Rainer berdiri di aula utama markas Kelompok Bayangan, memandangi para pemimpin pemberontak yang telah bergabung dalam aliansi. Di depan mereka, peta besar dunia terbentang di atas meja kayu tua. Simbol-simbol yang mewakili kekuatan mereka tersebar, sebagian besar kecil dibandingkan simbol-simbol besar yang melambangkan kekuatan para bangsawan.“Kita memiliki sumber daya yang terbatas,” kata Rainer, menunjuk ke bagian peta yang menampilkan wilayah-wilayah aliansi mereka. “Tetapi, kita memiliki sesuatu yang mereka tidak miliki: solidaritas dan semangat untuk perubahan.”Elyse, yang berdiri di sisi Rainer, memandang para pemimpin dengan sorot mata penuh keyakinan. Ia tahu bahwa momen ini adalah titik balik dalam perjuangan mereka. “Ini bukan hanya tentang kekuatan militer,” tambahnya. “Ini tentang memenangkan hati dan pikiran rakyat. Jika kita bisa menggerakkan mereka, maka kita akan menjadi kekuatan yang tak terhentikan.”Garret, pemimpin kelompok utara yang sebelumnya skeptis terhadap
Tiga hari telah berlalu sejak serangan ke desa kecil itu. Kabar kehancurannya membawa gelombang kemarahan di antara anggota aliansi. Desa itu, meskipun kecil, telah menjadi simbol harapan bagi rakyat yang mulai bergabung dalam perjuangan. Kehancurannya bukan hanya pukulan fisik, tetapi juga ancaman terhadap moral mereka.Di aula markas utama, suasana terasa tegang. Para pemimpin aliansi duduk mengelilingi meja besar dengan ekspresi serius. Rainer berdiri di tengah, memandang wajah-wajah mereka satu per satu.“Kita tidak bisa membiarkan tindakan ini tidak terbalas,” kata Garret, suaranya penuh emosi. “Jika kita tidak merespons, mereka akan terus menyerang desa-desa lain. Rakyat akan kehilangan kepercayaan pada kita.”“Tapi jika kita melawan sekarang, tanpa perencanaan matang, kita akan kehilangan lebih banyak,” bantah Eldrin. “Pasukan mereka lebih besar dan lebih terorganisir.”Rainer mengangkat tangannya, meminta semua orang untuk tenang. “Kalian berdua benar. Kita harus merespons, te
Setelah keberhasilan menyelamatkan para tahanan, aliansi Rainer menjadi pusat perhatian. Bukan hanya bagi rakyat yang tertindas, tetapi juga para bangsawan yang mulai menyadari ancaman nyata dari kelompok pemberontak yang semakin terorganisasi. Namun, di tengah sorakan kemenangan, Rainer memahami bahwa keberhasilan kecil ini hanyalah awal dari badai yang lebih besar.Di ruang rapat markas, Elyse memandang peta besar yang tergantung di dinding, menunjuk wilayah yang dikuasai oleh Duke Valen. “Serangan kita telah membuat mereka marah. Mereka tidak akan tinggal diam.”Rainer berdiri di sampingnya, tangan terlipat di dada. “Tentu saja. Tapi itulah yang kita butuhkan.”Elyse mengangkat alis. “Kita butuh mereka marah?”“Benar,” jawab Rainer, matanya tajam. “Kemarahannya membuat mereka ceroboh. Kita bisa memanfaatkan itu.”Garret, yang baru saja memasuki ruangan, menyela. “Rainer, kau berbicara seolah-olah kita memiliki sumber daya tak terbatas. Pasukan kita masih kecil, dan banyak dari mere
