Sepeninggal Ibram yang terburu-buru untuk mencari keberadaan istrinya, Iqbal menatap lekat Kintan yang bertelanjang kaki sambil menenteng heelsnya, lalu tatapannya pun jatuh pada kaki Kintan yang kotor dan penuh dengan goresan luka.Sambil mendesah pelan, Iqbal meraih dan menggendong tubuh kekasihnya itu menuju sofa, lalu mendudukkannya dengan perlahan di sana. Kemudian ia berlutut di depan Kintan sambil menatap wajah cantik yang terlihat sangat cemas itu.Iqbal tersenyum. "Jangan takut, Katya akan baik-baik saja," ucapnya meneduhkan. "Aku obati kakimu dulu, ya?"Kintan masih diam saat Iqbal mengobati luka-luka di kakinya. Pikirannya jauh melayang, menerka-nerka apa yang terjadi dengan Katya dan apa yang menyebabkan wanita itu tiba-tiba pergi begitu saja dengan wajah yang begitu sedih dan terluka."Iqbal...""Hmm?""Apa menurutmu Katya sudah mengetahui soal perasaan Ibram padaku?" tanya Kintan dengan suara parau dan tatapan kosong. "Apa Sanjaka memberikan bukti soal itu pada Katya?"I
Katya menutup wajahnya dengan kedua tangan dan terisak. Ia merasa sangat bersalah sekarang. Seharusnya ia tidak meninggalkan Ibram ke Milan selama itu. Seharusnya ia bisa terus berada di sisi suaminya yang seorang survivor amnesia dan sangat membutuhkan dukungannya! Dan... tidak seharusnya ia menyalahkan Lula. Hati kecil Katya juga mengatakan bahwa Lula adalah wanita baik-baik, yang tidak mungkin menggoda suami orang lain. Namun kecemburuan dan sakit hati telah membutakan matanya. "Tapi kenapa mereka menutupinya dariku?!" tuntut Katya dengan mata sembab. "Kenapa mereka tidak berusaha untuk jujur dan membuatku percaya bahwa perasaan Ibram tidak nyata? Kenapa mereka memilih jalan yang malah akan menyakitiku??" Iqbal menggeleng-gelengkan kepalanya sambil mengedikkan bahu. "Jangan tanya padaku. Tanyakan saja pada Ibram dan Kintan. Pola pikir mereka itu juga tidak masuk dalam otakku," sahutnya santai. "Cih. Dasar Keluarga Mahesa!" umpat Iqbal, yang sebenarnya ditujukan pada Ibr
Iqbal memarkirkan mobilnya di depan sebuah rumah dua lantai bercat kuning. Sesuai arahan GPS, ini adalah rumah kediaman Sanjaka Arsenio yang berlokasi di Bali.Dan Iqbal pun semakin yakin akan hal itu saat melihat mobil Ibram yang sedang parkir di sana, serta Toni ajudan Ibram yang duduk di kap mobil sambil mengawasi rumah itu.Ada dua mobil lain juga di situ, satu berisi dua orang bodyguard Ibram, dan satu lagi berisi dua orang bodyguard milik Iqbal. Mereka semua terlihat waspada.Toni dan bodyguard Iqbal terlihat menundukkan kepala dengan hormat saat Iqbal berjalan melewati mereka, sementara bodyguard Ibram lainnya hanya diam namun menatap Iqbal waspada."Kamu tidak ikut masuk ke dalam, Toni?" tanya Iqbal heran. Biasanya ajudan setia Ibram ini selalu mengekori Tuannya kemana pun."Tuan Ibram yang menyuruhku menunggu di sini, Pak Iqbal," sahut Toni datar.Iqbal mengangguk. "Toni, aku memang bukan bosmu, tapi bolehkah aku minta tolong? Carilah Sanjaka dan bawa dia ke sini," ucapnya sa
