“Saya jadi nggak enak, pak Lex sampai jauh-jauh datang ke sini.”Setelah berbincang panjang lebar mengenai kondisi Cita dan Pandu, Sandra hanya bisa menunduk malu. Ia kembali mengingat semua perbuatannya dahulu kala pada Elok, sampai membuat wanita itu bercerai dengan Harry. Sandra sampai tidak bisa berkata-kata, karena Elok selama ini masih bisa berbaik hati dengan Cita. Tidak hanya Elok, tetapi Kasih pun bisa dibilang sangat menyayangi Cita karena gadis itu tidak memiliki adik perempuan.Jika hati Elok penuh dendam, kemungkinan besar wanita itu tidak akan membiarkan Lex membantunya hingga sejauh ini.Sandra sampai tidak tahu lagi, harus bersikap seperti apa dengan keluarga Anggoro.“Nggak perlu sungkan,” ucap Lex menatap Harry yang sedari tadi hanya berdiri dan bersandar pada pilar. Pria itu hanya diam, ketika Lex memberikan dua buah map yang berbeda pada Sandra. Tampak frustrasi, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa. “Kasih yang minta ke sini, dan saya juga sekalian mau ngasih akta p
“Om, gimana kalau hilang ingatan itu cuma akal-akalan Pandu?”Arya langsung mendapat cubitan keras oleh Kasih di perutnya. “Jangan nambah-nambah masalah sama pikiran.”Arya meringis nyeri, dan langsung menjauh dari tempat duduknya. “Kas—”“Kak Kas-ih!” ralatnya cepat, karena Arya selalu saja seenaknya ketika memanggilnya.“Kasih,” tegur Lex dengan gelengan samar. Sebelum Kasih mengenal akrab Sinar dan Pras, putri sambungnya itu tidak pernah mencubit seseorang seperti itu. Namun, saat Kasih mulai dekat dengan sepasang suami istri itu, tangan gadis itu mulai suka mencubit bila gemas, ataupun kesal pada seseorang. Mirip dengan kebiasaan Sinar, yang akan mencubit Pras, bila tengah kesal pada suaminya itu. “Arya itu—”“Aku salah apa?” Arya sudah melotot sambil mengusap sisi perutnya. “Untung cewek, kalau nggak—”“Ehm!”Suara deheman dari kedua pria sekaligus itu, langsung membuat Arya terdiam. Ia hampir lupa, bila kedua pria yang bersamanya saat ini adalah ayah dari gadis itu. Yang satu
“Catatan medisnya memang seperti itu.” Abi sudah memberi salinan laporan medis, yang diterimanya dari dokter ahli yang menangani Pandu. “Aku bukan mau melindungi Pandu, atau keluarga Atmawijaya, tapi, kita nggak bisa apa-apa kalau fakta bicara seperti itu. Pandu hilang ingatan, karena benturan di kepalanya. Satu-satunya harapan adalah, itu cuma sementara.” “Bagaimana kalau … dia terus-terusan “amnesia”,” celetuk Vira yang sudah lebih dulu membaca semua salinan laporan medis sebelumnya. Vira hanya bisa menggeleng, karena sudah hafal dengan kasus-kasus seperti ini.“Sebenarnya, sudah sembuh. Tapi untuk menghindari gugatan, keluarga Atmawijaya—” “Vira—” “Jangan diputus, Bi,” sentak Vira sedikit keras. Karena ini adalah kasus terakhirnya, maka Vira akan berusaha semaksimal mungkin untuk memberi pelajaran pada Pandu. Sebagai seorang wanita, Vira tentu bisa merasakan semua hal yang dialami Cita. Sekadar mendengar cerita dari Harry saja, semua itu sudah membuat hatinya tersayat. “Aku tahu k
