“Kadang, kita memang butuh waktu untuk merenung. Merenungi segala hal tentang kehidupan. Merenungi segala hal yang sudah pernah kita lalui.”
Suara dalam yang begitu lembut. Seolah-olah menciptakan suasana damai nan tenang. Seketika aku berkhayal berada di sebuah tempat yang penuh dengan cahaya dan pohon-pohon rindang yang dikibaskan angin.
Perempuan berkacamata, Kiana, yang selama ini masih menjadi misteri besar di dalam hidupku. Dia dengan anggun tersenyum dan berdiri di sebelahku sambil menatap mentari yang sebentar lagi tenggelam di ujung cakrawala.
Oh, ayolah. Bahkan di tempat tak terduga seperti pantai, aku masih bisa bertemu dengannya. Dia ini hantu gentayangan, apa? Selalu saja ada di saat hatiku sedang dilanda sebuah keraguan.
“Kayaknya gue nggak perlu tanya lagi kenapa lo bisa ada di sini.”
“Kenapa, Adrian?” Dia menatapku dengan matanya yang berbinar, membias cahaya senja yang memukau.
“Kare
Telah puluhan menit diriku bungkam sambil menatap Karina dengan gelagat aneh. Matanya memicing, sekali dalam beberapa detik.“Ada apa, sih? Dari tadi diem. Nggak mau ngomong juga?”“Ogah gue ngomong sama lo.”Jadi, begitu. Di saat aku telah memenuhi keinginannya untuk berhadapan, dia mengatakan hal paling konyol yang pernah kudengar.Padahal, dia yang butuh bicara. Dan aku hanya menuruti keinginannya saja dan berusaha menunggu mulutnya buka suara.“Yaelah.”Sejak terakhir bertemu dengannya, memang telah banyak perubahan yang terjadi dalam diri Karina. Mulai dari perubahan fisik maupun sikap.Aku jadi tak sabar ingin menikmatinya di ranjang. Tidak, tidak. Aku harus menghentikan pikiran itu untuk sementara waktu.Dengan kerendahan hatiku yang sangat tinggi, aku memutuskan memulai sebuah percakapan sekaligus sebuah ajakan yang mungkin tidak akan mampu ia tolak.“Nanti malam lo ada w
“Jadi, apa sekarang lo bisa nolak ajakan gue?”Tak kusangka, Karina malah mendorong tubuhku sekeras mungkin hingga mundur beberapa langkah.“Woy, santai, dong!”“Okay! Gue terima ajakan lo! Tapi, jangan pikir lo bisa ngelakuin apa pun sama gue! Lagian, gue cuma kasihan sama lo yang merengek kayak bocah!”Sepertinya kata-kataku memang sudah habis untuk Karina. Tak tahu lagi apa yang harus kukatakan untuk mendeskripsikan kekesalan ini.Dia berhasil membuat kekesalan berada di ubun-ubun. Namun, tertahan hingga akhirnya tak jadi meledak ke permukaan.“Akan gue jemput lo nanti malam.”Tubuh yang dibalut dengan pakaian yang tergolong minim itu berlalu pergi meninggalkanku tanpa pernah menoleh ke belakang.Bukan karena aku terlalu percaya diri, tetapi karena seperti itulah dia terlihat di mataku. Dia sangat menginginkan sentuhan dariku, tetapi sangat gengsi mengakui.Dia memang pe
Permintaan maaf yang keluar langsung dari mulutku membuat Karina membekap mulutnya sendiri sambil menahan kesedihan yang sepertinya akan segera menitik.“Lo salah satu orang paling berjasa di hidup gue. Jadi, dengan kerendahan hati, gue minta maaf. Maaf, karena udah ngelupain lo.”“Kenapa baru sekarang? Setelah lo bahkan nggak memedulikan gue di awal. Lo melakukan hal senonoh sama temen masa kecil lo sendiri. Lo pikir gue seneng, haaah? Gue sedih, Adrian!”Memang benar, hal yang paling tidak diinginkan dari seorang manusia bukanlah ditinggalkan, tetapi dilupakan.Mungkin sekaranglah aku bisa memahami seberapa besar perasaan Karina yang dulu diberikan untukku. Sayang. Aku tidak bisa menerima cinta monyetnya karena harus pindah tempat tinggal.“Kalau lo pikir gue udah terlambat, apa yang harus gue lakuin biar lo mau memaafkan gue?”Bulir-bulir air mata yang terjun dari manik Karina, semakin mendera hatinya.
