Tidak kusangka ketika memeluk Clara, aku merasakan hawa keberadaan seorang gadis.
Gladis.
Dia berdiri, tepat di belakangku dengan tatapan nanar. Hal yang selalu membuat hatinya hancur, kembali terjadi.
Walau demikian, kali ini dia tak berlari seperti sebelumnya. Maka, segera kulepaskan Clara dari dekapan.
“Gladis.”
Dia hanya diam, lalu memalingkan wajah ke sembarang arah.
Sedangkan, Clara buru-buru menghapus tiap-tiap tetes air mata dan bekasnya di kedua pipi. Dia beranjak bangkit sambil meregangkan beberapa bagian tubuh.
“Kalau gitu, gue pulang dulu. Thanks, Adrian.”
Langkahnya terhenti di sampingku. Tangan kirinya menepuk bahuku dan berkata, “Lo masih punya seseorang yang sangat berharga. Jaga dia.”
Perempuan bertubuh kekar itu berlalu pergi.
Dan aku pun masih bungkam di hadapan Gladis. Cukup lama kami tak pernah bertemu. Meskipun telah berkata memaafkanku melalui sebuah pesan
Hal yang tidak pernah bisa kulakukan sejak pertama kali bergabung di agensi CatHub, ialah menangis. Umumnya, seseorang akan menangis bila orang terkasih meninggalkannya.Namun, hingga detik ini, aku belum pernah merasakan sedihnya sebuah tangisan.Hanya saja, aku telah bisa merasakan sebuah kerinduan yang mencekik diriku hingga hampir terbunuh dalam sepi.Diamku adalah sebuah tangisan. Bukan air mata yang menjadi tanda kesedihan dalam diriku.Hingga suatu ketika, tergeletak dan terempas oleh kenyataan yang dadakan menikam.“Adrian, aku juga mau baju. Kamu pilihin yang bagus, dong, buat aku.”Gladis seketika menarik tanganku menuju deretan pakaian khusus perempuan di sebuah toko. Dia menunjukkan beberapa baju dan rok, meminta pendapatku tentang kecocokan di tubuhnya.“Ini warnanya kayaknya terlalu tua buat lo.”Telah puluhan baju kutolak. Memang tak ada yang cocok.Selang beberapa saat, mata Gladis
Gladis terkulai lemah dengan bersimbah darah di kepala dan beberapa bagian tubuhnya. Dia masih bernapas, meski samar kudengar dan sedikit kurasakan sebab deru hujan yang semakin deras.“Glad! Glad! Glad! Gue mohon. Bangun, Glad!”Tubuhku bergetar. Bukan hanya karena dinginnya hujan, tetapi juga karena takut dan kesedihan yang kini mendekapku sangat erat.“Please, Glad! Bangun lo, Glad! Kenapa lo diem aja?!”Bahkan tak satu pun manusia hadir di saat aku ingin meminta pertolongan. Tak ada kendaraan melintas. Pelaku yang menabrak gadis manis ini telah kulihat melarikan diri sejak aku mengayuh langkah menggapai tubuhnya.Aku linglung. Ini kali pertama melihat darah yang terus mengalir dari kepala manusia. Entah, ini mungkin karena benturan keras yang terjadi.“GLAD!”Tidak berguna! Aku harus cepat-cepat mencari bantuan. Kondisinya telah semakin parah. Sebelumnya, aku masih bisa melihat kelopak matanya m
Seperti orang bodoh, aku hanya duduk terdiam dengan air mata yang hampir kering di kursi ruang tunggu.Kondisi Gladis sedang kritis dan ditangani oleh dokter dan beberapa asistennya.Kehampaan kembali kurasa. Kali ini, jauh lebih kosong bersama kesedihan yang larut dalam kebimbangan.Salah satu pertanyaan terbesarku ialah, dapatkah doa manusia busuk sepertiku dikabulkan Sang Tuhan?Tatkala pintu ruangan tempat gadis malang itu terbuka, aku langsung semringah dan beranjak berdiri. Segera kuhentikan dokter yang sedang menutup pintu.“Gimana, Dok? Apakah Gladis bisa diselamatkan?”Dengan tatapan yang begitu lamat tanpa sedikit pun ekspresi, dokter ini menepuk bahuku. Seolah-olah ini pertanda yang tidak baik. Atau justru hatiku yang terlalu berpikir buruk.Pria berkacamata bulat di hadapanku mengembuskan napas panjang.“Untung Saudara cepat-cepat melarikannya ke sini. Telat sedikit saja, dia bisa kehabisan darah k