Ibram hendak menerjang dan memukuli Sanjaka kembali, namun Iqbal dan Toni menahan tubuhnya. "Lepaskan aku!" teriak Ibram keras. "Ibram. Duduklah!" bentak Iqbal kesal. Menyusahkan sekali lelaki ini. Dan dengan dibantu Toni serta beberapa orang bodyguard Iqbal, Ibram pun berhasil duduk di sofa single meskipun dipaksa dengan wajah tertekuk kesal. "Dengar, Sanjaka. Kita sudah sama-sama tahu keburukan masing-masing, kan? Bagaimana jika aku mengajukan penawaran padamu?" Iqbal berkata dengan nada datar dan sorot mata dingin. Sanjaka pun meludah yang bercampur dengan darah. "Aku tidak sudi! Bunuh saja aku, brengsek!" "KERAS KEPALA," sahut Iqbal pelan sambil tersenyum dingin. Ia meraih ponsel dan mengutak-atiknya, lalu menunjukkannya pada Sanjaka. "Lihat ini? Videomu yang sedang bermesraan dengan seorang wanita yang bukan istrimu. Bagaimana jika kukirimkan ke istrimu? Oooh... mungkin lebih baik ke mertuamu saja! Agar mereka memecatmu juga sebagai Direksi di perusahaan keluarga?" Sanjaka
Kintan terbangun dari tidur lelapnya saat merasa ada sesuatu yang menggelitik bagian dadanya. "Uh, Iqbal?" Kintan membuka mata dan melihat seraut wajah tampan yang sedang sibuk menikmati dirinya. "Eh, kamu benar-benar Iqbal, kan?" Kintan berusaha mengenalinya sambil membuka mata lebar-lebar. Iqbal mengangkat wajahnya dari dada Kintan dan berdecak kesal. "Lain kali jangan mabuk lagi! Kamu mengira semua lelaki adalah aku, dan itu bahaya!!" Kintan langsung memejamkan matanya saat mendengar suara Iqbal yang keras. "Aduuh... pusing. Ngomongnya biasa aja dong, jangan kenceng-kenceng, ah!" protes Kintan sambil mengurut pelipisnya. Hantaman hangover membuat urat-urat di kepalanya terasa menegang. "Huh. Siapa juga yang mau ngomong?" tukas Iqbal sambil menyeringai ala devil. Ia menggigit pelan puncak pink yang menggemaskan milik Kintan, membuat wanita itu terpekik lirih. Kintan kembali membuka matanya karena baru menyadari sesuatu. "T-tunggu. Kenapa aku tidak memakai baju??" sergahnya s
Kintan rasanya ingin menangis karena bahagia saat melihat semua orang yang dia cintai telah hadir beberapa jam sebelum pernikahannya dengan Iqbal yang super kilat ini. Uhm, koreksi. Sebenarnya nggak kilat juga, sih. Karena Iqbal rupanya diam-diam sudah menyiapkan segala sesuatunya tanpa sepengetahuan Kintan. Mungkin malah Kintan satu-satunya orang yang tidak tahu, karena bagaimana mungkin para tamunya bisa sesiap itu hadir di pernikahannya? Ada Khalil, Khafi, Gea, Rani, Yessi dan Bimo, juga orang tua angkat Kintan serta Paman Fardan dan Bibi Jo. Orang tua Iqbal juga datang, dan beberapa sepupu dekatnya. Fiona, teman Kintan yang mengurus galerinya di Singapura juga hadir. Punya calon suami tukang nyewain pesawat ada untungnya juga, karena semua yang hadir bisa naik dalam satu pesawat dari Jakarta ke Bali. Haha. Tukang sewain pesawat. Iqbal tertawa lepas saat Kintan menyebut pekerjaan Iqbal dengan istilah itu. Pernikahan mereka sangat manis dan sederhana, sesuai keinginan Ki
Kintan tak mampu berkata-kata, hanya bisa terpaku dan berkaca-kaca menatap kilasan memori yang terbenam jauh di dalam benaknya selama ini, dan kembali muncul ke permukaan baru-baru ini. "Iqbal, kamu masih menyimpan mobil ini?" ucap Kintan tidak percaya. "Jadi kamu tidak menjualnya?" ia pun menatap Iqbal dengan penuh rasa haru. Iqbal tersenyum dan memeluk tubuh istrinya dari belakang. "Tidak. Aku tidak pernah berkeinginan menjual mobil pertama yang kubeli dengan tabungan sendiri. Mobil ini masih tersimpan rapi di garasi rumah Papa," terangnya. "Begitu kemarin kamu cerita soal kisah awal pertemuan kita, aku jadi teringat lagi pada mobil ini. Tempat aku pertama kali berdebar karena bertemu dengan bidadari cantik yang berlinang air mata," godanya. "Mau tahu rahasia?" bisik Iqbal. "Aku sebenarnya sudah jatuh hati saat pertama kali melihatmu di dalam sana, Sayang. Tapi terlalu bodoh untuk menyadarinya." Kintan tersenyum dan memutar badannya menghadap suaminya yang tampan. "Yang ben
