Beranda / Urban / EUFORIA / Karina Dwi Utari

Share

Karina Dwi Utari

Penulis: Marion D'rossi
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Karina meletakkan sekumpulan kertas di atas meja Elaine dengan keras.

“Nih, ya, setelah gue pikir-pikir, gue terima kontraknya. Tapi, jangan pikir gue nyerah karena usaha kalian. Gue kasihan aja sama kalian yang merengek-rengek sama gue.”

Bahkan setelah dia dengan jelas telah menandatangani kontrak tersebut, tetapi Karina masih saja bersikap dingin.

Sepertinya usahaku kemarin tak sia-sia. Memang, waktu itu aku tak sampai melakukan hal di luar batas. Anggap saja sebagai salam pertemuan, sekaligus usaha penaklukan dirinya.

Kuyakin, dari situlah dia mulai bimbang dan berpikir kembali untuk menerima kontrak tersebut.

“Dasar cewek kulkas. Seharusnya lo ngaku aja kalah dari gue.”

Dengan kebanggaan tiada batas, aku menyilangkan tangan sambil bersandar di punggung sofa. Sudah semestinya aku bangga dengan pencapaian luar biasa ini.

Sebab, Karina memang terkenal sebagai perempuan yang sulit ditaklukkan. Dan aku adalah la

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • EUFORIA   Satu Noda Merusak Segalanya

    Sekian lama mencari ingatan samar di kepala, aku menyadari satu kesalahan yang telah kuperbuat, yaitu tidak mengingat apa yang kulupa.Mungkin ini sebuah kalimat yang konyol, tetapi jika dipikir kembali, seseorang sepertiku juga punya masa kecil yang cukup bahagia.“Karina Dwi Utari,” lirihku sambil memandang wajah perempuan yang tengah sendu di hadapanku.“Gue nggak nyangka lo ngelupain gue, Adrian.”Bukan hal yang mustahil jika aku melupakan masa kecil atau siapa saja yang selalu bersamaku dulu. Bahkan, aku telah tidak ingat apa saja yang pernah kulewati.Ingatan-ingatan itu telah menjadi samar dan aku hanya fokus memikirkan masa kini.“J-jadi, lo itu …”“Ya, Adrian. Gue Utari. Lo dulu sering manggil gue Utari, bukan Karina. Karena panggilan masa kecil gue, ya, Utari. Dan ternyata lo ngelupain gue?”Konyol sekali, sih, bertemu dengan seorang teman masa kecil di sebuah age

  • EUFORIA   Seorang Pembohong Terhormat

    “Kadang, kita memang butuh waktu untuk merenung. Merenungi segala hal tentang kehidupan. Merenungi segala hal yang sudah pernah kita lalui.”Suara dalam yang begitu lembut. Seolah-olah menciptakan suasana damai nan tenang. Seketika aku berkhayal berada di sebuah tempat yang penuh dengan cahaya dan pohon-pohon rindang yang dikibaskan angin.Perempuan berkacamata, Kiana, yang selama ini masih menjadi misteri besar di dalam hidupku. Dia dengan anggun tersenyum dan berdiri di sebelahku sambil menatap mentari yang sebentar lagi tenggelam di ujung cakrawala.Oh, ayolah. Bahkan di tempat tak terduga seperti pantai, aku masih bisa bertemu dengannya. Dia ini hantu gentayangan, apa? Selalu saja ada di saat hatiku sedang dilanda sebuah keraguan.“Kayaknya gue nggak perlu tanya lagi kenapa lo bisa ada di sini.”“Kenapa, Adrian?” Dia menatapku dengan matanya yang berbinar, membias cahaya senja yang memukau.“Kare

  • EUFORIA   Menghancurkan Kesombongan Karina

    Telah puluhan menit diriku bungkam sambil menatap Karina dengan gelagat aneh. Matanya memicing, sekali dalam beberapa detik.“Ada apa, sih? Dari tadi diem. Nggak mau ngomong juga?”“Ogah gue ngomong sama lo.”Jadi, begitu. Di saat aku telah memenuhi keinginannya untuk berhadapan, dia mengatakan hal paling konyol yang pernah kudengar.Padahal, dia yang butuh bicara. Dan aku hanya menuruti keinginannya saja dan berusaha menunggu mulutnya buka suara.“Yaelah.”Sejak terakhir bertemu dengannya, memang telah banyak perubahan yang terjadi dalam diri Karina. Mulai dari perubahan fisik maupun sikap.Aku jadi tak sabar ingin menikmatinya di ranjang. Tidak, tidak. Aku harus menghentikan pikiran itu untuk sementara waktu.Dengan kerendahan hatiku yang sangat tinggi, aku memutuskan memulai sebuah percakapan sekaligus sebuah ajakan yang mungkin tidak akan mampu ia tolak.“Nanti malam lo ada w

