“Kok kita enggak nyampe-nyampe, Ga?” tanya Omen masih setia menggandeng Sagara sebagai satu-satunya tumpuan menghadapi ketakutan ini.
“Mungkin sebentar lagi, Men. Berdasarkan instruksi tadi katanya setelah menemukan petunjuk jalan kita hanya perlu lurus saja sampai menemukan posko 1 bukan?”
“Iya memang, tapi ini sudah terlalu lama kita berjalan. Enggak wajar banget, masak tak kunjung sampai. Jangan-jangan ... kita tersesat, Ga?”
Sagara memikirkan hal yang sama, ia tak berani menyampaikan kecurigaannya karena takut membuat Omen dan Tyana panik.
“Sepertinya kita dijebak, Ga,” gumam Tyana sambil berkacak pinggang, sibuk mengatur napas.
“Hah? Dijebak gimana, nih? Apa maksudnya, jangan bikin deg-deg ser dong, Tya!” rewel Omen dengan ekspresi yang minta ditonjok oleh Tyana.
Untung Tyana sedang kelelahan kalau tidak, si Omen sudah benar-benar kena bogemnya lagi.
“Mm, aku kira
Sagara berlari cepat menjauhi sang babi hutan, babi itu tak menunjukkan tanda-tanda akan mengejar Sagara. Ia malah diam sambil mengamati kemudian berbalik—jalan ke arah yang berlawanan dengan laki-laki itu.“Tyana! Omen! Kalian di mana?” teriak Sagara di sela napas terengah, ia berlari ke sana kemari untuk menemukan kedua temannya namun mereka tak kunjung terlihat.Sagara akan mengutuk dirinya sampai mati kalau sampai terjadi sesuatu pada kedua temannya itu. Dia yang menyuruh Omen dan Tyana untuk berlari tanpa henti tanpa tahu betapa membahayakannya hutan ini. Seharusnya ia terus menjaga Omen dan Tyana berada di sisinya apa pun yang terjadi.“Omen ... Tyana ...! Jawab aku jika kalian mendengar teriakan ini!”Sagara berhenti, teriakannya menggema di seisi hutan akan tetapi kedua temannya tak juga menyahut. Mungkinkah sesuatu yang buruk telah menimpa mereka? Tolong jangan, Sagara tidak mau hal itu sampai terjadi. Dia menyugar r
“Sebenarnya kita terperangkap di tempat apa ya, Ga? Hutan ini menyeramkan sekali, bahkan sampai ada babi hutan sebesar anak sapi. Apakah itu nyata? Tadi bukan hanya halusinasi saya saja, kan?”“Aku dengar ini adalah hutan larangan, seharusnya kita tidak masuk ke sini.”“Hah, hutan larangan? Kamu tahu dari mana?” tanya Omen sambil melangkah agak tertatih, dia baru sadar kalau ternyata kakinya juga terluka walau tak separah Tyana.“Bukankah sudah jelas, tadi panitia juga mewanti-wanti kita untuk tidak pergi keluar jalur yang sudah ditentukan.”“Sulit dipercaya, di wilayah kita ada hutan semacam ini. Saya merasa kita seperti terjebak di negeri asing, Ga.”Sagara merapatkan bibirnya, nyatanya perasaan Omen memang tidak salah sama sekali. Mereka terjebak di negeri asing, negeri yang tak seharusnya dijamah manusia biasa seperti Omen dan Tyana.“Tetaplah berpikir positif, Men, kita p
“Arghh—“ Sagara berdiri, terengah, menyingkirkan bebatuan yang mengubur tubuhnya. Dia melihat kobra tadi sedang berdiri tegak dan mengaung murka di depan dua sahabatnya.Ia ambil salah satu batu berukuran sedang, satu mata sang kobra sudah terluka. Sagara berencana melukai mata satunya lagi agar kobra raksasa itu kesulitan melawannya. Sagara berlari cepat dari tempatnya, begitu tiba di sisi incarannya, tak perlu menunggu waktu lama batu itu melayang bak kilat—menghantam tepat sasaran. Terdengar suara bola mata sang kobra yang pecah. Raungannya menggemparkan seisi gua. Tubuh Omen dan Tyana terkibas ekor kobra sampai terpelanting ke sudut gua.Ular itu meliuk kesakitan, ia bergerak tak tahu aturan kemudian mendapatkan Sagara dalam lilitannya. Walaupun tak bisa melihat, sang kobra masih bisa menemukan keberadaan pemuda sialan itu dari aromanya. Seperti yang dia katakan sebelumnya, aroma tubuh Sagara sangat kuat dan khas.“Aku akan memb
