Entah kenapa Amelia ingin mengganti nomer yang baru dengan yang lama. Namun sebelum mengganti nomer. Ada sebuah pesan masuk yang cukup aneh bagi Amelia. Karena nomer baru ini tak ada seorang pun yang tahu.
"Pesan dari siapa ini?" Amelia mengerutkan dahi. Dia melihat nomer yang serasa pernah dia kenal. Namun tanpa nama. "Romy? Dari mana dia tahu nomer baru aku yang? Bahkan Adrian aja enggak tahu."
Dengan perasaan yang berdebar-debar. Amelia mulai membaca pesannya.
{Amelia, maafkan aku!}
Deg!
Ada getar yang aneh saat dia membaca nomer itu. Namun Amelia terlihat ragu.
"A-ada apa sama kamu Rom?" Amelia mulai gelisah. Dia seperti mendapat sebuah firasat buruk. Dengan perasaan yang berkecamuk. Amelia mencoba untuk menelepon nomer Romy.
Tak ada nada yang terdengar. Sepertinya ponsel Romy mati. Hal ini semakin membuat Amelia gelisah dan resah.
"Ada apa sama Romy? Enggak biasanya dia kirim pesan kayak gini. Apalagi dia enggak tahu nomer
"A-ada apa ini, Mbak?""Aku juga enggak tahu, Rin. Aku juga enggak tahu. Tapi ... firasat aku bilang, kalau sesuatu tengah terjadi pada Romy." Segera Rini memeluk erat Amelia yang kalut. Dia tahu, walau sebenci apa pun Amelia pada Romy. Tak mampu mengubur perasaan yang dulu pernah bersemi indah di antara keduanya. Walau ada Adrian yang telah mengisi hati Amelia. Namun, cinta yang telah berakar kuat pada Romy, tertanam tanpa Amelia rasa."Sebaiknya kita hubungi keluarga Mas Romy, Mbak!"Amelia masih belum menjawab. Dia masih tertunduk dalam diam. Semua pesan dari Romy yang baru saja dia baca, bagai membuat hatinya tertusuk ilalang yang tajam. Entah mengapa dirinya tiba-tiba merasa kehilangan yang sangat."Romy ... Romy! Apa yang terjadi sama kamu?""Mbak ... Mbak Amel. Coba kontak Mas Adrian atau keluarga di Semarang.""Ba-baik, Rin. Cuman hari ini, Adrian pergi ke Jakarta. Dia akan ke Bogor.""Apa ... Mas Adrian kasi
"Ini tentang Romy, Adrian. Enggak tahu kenapa? Beberapa menit yang lalu perasaan aku kayak cemas gitu. Aku kayak ngerasa ada sesuatu yang menimpa Romy. Bisakah kamu bantuin aku?"Adrian tertunduk dan diam dalam beberapa waktu. Api cemburu seakan membakar benaknya saat ini. Namun, dia menahan. Karena tak ingin kehilangan Amelia untuk kedua kalinya. Sekuat hati dia menahan gejolak perasaan yang terbakar."Bantuan apa yang kamu minta, Mel?""Tolong tanyakan pada Salsa. Apa yang terjadi pada Romy?""Salsa?""Iya, Adrian.""Cuman ada satu syarat yang harus kamu lakukan sekarang juga!""Apa itu?""Kirim alamat kamu setelah telpon ditutup. Kalau enggak, aku enggak akan bantuin kamu. Deal?"Amelia tak bisa berbuat banyak. Dia pun pasrah. "Oke, deal.""Tutuplah telpon kamu sekarang juga. Kirim alamat kamu, baru aku telpon Salsa.""Iya, Adrian." Amelia memutus teleponnya. Hatinya semakin berdebar-debar. Dia sangat ce