“Pendarahan otak …”Untuk kesekian kalinya, Sandra harus menguatkan diri saat mendengar kondisi Cita saat ini. Sandra juga harus tegar dan pasrah, ketika putrinya kembali masuk ke ruang operasi. Meskipun kakinya hampir tidak bisa menopang bobot tubuhnya, tetapi Sandra harus tetap berdiri tegak. Demi Cita, demi putrinya.Mungkin, karena inilah Cita meminta Sandra untuk rujuk dengan Harry. Karena saat ini, Sandra memiliki tempat bersandar dan berkeluh kesah untuk mengeluarkan semua hal yang ada di hati, juga pikirannya. “Sampai kapan pun, Aku nggak akan pernah ikhlas kalau Pandu bisa bebas di luar sana dengan alasan amnesia,” tambah Sandra masih saja sesenggukan. Tisu yang berada di genggaman sampai sudah tidak berbentuk lagi, karena dipakai untuk mengusap wajah basahnya hingga berulang kali. “Harusnya, Pandu yang ada di dalam sana, bukan Cita.”“Sudahlah, Mi,” kata Harry ingin berkonsentrasi pada putrinya saja. Masalah proses hukum Pandu, sudah Harry serahkan pada Lex dan Vira sepenu
Sandra dan Harry kembali harus bersabar menerima cobaan yang ada. Tim dokter sudah melakukan semua yang mereka bisa, tetapi, hasil akhirnya kembali mereka serahkan dengan kondisi pasien. Cita koma, dan Sandra hanya bisa menunggu mukjizat dari Tuhan untuk kesembuhan putrinya.“Ada kabar dari Pandu, Mas?”Sandra memejam, saat baru duduk di samping Harry. Menyandarkan kepalanya di pundak Harry, lalu memeluk lengan yang belakangan ini selalu ada untuknya. Sudah dua minggu Cita tidak sadarkan diri, dan mereka masih belum melihat perkembangan apa pun.Saat ini, Sandra bisa keluar dan duduk berdua dengan Harry karena ada Elok, yang akhirnya menyempatkan diri untuk datang membesuk. Sementara suami pria itu, baru saja pergi ke Metro Surabaya untuk menghadiri rapat dewan direksi dan komisaris.Harry menggeleng sambil mengusap tangan Sandra. Ia hanya bisa memasrahkan semuanya pada Tuhan, dan hanya bisa berdoa untuk kesembuhan putrinya. Harry sudah tidak mau lagi memikirkan masalah Pandu, karena
“Gimana Cita, Ar? Ada perkembangan?”Arya berdecak, kemudian melempar ponselnya ke tempat tidur setelah membaca pop up pesan yang tertera di layarnya. Entah mengapa, ia tidak berniat membuka, dan membalasnya dalam waktu dekat. Jika pria itu memang menyukai Cita, harusnya dia terbang dari Jakarta dan menjenguk gadis itu.Baru saja Arya hendak membuka kaos dan menggantinya, suara ketukan pintu membuatnya harus bergegas membukanya.“Om Lex sama tante Elok sudah pulang?” tanya Arya begitu membuka pintu dan melihat Gemi berdiri di depannya.Gemi mengangguk. “Mama mau masuk.”Arya segera bergeser, dan membiarkan Gemi melewatinya. Wanita itu berjalan menuju sofa, kemudian duduk di salah satu ujungnya.“Tante Elok nawarin kamu kerja di Jurnal?” tanya Gemi sembari meletakkan siku kanannya di lengan sofa. Melihat Arya mengangguk sambil menutup pintu, lalu berjalan menghampiri Gemi dan duduk di sebelahnya.“Tapi aku nggak mau.”“Kenapa?”“Karena aku nggak mau balik ke Jakarta.”Akhirnya, Gemi ta
Sandra tidak berhenti berucap syukur saat Cita akhirnya membuka mata. Walau beberapa fungsi tubuhnya belum bisa digerakkan, tetapi bagi Sandra, hal itu sudah termasuk perkembangan yang cukup pesat. Cita sudah sadar, meskipun tatapannya terlihat bingung dan mulutnya hanya mampu mengerang, tanpa bicara sepatah kata pun.Cita juga masih berada di ruang intensive care unit, karena tim dokter masih harus melakukan observasi atas semua kemungkinan yang bisa saja terjadi.Meskipun terasa lamban, tetapi perkembangan Cita mulai ada kemajuan.“Mami tahu kamu kuat.” Sandra menggenggam tangan Cita, dan membawa ke pipinya. “Kamu pasti sembuh, dan … nanti kita bisa ke salon, atau shopping lagi.”Sandra berusaha tertawa dan menghibur diri sendiri. Di benaknya, Sandra kembali membayangkan pergi menghabiskan waktu bersama putrinya, seperti dahulu kala. Seperti di saat Cita, belum sibuk dengan pekerjaannya di media.“Kamu tahu.” Meskipun Cita hanya bisa menatapnya, tetapi hal tersebut sudah bisa membua
