"Ini sudah jadi keputusan kami berdua Pak. Bahwa jalan berpisah untuk kami jauh lebih baik. Dari pada hidup bersama akan saling menyakiti."
Pakde berusaha untuk bisa mengerti apa yang sudah menjadi keputusan mereka.
"Semoga kalian berdua saling berbahagia!"
"Terima kasih."
Salsa mengantar Romy hingga menuju mobil. Begitu juga Adi dan Pakde.
"Pakde biar tidur di sini, Sa. Mungkin banyak hal yang ingin dibicarakan sama kamu."
"Iya, Mas Romy. Hati-hati di jalan, soalnya Mas Romy pasti capek 'kan?"
"Enggak terlalu. Kamu harus hati-hati juga. Maafkan aku ya, Sa!"
"Iya, Mas."
"Sa, bisa aku minta tolong satu lagi?"
"Apa itu Mas?"
"Tolong sampaikan maaf aku pada Amelia sama Adrian. Mintakan maafku buat mereka ya, Sa?"
Sesaat Salsa menatap dengan sorot tajam pada Romy yang terlihat aneh.
"A-ada apa sebenarnya sih Mas?"
"Enggak ada apa-apa. Aku hanya takut kalau enggak bisa bertemu Adrian dan jug
"Kenapa aku suruh dia pulang? Enggak aku tawarin tidur di sini saja?""Ini bukan kesalahan siapa-siapa, Nak Salsa. Ini semua sudah takdir.""Sebaiknya kita segera ke rumah sakit, Sa. Terus hubungi keluarga Mas Romy juga!"Namun Salsa tak bisa berbuat apa pun. Jemari tangannya lemas. Begitu juga dengan kedua lututnya. Dia hanya bisa melangut seolah tak percaya yang baru saja dia dengar."Mas Romy ... Mas Romy!" ucap Salsa lirih. Dia serasa ambruk. Tangisnya menjadi-jadi."Ayo, Sa! KIta segera pergi ke rumah sakit!""Kaki aku kayak lemes buat jalan, Mas Adi.""Aku gendong. Kita harus melihat kondisi Mas Romy di rumah sakit. Sekarang segera hubungi orang tua Mas Romy."Salsa hanya bisa mengangguk lemah. Adi pun menggendongnya sampai masuk ke dalam mobil. Diikuti oleh Pakde.Berita yang sangat mengejutkan, bagi Salsa sungguh bagai petir di siang bolong. Di dalam mobil Salsa berusaha untuk menelepon mertuanya. Dibantu dengan
"Adrian?""Dia lelaki yang sekarang akan menikah dengan Tante. Sayangnya pernikahan itu batal, karena ulah Mas Romy. Maaf, Mas. Aku enggak bisa menceritakannya. Yang jelas sekarang Tante tengah mengandung anak dari Mas Romy.""Ya ... ya. Aku mulai paham semuanya. Lalu pesan apa yang lain buat Amelia dan Adrian?"Salsa kembali menghela napas panjang. Sembari menyeka buliran bening yang masih mengambang di kedua matanya."Dia bilang, untuk sampaikan permintaan maaf dia. Pada Tante juga Adrian," ucap Salsa tersendat-sendat. Dia masih belum mampu mengusai emosinya yang naik turun. Kesedihan yang dirasa, seperti hantaman ombak yang kencang.Kembali Salsa menangis. Perkataan Romy terus terngingan di telinga dan benaknya."Dia juga bilang, mungkin saja kami berdua bukanlah jodoh. Dari awal dia selalu bilang begitu.""Apa pun yang terjadi sama Mas Romy. Kamu harus kuat, Sa." Sebelah tangan Adi meraih telapak tangan Salsa. Menggenggam erat. "A
Entah kenapa Amelia ingin mengganti nomer yang baru dengan yang lama. Namun sebelum mengganti nomer. Ada sebuah pesan masuk yang cukup aneh bagi Amelia. Karena nomer baru ini tak ada seorang pun yang tahu."Pesan dari siapa ini?" Amelia mengerutkan dahi. Dia melihat nomer yang serasa pernah dia kenal. Namun tanpa nama. "Romy? Dari mana dia tahu nomer baru aku yang? Bahkan Adrian aja enggak tahu."Dengan perasaan yang berdebar-debar. Amelia mulai membaca pesannya.{Amelia, maafkan aku!}Deg!Ada getar yang aneh saat dia membaca nomer itu. Namun Amelia terlihat ragu."A-ada apa sama kamu Rom?" Amelia mulai gelisah. Dia seperti mendapat sebuah firasat buruk. Dengan perasaan yang berkecamuk. Amelia mencoba untuk menelepon nomer Romy.Tak ada nada yang terdengar. Sepertinya ponsel Romy mati. Hal ini semakin membuat Amelia gelisah dan resah."Ada apa sama Romy? Enggak biasanya dia kirim pesan kayak gini. Apalagi dia enggak tahu nomer