"Sebelumnya aku minta maaf, mengganggu jam tidur kamu. Tapi, Mil. Aku minta tolong kamu booking pesawat pertama buat pagi ini.""Pesawat, Pak? Ke mana?""Ke Surabaya, Mil. Tolong kamu cari sampai dapat penerbangan pertama. Biar pun ekonomi enggak apa-apa.""Baik, Pak Adrian."Segera Adrian menghubungi Sella. Dia berharap Sella mengangkat teleponnya."Kenapa juga kemarin aku enggak minta nomer HP si Raff?"Tampak Adrian kesal sendiri."Aku ingin beritahukan kabar soal Romy pada Amelia, tapi takut dia syok. Dan bahaya buat kandungannya. Mending Raff aku suruh jemput Amelia saja, terus ketemuan di Surabaya," gumam Adrian, yang tampak bingung.Adrian terus mencoba untuk menelepon Sella. Sampai akhirnya pada deringan terakhir, Adrian bisa mendengar suaranya."Apaan sih kamu ini? Masih malam tau!" Suara Sella terdengar malas."Sell! Sella ... tunggu dulu. Dengerin aku ngomong ini p
"Di mana Mbak Amel?""Masih di kamar mandi, muntah-muntah Mas.""Waduhh!" Spontan Adrian menepuk jidatnya. "Kamu pasti syok berat nih Mel. Harusnya dia bisa lebih tenang," bisik Adrian. "Rin ... Rini!""Iya, Mas?""Masih di kamar mandi si Amel?""U-udah keluar, Mas. Sebentar ya, Mas Adrian. Aku bantuin Mbak Amelia dulu."Adrian hanya mendengar rintihan Amelia. Dia bisa merasakan kesedihan dan kegalauan hatinya saat ini."Mbak Amelia masih mau ngomong sama Mas Adrian?" Suara Rini bisa didengar olehnya. Tiba-tiba dia mendengar embusan napas berat, dari seberang."Adrian.""Ya, Mel.""Bagaimana keadaan Romy yang sebenarnya? Jujurlah sama aku Adrian!""Kondisinya masih pingsan Mel. Cuman dia masih dalam penanganan. Jadi info selanjutnya masih belum ada kabar. Hanya saja--"Adrian terdiam dan melanjutkan lagi kalimatnya. "semoga Romy baik-baik saja.""Aku ingin melihatnya.""Pagi
Rini membantu Amelia yang dalam kondisi tak sehat untuk berganti pakaian. Rini pun mengemas beberapa pakaian untuk Amelia. "Dita ikut, Ma! Pokoknya Dita ikut!" rengek Dita terus menerus. Amelia pun sedikit membungkuk dan memegang kedua pundak anak gadis cilik. Yang tengah merajuk dengan bibir maju ke depan beberapa inchi. "Nanti di sana Dita capek. Lagian ini 'kan ke rumah sakit Sayang." "Tapi, Ma. Dita pengen ketemu Om Adrian! Dita mau bilang sama Om, supaya tetep nikah sama Mama. Biar Dita punya Papa lagi!" Sembari berteriak. Kedua tangannya mengepal dengan arah lurus ke belakang. Seperti menahan emosinya. Tatap mata nyalang mengarah pada Amelia yang terpaku melihat kekerasan anaknya. "Mbak Amel, di sana 'kan ada saya. Biar saya saja yang jagain Dita. Kasihan kalau di rumah." Tampaknya Amelia mempertimbangkan apa yang dikatakan Rini. "Baiklah, kalau gitu." "Horeee!" teriak Dita bersorak kesenangan. Dia langsung mengha
Begitu melihat kedatangan Amelia, Maya berdiri dan menghampirinya. Wanita itu langsung menumpahkan segala kesedihan pada adik iparnya itu. "Romy, Mel. Dia kondisinya kritis sekarang." "Tindakan dokter sampai sejauh mana, Mbak?" "Ini barusaan di CT scan dan MRI, Mel." Adrian pun mendekat. "Apa ada bagian tubuh dalam yang kemungkinan terluka?" tanya Adrian. "Maaf, Mas Adrian. Kata dokter tadi sih, ditakutkan ada saraf tulang belakang yang juga bermasalah. Karena sepertinya saat, mendapat beturan keras itu. Mas Romy posisi tubuhnya agak tertekuk." "Hooohhh!" Amelia dan Maya yang mendengar hanya bisa ternganga. Begitu juga dengan Salsa yang tak bisa berkata-kata lagi. Seketika mimik wajah Salsa berubah. Yang tadi sedikit tenang, kini mendung menyelimuti. Terlihat kedua matanya membengkak, karena tangisan. "Apa kamu sudah sarapan, Sa?" Amelia duduk bersebelahan. Keduanya saling memandang. "Masih belum, Tan. Masih eng