“Nah, Kiana. Gimana menurut lo tentang sebuah kehilangan?”Dengan mata sayu dan pandangan yang agak buram, aku bertanya pada gadis berkacamata yang ada di ayunan sebelahku.“Kehilangan?”Bermenit-menit aku menanti jawaban, tapi tak kunjung diberi. Sepasang kaki Kiana bergerak-gerak, memberikan gaya tarik dan dorong sehingga ayunan bergerak dengan pace yang ia kendalikan.“Kehilangan itu hal yang wajar, Adrian.”Kali ini, aku menatap Kiana meski agak terlihat tak bersemangat. Sudah barang tentu, dia pasti mengetahui bahwa diriku sedang dalam tekanan.“Jadi, apa yang bakalan lo lakuin kalau kehilangan seseorang atau sesuatu? Apakah lo bakalan nangis?”Senyumnya mengembang. Kehangatan yang terpancar seperti biasa, tapi tak cukup menggapaiku kali ini.“Ya, aku akan menangis, Adrian. Menangis adalah aktivitas yang sangat manusiawi saat seorang manusia merasakan kesedihan.”
Karena sangat trauma dengan apa yang telah terjadi dengan Gladis, mengangkat mug pun menjadi begitu berat bagiku. Tangan bergetar. Aliran napas terasa sangat berat dan cepat.Hampir tiba di mulut, aku tak mampu lagi menahan beban hanya secangkir kopi hingga akhirnya terlepas. Tumpah dan bergelimang di permukaan lantai.“Ya, ampun, Adrian.”Buru-buru Kiana menghampiriku, kemudian sedikit menggeser meja. Melihat pahaku yang terkena tumpahan kopi panas, gadis tersebut berlari ke dapur mengambil kain lap.Begitu kembali, dia dengan penuh kehati-hatian membersihkan bekas kopi di pahaku. Entah, apakah pisangku juga ikut terkena tumpahannya.Yang jelas, tubuhku seperti mati rasa. Panas pun tak terasa. Oleh kehampaan rasa ini, aku seperti mayat hidup yang tiada lagi dapat berekspresi seperti manusia pada umumnya.“Adrian? Kamu nggak apa-apa?”Berusaha diriku mengangguk. Meski pelan, kuyakin Kiana memahami.&ldqu
“Sebagai seorang teman, tentu aja aku merasa menyayangimu, Adrian.”Yah, seharusnya aku tak berharap lebih tentang kalimat Kiana sebelumnya. Tentu saja, dia hanya menganggapku seorang teman. Sebab, seperti itulah adanya.Kami tidak memiliki ikatan yang istimewa sehingga dapat dikatakan sebagai dua insan yang menyatu dalam cinta dan kasih.Tak bisa dipungkiri, aku telah merasa kecewa oleh sambungan kalimat gadis ini. Membuat diriku semringah dan begitu antusias hanya beberapa detik. Setelah itu, aku kembali diselimuti sebuah perasaan buruk.“Sebaiknya kamu istirahat aja, ya, Adrian.”Sebenarnya, ini malam yang begitu indah dan begitu sayang untuk dilewatkan. Meskipun mata terkantuk, diriku sadar bahwa mungkin malam seindah ini tak akan pernah datang kembali.“Gue akan menunjukkan kamar lo.”“Makasih, ya, aku udah boleh nginap di sini.”“Seharusnya gue yang berterima kasih. Lo