Keberhasilan mereka menyergap konvoi upeti Duke Valen membawa semangat baru ke markas aliansi. Namun, kemenangan itu juga menjadi peringatan akan tantangan yang lebih besar. Ketika kabar tentang serangan mereka menyebar, aliansi harus bersiap menghadapi pembalasan dari pihak bangsawan yang tidak akan tinggal diam.Di ruang rapat yang kecil dan sederhana, Rainer memanggil para pemimpin aliansi untuk mendiskusikan langkah selanjutnya. Meja kayu dipenuhi dengan peta, catatan, dan rencana. Wajah-wajah serius mengelilinginya, masing-masing menyadari pentingnya keputusan yang akan diambil.“Duke Valen tidak akan membiarkan ini berlalu begitu saja,” kata Garret, memecah keheningan. “Kita telah menghina mereka di depan seluruh kerajaan. Mereka akan mengirim pasukan besar untuk menghancurkan kita.”Elyse, yang duduk di sisi Rainer, mengangguk setuju. “Dia benar. Kita harus bersiap. Markas kita tidak cukup kuat untuk bertahan dari serangan langsung.”Rainer memandang semua orang dengan tatapan
Berita tentang keberhasilan aliansi memukul mundur pasukan bangsawan menyebar ke seluruh wilayah. Desa-desa yang sebelumnya ketakutan mulai melihat secercah harapan. Namun, kemenangan itu juga membawa tanggung jawab baru. Rainer menyadari bahwa pertempuran berikutnya tidak hanya akan melibatkan kekuatan fisik, tetapi juga perjuangan untuk merebut hati dan pikiran rakyat.Malam itu, di ruang pertemuan sederhana, Rainer duduk di hadapan Elyse, Garret, dan Eldrin. Meja kayu di depan mereka dipenuhi dengan peta, laporan, dan catatan yang mencerminkan kesibukan mereka dalam beberapa hari terakhir.“Kemenangan kita melawan pasukan pertama Duke Valen adalah langkah besar,” Rainer memulai, suaranya tenang namun tegas. “Namun, itu hanya awal. Mereka akan datang lagi, dengan pasukan yang lebih besar dan strategi yang lebih matang. Kita tidak bisa terus mengandalkan perang gerilya untuk bertahan.”Eldrin mengangguk, meski wajahnya tetap serius. “Apa yang kau rencanakan? Kita tidak punya cukup su
Rainer berdiri di depan jendela kamarnya, menatap ke luar. Malam itu, langit terasa lebih gelap dari biasanya, seakan alam turut merasakan ketegangan yang melingkupi dunia mereka. Suara angin berhembus pelan, namun hatinya terasa berat, penuh dengan pikiran dan kecemasan yang tak kunjung mereda.Keberhasilan mereka membangun aliansi dengan Penyihir Bayangan adalah langkah besar, namun Rainer tahu bahwa ini hanyalah sebagian kecil dari perang yang lebih besar. Mereka telah mendapatkan kekuatan, tetapi masih banyak hal yang harus dipersiapkan untuk menghadapi serangan selanjutnya dari Duke Valen dan pasukannya. Sementara itu, suara langkah kaki di luar kamar mengalihkan perhatiannya. Pintu terbuka perlahan, dan Elyse masuk dengan ekspresi serius.“Ada kabar buruk, Rainer,” kata Elyse, suaranya sedikit terburu-buru. “Duke Valen memanggil seluruh pasukannya. Mereka sedang bergerak ke arah kita.”Rainer menoleh, matanya yang tajam menyapu wajah Elyse. "Secepat ini?" tanya Rainer, suaranya
Pasca kemenangan pertama mereka, dunia yang terperangkap dalam bayang-bayang sistem kasta mulai merasakan guncangannya. Aliansi yang dibentuk Rainer, dengan bantuan Elyse, Garret, dan Penyihir Bayangan, kini menjadi kekuatan yang tak bisa dianggap remeh. Namun, meskipun mereka telah berhasil mengalahkan pasukan Duke Valen dalam pertempuran pertama, Rainer tahu bahwa perjuangan mereka baru saja dimulai. Jalan menuju perubahan dunia yang lebih adil masih terjalani penuh dengan rintangan.Pada suatu pagi yang cerah, di ruang pertemuan markas aliansi, Rainer duduk dengan Elyse, Garret, dan Eldrin, menganalisis situasi terkini. Pasukan Duke Valen mungkin terpecah, namun Rainer sadar bahwa musuh mereka tidak akan menyerah begitu saja. Kekalahan besar mereka akan membuat mereka semakin bertekad, lebih berhati-hati, dan lebih brutal dalam menghadapi ancaman yang ada."Ini baru permulaan," kata Rainer dengan tegas. “Duke Valen pasti akan mengumpulkan kekuatan mereka lagi. Mereka akan memobilis
