masih mau tambah? yuk lempar gems yg banyak š„°š
Kintan terbangun, dan menyadari sesuatu telah tersemat di jari manisnya. Dengan mata membelalak kaget dan jantung berdebar kencang, ia menatap lekat pada cincin berlian besar yang sangat indah telah tersemat di sana. Seketika bibir merahnya pun melengkungkan senyuman. Pasti Iqbal yang memakaikan cincin itu di jarinya. Kintan mengangkat jarinya ke atas, mendongak kagum pada cincin yang bersinar terang itu. Seketika ia pun mendekapnya di dada. 'Aku... akan menjadi Nyonya Bimasakti?? Aaaaaa!' Kintan membenamkan wajahnya yang sedang tersenyum bodoh di atas bantal sambil memukul-mukul kasur di samping kepalanya dengan perasaan bahagia. Ia juga sudah tidak peduli lagi dengan ingatannya yang belum juga kembali, karena cinta yang ia rasakan pada Iqbal tidak perlu untuk diingat. Kintan hanya perlu merasakannya, begitu besar dan kuat terpancar dari dalam hatinya. Ia begitu mencintai Iqbal hingga rasanya hatinya ingin meledak. Tapi... dimana Iqbal? Kintan melihat ke seluruh pen
Iqbal akhirnya ikut mengantar Gea, Khalil dan Khafi ke sekolah dengan Kintan menggunakan mobil Tesla-nya, sementara Rani serta anak-anaknya menggunakan mobil Kintan untuk hadir di One Million lebih dulu. Sepanjang perjalanan, Iqbal tak henti-hentinya mengecup jemari Kintan, membuat anak-anak tak henti meledek kemesraan mereka. Kintan tersipu malu saat Khalil dan Gea bersiul-siul menggoda, tapi Iqbal cuek dan hanya mengedipkan mata pada Kintan yang semakin merona. "Ngomong-ngomong, kamu bukannya harus balik lagi ke Semarang pagi ini?" tanya Kintan pada Iqbal, saat tinggal mereka berdua di dalam mobil dan anak-anak sudah berada di sekolahnya masing-masing. Iqbal akan mengantarkan Kintan ke agensi One Million untuk bekerja. Pria itu menggeleng. "Aku sudah mengajukan cuti besar untuk persiapan pernikahan kita sekalian bulan madu, Sayang," sahutnya sambil tersenyum. "Kita menikah secepatnya, ya? Aku akan segera mengurus semuanya. Minggu depan paling lama kita harus sudah sah jadi
"Hah! Kamu membelanya, Kintan?" tanya Iqbal tak percaya. "Tadi di mobil kamu bertanya tentang bibirku yang berdarah, kan? Asal kamu tahu, DIA yang memukul wajahku semalam dan bukan karena aku terjatuh!" tukas Iqbal kesal melihat Kintan membela lelaki sialan itu. Kintan pun menjadi semakin bingung. Ia menoleh ke belakangnya untuk menatap Ibram yang sedang mengernyit sambil memegangi perutnya, lalu kembali lagi menatap Iqbal. "Jadi kalian... sudah saling kenal sebelumnya??" tukasnya. Iqbal pun kembali terdiam, sementara Ibram Mahesa tiba-tiba tertawa dengan keras. "Kintan Larasati, kamu benar-benar sudah dibohongi oleh tunanganmu itu! Dia bahkan sudah selingkuh sebelumnya, dan juga tidak mengatakan kalau semalam kami telah bertemu?" ejek Ibram yang sekarang berada di atas angin karena Kintan melindunginya. 'Selingkuh?' Kintan menatap Iqbal yang wajahnya sekarang benar-benar sudah merah padam menahan amarah. "Minggir, Kintan. Si brengsek itu harus dihajar habis-habisan agar tidak
