“Akhirnya, keluar juga.”Lee menggumam seraya menghampiri Arya, yang baru saja berada di teras depan. Putranya itu sudah terlihat rapi, tetapi bukan dengan pakaian formal. Hampir seminggu sejak kejadian itu, Arya tidak pernah keluar kamar dan berbaur seperti biasanya. Lee tidak heran bila hal tersebut dilakukan oleh Leon, karena putra bontotnya itu memang tidak terlalu banyak bicara. Berbeda dengan Arya, yang sifatnya hampir sama seperti Gemi. Terlalu ramah, dan terlalu baik.“Sudah baca chat di grup Utama, Ar?” tanya Lee berhenti di samping pilar.Arya menggeleng, sambil membenarkan tas selempang kecil, yang terjatuh di depan dada. Wajahnya masih saja kusut, dengan rambut yang tidak tertata rapi dan dibiarkan memanjang menyentuh kerah kaosnya.Lee menghela. “Kemarin, pak Pras sudah berbaik hati karena kamu masih bisa balik ke Metro Surabaya, tapi—”“Pecat aja,” putus Arya sambil melewati Lee, melewati tangga teras. “Bilang sama pak Pras, kalau mau pecat, pecat aja. Nggak usah pake dr
“Mobilmu di masukin aja, Mas,” kata Cita saat menyambut Arya di teras rumah barunya. Sambil memicing, Cita memperhatikan dengan seksama penampilan pria itu. Tetap rapi, tetapi sedikit kurus dengan rambut yang sudah mulai memanjang.Arya berjalan miring, sambil melihat penjaga yang menutup pintu pagar. Bila Arya tidak menghubungi Cita lebih dulu, penjaga yang bertubuh tambun dan lebih besar darinya itu pasti tidak akan mau membukakan pintu pagar. “Aku sudah nggak punya mobil,” jawab Arya saat berhenti di sisi teras, lalu melepas sneakernya. “Di ambil sama papa.”“Kamu buat masalah, ya?” Cita berbalik dan mempersilakan Arya masuk ke dalam rumah. “Makanya mobilmu disita sama pak Lee.”Arya hanya terkekeh sambil terus masuk dan berada di belakang Cita. Ia tetap menjaga jarak, karena tidak ingin membuat Cita merasa tidak nyaman. Begitu kakinya memasuki area ruang tengah, indra penciuman Arya langsung disuguhi aroma yang membuat perutnya berbunyi nyaring hingga membuat Cita spontan berbali
“Tante sama sekali nggak keberatan kamu tinggal di rumah kontrakan, tapi coba selesaikan dulu masalahmu sama papamu.”Sandra meletakkan telur balado tepat di tengah meja makan, lalu kembali pergi untuk mengambil sayur yang masih ada di kompor.Cita yang tengah mengaduk susu di depan dispenser, melirik pada Arya. Entah masalah apa yang terjadi pada pria itu, sehingga sampai diusir dan tidak diberi fasilitas sama sekali. Jangan-jangan, Arya tengah bermasalah dengan seorang wanita, hingga membuat malu keluarga. Sama halnya seperti Pandu. Diusir dari rumah, dan David mencabut semua fasilitas untuk putranya itu.Mungkinkah … kekasih Arya yang kini berada di Jakarta tengah hamil?“Jangan melarikan diri,” tambah Sandra sembari menuang sayur oseng dari wajan ke piring. “Daripada kamu luntang lantung begini? Sampai nggak punya kerjaan.”“Kalau begitu, ayo kita bikin usaha, Tan.” Arya berusaha menghibur diri, dan masih enggan menanggapi masalah yang terjadi dalam keluarganya. “Tante, kan, jago