Kehancuran yang dihadapi Duke Valen belum berakhir. Setelah serangkaian serangan yang menghancurkan kekuatan klan penyihir dan merusak ekonomi mereka, Rainer dan aliansi kini harus menghadapi tantangan terbesar dalam hidup mereka—perang skala besar dengan seluruh kekuatan militer dan politik Duke Valen. Kekuatan mereka semakin terkonsolidasi, dan sementara itu, Rainer tahu bahwa masa depan dunia ini terletak di ujung pedang.Seiring dengan berlalunya waktu, informasi yang datang dari jaringan mata-mata mereka semakin banyak. Di balik layar, para penasihat Duke Valen merencanakan serangan balasan dengan segala sumber daya yang mereka miliki. Pasukan yang terpecah kini bersatu kembali, dan mereka membawa serta senjata-senjata rahasia yang lebih mematikan. Rainer sadar bahwa perang ini tidak bisa dimenangkan hanya dengan kecerdikan dan strategi saja. Mereka membutuhkan lebih banyak sekutu dan kekuatan yang lebih besar untuk menghadapinya.Berkumpul kembali di markas aliansi, Rainer, Elys
Kilatan cahaya menyelimuti seluruh ruang dalam Menara Caelus. Cahaya dari Prisma Keempat memancar, menyatu dengan tiga fragmen sebelumnya yang telah Rainer kumpulkan. Suara bisikan kuno membahana, menyampaikan pesan yang tak dapat ditangkap oleh telinga biasa—melainkan oleh jiwa yang bersedia menerima kebenaran seutuhnya.Rainer berdiri di tengah pusaran cahaya itu, matanya terbuka lebar, menyerap seluruh memori dan kebenaran yang tersimpan selama ribuan tahun. Sosok Aeron, bayangan dari masa lalu, perlahan menghilang—senyumnya pudar, meninggalkan beban yang tak kasat mata.Elyse mendekat, wajahnya penuh kecemasan. “Apa yang kau lihat?”Rainer tidak langsung menjawab. Tangannya gemetar. Di matanya tergambar peperangan yang belum pernah diceritakan, pengkhianatan oleh mereka yang dicatat sebagai pahlawan, dan dunia yang dibentuk bukan dari harapan, melainkan dari ketakutan para pendiri.“Aku melihat... dunia yang kita kenal bukan hasil dari kebijaksanaan. Tapi hasil dari keputusan terb
Angin dingin dari utara membawa kabar buruk.Pagi itu, Rainer berdiri di atas puncak benteng pengamatan, memandangi pusaran cahaya yang membelah langit dari kejauhan. Fenomena itu muncul mendadak—tidak satu pun dari alat-alat sihir mereka bisa mendeteksi energi semacam itu sebelumnya. Tapi satu hal jelas: titik pusatnya adalah Menara Caelus, struktur kuno dari Zaman Awal yang selama ini hanya dianggap reruntuhan tak berfungsi.Kini, menara itu bersinar. Hidup kembali.“Menara keempat telah bangkit,” gumam Rainer.Di belakangnya, Elyse datang membawa gulungan tua yang diambil dari arsip Perpustakaan Tengah. “Ada yang menarik,” katanya sambil membuka gulungan di meja observasi. “Menurut peta zaman kuno, Menara Caelus bukan hanya tempat sihir—melainkan tempat penyimpanan memori dunia.”Rainer menoleh, alisnya terangkat. “Memori dunia?”Elyse mengangguk. “Sesuatu yang disebut ‘Rekam Astral’. Sebuah sistem penyimpanan sihir yang bisa merekam kejadian dan pengetahuan dari masa lalu. Jika be