"Itu sebabnya aku langsung menemuimu. Aku hanya ingin menghapus dan menggantinya dengan bibirmu yang selalu membuatku tergila-gila." Tanpa menunggu lagi, Iqbal langsung merangkum bibir Kintan dan melumatnya dengan keras. "Hanya bibir ini yang boleh menyentuhku," ucapnya lirih sambil menggosok-gosokkan bibirnya di bibir Kintan. "Maafkan aku, Kintan. Aku bukannya tidak ingin jujur denganmu. Aku hanya tidak mau membuatmu kesal dengan hal yang tidak penting." Kintan menggigit bibir Iqbal dengan keras, membuat lelaki itu kaget dan langsung menjauhkan bibirnya. "Rasain! Makanya, lain kali jangan nggak jujur!" sembur Kintan kesal. "Dan juga soal pertemuanmu semalam dengan Ibram. Kenapa sih kamu nggak bilang? Bahkan menurut Ibram, kamu juga melarangnya untuk mengatakan soal masa laluku!" sentak Kintan sambil berkacak pinggang. Iqbal menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Aduh, Kintan kalau sedang marah-marah begini bikin dia jadi salah tingkah. "Maaf, aku hanya takut kamu depresi
Saat Kintan telah sadar, ia melihat Ibram, Bibi Jo dan Paman Fardan yang masih setia menungguinya. Ia jadi sangat kikuk dan malu karena jatuh pingsan di depan mereka semua. "Maaf sudah membuat kalian khawatir," ucapnya sambil tersenyum malu. Saat ini Kintan sudah duduk dan bersandar di kepala ranjang. Ibram sedang menyuapinya bubur, yang meskipun berusaha ia tolak, namun lelaki keras kepala itu tetap saja memaksanya. Akhirnya Kintan pun mengalah dan membuka mulutnya pasrah saat Ibram menyodorkan sesendok penuh makanan itu. "Sayang, tidak perlu merasa tidak enak kepada kami. Sekarang kamu adalah bagian dari keluarga," timpal Bibi Jo sambil menggenggam tangan Kintan. Fardan mengangguk menyetujui. "Lula, bagaimana jika kamu tinggal di rumah ini saja? Tinggallah di rumah ini dengan anak-anakmu. Toh, rumah ini kosong karena aku dan bibimu tinggal di Amerika. Ibram juga sudah punya rumah sendiri. Bukankah itu ide yang sangat bagus? Jadi bibimu akan sangat senang jika pulang ke Indonesi
Kintan berlutut dan menangis tersedu-sedu di depan makam orang tuanya yang berbatu nisan besar dan mewah. Selain Ibram, ia juga ditemani oleh Paman Fardan dan Bibi Jovanka, orangtua Ibram yang baru saja datang dari Amerika untuk menemui Kintan. Bibi Jovanka juga berlutut dan memeluk tubuh Kintan erat dari arah sampingnya. Wanita berusia lima puluhan yang masih terlihat sangat cantik dan elegan itu bahkan tak kuasa melihat kesedihan Kintan di depan matanya, dan ikut menitikkan air mata. "Lula sayang, kuatlah nak! Ayah dan ibumu pasti sudah sangat bahagia sekarang karena putrinya telah datang," ucapnya lirih, sarat dengan emosi. "Terima kasih Lula, untuk tetap hidup dan kembali pada kami," bisiknya sambil mengecup lembut pipi Kintan yang basah oleh air mata. Kintan masih terisak, namun tangisnya sekarang sudah sedikit mereda. Ia menatap Jovanka yang tersenyum padanya. "Bibi Jo, aku tidak bisa mengingat ayah dan ibuku. Tolong ceritakan tentang mereka padaku. Aku ingin sekal
Ibram mencium Kintan dengan lembut, selembut kepak sayap kupu-kupu yang hinggap di bibirnya. Kintan tidak tahu bahwa sebenarnya Ibram setengah mati menahan hasratnya agar tidak memagut keras bibir ranum wanita itu dan menuntaskan gejolak yang ia pendam selama ini dengan tubuhnya.Ibram tahu ini salah. Tapi ia tidak sanggup menahannya lagi. Tubuhnya seakan berteriak ingin mencecap bibir Kintan. Ingin menghirup dalam-dalam aroma Kintan. Dan Ibram pun terkejut saat mengetahui bahwa wanita ini ternyata beraroma bunga liar yang tumbuh di sela-sela semak belukar. Kintan terlalu cantik dan membuatnya terbuai.Tiba-tiba Kintan pun tersadar setelah beberapa saat berada dalam bingung, lalu mendorong kuat bahu Ibram. Matanya membelalak, deru napasnya yang memburu seperti juga deru napas Ibram. Dengan tubuh dan bibir gemetar, mereka pun saling menatap dengan berjuta kata tak terucapkan dari sorotnya."Ja-jangan sentuh aku lagi," ucap Kintan dengan suara bergetar. "Kamu gila, Ibram. K-kamu ben