Setelah berjalan kurang lebih satu jam lamanya, Saga merasa suasana di sana terasa kondusif dan tidak ada tanda-tanda ancaman bahaya bagi mereka. Lelaki itu menurunkan Tyana di bawah pohon besar yang berdiri kokoh dengan daun rimbun. Ia melepas jaketnya dan diselimutkan pada Tyana yang masih pingsan. Sementara Omen menggelepar lemas di samping Tyana.“Kamu mau ke mana, Ga? Jangan tinggalkan kami,” refleks Omen bangun saat Sagara berjalan menjauhi mereka.“Aku mau cari kayu bakar. Sepertinya Tyana kedinginan.”“Hh, jangan jauh-jauh, Ga. Saya takut terjadi sesuatu lagi setelah kamu pergi.”“Aku akan mencari kayu bakar di sekitar sini. Tidak akan jauh dari jangkauanmu.”“Kalau begitu saya bantuin kamu, ya?”“Istirahat saja, Men. Tunggu Tyana, aku tidak akan lama.”Omen mengangguk dan Saga pun pergi mencari kayu bakar. Ranting, daun kering, atau segala hal yang bisa j
Tyana hendak berpindah dari tempatnya untuk bergabung bersama Omen dan Sagara—duduk di depan api unggun. “Kamu bersandar saja di sini, Tya, jangan terlalu banyak gerak. Kondisi kaki kamu masih belum pulih.” “Aku ingin bergabung dengan kalian,” ngotot tak mau dilarang. “Bawa saja ke sini, Saga, daripada ngomel-ngomel lagi, kan.” Tyana mendelik sebal pada Omen dan tentu saja si rambut keriting itu langsung mengalihkan pandangannya takut. Saga memapah Tyana menuju api unggun, gadis itu didudukkan di antara Sagara dan Omen. Tak lupa Saga kembali menyampirkan jaketnya ke pundak Tyana. Omen menyaksikannya sambil berpangku dagu, dia merasa jadi kambing congek sendiri. “Kalian terlihat seperti sepasang kekasih, iya enggak, sih?” celetuk Omen membuat Tyana dan Sagara saling berpandangan. Tyana salah tingkah sedangkan Sagara menanggapinya dengan santai, hanya senyum tipis khas Sagara yang ia tunjukkan. “Tya tadi dengar enggak Saga ngomon
“Sudah jam tujuh pagi tapi suasana di sini masih sangat gelap,” gumam Sagara mendongak berusaha mencapai langit dengan pandangannya namun gagal karena rimbunnya pepohonan yang ada di hutan larangan.Hawa pagi hari sangat dingin melebihi semalam, kabut menyebar—membalut satu pohon ke pohon lain. Sisa pembakaran semalam masih menghangatkan meski tak seberapa.Saga menoleh ke belakang, dua sahabatnya tertidur pulas. Ia berinisiatif membangunkan mereka. Saga guncang pelan tubuh Tyana dan Asep, mereka tak jua membuka mata. Ia coba upaya yang sama sekali lagi dan hasilnya masih belum berubah. Kepanikan menyerang, “Tyana, Omen, bangunlah!” kata Saga terus menerus.Saga mematung sesaat, ia kemudian menyentuh leher dua sahabatnya, merasakan tubuh mereka masih hangat Saga mengela napas lega. Anehnya dua orang itu tetap tak sadarkan diri meski sudah Saga guncang beberapa kali. Kondisi tidak wajar, seberat apa pun rasa kantuk seseorang mu
Tyana menggeliat, ia mengadaptasikan pandangannya lantas duduk lemas sembari meresapi nyeri di punggung. Aneh, dia hanya tidur tapi kenapa punggungnya sakit sekali seperti habis terbentur benda keras. Rupanya Tyana tak menyadari apa yang terjadi selama ia tertidur di bawah pengaruh embun pelelap.Tak lama setelah itu Omen juga bangun, ia mengucek matanya dan sedikit meringis. Merasakan hal serupa dengan Tyana. Setelah benar-benar sadar Omen kaget karena ia berpindah tempat."Loh, kenapa saya di sini? Apa saya tidur sambil jalan, Tya?"Tyana menatap Sagara tengah berdiri kaku di depan sana. Ia sudah memindai sekitar, Tyana yakin sesuatu yang buruk telah terjadi."Kamu juga ngigau sambil jalan, Tya? Kok bisa barengan, sih? Kita janjian di alam mimpi atau bagaimana?""Pohonnya tumbang, Men," gumam Tyana."Hah, pohon?" Omen langsung mengar