"Papa, ada apa?" Salsa terus bertanya padanya. Lalu memeluk lelaki yang tengah syok. "Papa harus kuat. Kasihan Mama kalau Papa juga ambruk.""Papa sangat sedih, Sa. Kenapa nasib Romy bisa seperti ini? Kenapa?""Ini takdir manusia yang tak bisa kita lawan, Pa. Sepanjang malam, Salsa mempunyai pemikiran yang sama kayak Papa. Pada akhirnya, Salsa pun sadar. Bahwa kita bukanlah penentu dari kehidupan ini, Pa.""Kamu memang benar, Sa. Cuman ... sebagai orang tua, perasaan Papa seperti hancur, Sa. melihat keadaan Romy seperti ini."Salsa bisa mengerti apa yang ada dalam hati dan pemikiran Papa. Salsa Pun sama. Syok berat Pa. Salsa enggak sangka, padahal semalam Salsa baru saja bertemu."Tak jauh dari mereka. Maya mulai sadar. Dia terus memanggil nama Romy."Di mana Romy, Mel?""Romy masih di dalam Mbak."Tanpa banyak bicara. Maya langsung berdiri. Dia memegang lengan Amelia."Antarkan aku ke tempat Romy. Aku ingin
"Kami berdua meminta dengan teramat sangat. Untuk saat ini, bisakah kamu tunda meminta cerai sama Romy?" Wajah Hartono memelas. Begitu juga dengan Maya penuh harap, agar Salsa mau mengabulkan permintaan mereka."Sa-saya ... bingung, Pa. Di sisi lain, Salsa telah menjalin hubungan dengan Mas Adi, yang siap akan menikahi Salsa. Bisa dan mau menerima Salsa apa adanya.""Mama tahu hal ini, Sa. Bahkan kami menganggap Adi seperti anak kami sendiri. Dia seorang lelaki yang sangat baik. Mama tidak melarang kamu nantinya menikah dengan Adi. Bukan itu, Sa. Yang kamu minta saat ini, tolong jangan kamu minta bercerai dari Romy. Karena ... Mama dan Papa ingin kamu juga tinggal bersama kami di Semarang," lanjut Hartono."Mama mohon, Sa. Bisa melihat Romy sembuh seperti sekarang, hati Mama sudah senang sekali. Biar pun kondisinya belum pulih. Walaupun kata Dokter Hendro kondisi Romy masih rawan. Tapi, Mama berharap Romy bisa sembuh seperti sedia kala.""Baik, Mama
“Saya terima nikahnya dan kawinnya Amelia Pratiwi binti Assobri dengan maskawinnya tersebut, tunai karena Allah.”Suara Adrian terdengar tegas dan lantang."Sah?!" teriak penghulu. Disambut dengan jawaban serempak para undangan yang hadir, "Sah!""Alhamdulillah, Tabarakallah. Aamiin."Kali ini perhatian kembali tertuju pada pasangan pengantin Adi Hermansyah dan Salsa Munandar.“Saudara Muhammad Adi AlQorni bin H. Ahmad Komarudin. Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan Salsa Munandar, dengan maskawinnya berupa seperangkat alat sholat dan uang seratus juta, tunai!”“Saya terima nikahnya dan kawinnya Salsa Munandar binti Munandar, dengan maskawinnya yang tersebut, tunai karena Allah.”"Bagaimana, sah?""Sah!!!""Alhamdullillah." Rumah Maya dan Hartono terdengar riuah dengan ucapan doa yang penuh kebahagiaan. Begitu juga terpancar dari wajah-wajah penuh cinta dan kasih sayang.