"Kamu memang layak untuk ditunggu, Lula," sahut Ibram. "Iqbal sungguh tolol jika mengira bisa mengganti dirimu dengan wanita lain," ketusnya."Hei. Jangan suka menggunjingkan orang di belakangnya," celetuk seseorang tiba-tiba.Kintan dan Ibram pun sontak sama-sama menoleh pada sumber suara barusan, dan mendapati Iqbal yang ternyata sudah berdiri beberapa meter dari mereka duduk.Untuk sejenak Kintan pun terpaku. Iqbal dengan sosoknya yang rupawan itu selalu berhasil membuat kacau kinerja jantungnya hingga tidak terkontrol. Hanya lelaki inilah satu-satunya yang membuat Kintan tak tahan ingin mengecup bibir pink pucatnya yang seksi, atau sekedar memeluk erat tubuhnya yang tinggi dan atletis itu. Kintan melirik Ibram di sampingnya dan mengeluh dalam hati. Kalau saja tidak ada Ibram saat ini, pasti Kintan sudah melakukannya.Seakan bisa membaca pikirannya, Iqbal tiba-tiba melangkah mendekati wanita itu dan membungkuk untuk mencium lembut bibirnya. "Hai, Sayang," ucapnya dengan senyum m
Kintan benar-benar bingung dan kaget menatap pria tampan yang kini sedang menggendongnya, bahkan ia sampai lupa dengan kakinya yang sedang sakit dan terkilir. Sedang apa Iqbal di sini? "Ssst... Bukankah itu Iqbal Bimasakti? CEO FlashJet yang baru saja mengumumkan identitasnya?" bisik pelan seseorang. "Apa yang dia lakukan di sini?" ucap yang lain. "Kenapa dia menggendong Kintan Larasati? Jangan-jangan mereka saling mengenal?" "Ehm, ternyata dia jauh lebih tampan daripada di televisi ya.." Suara-suara kasak kusuk yang terdengar di sekeliling mereka, membuat rona merah menjalar di wajah Kintan. Terlebih karena Iqbal menatapnya begitu intens dan tak melepas pandangannya dari wajah Kintan sedetik pun "Pak Iqbal? Anda kemari?" Iqbal dan Kintan menoleh pada suara ceria yang menegur Iqbal. Kintan kembali mendapatkan kejutan, karena yang barusan menyapa Iqbal adalah... Katya! Tanpa sadar, Kintan menelan ludah dan mencengkram bagian dada baju Iqbal. Seketika ia mengingat perkataan lela
Seharusnya Kintan menampar wajah tampan itu. Atau paling tidak, mendorong tubuh Iqbal dan segera pergi sejauh mungkin dari sini. Tapi yang malah dilakukan oleh tubuhnya adalah menerima bibir pink pucat itu yang bergerak dengan bebas untuk menyesap bibirnya. "Kintan bodoh!" rutuk hatinya, ketika lagi-lagi ia terbuai saat lidah Iqbal yang basah dan hangat itu berhasil menerobos masuk ke dalam mulutnya. Dan kedua tangan yang seharusnya bersikap tegas terhadap perbuatan lelaki itu, kini malah berada di kepala Iqbal, dengan jari Kintan yang terbenam di dalam rambut lebat lelaki itu. Terdengar suara erangan lirih penuh suka cita dari mulut Iqbal, saat jemari Kintan meremas lembut rambutnya, karena wanita itu semakin larut dalam permainan lidah mereka. Tanpa melepaskan ciuman mereka, Iqbal mengangkat pinggang Kintan dan memindahkan tubuh ramping itu dari kursi penumpang ke atas tubuhnya. Kintan sedikit kaget saat Iqbal mengangkat tubuhnya dengan sangat gampang, namun lelaki itu ta