"A-ada apa ini, Mbak?""Aku juga enggak tahu, Rin. Aku juga enggak tahu. Tapi ... firasat aku bilang, kalau sesuatu tengah terjadi pada Romy." Segera Rini memeluk erat Amelia yang kalut. Dia tahu, walau sebenci apa pun Amelia pada Romy. Tak mampu mengubur perasaan yang dulu pernah bersemi indah di antara keduanya. Walau ada Adrian yang telah mengisi hati Amelia. Namun, cinta yang telah berakar kuat pada Romy, tertanam tanpa Amelia rasa."Sebaiknya kita hubungi keluarga Mas Romy, Mbak!"Amelia masih belum menjawab. Dia masih tertunduk dalam diam. Semua pesan dari Romy yang baru saja dia baca, bagai membuat hatinya tertusuk ilalang yang tajam. Entah mengapa dirinya tiba-tiba merasa kehilangan yang sangat."Romy ... Romy! Apa yang terjadi sama kamu?""Mbak ... Mbak Amel. Coba kontak Mas Adrian atau keluarga di Semarang.""Ba-baik, Rin. Cuman hari ini, Adrian pergi ke Jakarta. Dia akan ke Bogor.""Apa ... Mas Adrian kasi
"Ini tentang Romy, Adrian. Enggak tahu kenapa? Beberapa menit yang lalu perasaan aku kayak cemas gitu. Aku kayak ngerasa ada sesuatu yang menimpa Romy. Bisakah kamu bantuin aku?"Adrian tertunduk dan diam dalam beberapa waktu. Api cemburu seakan membakar benaknya saat ini. Namun, dia menahan. Karena tak ingin kehilangan Amelia untuk kedua kalinya. Sekuat hati dia menahan gejolak perasaan yang terbakar."Bantuan apa yang kamu minta, Mel?""Tolong tanyakan pada Salsa. Apa yang terjadi pada Romy?""Salsa?""Iya, Adrian.""Cuman ada satu syarat yang harus kamu lakukan sekarang juga!""Apa itu?""Kirim alamat kamu setelah telpon ditutup. Kalau enggak, aku enggak akan bantuin kamu. Deal?"Amelia tak bisa berbuat banyak. Dia pun pasrah. "Oke, deal.""Tutuplah telpon kamu sekarang juga. Kirim alamat kamu, baru aku telpon Salsa.""Iya, Adrian." Amelia memutus teleponnya. Hatinya semakin berdebar-debar. Dia sangat ce
"Sebelumnya aku minta maaf, mengganggu jam tidur kamu. Tapi, Mil. Aku minta tolong kamu booking pesawat pertama buat pagi ini.""Pesawat, Pak? Ke mana?""Ke Surabaya, Mil. Tolong kamu cari sampai dapat penerbangan pertama. Biar pun ekonomi enggak apa-apa.""Baik, Pak Adrian."Segera Adrian menghubungi Sella. Dia berharap Sella mengangkat teleponnya."Kenapa juga kemarin aku enggak minta nomer HP si Raff?"Tampak Adrian kesal sendiri."Aku ingin beritahukan kabar soal Romy pada Amelia, tapi takut dia syok. Dan bahaya buat kandungannya. Mending Raff aku suruh jemput Amelia saja, terus ketemuan di Surabaya," gumam Adrian, yang tampak bingung.Adrian terus mencoba untuk menelepon Sella. Sampai akhirnya pada deringan terakhir, Adrian bisa mendengar suaranya."Apaan sih kamu ini? Masih malam tau!" Suara Sella terdengar malas."Sell! Sella ... tunggu dulu. Dengerin aku ngomong ini p
"Di mana Mbak Amel?""Masih di kamar mandi, muntah-muntah Mas.""Waduhh!" Spontan Adrian menepuk jidatnya. "Kamu pasti syok berat nih Mel. Harusnya dia bisa lebih tenang," bisik Adrian. "Rin ... Rini!""Iya, Mas?""Masih di kamar mandi si Amel?""U-udah keluar, Mas. Sebentar ya, Mas Adrian. Aku bantuin Mbak Amelia dulu."Adrian hanya mendengar rintihan Amelia. Dia bisa merasakan kesedihan dan kegalauan hatinya saat ini."Mbak Amelia masih mau ngomong sama Mas Adrian?" Suara Rini bisa didengar olehnya. Tiba-tiba dia mendengar embusan napas berat, dari seberang."Adrian.""Ya, Mel.""Bagaimana keadaan Romy yang sebenarnya? Jujurlah sama aku Adrian!""Kondisinya masih pingsan Mel. Cuman dia masih dalam penanganan. Jadi info selanjutnya masih belum ada kabar. Hanya saja--"Adrian terdiam dan melanjutkan lagi kalimatnya. "semoga Romy baik-baik saja.""Aku ingin melihatnya.""Pagi
Rini membantu Amelia yang dalam kondisi tak sehat untuk berganti pakaian. Rini pun mengemas beberapa pakaian untuk Amelia. "Dita ikut, Ma! Pokoknya Dita ikut!" rengek Dita terus menerus. Amelia pun sedikit membungkuk dan memegang kedua pundak anak gadis cilik. Yang tengah merajuk dengan bibir maju ke depan beberapa inchi. "Nanti di sana Dita capek. Lagian ini 'kan ke rumah sakit Sayang." "Tapi, Ma. Dita pengen ketemu Om Adrian! Dita mau bilang sama Om, supaya tetep nikah sama Mama. Biar Dita punya Papa lagi!" Sembari berteriak. Kedua tangannya mengepal dengan arah lurus ke belakang. Seperti menahan emosinya. Tatap mata nyalang mengarah pada Amelia yang terpaku melihat kekerasan anaknya. "Mbak Amel, di sana 'kan ada saya. Biar saya saja yang jagain Dita. Kasihan kalau di rumah." Tampaknya Amelia mempertimbangkan apa yang dikatakan Rini. "Baiklah, kalau gitu." "Horeee!" teriak Dita bersorak kesenangan. Dia langsung mengha