Sinopsis: Sejak dulu, Katya Lovina bercita-cita menjadi seorang model terkenal. Namun di saat ia baru saja sedang merintis karir, CEO di agensinya yang tampan dan karismatik bernama Ibram Mahesa malah menjebaknya, dan menjadikan Katya sebagai pengasuh untuk keponakannya yang yatim piatu bernama Adelia. Ibram juga berjanji akan menjadikan Katya supermodel terkenal jika ia menjadi nanny bagi Adel selama setahun. Dan Katya tidak dapat menolak, karena Ibram mengancam akan menghancurkan karir modelling gadis itu dalam sekejap mata! Sebenarnya tidak masalah bagi Katya, karena dia memang suka pada anak kecil... ... tapi sangat bermasalah bagi hatinya, karena gadis itu sulit menolak sosok Ibram yang selalu membuatnya berdebar. Judul asli : My Pretty Nanny Tayang mulai besok ya, karena ini novel pertama yang aku tulis, jadi ada beberapa part yang perlu di edit lagi 🫰 ***Sneek peek : Katya menelan ludahnya serta mendehem gugup. Bagaimana ia tidak gugup jika ditatap oleh sepasang bol
Meskipun tubuh Katya terasa lemah dalam gendongan Ibram, jemarinya tetap melingkari leher lelaki itu. Seolah memberi isyarat bahwa ia belum ingin berpisah. Hangat tubuh Ibram yang memabukkan, sensasi panas-dingin yang menjalari kulitnya, serta kerasnya otot maskulin yang menyatu dengan kelembutan tubuhnya menciptakan gelombang gairah yang tak tertahankan.Ciuman yang baru saja mereka bagi masih membekas, membuat logikanya berteriak untuk berhenti, tetapi tubuhnya menuntut sebaliknya.Ibram membawa Katya dalam gendongan ala pengantin, langkahnya mantap menapaki tangga menuju lantai dua. Mereka kini berada di ambang pintu sebuah kamar yang hanya beberapa meter dari kamar Adel.“Kamar siapa ini?” Suara Katya serak, berbisik di antara napas yang memburu. Matanya yang berkabut berusaha tetap terjaga dalam pusaran pikirannya.“Kamarku.” Suara Ibram terdengar rendah seperti gumanan. Bibirnya menyentuh telinga Katya, dan napas panasnya yang menyapu lembut membuat gadis itu gemetar.“Tapi… b
“Adel? Ini Paman.” Gadis kecil dengan rambut hitam legam menoleh dari mejanya. Mata bulatnya langsung berbinar ketika melihat sosok yang berdiri di pintu. “Kakak!” serunya gembira, seraya berlari kecil dan langsung menghambur ke pelukan Katya. Katya tertawa sambil memeluk tubuh mungil itu erat-erat, merasa seolah seluruh kekhawatiran dunia memudar hanya dengan satu pelukan hangat dan tulus dari seorang anak kecil. Adel lalu mencium kedua pipinya, membuat Katya semakin tersentuh. Ibram memiringkan kepalanya, seiring dengan senyum kecil yang kini terukir di wajahnya. Ia selalu terheran-heran dengan reaksi gembira keponakannya bila bertemu Katya. “Hei, Paman juga ada di sini lho. Mana pelukan buat Paman?” sindir Ibram yang pura-pura kesal. "Oh iya, lupa!" Adel terkikik sebelum beralih memeluk Ibram dengan penuh semangat, mencium pipinya dengan suara kecupan keras yang membuat Ibram tertawa. “Kalau sampai lupa lagi, Paman kelitikin sampai besok pagi!” ancamnya sambil