Rasanya seperti menemukan surga di tengah neraka. Omen dan Tyana larut dalam ketakjuban terindah yang pernah mereka alami dalam hidup. Gemericik air sungai, bebatuan besar yang tersebar di tengah aliran bening, dan kicau burung yang menyambut pagi dengan ceria. Segenap lelah dipaksa lenyap dalam hitungan detik, Omen berlari mendekati sungai. Membasuh wajahnya dengan air bahkan sampai menenggelamkan sebagian kepalanya. “Yuhuuu!” soraknya, “Airnya seger banget, sini buruan!” ajaknya heboh setelah merendam tubuhnya di aliran sungai yang dangkal. Saga tersenyum, ia saling pandang dengan Tyana lalu menuntun gadis itu mendekati sungai. Tyana duduk di pinggirnya, meregangkan kaki dan tanpa diduga Saga langsung membasuh kaki Tyana dengan air dingin itu. “A-aku bisa sendiri, Ga,” kata Tyana sedikit gugup. “Enggak apa-apa, takutnya kamu kesulitan menjangkau air jadi biar aku saja yang membasuh kaki kamu.” Tyana diam, Sagara semakin meresahkan dari hari
Meja makan menjadi ramai oleh tawa, Gara dan para penghuni kediaman pendekar Karsayasa sedang sarapan. Di ruangan itu terdapat meja panjang dengan kursi-kursi yang mengelilinginya. Istri pendekar Karsayasa sengaja menyiapkan sajian istimewa untuk menjamu para tamunya yang sebentar lagi akan meninggalkan Purwodadi. Waktu singgah Gara di kerajaan itu memang jauh lebih singkat dari dugaan.Di satu sisi dia bersyukur karena dengan begitu ia bisa mempersingkat waktu uji kehebatan. Targetnya adalah menyelesaikan tujuh tahapan uji kehebatan sebelum purnama kedua belas. Setiap hari, pria itu selalu dilanda khawatir—takut upayanya melebihi batas waktu yang ditentukan. Kembali saat semua keraguan dan kewaswasan menyerangnya, Gara terus menerus menggumamkan bahwa tugasnya hanyalah berusaha sebaik mungkin. Perkara hasil, biarkan itu menjadi ketetapan Yang Maha Mengetahui.“Ahh, ini makanan terenak yang aku makan setelah kurang lebih empat hari terombang-ambing di laut lepas,” ungkap Kumbara yang
Baru saja tiba di pulau, Gara disambut oleh sekelompok orang asing bersenjata yang lagi dan lagi membuat ketiganya siaga.“Belum genap satu jam kita melewati badai aneh, sekarang ujian apa lagi ini ya Allah?” tukas Kumbara tak habis pikir.Sesulit ini perjuangan mereka untuk mengantarkan Gara menjadi pendekar terhebat.“Sepertinya mereka penduduk setempat,” kata Larasati memindai penampilan para prajurit yang menghadang mereka.Sebenarnya barisan prajurit itu tidak benar-benar menghadang. Mereka hanya berdiri tegap dengan persenjataan lengkap seraya membentuk pagar seolah tengah menanti kehadiran seseorang.“Kau tahu dari mana?” tanya Gara.“Lihatlah tanda pengenal yang menggantung di masing-masing sabuk mereka. Semuanya menunjukkan lambang kerajaan Purwodadi, bisa dipastikan mereka adalah utusan kerajaan.”Beberapa orang membuka barisan bersamaan dengan bunyi tapak kuda yang kian mendekat. Seorang pria gagah berambut panjang melompat turun dari kuda yang ditungganginya. Pria itu men
