“Okay! Baiklah, cukup sampai di situ! Ruangan ini bukan untuk dijadikan tempat mesum!”
Kalimat itu dilontarkan Elaine sembari bertepuk tangan. Betapa lancang menghentikan kenikmatan yang hampir jauh berbeda kurasakan dari yang lain.
Walau demikian, aku tetap mengerti.
Pertama-tama, harus kukatakan bahwa perempuan bernama Karina ini di luar dugaan. Ekspresi dan gerakan tangannya tak seperti seorang pemula atau dilakukan sembarangan.
Jadi, aku sudah tahu bagaimana kualitas Karina yang sebenarnya.
Perempuan itu menjauh dariku, tetap saja ia membuang pandangan. Seolah-olah jijik padaku.
“Lalu, bagaimana, Karina? Apa kamu setuju untuk memerankan film itu?”
Dia tidak menjawab, lantas mengenakan pakaiannya kembali.
Kurasa mulutnya masih berat mengakui betapa pesonaku begitu kuat untuk ditepis. Yah, aku mencoba memahami itu karena sifatnya yang benar-benar dingin.
Dia seorang perempuan yang sulit mengakui
Karina meletakkan sekumpulan kertas di atas meja Elaine dengan keras.“Nih, ya, setelah gue pikir-pikir, gue terima kontraknya. Tapi, jangan pikir gue nyerah karena usaha kalian. Gue kasihan aja sama kalian yang merengek-rengek sama gue.”Bahkan setelah dia dengan jelas telah menandatangani kontrak tersebut, tetapi Karina masih saja bersikap dingin.Sepertinya usahaku kemarin tak sia-sia. Memang, waktu itu aku tak sampai melakukan hal di luar batas. Anggap saja sebagai salam pertemuan, sekaligus usaha penaklukan dirinya.Kuyakin, dari situlah dia mulai bimbang dan berpikir kembali untuk menerima kontrak tersebut.“Dasar cewek kulkas. Seharusnya lo ngaku aja kalah dari gue.”Dengan kebanggaan tiada batas, aku menyilangkan tangan sambil bersandar di punggung sofa. Sudah semestinya aku bangga dengan pencapaian luar biasa ini.Sebab, Karina memang terkenal sebagai perempuan yang sulit ditaklukkan. Dan aku adalah la
Sekian lama mencari ingatan samar di kepala, aku menyadari satu kesalahan yang telah kuperbuat, yaitu tidak mengingat apa yang kulupa.Mungkin ini sebuah kalimat yang konyol, tetapi jika dipikir kembali, seseorang sepertiku juga punya masa kecil yang cukup bahagia.“Karina Dwi Utari,” lirihku sambil memandang wajah perempuan yang tengah sendu di hadapanku.“Gue nggak nyangka lo ngelupain gue, Adrian.”Bukan hal yang mustahil jika aku melupakan masa kecil atau siapa saja yang selalu bersamaku dulu. Bahkan, aku telah tidak ingat apa saja yang pernah kulewati.Ingatan-ingatan itu telah menjadi samar dan aku hanya fokus memikirkan masa kini.“J-jadi, lo itu …”“Ya, Adrian. Gue Utari. Lo dulu sering manggil gue Utari, bukan Karina. Karena panggilan masa kecil gue, ya, Utari. Dan ternyata lo ngelupain gue?”Konyol sekali, sih, bertemu dengan seorang teman masa kecil di sebuah age
“Kadang, kita memang butuh waktu untuk merenung. Merenungi segala hal tentang kehidupan. Merenungi segala hal yang sudah pernah kita lalui.”Suara dalam yang begitu lembut. Seolah-olah menciptakan suasana damai nan tenang. Seketika aku berkhayal berada di sebuah tempat yang penuh dengan cahaya dan pohon-pohon rindang yang dikibaskan angin.Perempuan berkacamata, Kiana, yang selama ini masih menjadi misteri besar di dalam hidupku. Dia dengan anggun tersenyum dan berdiri di sebelahku sambil menatap mentari yang sebentar lagi tenggelam di ujung cakrawala.Oh, ayolah. Bahkan di tempat tak terduga seperti pantai, aku masih bisa bertemu dengannya. Dia ini hantu gentayangan, apa? Selalu saja ada di saat hatiku sedang dilanda sebuah keraguan.“Kayaknya gue nggak perlu tanya lagi kenapa lo bisa ada di sini.”“Kenapa, Adrian?” Dia menatapku dengan matanya yang berbinar, membias cahaya senja yang memukau.“Kare
Telah puluhan menit diriku bungkam sambil menatap Karina dengan gelagat aneh. Matanya memicing, sekali dalam beberapa detik.“Ada apa, sih? Dari tadi diem. Nggak mau ngomong juga?”“Ogah gue ngomong sama lo.”Jadi, begitu. Di saat aku telah memenuhi keinginannya untuk berhadapan, dia mengatakan hal paling konyol yang pernah kudengar.Padahal, dia yang butuh bicara. Dan aku hanya menuruti keinginannya saja dan berusaha menunggu mulutnya buka suara.“Yaelah.”Sejak terakhir bertemu dengannya, memang telah banyak perubahan yang terjadi dalam diri Karina. Mulai dari perubahan fisik maupun sikap.Aku jadi tak sabar ingin menikmatinya di ranjang. Tidak, tidak. Aku harus menghentikan pikiran itu untuk sementara waktu.Dengan kerendahan hatiku yang sangat tinggi, aku memutuskan memulai sebuah percakapan sekaligus sebuah ajakan yang mungkin tidak akan mampu ia tolak.“Nanti malam lo ada w