"Apa??!! Ke rumah Pak Ibram? Tapi... bukannya Bapak yang bilang kalau saya baru mulai bekerja besok?" Katya membelalakkan mata, suara tingginya memantul di ruang mobil yang sempit . Dia bahkan nyaris menjatuhkan tas kecil yang diletakkannya di pangkuan. "Adel ingin kamu menemaninya tidur malam ini," jawab Ibram tenang, dengan kedua tangannya yang masih di kemudi. "Setelah dia terlelap, aku akan mengantarmu pulang." Katya menggigit bibirnya. Jawaban Ibram itu singkat tapi penuh perintah. Tidak ada ruang untuk menolak. Tapi... kenapa kalau Adel yang meminta dirinya, ia seolah kehilangan kekuatan untuk berkata tidak? Mungkin karena anak itu. Ya, anak itu. Ia selalu merasa kasihan pada Adel. Katya menghela napas dan mengalihkan tatapan ke luar jendela, membiarkan percakapan ini akhirnya menguap begitu saja. Beberapa menit kemudian, mereka telah sampai di depan sebuah gerbang pagar tinggi yang begitu besar dan panjang, seolah menghalangi pandangan ke segala arah. Dari
Sore itu, Katya mengunjungi Sienna di rumah sakit. Ia berusaha keras mengesampingkan insiden ciuman tak terduga yang terjadi sebelumnya. Bukan saatnya memikirkan hal itu, sekarang yang terpenting adalah kesehatan adiknya. Tapi… pikirannya terus melayang kembali ke sana, membuat kepalanya pening. "Aku dan Bibir Murahanku," sebuah novel karya Katya Lovina. Katya mendengus sebal. "Hebat, bisa-bisa jadi best seller tuh!" gumannya dengan nada sarkastik. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Namun pikirannya terus melantur ke arah yang tak menentu. Semakin lama, bayangan Ibram dan David justru semakin memenuhi kepalanya, mengusik dengan caranya masing-masing. Dengan gelisah, Katya mempercepat proses berdandannya, berharap bisa segera mengenyahkan kedua pria itu dari pikirannya, setidaknya untuk sisa hari ini. *** Katya membuka pintu kamar rumah sakit tanpa mengetuk, membuat Sienna terlonjak kaget. "Ih, kukira dokter Daniel!" seru Sienna dengan nada s
David menarik napas panjang, berusaha menenangkan pikirannya yang penuh amarah. Tatapannya lekat tertuju pada Katya yang berdiri dengan wajah gugup, seolah pertanyaan barusan adalah tamparan yang tak ia duga. "Katya," suara David terdengar lebih lembut, namun sorot matanya tetap tajam, "apa tadi Ibram menciummu?" Gadis itu terdiam sejenak, darahnya berdesir cepat, seperti ombak yang menghantam tebing. Jantungnya berdegup tak keruan, mencoba merangkai jawaban tanpa terlihat goyah. "Pak David, kenapa bertanya seperti itu?" katanya, suaranya pelan namun penuh rasa waspada. David mendongak, kedua matanya terpejam sejenak sebelum tawa pendek keluar dari bibirnya. Bukan tawa bahagia, tapi itu tawa getir yang membawa luka tersembunyi. "Tentu saja dia menciummu," gumannya lebih kepada dirinya sendiri, namun cukup keras untuk didengar Katya. “Apa?” Katya melotot, mencoba menyangkal. "Tidak, itu tidak seperti yang Pak David pikirkan!" David segera memotongnya dengan nada rendah namun m
Ibram menangkap kedua tangan Katya yang hendak mendorong dada bidangnya agar menjauh. Tanpa melepaskan ciumannya, kedua tangan Katya ditariknya ke atas, ke puncak kepala gadis itu. Uh, Katya semakin terlihat sangat seksi dengan kedua lengan terangkat seperti itu. Tubuh Ibram pun semakin mendesak dan menekan tubuh Katya, membuat gadis itu bisa merasakan sesuatu yang keras menekannya di bawah sana. Meski belum sepenuhnya tersadar, gadis itu berusaha menyentak tangannya yang telah dikunci Ibram di kepalanya, namun sia-sia karena lelaki itu menggenggamnya dengan begitu erat. Karena terpojok dan sulit bergerak, yang bisa ia lakukan hanya berupaya untuk menggeleng-gelengkan kepala ke kiri dan kanan dengan tujuan melepaskan diri dari serbuan bibir lelaki itu yang rupanya telah membuat otaknya ikut korslet. Ibram pun akhirnya melepaskan bibirnya, membuat Katya sedikit bernapas lega. Namun itu rupanya hanya sesaat. Di saat Katya mengira akhirnya akal sehat telah dimiliki oleh lelak