“Mi …” Cita berhenti di samping Sandra, yang tengah memasukkan apel merah ke dalam kantung plastik satu per satu. Selesai terapi, Sandra mengajak Cita mampir ke sebuah supermarket untuk membeli beberapa buah-buahan yang stoknya sudah menipis. Namun, entah mengapa perasaan Cita tidak pernah merasa tenang setelah mereka memasuki supermarket tersebut. “Aku jadi parno sendiri. Perasaanku nggak enak.”“Ada Mami di sini,” ujar Sandra tersenyum sejenak saat melihat Cita. Jangankan Cita, Sandra sendiri saja semakin tidak tenang saat mendengar penuturan Arya tadi pagi. Akan tetapi, ia tidak boleh menunjukkan rasa cemasnya tersebut di depan Cita.Di samping itu, sebenarnya Sandra ingin mereka menjalani hidup dengan normal seperti dahulu kala. Bisa pergi ke mana saja, tanpa harus mengkhawatirkan sesuatu apa pun.Andai Pandu juga berada di kota yang sama, pria itu tidak mungkin berani muncul di tempat umum seperti sekarang. Belum lagi, Sandra dan Cita juga sudah memiliki sopir pribadi, dan tidak
Saat melihat Sandra keluar dari supermarket sembari mendorong trolly, Jeki segera berdiri dari tempat tongkrongannya untuk menghampiri wanita itu. “Biar saya yang dorong, Bu.”“Cita di mobil?” tanya Sandra masih belum menyerahkan trollynya pada Jeki.“Iya, Bu, lagi tidur.”“Parkirnya jauh nggak, Pak?” Tahu begini, Sandra akan menelepon Jeki lebih dulu agar bisa menjemputnya langsung di drop off lobi, dan tidak pergi ke parkiran. Kaki Sandra juga terlalu lelah, bila harus berjalan menghampiri mobil yang entah diparkir di mana oleh Jeki. “Kalau jauh, saya tunggu di sini aja, deh, Pak. Kaki saya sudah pegel-pegel.”“Oh, nggeh, Bu. Biar saya ambil mobilnya dulu.”Jeki segera berlari kecil, setelah Sandra memberi anggukan. Namun, ia berhenti dan kebingungan saat tidak melihat mobil yang dibawanya berada di tempat. Jeki berdiri mematung. Kesepuluh jemarinya saling tertaut di atas kepala, dan mengumpat. Jantungnya pun mulai berdebar kencang, karena Cita sedang berada di dalam mobil tersebut.
Tenang.Sandra berusaha sebisa mungkin untuk menenangkan diri, walaupun rasa gemetar itu masih membalut seluruh raganya. Sejak mengetahui mobil yang dibawa Jeki ternyata sudah keluar dari area parkir dengan mudahnya, di situlah Sandra harus menguatkan diri sendiri.Sandra meminta siapa pun yang ada di sana untuk mengantarkannya ke kantor polisi, untuk membuat laporan malam itu juga.Baik Sandra maupun Jeki, sudah menelepon David untuk mengabarkan hilangnya Cita, berikut dengan mobil yang awalnya ada di parkiran.“Ibu sudah bisa pulang dan sila—”Sandra reflek menggebrak meja, karena perkataan seorang aparat berwenang yang menyuruhnya untuk kembali pulang. “Anak saya ini diculik, Pak! Gimana saya bisa pulang!”“Begini Ibu, kami sudah terima laporan dan akan segera kami proses secepatnya. Dan—”“Mas, nyawa anak saya ada di ujung tanduk.” Sandra berdiri dengan segera, tetapi tidak tahu menahu harus melakukan apa. “Dia itu dibawa pergi sama mantan suami yang … sudah gila itu! Dasar psikop
“Pulanglah, Ar,” ujar Sandra dengan mata sembab, dan wajah sayunya. “Tante nggak enak sama mamamu, kalau kamu masih di sini nemani Tante.” “Gampang, Tan.” Tidak mungkin Arya tega meninggalkan Sandra seorang diri. Apalagi, wanita itu tidak memiliki saudara sama sekali di Surabaya. “Mama juga masih dirawat, nanti aku bisa numpang tidur di kamarnya.” Sandra kembali tertunduk dan terisak. Melihat bagaimana kondisi putrinya, membuat Sandra semakin merasa bersalah saja. Andai Sandra tidak ceroboh, kejadian seperti ini tidak akan mungkin terjadi pada putrinya. Sandra sungguh-sungguh bodoh. Putri yang sudah ia kandung, dan besarkan dengan sepenuh hati, ternyata memiliki kehidupan yang terlampau pahit. Tidak cukupkah Tuhan menghukumnya dengan hidup menderita bersama Harry selama ini? Mengapa Cita harus juga menerima semua ujian tersebut, padahal putrinya itu termasuk anak yang sangat baik. “Kalau Tante tadi malam nemani Cita … pasti bayinya …” Sandra tergugu. Tidak sanggup melanjutkan ucap