Dunia berubah, tapi perubahan sejati tidak pernah datang tanpa konsekuensi.Sepekan setelah kepulangan Rainer dari Perpustakaan Tengah, gelombang informasi mulai merembes ke setiap pelosok kerajaan. Terjemahan parsial Simfoni Tertinggal telah disalin dan disebarkan ke berbagai sekolah sihir rakyat dan tempat-tempat belajar kecil yang tersembunyi di balik bayang-bayang kota besar.Di awalnya, banyak yang menertawakan dokumen itu. Mereka menyebutnya propaganda seorang anak dari kasta rendah yang menginginkan kekuasaan melalui pengetahuan. Namun semakin banyak yang membaca, semakin banyak pula yang mulai bertanya-tanya.“Kalau sihir bukan bakat keturunan, mengapa kami tidak bisa mempelajarinya?”“Kenapa hanya keluarga bangsawan yang punya akses ke sekolah sihir tingkat tinggi?”Pertanyaan-pertanyaan itu menyebar lebih cepat daripada yang diperkirakan siapa pun.Dan dari balik dinding istana, para bangsawan mulai merasakan tekanan.Di ruang utama Dewan Tertinggi Bangsawan, sebuah pertemua
Hujan turun pelan di atas atap markas, membasahi kaca jendela tempat Rainer bersandar. Di tangan kirinya, liontin yang memuat tiga fragmen kini berpendar aneh—perpaduan antara cahaya dan kegelapan, seolah dua kekuatan bertentangan sedang saling menekan, mencari bentuk akhir dari sebuah kebenaran.Elyse melangkah masuk tanpa suara, membawa dua cangkir teh. Ia menyerahkan satu pada Rainer sebelum ikut bersandar di sisi jendela. Diam.“Apa kau pernah merasa,” kata Elyse akhirnya, “bahwa dunia ini... lebih tua dari yang kita tahu?”Rainer tersenyum kecil. “Tidak hanya lebih tua. Tapi juga lebih terluka.”Ia mengangkat liontin. “Setiap fragmen membawa ingatan. Yang pertama memberi petunjuk tentang asal usul sistem kasta. Yang kedua memperlihatkan eksperimen sihir terhadap manusia biasa. Tapi yang ketiga...”“...membawa kehampaan,” sambung Elyse pelan. “Aku merasakannya saat kita berada di altar itu.”“Dan lebih dari itu.” Rainer berbalik, berjalan ke meja penuh dokumen. Ia mengambil satu g
Langit malam menyelimuti dunia dengan kelam yang lebih pekat dari biasanya. Di luar ibu kota, jauh dari mata para penguasa dan rakyat biasa, Menara Bayangan berdiri di atas bukit batu yang tandus, dikelilingi reruntuhan peradaban lama yang telah lama dilupakan. Di dalam menara itu, sihir lama—sihir yang bahkan tidak dikenali oleh Akademi Sihir Pusat—masih hidup.Di tengah lingkaran sihir yang berpendar redup, pria berjubah ungu tua itu membuka matanya. Mereka bersinar hijau pucat, bukan karena sihir, tapi karena kekosongan yang menghuni raganya. Ia bukan lagi manusia biasa. Namanya telah lama dihapus dari sejarah, digantikan dengan satu julukan: Nihros, sang Pemelihara Kekosongan.“Fragmen ketiga telah terbangun,” gumam Nihros. Suaranya nyaris seperti bisikan di antara celah kenyataan. “Dan si bocah itu... mulai mengganggu alur.”Di sekelilingnya, entitas-entitas tak bernama—makhluk yang dulunya manusia, tapi telah dirusak oleh sihir gelap dari
Ruangan Majelis Tertinggi tidak seperti aula biasa di kerajaan—ia tidak hanya dibangun dari marmer dan batu mulia, tapi dari keheningan yang dalam dan rasa takut yang menggantung. Di tempat inilah hukum kerajaan diciptakan, strategi perang dirancang, dan takdir rakyat ditentukan.Pagi itu, ratusan kursi di tribun atas dipenuhi para bangsawan, penyihir agung, akademisi, dan bahkan utusan luar negeri. Mereka semua datang karena undangan langka: seseorang dari kalangan bawah, tanpa darah bangsawan, tanpa gelar, akan berbicara di hadapan Majelis.Rainer berdiri di tengah podium, mengenakan jubah hitam dengan garis emas yang dirancang Elyse dan para pendukungnya—sebuah simbol antara perlawanan dan martabat. Di belakangnya, Elyse berdiri tegak, mata tajamnya menyapu ruangan.Suara bel logam berdentang tiga kali, menandakan awal sesi. Di kursi utama, High Consul Avarel—pemimpin tertinggi Majelis—mengangguk ke arah Rainer.“Rainer dari distrik bawah, pemegang fra