“Jadi, apa sekarang lo bisa nolak ajakan gue?”Tak kusangka, Karina malah mendorong tubuhku sekeras mungkin hingga mundur beberapa langkah.“Woy, santai, dong!”“Okay! Gue terima ajakan lo! Tapi, jangan pikir lo bisa ngelakuin apa pun sama gue! Lagian, gue cuma kasihan sama lo yang merengek kayak bocah!”Sepertinya kata-kataku memang sudah habis untuk Karina. Tak tahu lagi apa yang harus kukatakan untuk mendeskripsikan kekesalan ini.Dia berhasil membuat kekesalan berada di ubun-ubun. Namun, tertahan hingga akhirnya tak jadi meledak ke permukaan.“Akan gue jemput lo nanti malam.”Tubuh yang dibalut dengan pakaian yang tergolong minim itu berlalu pergi meninggalkanku tanpa pernah menoleh ke belakang.Bukan karena aku terlalu percaya diri, tetapi karena seperti itulah dia terlihat di mataku. Dia sangat menginginkan sentuhan dariku, tetapi sangat gengsi mengakui.Dia memang pe
Permintaan maaf yang keluar langsung dari mulutku membuat Karina membekap mulutnya sendiri sambil menahan kesedihan yang sepertinya akan segera menitik.“Lo salah satu orang paling berjasa di hidup gue. Jadi, dengan kerendahan hati, gue minta maaf. Maaf, karena udah ngelupain lo.”“Kenapa baru sekarang? Setelah lo bahkan nggak memedulikan gue di awal. Lo melakukan hal senonoh sama temen masa kecil lo sendiri. Lo pikir gue seneng, haaah? Gue sedih, Adrian!”Memang benar, hal yang paling tidak diinginkan dari seorang manusia bukanlah ditinggalkan, tetapi dilupakan.Mungkin sekaranglah aku bisa memahami seberapa besar perasaan Karina yang dulu diberikan untukku. Sayang. Aku tidak bisa menerima cinta monyetnya karena harus pindah tempat tinggal.“Kalau lo pikir gue udah terlambat, apa yang harus gue lakuin biar lo mau memaafkan gue?”Bulir-bulir air mata yang terjun dari manik Karina, semakin mendera hatinya.
Semua telah berakhir dalam waktu singkat, tetapi terasa cukup panjang dan melelahkan. Akhirnya, dengan gairah nafsu yang bercampur kesedihan, aku telah menjadi tersangka atas pembobolan gawang teman masa kecilku.Semua terjadi tanpa pernah diduga. Bahkan bertemu kembali dengannya pun tidak pernah terpikirkan.Aku bersandar pada punggung ranjang sambil memeluk Karina di dalam selimut. Keringat masih terasa lengket di setiap inci tubuhnya. Bau khas tubuhnya menguar.Dia terpejam, lalu membuka mata dan mulai buka suara.“Gue udah maafin lo, Adrian. Gue yakin nggak bisa membenci lo berlama-lama. Mana mungkin gue bisa benci sama lo selamanya, karena lo salah satu teman masa kecil berharga gue.”Benar yang Karina katakan. Dua insan yang selalu bersama dalam suka dan duka memang tidak akan bisa saling membenci.Meski membenci, pada akhirnya itu hanya sebuah perasaan sementara yang dapat berubah sewaktu-waktu. Rasa bahagia dan ingin memi
Kesuksesan besar film yang aku bintangi bersama Karina menuai banyak pujian dari para tim di agensi.Oleh itulah, maka pesta malam ini terjadi.Tiada yang bisa kukatakan untuk hal ini. Kebanggaan itu bahkan tidak bisa kusemarakkan karena aku merasa ini bukanlah pencapaian yang baik.Di antara gemerlapnya lampu-lampu yang mengiringi musik di halaman agensi, aku hanya bisa duduk sembari menenggak minuman yang beberapa waktu lalu diberikan pelayan.“Malam yang indah, kan, Adrian? Bagaimana perasaanmu saat ini?” tanya Elaine yang baru saja datang menghampiri setelah selesai memberikan sedikit kata pengantar di panggung kecil itu.Sementara itu, meski memandang dengan lamat ke arah para wanita yang sebagiannya tak kukenal sedang bersorak-sorai dan bersulang, aku ditelikung hampa sedemikian rupa.Sambil menunduk, aku menjawab, “Nggak ada perasaan istimewa, kok. Biasa aja.”“Ini pencapaian besar, Adrian. Saya pi