  • EUFORIA   Menyerah untuk Pertama Kali

    “Jadi, apa sekarang lo bisa nolak ajakan gue?”Tak kusangka, Karina malah mendorong tubuhku sekeras mungkin hingga mundur beberapa langkah.“Woy, santai, dong!”“Okay! Gue terima ajakan lo! Tapi, jangan pikir lo bisa ngelakuin apa pun sama gue! Lagian, gue cuma kasihan sama lo yang merengek kayak bocah!”Sepertinya kata-kataku memang sudah habis untuk Karina. Tak tahu lagi apa yang harus kukatakan untuk mendeskripsikan kekesalan ini.Dia berhasil membuat kekesalan berada di ubun-ubun. Namun, tertahan hingga akhirnya tak jadi meledak ke permukaan.“Akan gue jemput lo nanti malam.”Tubuh yang dibalut dengan pakaian yang tergolong minim itu berlalu pergi meninggalkanku tanpa pernah menoleh ke belakang.Bukan karena aku terlalu percaya diri, tetapi karena seperti itulah dia terlihat di mataku. Dia sangat menginginkan sentuhan dariku, tetapi sangat gengsi mengakui.Dia memang pe

  • EUFORIA   Utari Bukanlah Karina

    Permintaan maaf yang keluar langsung dari mulutku membuat Karina membekap mulutnya sendiri sambil menahan kesedihan yang sepertinya akan segera menitik.“Lo salah satu orang paling berjasa di hidup gue. Jadi, dengan kerendahan hati, gue minta maaf. Maaf, karena udah ngelupain lo.”“Kenapa baru sekarang? Setelah lo bahkan nggak memedulikan gue di awal. Lo melakukan hal senonoh sama temen masa kecil lo sendiri. Lo pikir gue seneng, haaah? Gue sedih, Adrian!”Memang benar, hal yang paling tidak diinginkan dari seorang manusia bukanlah ditinggalkan, tetapi dilupakan.Mungkin sekaranglah aku bisa memahami seberapa besar perasaan Karina yang dulu diberikan untukku. Sayang. Aku tidak bisa menerima cinta monyetnya karena harus pindah tempat tinggal.“Kalau lo pikir gue udah terlambat, apa yang harus gue lakuin biar lo mau memaafkan gue?”Bulir-bulir air mata yang terjun dari manik Karina, semakin mendera hatinya.

  • EUFORIA   Ronde Kedua

    Semua telah berakhir dalam waktu singkat, tetapi terasa cukup panjang dan melelahkan. Akhirnya, dengan gairah nafsu yang bercampur kesedihan, aku telah menjadi tersangka atas pembobolan gawang teman masa kecilku.Semua terjadi tanpa pernah diduga. Bahkan bertemu kembali dengannya pun tidak pernah terpikirkan.Aku bersandar pada punggung ranjang sambil memeluk Karina di dalam selimut. Keringat masih terasa lengket di setiap inci tubuhnya. Bau khas tubuhnya menguar.Dia terpejam, lalu membuka mata dan mulai buka suara.“Gue udah maafin lo, Adrian. Gue yakin nggak bisa membenci lo berlama-lama. Mana mungkin gue bisa benci sama lo selamanya, karena lo salah satu teman masa kecil berharga gue.”Benar yang Karina katakan. Dua insan yang selalu bersama dalam suka dan duka memang tidak akan bisa saling membenci.Meski membenci, pada akhirnya itu hanya sebuah perasaan sementara yang dapat berubah sewaktu-waktu. Rasa bahagia dan ingin memi