Kini mata Kintan pun benar-benar terbelalak sempurna. "Kamu... ada di depan rumahku?" gumannya tak percaya. Kintan melirik jam di dinding ruang makan.Jam 01.30? Apa yang Iqbal lakukan di malam buta begini di depan rumahnya?"Keluarlah. Aku ada di dalam mobil."Kintan menggigit bibirnya karena bingung. Apakah dia harus keluar menemui Iqbal?"Kalau kamu tidak keluar juga, akan kusampaikan kepada Katya tentang Ibram yang menyukaimu," ancam Iqbal."Ck. Kamu tidak akan berani melakukannya," tukas Kintan dengan yakin."Benarkah? Asal kamu tahu kalau Katya Lovina dan aku telah saling mengenal. Bahkan aku pun memiliki nomor ponselnya," sahut Iqbal dengan santai."Aku mengenalnya, Kintan. Dan hanya masalah waktu saja hingga aku memberitahukan semua ini kepada Katya. Kecuali jika kamu keluar dan menemuiku sekarang," tukasnya ringan, seakan yang baru ia ucapkan itu bukanlah sebuah ancaman."Lalu apa maumu Iqbal? Untuk apa aku harus menemuimu?""Untuk menagih," sahut Iqbal cepat."Menagih?""999
Tunggu sebentar, sepertinya ada yang salah di sini. Hatinya terasa bergetar karena melihat tatapan teduh Arga yang ditujukan padanya??!! Rasanya sekarang Kintan ingin sekali membenturkan kepalanya kembali ke lantai, biar sekalian aja benjolnya nambah satu lagi! Kintan pun memaki-maki otaknya dalam hati. Jangan-jangan karena amnesia yang nggak sembuh-sembuh, membuat otaknya mulai agak geser! Huufft... tarik napas, Kintan. Nggak perlu terlalu dipikirkan. Nggak ada perasaan lebih dari seorang tetangga biasa dan rekan kerja di One Million yang nggak perlu kamu rasakan pada Arga. Nggak ada! Uhm... Tapi... kenapa Arga menatapnya seperti itu? Entah kenapa Kintan merasa sekilas tatapan Arga mirip sekali dengan Iqbal, meskipun warna mata mereka sangat jauh berbeda. Arga berwarna hitam seperti Kintan, sedangkan Iqbal berwarna coklat terang yang cemerlang. Tapi Iqbal juga menatapnya seperti Arga, teduh dan... mendebarkan. Haaah... kayaknya mulai Kintan berhalusinasi. Apa itu akibat dari
Jam 7 malam.Kepala Kintan pusing dan penat seharian ini. Benjol yang makin terasa berdenyut dan juga kekhawatirannya pada masalah agensi One Million milik Ibram, membuat wanita itu mencari-cari obat migrain di dalam laci obat.Setelah menenggak obat putih itu, Kintan pun merebahkan kepalanya di sandaran sofa. Pikirannya melayang pada perkataan Ibram di kantor tadi.Hufff... bagaimana mungkin Iqbal setega itu meminta Katya, istri sepupunya itu untuk menjadi brand ambassador FlashJet sebagai ganti klaim kepemilikannya atas One Million?Apa sebenarnya yang ia mau dari Katya?Uh, Kintan akan benar-benar marah padanya jika lelaki itu ternyata hanya berniat untuk menyakiti istri sepupunya itu!Awas saja kamu, Iqbal!Tiba-tiba Kintan mendengar suara pintu pagarnya dibuka dari luar. Seketika ia pun mengangkat kepalanya yang sedang rebahan. Siapa yang masuk?Arga muncul di depan pintu rumah Kintan yang terbuka dengan senyum manis berlesung pipinya. "Hai, Kintan."Kintan berdiri dan membalas
Kintan langsung terbangun saat ia mendengar suara dering ponsel. Dengan mata masih mengantuk, ia berusaha meraih ponselnya dari atas nakas. Eh? Khalil anak sulungnya menelepon? Baru saja Kintan mau menjawabnya, tapi ternyata keburu putus. 'Uh. Memangnya jam berapa sih sekarang?'Dan matanya pun melotot saat melihat jam bulat di dinding kamarnya yang sudah menunjukkan pukul 3 sore!! Waktunya anak-anaknya pulang sekolah. Gawat!!Kintan pun menjerit frustasi dan buru-buru bangun dari tempat tidurnya. Namun dasar ceroboh, karena terlalu panik, akhirnya kakinya malah terbelit selimut tebal dan membuatnya hilang keseimbangan, lalu terjatuh berdebam di lantai yang keras."ADDUUUUHH!!" jerit Kintan kesakitan sambil mengusap-usap keningnya yang sempat terbentur. Sialan! Bakal benjol deh ini!Dengan sedikit pusing, ia berdiri dan menatap wajahnya di cermin besar. 'Ampun... rambut awut-awutan, muka kusut, jidat benjol... Nggak ada manis-manisnya! Ah, sudahlah...'Kintan pun buru-buru mengambi