_Dua bulan berlalu_Sejak kematian Romy Pradipta. Membawa duka yang mendalam bagi Maya dan Hartono. Begitu juga bagi Salsa dan Amelia. Walau pernah menoreh luka bagi mereka. Namun, anak yang dititipakan oleh Romy, membuat Salsa dan Amelia akan selalu teringat padanya.Hingga Maya dan Hartono meminta pada Salsa dan Amelia untuk melangsungkan pernikahan mereka di Semarang. Secara bersamaan. Walau awalnya Adrian menolak, pada akhirnya dia mencoba untuk mengerti.Karena bagi Amelia, Maya dan Hartono satu-satunya keluarga bagi dirinya. Tepat di hari jumat akad nikah akan dilangsungkan. Tak ada acara besar, atau pun pesta meriah. Karena baik Amelia maupun Salsa tak menginginkan hal itu.Pada hari kami pagi. Amelia beserta Adrian dan Dita serta Rini sudah berada di hotel yang tak terlalu jauh dari rumah Maya. Dia meletakkan kebaya pengantin milik Renata dulu. Mengusapnya perlahan dari ujung leher hingga ujung paling bawah."Ren ... mungkin aku tak p
"Maaa ... Mama!""A-ada apa, Sa?""Perut Salsa kok sakit ya, Ma?""Sa-sakit gimana?""Sepertinya mau melahirkan, Ma.""Haaahhh?!"Maya pun kelihatan panik. Dia memanggil beberapa saudara dan kerabatnya. Untuk segera mengantar Salsa ke rumah sakit terdekat."Sa, semisal menunggu Papa pulang gimana?""Salsa udah enggak kuat, Ma. Kok sakit banget.""Apa pakaian semuanya sudah kamu siapkan?""Sudah, Ma. Di kamar."Maya berjalan cepat menuju kamar. Dia mengambil tas yang ada di atas kasur. Sesaat Maya terpaku dalam diam. Selintas kenangan Romy masih membayang di matanya. Terbayang saat dia masih sakit dan terbaring di atas kasur."Haahhh! Ya Allah, anakku Romy!" desahnya.Teringat akan Salsa yang kesakitan. Buru-buru dia keluar kamar."Sa, ayo aku gandeng!" Salsa yang tak bisa jalan cepat, dibantu Maya berjalan ke luar rumah. Dari arah dalam Bulek Titut berlari ke arah mereka."Bulek!
Sengaja Adrian tak langsung memberitahukan kematian Romy, pada Amelia. "Bapak Adrian!" Segera dia mendatangi seorang perawat. "Silakan Bapak kalau mau ke kamar Bu Amelia. Baru saja dipindah kamar." "Baik, Sus. Di sebelah mana Sus?" "Bapak lurus dan belok kanan. Ada Pavilium mawar nomer 2, itu kamar Bu Amelia." "Maksih, Sus." "Sama-sama." Adrian menghampiri Dita dan Rini. "Ayo ke kamar Mama, Dit!" "Mama sudah di kamar?" "Sudah!" tegas Adrian. Mereka mengikuti langkah lebar Adrian yang berjalan mendahului. Pintu kamar terbuka lebar. Seorang perawat masih membantu Amelia pindah ranjang. "Nanti jangan terlalu banyak gerak dulu ya Bu. Besok pagi, kita rangsang ASInya buat Dedek bayi." "Iya, Sus." Amelia masih terlihat lemah. Wajahnya terlihat kuyu dan lelah. "Dita, adek kamu cowok apa cewek?" "Cowok, Ma." Amelia tersenyum senang. "D
Pandangan Romy terlihat bersinar terang. Tak lagi hampa dan kosong, seperti sebelumnya."Mas Rom! Mas Romy bisa dengar Salsa?"Namun, Romy seperti tak mendengar. Dia masih menggerakkan tangan perlahan. Terus membelai, entah apa yang ada dalam pandangannya saat ini. Sembari senyum yang tak lepas dari wajahnya."Rooom, ini Mama Nak. Coba lihat Mama, Sayang!"Namun tak ada respon yang ditunjukkan Romy. Dia terus memandang ke atas. Maish terus tersenyum.Tiba-tiba, seisi kamar terkejut dibuatnya. Mereka sampai tak percaya setelah sekian lama, tak mendengar Romy bicara."Amel ... Amelia," desis Romy. "Amelia ... Amelia."Romy terus menyebut nama Amelia terus menerus."Salsa, co-coba kamu telponkan Amelia. Mungkin dia ingin mendnegar suaranya.""Ba-baik, Ma."Saat Salsa mengambil ponslenya. Terdengar Romy yang terbatuk-batuk, hingga muntah darah. Membuat semua terperanjat."Dok! Kenapa Romy?""
Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Kontraksi yang dirasakan oleh Amelia, intervalnya mulai teratur. Sakit yang dia rasa berkisar 30 sampai 70 detik."Adrian kayak ada yang merembes di kaki aku.""Haaahhh?!!!" Adrian tersentak. Sekilas dia melihat pada bagian perut kebawan yang tampak basah. "Tenang, Mel." Wajah Adrian semakin tegang. Dia terus membunyikan klakson agar mobil di depannya memberikan ruang untuk dia lewat."Mama enggak apa-apa ya Om?" tanya Dita ikut panik."Enggak apa-apa Dita. Semua jangan ikutan panik kayak Om ya.""Mas Adrian jangan panik dong. Kita jadi ikutan cemas juga," sahut Rini, smabil mendekap Dita. Yang ikut panik."Enggak apa-apa, mulesnya mulai berkurang kok," lanjut Amelia. "Adrian, nanti aku minta tolong.""Apa?""Tolong adzankan anakku ini.""I-iya, Mel. Aku udah siapin soal itu.""Makasih, Adrian."Hampir dua puluh menit perjalanan. Mobil memasuki pelataran parkir ru
Dalam kepanikan mereka, Salsa memberi kabar kalau Dokter Helmi akan datang ke rumah."Dia langsung ke sini, Sa?""Iya, Ma. Kata Dokter mungkin sepuluh sampai lima belas menit.""Ya, udah kalau gitu, kita tunggu."Hartono yang cemas, hanya bisa mondar mandir di dalam kamar Romy. Sedangkan Maya semakin gelisah dengan suhu tubuh Romy yang masih tinggi. Tak lama, Salsa masuk membawa Dokter Helmi ke kamar."Ohhh, syukurlah Dok. Saya udah cemas sekali.""Biar saya periksa dulu!""Dari tadi, Romy enggak bangun-bangun Dok," ucap Salsa kalut. Sedari tadi dia meremat jemari tanganya yang dingin. Lalu menghampiri Maya yang hanya bisa bungkam."Kita harus bawa ke rumah sakit. Ini Mas Romy bukan cuman tidur biasa.""Maksud Dokter?" tanya Hartono mengejar."Saya masih belum bisa pastikan, Pak Hartono. Cuman kalau di rumah sakit, Mas Romy bisa terbantu dengan obat yang masuk lewat selang infus. Saya yang langsung tangani di sana
Langkah Salsa bergerak cepat menuju arah kamar. Sekilas dia mendapati Maya yang menangis di ruang tengah. Sedang ditenangkan oleh Hartono."Kamu mau ke kamar, Sa?""Iya, Pa.""Panggilah Yono, biar dia yang angkat di atas kasur.""Baik, Pa."Maya masih terlihat sesenggukkan."Memangnya kamu ini kenapa sih, Ma?""Aku sedih, Pa. Barusan aku telponan sama Amelia. Mama jadi merasa semua ini salah kita.""Hussst! Apa maksud Mama bilang kayak gitu?"Bukan malah tangisannya berhenti. Maya semakin terisak, hingga beranjak pergi meninggalkan Hartono yang ikut sedih. Maya melangkah cepat menuju kamar. Diikuti oleh Hartono.Maya menghempaskan tubuhnya di atas kasur. Menelungkupkan wajahnya di bantal."Maksud kamu tadi apa, Ma?""Mungkin ini teguran buat kita juga, Pa. Terlalu memaksakan kehendak kita, pada Romy.""Bukan, Ma. Mama jangan merasa bersalah kayak gitu.""Entahlah Pa. Mama merasa bersala
Selepas kepulangan Adi, tampak Salsa masih berdiri termenung di depan pagar. Dia menoleh pada taman samping rumah. Sepertinya Maya sedang mengajak Romy jalan-jalan. Bergegas Salsa mengejar langkah mereka."Ma ... Mama!""Ehhh ... kamu kok nyusul ke sini?""Iya, Ma. Mas Adi sudah pulang kok.""Ka-kamu ... apa mencintai dia?"Wajah Salsa memerah. Dia tersipu saat mendapat pertanyaan itu."Kenapa Mama tanya kayak gitu?""Mama tidak bisa menuntut apa pun dari kamu, Sa. Kebaikan yang kamu berikan pada keluarga kami, itu tak ternilai buat Mama. Sama Papa juga. Apalagi cinta dan sayang kamu pada Romy masih terlihat nyata di mata Mama."Salsa langsung memeluk wanita itu dari samping."Maafkan Salsa, Ma. Yang mungkin enggak bisa selamanya menemani Mas Romy.""Mama tahu, Sa. Dan sangat paham sekali.""Makasih atas semuanya ya.""Iya, Ma. Salsa juga makasih sama Mama, yang mau menganggap Salsa anak sendiri."