“Sudah nyaman?”“Hm.” Cita menggumam sambari mengedipkan mata dua kali, setelah Sandra menepuk-nepuk pinggiran bantalnya dengan perlahan. Tubuhnya terasa sangat lelah, tetapi Cita harus pasrah dan bersabar karena ia belum mampu bergerak sama sekali. Tidak hanya lelah, tetapi Cita merasakan berbagai nyeri yang sungguh tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata.“Kak Kasih titip salam,” ujar Sandra kemudian duduk di kursi di samping ranjang pasien. “Dia belum bisa ke sini, karena harus ngurus perusahaan papa.”Cita tersenyum kecil, dan mendadak merindukan kakak yang selama ini selalu menyayanginya. Meskipun mereka sudah sangat jarang bertemu dan hanya berkomunikasi seadanya, tetapi Kasih memiliki ruang khusus tersendiri di hati Cita. Di saat Joana selalu memojokkan Cita, hanya Kasihnya yang berani vokal menentang wanita tua itu dan membelanya di antara keterdiaman semua orang.“Kalau Arya, belakangan ini lagi sibuk belajar sama papamu,” lanjut Sandra kembali bercerita untuk terus merangsa
“Cita … nggak ikut, Mi?” Sandra yang baru saja duduk, segera memberi gelengan untuk menjawab pertanyaan Arya tanpa senyuman. Sandra hanya sempat bersikap ramah pada Lee dan Gemi, yang kini duduk melingkar pada satu meja yang sama dengannya. “Cita harus istirahat.” “Pak Lee, maaf kalau harus merepotkan dan meminta Bapak datang ke Singapur dengan segera.” Tidak ingin berbasa basi, Harry pun segera mengutarakan maksud diadakannya pertemuan keluarga malam ini. “Untuk masalah anak kita, Bapak mungkin sudah tahu kronologinya dari bu Gemi. Dan kenapa saya minta Bapak datang, itu karena saya mau cabut semua investasi saya dari Arka Lukito. Bukan cuma itu, tapi saya mau menarik lisensi nama Lukito dari perusahaan tersebut. Untuk mekanismenya, nanti akan ditangani langsung sama Kasih. Dan setelah semua selesai, Lukito Grup sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi dengan perusahaan yang dipimpin Arya.” “Pa—” Lee segera mengangkat tangan ke arah Arya. Meminta putranya tidak bersuara, agar permasa
“Dia? Dia siapa?” Mendengar suara Sandra yang mendadak terdengar di balkon, membuat Arya dan Cita spontan menoleh dengan mata yang terbelalak. Karena terlalu sibuk berdebat, Arya dan Cita sampai-sampai melupakan hal lain di sekitarnya. “Cita, nama “dia” siapa yang sering kamu lihat nelpon Arya?” buru Sandra segera menghabiskan jarak, dan tetap fokus pada putrinya. “Apa Arya selingkuh? Iya? Jadi karena itu kamu minta pisah? Begitu, kan? Arya punya perempuan lain di luar sana? Begitu?” Jika benar Arya berselingkuh, orang yang paling terpukul dengan kabar tersebut adalah Sandra sendiri. Dulu, Sandra adalah wanita selingkuhan Harry, dan sekarang? Putrinya justru diselingkuhi oleh suaminya sendiri. Karma apa lagi yang menimpa Sandra kali ini? Tidak cukupkah, Tuhan menghukum Sandra dengan membuat Cita terpuruk dengan kondisinya? Sampai-sampai, harus memberi cobaan tambahan seperti sekarang? Bertahun-tahun Sandra hidup seperti di neraka bersama Harry, tetapi, itu pun belum sanggup menebu