  • EUFORIA   Bersinar Terang Layaknya Bintang

    Kesuksesan besar film yang aku bintangi bersama Karina menuai banyak pujian dari para tim di agensi.Oleh itulah, maka pesta malam ini terjadi.Tiada yang bisa kukatakan untuk hal ini. Kebanggaan itu bahkan tidak bisa kusemarakkan karena aku merasa ini bukanlah pencapaian yang baik.Di antara gemerlapnya lampu-lampu yang mengiringi musik di halaman agensi, aku hanya bisa duduk sembari menenggak minuman yang beberapa waktu lalu diberikan pelayan.“Malam yang indah, kan, Adrian? Bagaimana perasaanmu saat ini?” tanya Elaine yang baru saja datang menghampiri setelah selesai memberikan sedikit kata pengantar di panggung kecil itu.Sementara itu, meski memandang dengan lamat ke arah para wanita yang sebagiannya tak kukenal sedang bersorak-sorai dan bersulang, aku ditelikung hampa sedemikian rupa.Sambil menunduk, aku menjawab, “Nggak ada perasaan istimewa, kok. Biasa aja.”“Ini pencapaian besar, Adrian. Saya pi

  • EUFORIA   Thanks, Glad!

    Sekarang, aku bisa merasakan sebuah kesendirian dalam rasa sakit. Tanpa orang yang bisa kuandalkan. Tanpa perhatian dari seseorang. Aku terkapar lemah di atas ranjang dengan napas yang tak beraturan.Hidup sendiri memang adalah pilihanku sendiri. Namun, dalam keadaan-keadaan tertentu seperti ini, aku butuh bantuan orang lain.Manusia tak pernah bisa hidup dalam kesendirian. Sebab, sepi adalah musuh terbesar paling sengit yang harus dikalahkan.Untungnya, aku telah menghubungi Gladis beberapa waktu lalu. Dia akan datang melihat keadaanku. Dan jika memungkinkan, kuminta dia untuk merawatku dalam beberapa waktu kedepan.Terdengar suara pintu terbuka. Aku tahu itu pasti Gladis yang telah tiba dengan langkah tergesa.Beberapa waktu lalu, aku berusaha bangkit untuk membuka gembok yang terpasang pada gerbang dan membuka kunci pintu agar gadis itu dapat masuk dengan mudah.“Adrian! Ya, ampun, Adrian.”Dia datang dengan kepanikan t

Bab terbaru

  • EUFORIA   Not The End

    “Aku udah bilang sama kamu, kan?”Sepasang tangan memelukku dari belakang. Sementara diriku masih saja tak bisa berpaling dari bayangan Carissa yang telah meninggalkanku dengan lelaki bernama Alex. Dia tak lagi terlihat di kedua mataku.Perempuan ini melepaskan dekapannya, lalu berdiri di hadapanku dengan sebuah senyuman. Sesekali, dia membenarkan kacamatanya yang sempat melorot.“Kita pulang, yuk.”Entah mengapa aku menurut begitu saja, lalu berjalan sambil bergandengan tangan dengannya. Kami masuk ke dalam mobilku. Namun, aku kembali bergeming.“Udah, nggak apa-apa. Sini, aku masih sama kamu.”Aku mengangguk pelan, lalu perempuan berkacamata ini membenamkan kepalaku dalam dekapannya. Sungguh hangat. Sungguh nyaman dan aku terbuai akan sebuah perasaan.“Kenapa semua harus terjadi sama gue? Kenapa orang-orang yang gue cintai nggak pernah bisa menetap dan menemani gue?”“Aku

  • EUFORIA   Goodbye Again

    “Kenapa, Carissa? L-lo bilang kalau kita akan selalu bersama. Tapi, kenapa sekarang kamu bilang kita nggak bisa bersama?”Begitulah aku bertanya pada Carissa yang sedang tertunduk di depanku. Mungkin aku sudah tidak bisa mengeluarkan air mata kesedihan. Sebab, ini terlalu sulit untuk dipercaya. Hanya karena sebuah kesalahan, kenangan yang telah kami jalani bersama akan sirna begitu saja.“Adrian, saya sudah memikirkan ini cukup lama. Atau tepatnya ketika saya jatuh cinta padamu. Saya merasa sangat mencintaimu, tapi rasanya sangat sulit jika kamu terus-menerus nggak bisa mengendalikan dirimu sendiri.”“B-bukannya semua gangguan yang aku alami atas Skizo ini udah perlahan-lahan berkurang? Maksudku, aku udah nggak mengalami Skizo lagi dalam beberapa bulan terakhir. Aku nggak mengalami ilusi dan delusi lagi,” jelasku.Terdengar bahwa napas Carissa begitu berat saat mengembus. Aku menduga bahwa dia pun begitu sulit untuk men