Kintan sudah berada di dalam mobil milik Iqbal menuju pulang ke rumahnya. Akhirnya mobil Kintan yang mengeluarkan asap itu diurus dan dijemput oleh salah satu karyawan Iqbal yang akan membawanya ke bengkel. Keheningan mewarnai perjalanan mereka di dalam mobil, mereka masih sama-sama terdiam seakan bingung mau membicarakan apa. "Kamu... baik-baik saja, kan? Dua minggu ini?" akhirnya Iqbal pun membuka suara. Kintan pun memaki Iqbal dalam hati. 'Pertanyaan yang ngeselin! Ngapain dia nanya begitu, cobaa?? Habis nyakitin, ninggalin lagi!! Gimana mau baik-baik saja, haa??!!' SARAAPP!!! Berlawanan dengan isi hatinya yang rasanya kepengen nyakar-nyakar wajah ganteng Iqbal, Kintan hanya memalingkan wajahnya ke jendela samping dan mengangguk pelan. Iqbal pun mendesah dalam hati. 'Harusnya tidak seperti ini. Harusnya aku sudah tidak boleh menemui Kintan lagi!! Dasar Iqbal blo'on.' "Kenapa kamu mengikuti aku?" tanya Kintan tiba-tiba, membuat Iqbal gelagapan dengan pertanyaan tembak langsun
"Kamu baik-baik saja?" Kintan tersenyum pada Arga yang menemaninya menuju parkiran mobil. Pasti Arga bertanya seperti itu karena melihat wajahnya yang kusut tanpa gairah. "Aku baik-baik saja, Arga." "Tinggalkan saja mobilmu di sini dan naiklah ke mobilku, Kintan. Nanti akan kusuruh supir kantor untuk mengambil mobilmu." Kintan menggeleng. "Tidak, terima kasih. Lagipula tujuanku bukan ke kantor, tapi pulang ke rumah." "Kamu yakin mau menyetir sendiri?" tanya Arga lagi, memastikan. "Iya, Arga. Aku yakin." Arga menatap Kintan cukup lama, membuat wanita itu jengah. "Baiklah, kalau begitu naiklah ke mobilmu, aku akan mengikutimu dari belakang hingga sampai ke rumah." Kintan ingin menolaknya, tapi akhirnya ia hanya membiarkan saja Arga mengantarnya. Dering suara ponsel Arga mengagetkan mereka berdua. Segera lelaki itu mengangkatnya, dan terlihat ada yang berubah dari ekspresinya. "Kintan, maaf aku tidak bisa mengantarmu," ucapnya sambil mendesah. "Prissy menelepon dan menga
āTetaplah di sini." Kintan menatap tangan kokoh yang memegang lengannya dengan erat, dan ia benar-benar bingung harus bersikap bagaimana. Apa dia tetap di sini saja mengikuti kemauan Iqbal? Ataukah ia hempaskan saja tangan itu dan berlalu pergi dengan cuek seakan tidak terjadi apa-apa? Meskipun... saat ini Kintan bisa merasakan degup jantungnya yang berdetak tak normal karena terlalu kencang... "Kintan, ayo." Arga yang tadi berjalan di depan Kintan, kini berbalik arah dan memanggilnya. Lelaki itu menatap tangan Iqbal yang memegangi tangan Kintan, dan ia merasa ingin sekali melepaskan tautan itu, serta membawa Kintan pergi jauh dari sini. Arga bahkan tidak peduli jika Iqbal akan menghajarnya habis-habisan seperti waktu mereka berada di Lombok, asalkan Kintan memang benar-benar melepaskan tangan lelaki itu. Namun pertanyaannya adalah, apakah Kintan benar-benar ingin melepasnya? Untuk beberapa saat yang terasa begitu lama, Kintan pun akhirnya mendesah. "Lepaskan tanganku, Iqbal,