“Cita, semua nggak seperti yang kamu bayangkan.” Arya segera beranjak menghampiri Cita, lalu berlutut untuk menyamakan tubuhnya. “Aku … aku memang sibuk, aku capek, aku … ya! Aku jenuh dengan semua ini. Bolak balik Surabaya Singapur, Surabaya Jakarta, Jakarta Singapur, itu semua bikin aku muak.” Satu sudut bibir Cita tertarik tipis. “Semua yang kamu dapat sekarang, semua yang kamu jalani sekarang, itu semua adalah kemauanmu sendiri. Kamu bisa sukses dan berdiri seperti sekarang, itu semua juga hasil dari doa-doa orang yang sayang sama kamu, Mas. Kalau sekarang kamu mengeluh, itu artinya kamu nggak pernah bersyukur, karena di luar sana, banyak orang yang ingin ada di posisimu.” “Aku tahu itu, aku tahu, tap—“ “Sebenarnya, bukan itu inti dari pembicaraan kita malam ini, Mas.” Cita memundurkan kursi rodanya, ketika kedua tangan Arya hendak menyentuhnya. “Jadi nggak perlu melebar ke mana-mana. Aku tahu kamu capek, jenuh, dan … muak dengan semua ini. Aku juga tahu, kalau kamu sudah punya
“Sayang …” Sandra mengusap lembut puncak kepala Cita yang hanya duduk di tempat tidur, dan enggan keluar dari kamar. “Sarapan dulu, kita harus ke rumah sakit hari ini.”“Aku nggak mau terapi.” Cita menunduk, dan melanjutkan membaca bukunya. Kali ini, sudah tidak ada lagi yang bisa memengaruhi keputusannya. Cita ingin berpisah dari Arya, dan ingin melanjutkan hidupnya hanya seorang diri.“Cita, papa sudah telpon Arya tadi malam, dan—““Percuma,” putus Cita datar, lalu menutup bukunya. “Aku sudah nggak mau jadi beban mas Arya, atau siapa pun. Kalau Mami mau aku lanjut terapi, tolong ada di pihakku, dan ngerti dengan keadaanku.”“Mami selalu ada di pihakmu, Cit,” ucap Sandra meyakinkan. Di satu sisi, Sandra sangat mengerti dengan perasaan dan kondisi Cita saat ini. Namun di sisi lain, Sandra tidak ingin pernikahan putrinya berakhir, hanya karena kurangnya komunikasi antara keduanya.Sebenarnya, Cita masih bisa membicarakan masalahnya dengan Arya, dan mencari solusi yang terbaik untuk hub
“Pindah?” Sandra sontak berdiri, lalu menarik kursi besi yang sempat didudukinya ke arah Cita, yang duduk di samping pagar. “Maksudnya?”“Aku mau menyendiri, Mi.” Cita sudah memikirkan semuanya dengan matang. Hubungannya dengan Arya belakangan ini semakin berjarak, dan Cita melihat tidak ada lagi yang bisa diharapkan dari semuanya.Sejak pembicaraan mereka terakhir kali, Arya tidak lagi datang ke Singapura satu bulan belakangan ini. Intensitas obrolan mereka melalui telepon pun, juga bisa dihitung dengan jari. Mereka hanya bicara dan bertukar kabar seperlunya, tanpa ada gurauan, rayuan, atau obrolan hangat seperti dahulu kala.Semuanya hambar.“Menyendiri?” Sandra menghadapkan kursinya pada Cita, lalu duduk di samping putrinya. “Sayang, Mami masih nggak ngerti. Kenapa? Apa ada hubungannya dengan Arya?”Cita membuang napas panjang, dan masih memandang teluk Marina yang terlihat begitu tenang. “Pernikahanku sama mas Arya, kayaknya sudah nggak bisa lagi diteruskan. Ak—““Cita, kenapa bic
Sibuk. Ketika perusahaan yang dipegang Arya semakin berkembang, ia merasakan waktu yang dimiliki untuk diri sendiri semakin sedikit. Dulu, Arya masih bisa pergi ke Negeri Singa di hari jumat malam, dan akan kembali pada senin paginya. Namun, tidak setelah semuanya berkembang semakin pesat. Arya baru bisa pergi ke Singapura pada sabtu pagi, dan akan kembali pada minggu malamnya. Rutinitas tersebut ternyata benar-benar melelahkan, dan semakin menjemukan. Memikirkannya saja, Arya bisa langsung sakit kepala. Bahkan, Arya tidak lagi memiliki kualitas dalam hubungannya dengan Cita. Ketika bertemu, yang Arya lakukan lebih banyak tidur dan beristirahat untuk melepas lelah. “Mas …” Cita menepuk pelan lengan Arya yang tertidur di sofa. Meskipun tidak tega, tetapi Cita harus tetap membangunkan sang suami, karena sudah tiba waktunya makan siang. “Ayo bangun bentar.” Arya menghela panjang nan lelah. Membuka sedikit matanya yang berat, sembari tersenyum tipis. “Bentar..” “Makan dulu, habis itu