  • EUFORIA   Dia Membenci

    Tanpa pikir panjang setelah melihat bahwa lelaki bernama Alex ini melakukan hal yang tidak seharusnya pada Carissa, aku berlari dengan penuh amarah. Kemudian, tanganku yang terkepal melayang begitu saja hingga menghantam wajahnya.“Sialan lo! Berani-beraninya lo ngelakuin hal nggak pantes sama cewek gue!”Amarahku tidak terkendali. Aku menjadi orang yang sangat brutal dan emosi itu semakin lama semakin bergejolak.“Adrian! Jangan, Adrian!”Aku tahu aku mendengar suara Carissa yang berusaha menyabarkan hatiku. Hanya saja, aku sudah tidak terkendali lagi. Begitu lelaki bertubuh tinggi ini terjatuh, aku segera meraih kerah pakaiannya, lalu menghantamnya lagi dan lagi.“Lo cowok sialan! Lo nggak tahu kalau Carissa udah punya pacar?! Sialan lo! Goblok!”Secara terus-menerus kuhujani Alex dengan tinjuku. Sesekali, kakiku menendangnya tak tanggung-tanggung. Bagiku, dia sangat pantas mendapatkan perlakuan seperti

  • EUFORIA   Marah

    Aku tak tahu siapa laki-laki berambut pirang dan berbola mata kuning yang menyerukan nama Carissa barusan. Namun, dari gelagatnya, kurasa dia sangat mengenal Carissa.“Hai, Carissa! Kita bisa berjumpa lagi!” ucap laki-laki berambut pirang yang telah tiba di hadapanku dan Carissa.Sementara itu, perempuan ini terlihat cukup tegang dan khawatir.“A-Alex ….”“Yup! Ini saya. Alex. Apa kabar? Sudah cukup lama kita tidak bertemu.”Sembari mengalihkan pandangan padaku, Carissa menjawab, “B-baik. Saya baik. B-bagaimana denganmu?”Sepertinya, Carissa memang agak gugup berbicara dengan laki-laki bernama Alex ini. Entah, dia mungkin teman kekasihku yang telah lama tidak bertemu.Aku, sih, mengerti mengapa Carissa begitu khawatir dan terlihat gugup. Bisa saja dia sungkan berbicara karena ada diriku di tengah-tengah mereka.“Carissa, gue tunggu lo di mobil aja, ya,” ucapku k

  • EUFORIA   Memanas

    Diana menjauhkanku dari Carissa.“Aku nggak akan menyerahkan Adrian sama kamu!”Mendengar nada tegas perempuan yang tengah mencengkeram erat lenganku ini, Carissa tersentak. Seketika, dia kembali naik pitam.“Apa maksudmu? Adrian itu kekasih saya!”“Kalian cuma sepasang kekasih, bukan suami dan istri. Saya masih punya hak merebut Adrian dari kamu!”Tentu saja, aku tidak bisa tinggal diam atas apa yang Diana lakukan. Dia sudah benar-benar kurang ajar dan tak tahu diri.“Lepasin gue, Diana!” Kutarik tangan dengan segera dan menatap perempuan ini penuh intimidasi.“Adrian! Kamu sebenarnya nggak sayang sama Carissa! Apa kamu yakin dengan perasaanmu? Gimana kalau perasaanmu cuma ilusi?!”Senyuman yang lebar terpahat di wajah Diana. Ini seolah-olah dia berusaha untuk melumpuhkan kepercayaan diriku.Bagaimana mungkin dia mengatakan bahwa perasaanku terhadap Carissa mer