Kemunculan Gara dari pusaran air tak melemahkan amarah monster laut damai. Ia terus memukul-mukul permukaan air melalui tentakel raksasanya. Situasi di sana kacau sekali. Tiba-tiba saja, awan mendung berkumpul membentuk formasi yang menyeramkan. Kilat petir menyambar dan bermunculan di langit gelap. Angin bertiup dengan kecepatan tinggi, menciptakan gulungan ombak besar dan membuat laut bergelombang hebat.Gara baru menyadari keberadaan monster itu, dia pun terkejut karena kini dirinya tengah melayang di udara dengan tameng air yang mengelilinginya. Sungguh di luar nalar, ia merasa seluruh tubuhnya kembali bugar. Persis seperti yang pernah dialaminya ketika melawan pendekar Galasakti sebelumnya.Padahal tadi banyak luka yang diperoleh akibat pertempuran sengitnya dengan panglima Arash. Sagara ingat, dirinya nyaris hilang kesadaran akibat kobaran api yang hampir membakar seluruh tubuhnya. Lantas apa yang terjadi sekarang? Makhluk aneh apa yang ada di depannya itu?
“Besar juga keberanianmu, pendekar Gara. Kukira kau akan melarikan diri seperti kedua temanmu tadi,” kata Panglima Arash, pria bertopeng yang akhirnya kini mendarat di kapal nelayan.Panglima Arash sengaja melarang pasukannya untuk turun tangan kali ini. Dia ingin head to head, atau menghabisi musuh bebuyutannya ini dengan tangannya sendiri. Kali ini, Arash ingin memastikan bahwa urat nadi pendekar Gara benar-benar terputus dengan tebasan tangannya. Arash sudah berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia akan menghadiahkan penggalan kepala Gara kepada yang mulia Batara. Calon pemimpin Ambarwangi dari fraksi Barat.“Untuk apa aku melarikan diri di saat aku ingin sekali bertemu denganmu, Panglima Arash,” kata Gara berani sekali. Dia juga gamblang menyebutkan nama Arash dan itu cukup membuat sang panglima terkejut.“Rupanya kau sudah tahu siapa aku,” kata Arash mengakui ketelikan Gara kali ini.“Tentu saja, aku
Menjelang tengah malam, Gara masih belum memejamkan mata sama sekali. Entah mengapa rasa kantuk serta merta hilang dan tak terasa barang sedikit. Dia sudah berusaha mengubah posisi—menghadap kanan, kiri, telentang, tengkurap. Semua sudah ia coba namun tetap tak mendapat titik nyaman. Dia sendiri tidak mengerti mengapa bisa mengalami hal itu. Di saat semua orang tertidur dengan pulasnya, Gara justru gelisah seorang diri.Merasa upayanya tidur tidak akan berhasil, pemuda itu pun memutuskan keluar ruangan. Lebih baik ia menghirup udara segar di luar, siapa tahu perasaannya bisa membaik. Derap langkah Gara terdengar begitu jelas, bersahutan dengan gemuruh angin dan suara ombak laut. Gara berjalan ke arah dek kapal. Ia berdiri di sana sambil matanya menyusuri sekitar. Pria itu yakin tak ada satu pun yang terjaga selain dirinya. Namun, Gara merasa seseorang tengah memperhatikan gerak-geriknya dari kejauhan.Pria itu menarik napas panjang, kemudian menahannya beberapa d
“Akhirnya, kita tiba,” kata Larasati bersamaan dengan senyum mengembang.Lega sekali rasanya bisa tiba di tempat tujuan dengan selamat setelah kurang lebih empat hari mengarungi hamparan laut mega luas dari kerajaan Kentamani ke kerajaan Purwodadi.“Kau tampak bahagia sekali, Laras, bahkan senyummu lebih lebar dibanding ketika aku berhasil mengalahkan pendekar Galasakti. Sejauh yang aku ingat, dalam perjalanan kali ini juga kau jauh lebih tenang,” kata Gara yang berdiri di samping perempuan itu.Mereka berdua sedang berdiri di bagian depan kapal, memandang laut dengan gradasi warna biru dan hijau yang terpadu indah, ditemani refleksi langit yang kini berubah menjelang jingga.“Entahlah, aku hanya menyukai perjalanan kali ini dibanding perjalanan sebelumnya. Apa kau tidak bisa merasakan ketenangan yang dibawa laut ini pada kita?”“Maksudmu?”“Sudah bukan rahasia lagi jika kerajaan Purwodadi terkenal dengan kawasan lautnya yang sangat luas. Selain terkenal dengan kekayaan maritimnya, l