Semua telah berakhir dalam waktu singkat, tetapi terasa cukup panjang dan melelahkan. Akhirnya, dengan gairah nafsu yang bercampur kesedihan, aku telah menjadi tersangka atas pembobolan gawang teman masa kecilku.Semua terjadi tanpa pernah diduga. Bahkan bertemu kembali dengannya pun tidak pernah terpikirkan.Aku bersandar pada punggung ranjang sambil memeluk Karina di dalam selimut. Keringat masih terasa lengket di setiap inci tubuhnya. Bau khas tubuhnya menguar.Dia terpejam, lalu membuka mata dan mulai buka suara.“Gue udah maafin lo, Adrian. Gue yakin nggak bisa membenci lo berlama-lama. Mana mungkin gue bisa benci sama lo selamanya, karena lo salah satu teman masa kecil berharga gue.”Benar yang Karina katakan. Dua insan yang selalu bersama dalam suka dan duka memang tidak akan bisa saling membenci.Meski membenci, pada akhirnya itu hanya sebuah perasaan sementara yang dapat berubah sewaktu-waktu. Rasa bahagia dan ingin memi
Kesuksesan besar film yang aku bintangi bersama Karina menuai banyak pujian dari para tim di agensi.Oleh itulah, maka pesta malam ini terjadi.Tiada yang bisa kukatakan untuk hal ini. Kebanggaan itu bahkan tidak bisa kusemarakkan karena aku merasa ini bukanlah pencapaian yang baik.Di antara gemerlapnya lampu-lampu yang mengiringi musik di halaman agensi, aku hanya bisa duduk sembari menenggak minuman yang beberapa waktu lalu diberikan pelayan.“Malam yang indah, kan, Adrian? Bagaimana perasaanmu saat ini?” tanya Elaine yang baru saja datang menghampiri setelah selesai memberikan sedikit kata pengantar di panggung kecil itu.Sementara itu, meski memandang dengan lamat ke arah para wanita yang sebagiannya tak kukenal sedang bersorak-sorai dan bersulang, aku ditelikung hampa sedemikian rupa.Sambil menunduk, aku menjawab, “Nggak ada perasaan istimewa, kok. Biasa aja.”“Ini pencapaian besar, Adrian. Saya pi
Sekarang, aku bisa merasakan sebuah kesendirian dalam rasa sakit. Tanpa orang yang bisa kuandalkan. Tanpa perhatian dari seseorang. Aku terkapar lemah di atas ranjang dengan napas yang tak beraturan.Hidup sendiri memang adalah pilihanku sendiri. Namun, dalam keadaan-keadaan tertentu seperti ini, aku butuh bantuan orang lain.Manusia tak pernah bisa hidup dalam kesendirian. Sebab, sepi adalah musuh terbesar paling sengit yang harus dikalahkan.Untungnya, aku telah menghubungi Gladis beberapa waktu lalu. Dia akan datang melihat keadaanku. Dan jika memungkinkan, kuminta dia untuk merawatku dalam beberapa waktu kedepan.Terdengar suara pintu terbuka. Aku tahu itu pasti Gladis yang telah tiba dengan langkah tergesa.Beberapa waktu lalu, aku berusaha bangkit untuk membuka gembok yang terpasang pada gerbang dan membuka kunci pintu agar gadis itu dapat masuk dengan mudah.“Adrian! Ya, ampun, Adrian.”Dia datang dengan kepanikan t
Kasihan Gladis. Sepertinya dia bergadang tadi malam sehingga pagi ini belum bangun. Kurasa, dia bukan gadis yang sering terlambat bangun.Jadi, sudah semestinya kesimpulan itu yang bisa aku pikirkan.Maka, dengan ketulusan hati yang sama seperti yang ia berikan, kuselimuti dirinya.“Tidur yang nyenyak, Glad. Berkat lo, gue jadi sembuh sekarang.”Dengan begitu, aku berangkat ke agensi untuk melakukan aktivitas seperti biasa. Meskipun sebenarnya senjata kelelakianku belum bisa digunakan dengan benar. Untungnya, tidak ada jadwal syuting.Paling-paling hanya sesi pemotretan biasa untuk majalah mingguan.“Jadi, kamu sudah sehat hari ini?”Elaine bertanya, lalu menyesap kopi yang masih terlihat hangat karena asap mengepul dari mug.“Ya, tapi gue belum bisa anu. Ya, lo ngertilah.”Lantas, Elaine terkikik. “Anu apa maksudmu, Adrian?”“Anu, ya, anu. Emang apa lagi selai
Gladis menatap lamat kehadiran Sakura di rumahku. Dia terlihat seolah-olah sangat terganggu dan merasa tak nyaman.“Dia siapa, Adrian?”Sambil menggaruk tengkuk yang tak gatal sama sekali, aku menjawab, “Sorry, Glad. Dia partner gue. Atasan gue di agensi minta untuk menampungnya.”“Orang asing, ya?” Gladis memicingkan bola mata.Kali ini, dia terlihat sangat tak ramah. Sepertinya aku memang harus memaklumi hal itu. Sebab, bagaimanapun Gladis menerimaku sebagai seorang kakak, dia tetaplah masih memiliki perasaan lebih dari hubungan seperti itu.Sakura menyunggingkan senyuman manis pada Gladis, lalu membungkuk.“Hajimemashite! Sakura desu!”Semangat yang berapi-api. Kurasa orang Jepang memang seperti itu. Ketegasan adalah ciri khas mereka.Dengan ekspresi malas dan terbilang tak bergairah sama sekali, Gladis menyambut perkenalan diri Sakura.“Gladis.”Sekar