  • EUFORIA   Khayal

    Di mulut pintu gudang, telah berdiri Carissa yang menyaksikan Diana memeluk diriku. Hal ini tentu saja tidak bisa aku biarkan. Walau demikian, telah terjadi kesalahpahaman di antara kami. Tak diragukan lagi.“Carissa?!”Perempuan itu menggeleng-geleng seolah tak percaya dengan yang ia saksikan.“Gue … gue … nggak kayak yang lo lihat, Carissa!”Aku berusaha menjelaskan padanya. Entah mengapa, tak ada yang dapat aku ucapkan, sebab Diana semakin erat memeluk diriku.Segera kudorong Diana agar terlepas dari tubuhku. Tahu-tahu, pakaiannya telah compang-camping. Entah sejak kapan itu terjadi. Aku yakin bahwa dia sengaja melakukannya sendiri agar terkesan bahwa akulah yang telah melakukannya lebih dulu atas keinginan sendiri.“Jangan percaya apa yang lo lihat, Carissa!”Segera aku berlari untuk menggapai Carissa yang masih berdiri dengan tatapan nanar di mulut pintu. Dia tak bergerak sedikit

  • EUFORIA   Klimaks

    Ketika aku berjalan untuk menuju ruang syuting, seseorang mendorong tubuhku hingga masuk ke sebuah gudang penyimpanan alat dan barang-barang bekas.“Woi! Apa-apaan ini?!”Aku tak melihat apa pun di ruangan tersebut karena sangat gelap. Tubuhku didorongnya hingga mentok pada dinding. Sedangkan, mataku ditutup oleh sehelai kain. Sempurna sudah, aku tidak bisa melihat apa pun.“Siapa lo?! Apa-apaan, sih, ini?!”Tanganku berusaha meraba-raba, tetapi tak mendapatkan apa pun. Kudengar embusan napas dari orang yang menyekapku ke gudang ini.Sepasang tangan melingkar di pinggangku. Dari kelembutan kulit yang aku rasakan, kurasa pelakunya adalah seorang perempuan.“Siapa lo? Kenapa lo ngelakuin ini?”Masih tak ada jawaban. Kini, terasa bahwa tangannya meraba-raba dadaku, menelusup ke balik kemeja yang aku kenakan. Segera aku tepis dan berhasil menggenggam tangannya.Meskipun tak bisa melihat apa pun,

  • EUFORIA   Evil

    Aku membuka pintu ruangan Elaine dengan kasar.“Apa-apaan, sih, lo?! Kenapa si Diana cewek gila itu harus jadi partner gue?!” protesku sambil mendengkus kasar, lalu mengempaskan pantat di sofa.Elaine terlihat sedang bersantai sambil menikmati rokok putih kesukaannya. Dia menatapku sejenak dan tersenyum kecut. Ini seolah-olah dia melihat seorang lelaki bodoh.“Kenapa, Adrian? Kamu tiba-tiba datang dan berteriak seperti itu. Memangnya dia merepotkanmu selama ini?”“Udah jelas! Dia ngerepotin banget! Hubungan gue sama Carissa hampir aja berakhir gara-gara dia! Udah gila itu cewek. Bisa-bisanya lo … ahhh!”Kuembuskan napas panjang untuk sedikit meredakan kekesalan yang menyelimuti.Walau demikian, aku memang tak habis pikir dengan perempuan bernama Diana itu. Mulai dari sikapnya yang riang, lalu berubah jadi sangat licik dan merepotkan. Benar-benar tipe perempuan yang tidak pernah aku inginkan ada di d

  • EUFORIA   Terancam

    Dengan langkah cepat, aku masuk dan mengunci pintu rumah. Tak lama kemudian, pintu diketuk-ketuk dengan keras oleh Diana dari luar.“ADRIAN! AKU NGGAK MAU PULANG! AKU MAU TETAP DI SINI!”Begitulah dia berteriak sambil membentur-benturkan tangannya di pintu, kurasa. Aku tak menanggapi semua yang dia ucapkan dengan teriakan pekak.Ini benar-benar tidak bagus. Semestinya aku sudah bermesra-mesraan sekarang dengan Carissa setelah selesai makan siang. Namun, kedatangan Diana menjadi sebuah malapetaka bagi kami.“Adrian! Please! Bukan pintunya! Aku nggak akan pulang sebelum kamu menerima aku jadi yang kedua!”Salahkah jika aku mengatakan perempuan ini murahan? Sebab, dia terlalu menuntut hati seseorang yang tidak memiliki perasaan padanya.Baru kali ini aku bertemu perempuan keras kepala seperti Diana. Ia bahkan tidak ragu mempermalukan dirinya di hadapanku. Jika benar dia mencintai dengan setulus hati, mengapa tidak memiki

DMCA.com Protection Status