Demi mendapatkan kesegaran kembali, aku melompat dan menceburkan diri di kolam renang. Benar-benar terasa kesegarannya.Kuselami kolam hingga dasar, terdiam sejenak hingga napas mencapai batas waktu yang dapat kutahan.Setelah itu, aku kembali ke permukaan dan duduk di kursi payung sembari mengusap tetes-tetes air yang menempel di tubuh menggunakan handuk.Tak lama kemudian, sepasang tangan melingkar di tubuhku. Ada seseorang di belakangku. Terkesiap, aku memutar kepala 90 derajat ke kanan.Ternyata hanya Elaine.“Sudah berapa hari kamu libur, Adrian?”Dia berbisik di telinga kananku.Sebetulnya, aku sudah harus bekerja lagi seperti biasa. Hanya saja, tubuh seolah-olah tidak mengizinkan. Oleh sebab itulah, aku masih santai menikmati waktu istirahat.Lagi pula, keadaan Gladis masih kritis. Berkali-kali aku berusaha menemui, dia hanya bisa terbaring dan bungkam. Tak ada jawaban sama sekali ketika aku mengajaknya berbi
Untungnya, aku bisa melewati masa-masa stress meski harus mengorbankan kesehatan sendiri karena mata tak dapat terpejam selama beberapa hari.Yang lebih aku syukuri, Elaine dan Kiana punya kontribusi yang sangat besar dalam hal ini. Elaine dengan caranya sendiri dan Kiana demikian.Gladis.Sudah beberapa minggu ia tak kunjung sadar. Setiap hari, aku selalu membesuknya di rumah sakit. Mengganti bunga di vas yang telah mulai kering. Berbicara sejenak walau sebenarnya aku tak pernah mendapatkan jawaban pasti.Bibir yang terkatup dan terlihat begitu pucat. Tubuh yang terbaring lemah dengan posisi yang tak pernah berubah. Suara alat elektrokardiogram dengan ritme yang teratur.Elemen-elemen itulah yang aku ingat, terpahat di pikiran sebagai kenangan yang mungkin akan sangat sulit terlupakan.Yang jelas, aku kembali beraktivitas seperti biasa.“Meet up lagi?!”“Ya, acara pertemuan dengan penggemar. Ini dilakukan unt
“Aku udah bilang sama kamu, kan?”Sepasang tangan memelukku dari belakang. Sementara diriku masih saja tak bisa berpaling dari bayangan Carissa yang telah meninggalkanku dengan lelaki bernama Alex. Dia tak lagi terlihat di kedua mataku.Perempuan ini melepaskan dekapannya, lalu berdiri di hadapanku dengan sebuah senyuman. Sesekali, dia membenarkan kacamatanya yang sempat melorot.“Kita pulang, yuk.”Entah mengapa aku menurut begitu saja, lalu berjalan sambil bergandengan tangan dengannya. Kami masuk ke dalam mobilku. Namun, aku kembali bergeming.“Udah, nggak apa-apa. Sini, aku masih sama kamu.”Aku mengangguk pelan, lalu perempuan berkacamata ini membenamkan kepalaku dalam dekapannya. Sungguh hangat. Sungguh nyaman dan aku terbuai akan sebuah perasaan.“Kenapa semua harus terjadi sama gue? Kenapa orang-orang yang gue cintai nggak pernah bisa menetap dan menemani gue?”“Aku
“Kenapa, Carissa? L-lo bilang kalau kita akan selalu bersama. Tapi, kenapa sekarang kamu bilang kita nggak bisa bersama?”Begitulah aku bertanya pada Carissa yang sedang tertunduk di depanku. Mungkin aku sudah tidak bisa mengeluarkan air mata kesedihan. Sebab, ini terlalu sulit untuk dipercaya. Hanya karena sebuah kesalahan, kenangan yang telah kami jalani bersama akan sirna begitu saja.“Adrian, saya sudah memikirkan ini cukup lama. Atau tepatnya ketika saya jatuh cinta padamu. Saya merasa sangat mencintaimu, tapi rasanya sangat sulit jika kamu terus-menerus nggak bisa mengendalikan dirimu sendiri.”“B-bukannya semua gangguan yang aku alami atas Skizo ini udah perlahan-lahan berkurang? Maksudku, aku udah nggak mengalami Skizo lagi dalam beberapa bulan terakhir. Aku nggak mengalami ilusi dan delusi lagi,” jelasku.Terdengar bahwa napas Carissa begitu berat saat mengembus. Aku menduga bahwa dia pun begitu sulit untuk men