Langit di atas ibu kota kerajaan Arkwen tampak kelabu. Awan gelap menggantung rendah, seolah menandakan badai besar akan segera datang. Namun badai yang mendekat bukan sekadar cuaca—melainkan konflik yang akan mengguncang seluruh struktur kekuasaan kerajaan.Rainer dan timnya baru saja kembali dari ekspedisi ke Utara, membawa satu kebenaran baru dan satu fragmen simfoni tambahan. Tapi bukan hanya kekuatan yang mereka bawa pulang, melainkan juga informasi yang bisa mengguncang fondasi dunia: bahwa sistem yang saat ini berdiri adalah hasil dari siklus berulang yang dipaksakan oleh kekuatan kuno, dan bahwa pemilik simfoni sejati berpotensi menjadi kunci pembebas atau penghancur dari siklus itu.“Berita tentang pergerakan kita telah bocor,” kata Kysha sambil menyerahkan gulungan surat kepada Rainer. “Tiga dari lima keluarga bangsawan besar mengirim utusan ke menara dewan sihir. Mereka menyebutnya sebagai ‘Tanda Pertama dari Kerusakan.’”“Karena kita mengambil fragme
Hutan Frostveil, wilayah utara kerajaan yang dinginnya mampu membekukan tulang bahkan sebelum musim salju datang. Kabut tebal menggantung di antara pohon-pohon cemara tinggi, dan hanya suara ranting patah atau langkah lembut di salju yang memberi tanda bahwa kehidupan masih ada di tempat itu.Di sinilah Rainer, Elyse, Marcus, dan Kysha menelusuri jejak pengkhianat dari tim mereka—Seth, anggota pencatat sihir yang ternyata telah menyusup atas perintah pihak luar. Peta menuju fragmen ketiga kini berada di tangannya, dan jika dia berhasil menyerahkannya ke tangan sekte atau faksi bangsawan tertentu, pertarungan untuk perubahan bisa berakhir sebelum dimulai.“Kita hanya berjarak satu hari perjalanan dari kuil tua yang disebutkan di fragmen kedua,” bisik Kysha sambil menunjuk peta yang telah mereka salin ulang. “Tapi jalur yang diambil Seth... bukan jalur langsung. Dia menuju celah pegunungan—ada sesuatu di sana yang dia sembunyikan.”Rainer menatap langit yang mulai
Hujan deras mengguyur pelabuhan selatan Kerajaan Galvane. Kapal ekspedisi akademi telah bersandar di dermaga, dan suara ombak yang menghantam kayu menambah ketegangan suasana. Rainer berdiri di dek kapal, mengenakan jubah tebal berlapis pelindung sihir. Di belakangnya, Elyse, Marcus, dan beberapa anggota tim elite akademi bersiap turun.Wilayah yang mereka tuju adalah reruntuhan Virellis, kota kuno yang terkubur oleh tanah longsor dua abad lalu. Berdasarkan kode dalam simfoni pertama, fragmen kedua tersembunyi di bawah tanah, dilindungi oleh mekanisme sihir yang hanya bisa dipecahkan oleh harmoni energi tertentu—sesuatu yang hanya bisa dideteksi jika seseorang memiliki resonansi dengan fragmen pertama.“Aku merasakannya,” bisik Rainer sambil menekan telapak tangannya ke dada, tempat ia mengenakan liontin kristal kecil dari fragmen pertama. “Ada sesuatu yang memanggil… seperti gema di ujung lorong panjang.”Elyse menatapnya, mata peraknya penuh waspada. “Pastikan