Selepas menemui tuannya, panglima Arash meninggalkan area istana dan berkunjung ke markasnya. Ia meluapkan emosi dengan memanah, puluhan anak panah melesat kencang menembus sasaran yang jauh di depan sana. Tidak ada yang melenceng, semuanya menancap tepat di area merah. Kemampuannya dalam hal ini memang tidak perlu diragukan. Dia sangat mumpuni dalam bertarung, memanah, berkuda, dan merakit senjata tajam. Wajar jika kini dia menyandang gelar sebagai panglima perang yang paling disegani di fraksi barat. Fraksi yang menjadi dalang dari carut marutnya pemerintahan di kerajaan Ambarwangi dan yang telah mencelakai raja Majapati.Saat panglima Arash fokus meluapkan emosi, kedatangan seorang prajurit menghentikan kegiatan itu. Panglima Arash seperti sudah tahu maksud dan tujuan prajurit itu. Ya, memang sebelumnya dirinya yang meminta bawahannya itu untuk menyelidiki sesuatu. Panglima Arash menyimpan peralatan memanahnya, turun dari podium panah dan mengajak bawahannya itu untuk mengobrol di
Seorang prajurit berjalan tergesa melewati koridor kerajaan. Seorang penjaga mengabarkan kedatangannya pada sang ketua yang kini tengah menghuni sebuah ruangan yang dulu dihuni raja Majapati.“Panglima Arash memohon izin menghadap Yang Mulia,” pekik penjaga pintu itu, menyebut ketua mereka dengan sebutan “Yang Mulia” seakan orang itu benar-benar sudah resmi menyandang gelar tersebut.Setelah diperintahkan masuk, kemudian panglima Arash masuk ruangan tersebut. Membungkuk penuh hormat, kemudian dipersilakan duduk oleh sang ketua.“Bagaimana perkembangannya?” tanya sang ketua to the point, seperti sudah tahu hal apa yang akan diinformasikan oleh panglima Arash.“Saya sudah mengerahkan seluruh prajurit melakukan pencarian di hutan Ciwasari selama empat belas hari. Kami susuri semua pelosok hutan bahkan sampai ke gua-gua yang jarang dijamah manusia, namun tidak ditemukan tanda-tanda keberadaan raja Majapati, Tuan.”“Kesimpulannya kau dan pasukanmu gagal lagi?”Panglima Arash kembali tertun
“Mang Basir sudah lama menetap di Kentamani?” tanya Gara yang duduk tepat di samping pak kusir yang tengah berkuda. Sementara Kumbara dan Larasati duduk di kursi belakang bersama barang bawaan mereka.“Oh saya mah dari lahir di sini, Den. Warga asli.”“Berati Mang Basir tahu dong seluk beluk Kentamani ini.”“Ya jelas, Den, makanya mamang nawarin buat nganterin kalian ke perbatasan Kentamani-Purwodadu juga. Mang Basir tahu jalan tercepat menuju sana supaya aden dan teman-teman tidak kemalaman. Kentamani saat malam hari sangat tidak ramah untuk dijelajahi,” tutur mang Basir diselingi kekehan renyah namun mengingatkan ketiga orang itu pada tragedi awal mereka menginjakkan kaki di kerajaan Kentamani.“Ah, mamang bikin saya inget kenangan kelam. Lembah sawer horor banget Mang, sumpah. Itu isinya demit semua, ya?” timpal Kumbara.“Bisa dibilang begitu, Den. Sebenarnya dulu Lembah Sawer tidak semenyeramkan itu, namun setelah banyak oknum yang bersekutu dengan iblis untuk mendapat keuntungan