kurasa dia sangat mengenal Carissa.“Hai, Carissa! Kita bisa berjumpa lagi!” ucap laki-laki berambut pirang yang telah tiba di hadapanku dan Carissa.Sementara itu, perempuan ini terlihat cukup tegang dan khawatir.“A-Alex ….”“Yup! Ini saya. Alex. Apa kabar? Sudah cukup lama kita tidak bertemu.”Sembari mengalihkan pandangan padaku, Carissa menjawab, “B-baik. Saya baik. B-bagaimana denganmu?”Sepertinya, Carissa memang agak gugup berbicara dengan laki-laki bernama Alex ini. Entah, dia mungkin teman kekasihku yang telah lama tidak bertemu.Aku, sih, mengerti mengapa Carissa begitu khawatir dan terlihat gugup. Bisa saja dia sungkan berbicara karena ada diriku di tengah-tengah mereka.“Carissa, gue tunggu lo di mobil aja, ya,” ucapku k
Diana menjauhkanku dari Carissa.“Aku nggak akan menyerahkan Adrian sama kamu!”Mendengar nada tegas perempuan yang tengah mencengkeram erat lenganku ini, Carissa tersentak. Seketika, dia kembali naik pitam.“Apa maksudmu? Adrian itu kekasih saya!”“Kalian cuma sepasang kekasih, bukan suami dan istri. Saya masih punya hak merebut Adrian dari kamu!”Tentu saja, aku tidak bisa tinggal diam atas apa yang Diana lakukan. Dia sudah benar-benar kurang ajar dan tak tahu diri.“Lepasin gue, Diana!” Kutarik tangan dengan segera dan menatap perempuan ini penuh intimidasi.“Adrian! Kamu sebenarnya nggak sayang sama Carissa! Apa kamu yakin dengan perasaanmu? Gimana kalau perasaanmu cuma ilusi?!”Senyuman yang lebar terpahat di wajah Diana. Ini seolah-olah dia berusaha untuk melumpuhkan kepercayaan diriku.Bagaimana mungkin dia mengatakan bahwa perasaanku terhadap Carissa mer
Di mulut pintu gudang, telah berdiri Carissa yang menyaksikan Diana memeluk diriku. Hal ini tentu saja tidak bisa aku biarkan. Walau demikian, telah terjadi kesalahpahaman di antara kami. Tak diragukan lagi.“Carissa?!”Perempuan itu menggeleng-geleng seolah tak percaya dengan yang ia saksikan.“Gue … gue … nggak kayak yang lo lihat, Carissa!”Aku berusaha menjelaskan padanya. Entah mengapa, tak ada yang dapat aku ucapkan, sebab Diana semakin erat memeluk diriku.Segera kudorong Diana agar terlepas dari tubuhku. Tahu-tahu, pakaiannya telah compang-camping. Entah sejak kapan itu terjadi. Aku yakin bahwa dia sengaja melakukannya sendiri agar terkesan bahwa akulah yang telah melakukannya lebih dulu atas keinginan sendiri.“Jangan percaya apa yang lo lihat, Carissa!”Segera aku berlari untuk menggapai Carissa yang masih berdiri dengan tatapan nanar di mulut pintu. Dia tak bergerak sedikit
Ketika aku berjalan untuk menuju ruang syuting, seseorang mendorong tubuhku hingga masuk ke sebuah gudang penyimpanan alat dan barang-barang bekas.“Woi! Apa-apaan ini?!”Aku tak melihat apa pun di ruangan tersebut karena sangat gelap. Tubuhku didorongnya hingga mentok pada dinding. Sedangkan, mataku ditutup oleh sehelai kain. Sempurna sudah, aku tidak bisa melihat apa pun.“Siapa lo?! Apa-apaan, sih, ini?!”Tanganku berusaha meraba-raba, tetapi tak mendapatkan apa pun. Kudengar embusan napas dari orang yang menyekapku ke gudang ini.Sepasang tangan melingkar di pinggangku. Dari kelembutan kulit yang aku rasakan, kurasa pelakunya adalah seorang perempuan.“Siapa lo? Kenapa lo ngelakuin ini?”Masih tak ada jawaban. Kini, terasa bahwa tangannya meraba-raba dadaku, menelusup ke balik kemeja yang aku kenakan. Segera aku tepis dan berhasil menggenggam tangannya.Meskipun tak bisa melihat apa pun,
Aku membuka pintu ruangan Elaine dengan kasar.“Apa-apaan, sih, lo?! Kenapa si Diana cewek gila itu harus jadi partner gue?!” protesku sambil mendengkus kasar, lalu mengempaskan pantat di sofa.Elaine terlihat sedang bersantai sambil menikmati rokok putih kesukaannya. Dia menatapku sejenak dan tersenyum kecut. Ini seolah-olah dia melihat seorang lelaki bodoh.“Kenapa, Adrian? Kamu tiba-tiba datang dan berteriak seperti itu. Memangnya dia merepotkanmu selama ini?”“Udah jelas! Dia ngerepotin banget! Hubungan gue sama Carissa hampir aja berakhir gara-gara dia! Udah gila itu cewek. Bisa-bisanya lo … ahhh!”Kuembuskan napas panjang untuk sedikit meredakan kekesalan yang menyelimuti.Walau demikian, aku memang tak habis pikir dengan perempuan bernama Diana itu. Mulai dari sikapnya yang riang, lalu berubah jadi sangat licik dan merepotkan. Benar-benar tipe perempuan yang tidak pernah aku inginkan ada di d
Dengan langkah cepat, aku masuk dan mengunci pintu rumah. Tak lama kemudian, pintu diketuk-ketuk dengan keras oleh Diana dari luar.“ADRIAN! AKU NGGAK MAU PULANG! AKU MAU TETAP DI SINI!”Begitulah dia berteriak sambil membentur-benturkan tangannya di pintu, kurasa. Aku tak menanggapi semua yang dia ucapkan dengan teriakan pekak.Ini benar-benar tidak bagus. Semestinya aku sudah bermesra-mesraan sekarang dengan Carissa setelah selesai makan siang. Namun, kedatangan Diana menjadi sebuah malapetaka bagi kami.“Adrian! Please! Bukan pintunya! Aku nggak akan pulang sebelum kamu menerima aku jadi yang kedua!”Salahkah jika aku mengatakan perempuan ini murahan? Sebab, dia terlalu menuntut hati seseorang yang tidak memiliki perasaan padanya.Baru kali ini aku bertemu perempuan keras kepala seperti Diana. Ia bahkan tidak ragu mempermalukan dirinya di hadapanku. Jika benar dia mencintai dengan setulus hati, mengapa tidak memiki