Tanpa pikir panjang setelah melihat bahwa lelaki bernama Alex ini melakukan hal yang tidak seharusnya pada Carissa, aku berlari dengan penuh amarah. Kemudian, tanganku yang terkepal melayang begitu saja hingga menghantam wajahnya.“Sialan lo! Berani-beraninya lo ngelakuin hal nggak pantes sama cewek gue!”Amarahku tidak terkendali. Aku menjadi orang yang sangat brutal dan emosi itu semakin lama semakin bergejolak.“Adrian! Jangan, Adrian!”Aku tahu aku mendengar suara Carissa yang berusaha menyabarkan hatiku. Hanya saja, aku sudah tidak terkendali lagi. Begitu lelaki bertubuh tinggi ini terjatuh, aku segera meraih kerah pakaiannya, lalu menghantamnya lagi dan lagi.“Lo cowok sialan! Lo nggak tahu kalau Carissa udah punya pacar?! Sialan lo! Goblok!”Secara terus-menerus kuhujani Alex dengan tinjuku. Sesekali, kakiku menendangnya tak tanggung-tanggung. Bagiku, dia sangat pantas mendapatkan perlakuan seperti
Aku tak tahu siapa laki-laki berambut pirang dan berbola mata kuning yang menyerukan nama Carissa barusan. Namun, dari gelagatnya, kurasa dia sangat mengenal Carissa.“Hai, Carissa! Kita bisa berjumpa lagi!” ucap laki-laki berambut pirang yang telah tiba di hadapanku dan Carissa.Sementara itu, perempuan ini terlihat cukup tegang dan khawatir.“A-Alex ….”“Yup! Ini saya. Alex. Apa kabar? Sudah cukup lama kita tidak bertemu.”Sembari mengalihkan pandangan padaku, Carissa menjawab, “B-baik. Saya baik. B-bagaimana denganmu?”Sepertinya, Carissa memang agak gugup berbicara dengan laki-laki bernama Alex ini. Entah, dia mungkin teman kekasihku yang telah lama tidak bertemu.Aku, sih, mengerti mengapa Carissa begitu khawatir dan terlihat gugup. Bisa saja dia sungkan berbicara karena ada diriku di tengah-tengah mereka.“Carissa, gue tunggu lo di mobil aja, ya,” ucapku k
Diana menjauhkanku dari Carissa.“Aku nggak akan menyerahkan Adrian sama kamu!”Mendengar nada tegas perempuan yang tengah mencengkeram erat lenganku ini, Carissa tersentak. Seketika, dia kembali naik pitam.“Apa maksudmu? Adrian itu kekasih saya!”“Kalian cuma sepasang kekasih, bukan suami dan istri. Saya masih punya hak merebut Adrian dari kamu!”Tentu saja, aku tidak bisa tinggal diam atas apa yang Diana lakukan. Dia sudah benar-benar kurang ajar dan tak tahu diri.“Lepasin gue, Diana!” Kutarik tangan dengan segera dan menatap perempuan ini penuh intimidasi.“Adrian! Kamu sebenarnya nggak sayang sama Carissa! Apa kamu yakin dengan perasaanmu? Gimana kalau perasaanmu cuma ilusi?!”Senyuman yang lebar terpahat di wajah Diana. Ini seolah-olah dia berusaha untuk melumpuhkan kepercayaan diriku.Bagaimana mungkin dia mengatakan bahwa perasaanku terhadap Carissa mer