Semakin hari perkembangan Cita terlihat semakin ada kemajuan. Meskipun Cita tidak pernah menceritakan detailnya pada Arya, tetapi ia selalu mendapat kiriman video dari Sandra. Dari situlah, Arya bisa melihat semua perjuangan Cita yang terkadang disertai dengan air mata.Ada waktunya Cita terlihat sangat lelah, dan hampir menyerah karena fisioterapi yang dilakukan sangatlah tidak mudah. Adakalanya juga, Cita ngambek dan tidak ingin melakukan terapi apa pun, karena merasa tidak sanggup menjalaninya.Namun, semua drama itu tetap saja akan berakhir, dan Cita kembali melanjutkan fisioterapinya dengan penuh semangat. Selain itu, Cita juga rutin melakukan konseling, karena ia masih butuh dukungan mental atas semua yang pernah terjadi di dalam hidupnya, serta apa yang tengah dijalankan saat ini.“Maaf, aku nggak bisa ke sana lagi jumat ini.” Arya mengolesi roti tawarnya dengan selai kacang, sembari menatap Cita yang berada di layar ponselnya. Sudah tiga kali ini Arya tidak bisa menjenguk Cita
Cita bersedekap. Duduk di kursi rodanya, di antara Harry dan Arya. Melihat kedua pria itu, tengah sibuk dengan laptopnya masing-masing. Sesekali, Arya akan bertanya beberapa hal, dan Harry akan menjelaskannya dengan perlahan dan mendetail.Sementara Sandra, sedang berada di dapur dan memasak seperti biasanya. Untuk urusan masak-memasak, Sandra tidak mau digantikan oleh siapa pun. Ia ingin memastikan sendiri asupan yang masuk ke dalam tubuh Cita, dibuat dengan bahan-bahan yang segar dan berkualitas.“Terus, aku ngapain di suruh duduk di tengah-tengah begini dari tadi?” protes Cita yang sudah bosan karena tidak melakukan apa-apa. Ia hanya duduk atas titah Harry, dan jadi pendengar yang baik sedari tadi.“Dengarkan semua diskusi Papa sama Arya,” ujar Harry masih menatap laptopnya. Sebelumnya, Harry sudah menjelaskan mengenai kerja sama yang akan dilakukan bersama Pras, dalam jangka waktu dua atau tiga bulan ke depan pada Cita. Untuk itulah, Harry ingin Cita mulai terlibat dalam dalam sem
“Jadi, nggak sempat ngobrol sama Rashi?”Cita mendengarkan cerita Arya dengan seksama. Padahal, setiap hari mereka pasti berkomunikasi dan suaminya pasti bercerita tentang banyak hal. Namun, Arya baru menceritakan masalah pertemuannya dengan Rashi kali ini.Arya menggeleng seraya mengambil sebuah kaos dan celana pendek dari kopernya. “Dia cuma datang sebentar ngantar cake, terus buru-buru pulang.”“Kenapa nggak diajak ngobrol?” Cita menyayangkan hal yang satu itu. Harusnya, kakak beradik itu bisa duduk berdua, lalu berdamai dengan masa lalu.Arya kembali menggeleng. Ia membuka kaos berkerah yang dipakainya, lalu melemparnya di atas tempat tidur Cita. “Dianya buru-buru pergi,” kata Arya sembari memakai kaos yang baru saja diambilnya di koper.“Masih deg-degan, nggak, waktu ketemu Rashi?” goda Cita hanya bisa menelan ludah, saat melihat Arya berganti pakaian di depannya. Sebagai wanita normal, tentu saja Cita memiliki sebuah gejolak yang tidak biasa saat melihat pria yang dicintainya ad