Harry tahu dirinya bersalah. Sangat teramat salah, dan wajar rasanya bila Sandra tetap pada pendiriannya untuk bercerai. Selama bertahun-tahun, Harry memang tidak pernah memedulikan istri dan putrinya. Rasa sakit hatinya yang terlampau dalam pada Sandra, membuat Harry sampai buta dan menutup hatinya rapat-rapat.Namun, saat Sandra pergi dan tidak kembali pulang seperti biasanya, barulah Harry merasakan kekosongan yang teramat luar biasa. Belum lagi, Sandra sama sekali tidak mau menerima panggilannya, bahkan membaca pesan yang dikirimkan oleh Harry.“Sudah ada perkembangan, Om?” tanya Arya menghampiri Harry, yang duduk seorang diri di depan ruang ICU. Sebelumnya, Arya sudah sempat berkenalan dengan Harry yang tiba-tiba datang ke Surabaya. Arya juga sudah melihat orang tua Pandu. Namun, Arya tidak berminat untuk mengenal keluarga tersebut, karena ia tidak memiliki kepentingan apa pun dengan mereka. Justru Arya geram, karena keluarga Atmawijaya menginginkan semua masalah diselesaikan sec
“Cita … nggak ikut, Mi?” Sandra yang baru saja duduk, segera memberi gelengan untuk menjawab pertanyaan Arya tanpa senyuman. Sandra hanya sempat bersikap ramah pada Lee dan Gemi, yang kini duduk melingkar pada satu meja yang sama dengannya. “Cita harus istirahat.” “Pak Lee, maaf kalau harus merepotkan dan meminta Bapak datang ke Singapur dengan segera.” Tidak ingin berbasa basi, Harry pun segera mengutarakan maksud diadakannya pertemuan keluarga malam ini. “Untuk masalah anak kita, Bapak mungkin sudah tahu kronologinya dari bu Gemi. Dan kenapa saya minta Bapak datang, itu karena saya mau cabut semua investasi saya dari Arka Lukito. Bukan cuma itu, tapi saya mau menarik lisensi nama Lukito dari perusahaan tersebut. Untuk mekanismenya, nanti akan ditangani langsung sama Kasih. Dan setelah semua selesai, Lukito Grup sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi dengan perusahaan yang dipimpin Arya.” “Pa—” Lee segera mengangkat tangan ke arah Arya. Meminta putranya tidak bersuara, agar permasa
“Dia? Dia siapa?” Mendengar suara Sandra yang mendadak terdengar di balkon, membuat Arya dan Cita spontan menoleh dengan mata yang terbelalak. Karena terlalu sibuk berdebat, Arya dan Cita sampai-sampai melupakan hal lain di sekitarnya. “Cita, nama “dia” siapa yang sering kamu lihat nelpon Arya?” buru Sandra segera menghabiskan jarak, dan tetap fokus pada putrinya. “Apa Arya selingkuh? Iya? Jadi karena itu kamu minta pisah? Begitu, kan? Arya punya perempuan lain di luar sana? Begitu?” Jika benar Arya berselingkuh, orang yang paling terpukul dengan kabar tersebut adalah Sandra sendiri. Dulu, Sandra adalah wanita selingkuhan Harry, dan sekarang? Putrinya justru diselingkuhi oleh suaminya sendiri. Karma apa lagi yang menimpa Sandra kali ini? Tidak cukupkah, Tuhan menghukum Sandra dengan membuat Cita terpuruk dengan kondisinya? Sampai-sampai, harus memberi cobaan tambahan seperti sekarang? Bertahun-tahun Sandra hidup seperti di neraka bersama Harry, tetapi, itu pun belum sanggup menebu