Sudah tahu kan, kalau cewek yang sedang PMS itu tingkat kebaperannya bertambah menjadi 100 kali lipat?Itulah yang dirasakan Katya sekarang. Sekarang Katya sedang menahan dongkol karena ucapan Pak David tentang perasaannya pada dirinya, yang malah membuat gadis itu ini jadi ingin melahap makanan sebanyak-banyaknya.Tiba-tiba Katya merasakan sepasang tangan kecil dan lembut menutup matanya dari arah belakangnya. "Coba tebak, siapa aku?" suara imut dan cempreng khas anak-anak itu membuat Katya tersenyum. "Siapa ya?? Ooh iya... pasti Princess Jasmine!" tebak Katya berlagak sok yakin. Ia sengaja menyebut salah satu tokoh kartun itu karena pernah melihat tulisan karakternya di sepatu Adel.Suara cekikikan ceria pun terdengar. "Masa Jasmine sih! Itu kan cuma film kartun," protesnya. Adel melepaskan kedua tangannya dari mata Katya tapi tetap tidak beranjak dari belakang tubuh gadis itu. Katya memegang kedua tangan Adel dan mendongak menatap mata anak kecil itu yang berada di atasnya.An
Gadis itu berbicara dengan David akrab sekali di lobby, dan Ibram pun mengerutkan dahinya. Ia heran melihat senyum dan tawa yang keluar dari Katya yang terlihat tulus dan santai. Apa jangan-jangan mereka telah saling mengenal? Brissa menggamit lengan Ibram. "Kita mau makan di mana?" tanyanya lembut. "Hmm?" Ibram masih menatap lekat sosok Katya dan David. "Bagaimana kalau di hotel Grand Heaven?" Itu adalah sebuah Hotel bintang lima yang sangat terkenal. "Steak-nya enak banget di situ. Ok!" sahut Brissa antusias. Sebenarnya ia tidak mempermasalahkan mau makan di mana saja, asalkan dengan Ibram. "Kita ajak David juga," cetus Ibram kemudian, membuat Brissa terdiam kecewa. Gagal sudah makan siang berdua dengan Ibram! "Ibram, kamu mau makan siang di luar juga?" sahut David heran ketika Ibram menyapanya di lobby. Tidak biasanya lelaki ini mau makan siang di luar. Biasanya Ibram makan di ruangannya, karena dia memang terkenal workaholic. "Ya, Adel mengajak makan di Grand Heaven. A
"Aku masih berpikir apakah akan mempertahankan atau melepasmu dari One Million." Ibram pun berucap dengan tiba-tiba dan membuat Katya terkejut. What? Dia masih dendam rupanya! Wajah Katya pun mulai pucat. Waduh, sepertinya sekarang ia harus mulai memohon agar lelaki ini tidak membatalkan kontraknya. "Pak Ibram, begini..." "Baik. Kamu akan tetap mendapatkan kontrak di sini, tapi dengan satu syarat : jadilah pengasuh untuk Adelia, keponakanku," cetus Ibram tegas. Dan saat ini juga, lelaki itu menatap dalam dan tajam pada Katya, menunggu jawaban gadis itu. Katya menelan ludahnya dan mendehem dengan gugup. "Maaf, Pak Ibram. Tapi saya rasa... saya tidak bisa melakukan hal seperti itu." Serta-merta Ibram pun mengangkat kedua alisnya yang lebat dan hitam. "Kenapa tidak? Aku bahkan akan menggajimu tiga puluh lima juta sebulan! Dan tugasmu hanya menemani Adelia saja. Pekerjaan yang begitu ringan dengan bayaran begitu besar," ucapnya mengimi-imingi. "Dan kamu pun bisa tetap menj