Di mulut pintu gudang, telah berdiri Carissa yang menyaksikan Diana memeluk diriku. Hal ini tentu saja tidak bisa aku biarkan. Walau demikian, telah terjadi kesalahpahaman di antara kami. Tak diragukan lagi.“Carissa?!”Perempuan itu menggeleng-geleng seolah tak percaya dengan yang ia saksikan.“Gue … gue … nggak kayak yang lo lihat, Carissa!”Aku berusaha menjelaskan padanya. Entah mengapa, tak ada yang dapat aku ucapkan, sebab Diana semakin erat memeluk diriku.Segera kudorong Diana agar terlepas dari tubuhku. Tahu-tahu, pakaiannya telah compang-camping. Entah sejak kapan itu terjadi. Aku yakin bahwa dia sengaja melakukannya sendiri agar terkesan bahwa akulah yang telah melakukannya lebih dulu atas keinginan sendiri.“Jangan percaya apa yang lo lihat, Carissa!”Segera aku berlari untuk menggapai Carissa yang masih berdiri dengan tatapan nanar di mulut pintu. Dia tak bergerak sedikit
Ketika aku berjalan untuk menuju ruang syuting, seseorang mendorong tubuhku hingga masuk ke sebuah gudang penyimpanan alat dan barang-barang bekas.“Woi! Apa-apaan ini?!”Aku tak melihat apa pun di ruangan tersebut karena sangat gelap. Tubuhku didorongnya hingga mentok pada dinding. Sedangkan, mataku ditutup oleh sehelai kain. Sempurna sudah, aku tidak bisa melihat apa pun.“Siapa lo?! Apa-apaan, sih, ini?!”Tanganku berusaha meraba-raba, tetapi tak mendapatkan apa pun. Kudengar embusan napas dari orang yang menyekapku ke gudang ini.Sepasang tangan melingkar di pinggangku. Dari kelembutan kulit yang aku rasakan, kurasa pelakunya adalah seorang perempuan.“Siapa lo? Kenapa lo ngelakuin ini?”Masih tak ada jawaban. Kini, terasa bahwa tangannya meraba-raba dadaku, menelusup ke balik kemeja yang aku kenakan. Segera aku tepis dan berhasil menggenggam tangannya.Meskipun tak bisa melihat apa pun,
Aku membuka pintu ruangan Elaine dengan kasar.“Apa-apaan, sih, lo?! Kenapa si Diana cewek gila itu harus jadi partner gue?!” protesku sambil mendengkus kasar, lalu mengempaskan pantat di sofa.Elaine terlihat sedang bersantai sambil menikmati rokok putih kesukaannya. Dia menatapku sejenak dan tersenyum kecut. Ini seolah-olah dia melihat seorang lelaki bodoh.“Kenapa, Adrian? Kamu tiba-tiba datang dan berteriak seperti itu. Memangnya dia merepotkanmu selama ini?”“Udah jelas! Dia ngerepotin banget! Hubungan gue sama Carissa hampir aja berakhir gara-gara dia! Udah gila itu cewek. Bisa-bisanya lo … ahhh!”Kuembuskan napas panjang untuk sedikit meredakan kekesalan yang menyelimuti.Walau demikian, aku memang tak habis pikir dengan perempuan bernama Diana itu. Mulai dari sikapnya yang riang, lalu berubah jadi sangat licik dan merepotkan. Benar-benar tipe perempuan yang tidak pernah aku inginkan ada di d
Dengan langkah cepat, aku masuk dan mengunci pintu rumah. Tak lama kemudian, pintu diketuk-ketuk dengan keras oleh Diana dari luar.“ADRIAN! AKU NGGAK MAU PULANG! AKU MAU TETAP DI SINI!”Begitulah dia berteriak sambil membentur-benturkan tangannya di pintu, kurasa. Aku tak menanggapi semua yang dia ucapkan dengan teriakan pekak.Ini benar-benar tidak bagus. Semestinya aku sudah bermesra-mesraan sekarang dengan Carissa setelah selesai makan siang. Namun, kedatangan Diana menjadi sebuah malapetaka bagi kami.“Adrian! Please! Bukan pintunya! Aku nggak akan pulang sebelum kamu menerima aku jadi yang kedua!”Salahkah jika aku mengatakan perempuan ini murahan? Sebab, dia terlalu menuntut hati seseorang yang tidak memiliki perasaan padanya.Baru kali ini aku bertemu perempuan keras kepala seperti Diana. Ia bahkan tidak ragu mempermalukan dirinya di hadapanku. Jika benar dia mencintai dengan setulus hati, mengapa tidak memiki