“Cita, semua nggak seperti yang kamu bayangkan.” Arya segera beranjak menghampiri Cita, lalu berlutut untuk menyamakan tubuhnya. “Aku … aku memang sibuk, aku capek, aku … ya! Aku jenuh dengan semua ini. Bolak balik Surabaya Singapur, Surabaya Jakarta, Jakarta Singapur, itu semua bikin aku muak.” Satu sudut bibir Cita tertarik tipis. “Semua yang kamu dapat sekarang, semua yang kamu jalani sekarang, itu semua adalah kemauanmu sendiri. Kamu bisa sukses dan berdiri seperti sekarang, itu semua juga hasil dari doa-doa orang yang sayang sama kamu, Mas. Kalau sekarang kamu mengeluh, itu artinya kamu nggak pernah bersyukur, karena di luar sana, banyak orang yang ingin ada di posisimu.” “Aku tahu itu, aku tahu, tap—“ “Sebenarnya, bukan itu inti dari pembicaraan kita malam ini, Mas.” Cita memundurkan kursi rodanya, ketika kedua tangan Arya hendak menyentuhnya. “Jadi nggak perlu melebar ke mana-mana. Aku tahu kamu capek, jenuh, dan … muak dengan semua ini. Aku juga tahu, kalau kamu sudah punya
“Sayang …” Sandra mengusap lembut puncak kepala Cita yang hanya duduk di tempat tidur, dan enggan keluar dari kamar. “Sarapan dulu, kita harus ke rumah sakit hari ini.”“Aku nggak mau terapi.” Cita menunduk, dan melanjutkan membaca bukunya. Kali ini, sudah tidak ada lagi yang bisa memengaruhi keputusannya. Cita ingin berpisah dari Arya, dan ingin melanjutkan hidupnya hanya seorang diri.“Cita, papa sudah telpon Arya tadi malam, dan—““Percuma,” putus Cita datar, lalu menutup bukunya. “Aku sudah nggak mau jadi beban mas Arya, atau siapa pun. Kalau Mami mau aku lanjut terapi, tolong ada di pihakku, dan ngerti dengan keadaanku.”“Mami selalu ada di pihakmu, Cit,” ucap Sandra meyakinkan. Di satu sisi, Sandra sangat mengerti dengan perasaan dan kondisi Cita saat ini. Namun di sisi lain, Sandra tidak ingin pernikahan putrinya berakhir, hanya karena kurangnya komunikasi antara keduanya.Sebenarnya, Cita masih bisa membicarakan masalahnya dengan Arya, dan mencari solusi yang terbaik untuk hub
“Pindah?” Sandra sontak berdiri, lalu menarik kursi besi yang sempat didudukinya ke arah Cita, yang duduk di samping pagar. “Maksudnya?”“Aku mau menyendiri, Mi.” Cita sudah memikirkan semuanya dengan matang. Hubungannya dengan Arya belakangan ini semakin berjarak, dan Cita melihat tidak ada lagi yang bisa diharapkan dari semuanya.Sejak pembicaraan mereka terakhir kali, Arya tidak lagi datang ke Singapura satu bulan belakangan ini. Intensitas obrolan mereka melalui telepon pun, juga bisa dihitung dengan jari. Mereka hanya bicara dan bertukar kabar seperlunya, tanpa ada gurauan, rayuan, atau obrolan hangat seperti dahulu kala.Semuanya hambar.“Menyendiri?” Sandra menghadapkan kursinya pada Cita, lalu duduk di samping putrinya. “Sayang, Mami masih nggak ngerti. Kenapa? Apa ada hubungannya dengan Arya?”Cita membuang napas panjang, dan masih memandang teluk Marina yang terlihat begitu tenang. “Pernikahanku sama mas Arya, kayaknya sudah nggak bisa lagi diteruskan. Ak—““Cita, kenapa bic
Sibuk. Ketika perusahaan yang dipegang Arya semakin berkembang, ia merasakan waktu yang dimiliki untuk diri sendiri semakin sedikit. Dulu, Arya masih bisa pergi ke Negeri Singa di hari jumat malam, dan akan kembali pada senin paginya. Namun, tidak setelah semuanya berkembang semakin pesat. Arya baru bisa pergi ke Singapura pada sabtu pagi, dan akan kembali pada minggu malamnya. Rutinitas tersebut ternyata benar-benar melelahkan, dan semakin menjemukan. Memikirkannya saja, Arya bisa langsung sakit kepala. Bahkan, Arya tidak lagi memiliki kualitas dalam hubungannya dengan Cita. Ketika bertemu, yang Arya lakukan lebih banyak tidur dan beristirahat untuk melepas lelah. “Mas …” Cita menepuk pelan lengan Arya yang tertidur di sofa. Meskipun tidak tega, tetapi Cita harus tetap membangunkan sang suami, karena sudah tiba waktunya makan siang. “Ayo bangun bentar.” Arya menghela panjang nan lelah. Membuka sedikit matanya yang berat, sembari tersenyum tipis. “Bentar..” “Makan dulu, habis itu
Semakin hari perkembangan Cita terlihat semakin ada kemajuan. Meskipun Cita tidak pernah menceritakan detailnya pada Arya, tetapi ia selalu mendapat kiriman video dari Sandra. Dari situlah, Arya bisa melihat semua perjuangan Cita yang terkadang disertai dengan air mata.Ada waktunya Cita terlihat sangat lelah, dan hampir menyerah karena fisioterapi yang dilakukan sangatlah tidak mudah. Adakalanya juga, Cita ngambek dan tidak ingin melakukan terapi apa pun, karena merasa tidak sanggup menjalaninya.Namun, semua drama itu tetap saja akan berakhir, dan Cita kembali melanjutkan fisioterapinya dengan penuh semangat. Selain itu, Cita juga rutin melakukan konseling, karena ia masih butuh dukungan mental atas semua yang pernah terjadi di dalam hidupnya, serta apa yang tengah dijalankan saat ini.“Maaf, aku nggak bisa ke sana lagi jumat ini.” Arya mengolesi roti tawarnya dengan selai kacang, sembari menatap Cita yang berada di layar ponselnya. Sudah tiga kali ini Arya tidak bisa menjenguk Cita
Cita bersedekap. Duduk di kursi rodanya, di antara Harry dan Arya. Melihat kedua pria itu, tengah sibuk dengan laptopnya masing-masing. Sesekali, Arya akan bertanya beberapa hal, dan Harry akan menjelaskannya dengan perlahan dan mendetail.Sementara Sandra, sedang berada di dapur dan memasak seperti biasanya. Untuk urusan masak-memasak, Sandra tidak mau digantikan oleh siapa pun. Ia ingin memastikan sendiri asupan yang masuk ke dalam tubuh Cita, dibuat dengan bahan-bahan yang segar dan berkualitas.“Terus, aku ngapain di suruh duduk di tengah-tengah begini dari tadi?” protes Cita yang sudah bosan karena tidak melakukan apa-apa. Ia hanya duduk atas titah Harry, dan jadi pendengar yang baik sedari tadi.“Dengarkan semua diskusi Papa sama Arya,” ujar Harry masih menatap laptopnya. Sebelumnya, Harry sudah menjelaskan mengenai kerja sama yang akan dilakukan bersama Pras, dalam jangka waktu dua atau tiga bulan ke depan pada Cita. Untuk itulah, Harry ingin Cita mulai terlibat dalam dalam sem
“Jadi, nggak sempat ngobrol sama Rashi?”Cita mendengarkan cerita Arya dengan seksama. Padahal, setiap hari mereka pasti berkomunikasi dan suaminya pasti bercerita tentang banyak hal. Namun, Arya baru menceritakan masalah pertemuannya dengan Rashi kali ini.Arya menggeleng seraya mengambil sebuah kaos dan celana pendek dari kopernya. “Dia cuma datang sebentar ngantar cake, terus buru-buru pulang.”“Kenapa nggak diajak ngobrol?” Cita menyayangkan hal yang satu itu. Harusnya, kakak beradik itu bisa duduk berdua, lalu berdamai dengan masa lalu.Arya kembali menggeleng. Ia membuka kaos berkerah yang dipakainya, lalu melemparnya di atas tempat tidur Cita. “Dianya buru-buru pergi,” kata Arya sembari memakai kaos yang baru saja diambilnya di koper.“Masih deg-degan, nggak, waktu ketemu Rashi?” goda Cita hanya bisa menelan ludah, saat melihat Arya berganti pakaian di depannya. Sebagai wanita normal, tentu saja Cita memiliki sebuah gejolak yang tidak biasa saat melihat pria yang dicintainya ad