Fariz, Ica dan Caca sudah sampai di lobi. Para wartawan masih mengikuti, tepat di depan meja resepsionis Ica memutar tubuh kebelakang, lalu berdiri dengan angkuhnya sambil berkacak pinggang.
"Dengar baik-baik! Nama saya Aisyah Khairunisa, Sarjana Hukum. Menurut UU ITE nomer 19 Tahun 2016 yang berbunyi
_Kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan. Penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan orang yang bersangkutan._"
Ica menjeda ucapannya, melihat ke sekeliling para wartawan yang mulai ogah-ogahan untuk mengambil foto Ica.
"Jadi, maunya Mba Aisyah, gimana?" tanya seorang wartawan berbaju kotak-kotak. Sepertinya dia paham arah tujuan dari orasi Ica.
"Yang ingin mewawancarai saya harus bayar. Satu pertanyaan seratus ribu." Ica menantang dengan menaikan sedikit dagunya.
"Huh! U
Tiga hari setelah pulang dari Bali, Fariz masih memikirkan kata-kata yang Ica bisikan ketika di Pasar Sukowati. Melihat gelagat Ica yang sudah terbiasa dengan dirinya tanpa mengalami serangan cataplexy, Fariz pun memutuskan bahwa nanti malam dia akan mencobanya. Mencoba mewujudkan keinginan Ica, dan juga impian dia.Suster Amel datang tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Dia kaget melihat Fariz yang tengah tersenyum sambil jingkrak-jingkrak menyebutkan sepotong kalimat."Kita akan belah duren, kita akan belah duren. Oh yeah!" ucap Fariz sambil lompat-lompat berjoget ria kegirangan.Posisinya yang sedang berdiri membelakangi pintu tentu saja tidak menyadari kedatangan Amel, hingga perawat cantik itu memanggilnya, baru Fariz menghentikan aksinya.Merah, wajah Fariz menahan malu ketika Amel memanggilnya. Sedangkan suster kepercayaan nya itu pun ikutan memerah wajahnya karena bersusah
Ica terkejut melihat Fariz ada di depan pintu. Begitu pun dengan Fariz, terpaku menatap Ica tanpa berkedip. Beruntung suara bel pintu menyelamatkan Ica dari adegan canggung tersebut. Fariz yang sudah berjalan tanpa sadar mendekati Ica, terpaksa menghentikan aksinya membelai pundak Ica yang terbuka dengan punggung tangannya. Ica sempet menutup mata, menikmati sentuhaan Fariz, tetapi bunyi bel yang berkali-kali akhirnya menyadarkan dua orang yang sedang terlena tersebut."Ada tamu, tuh, Om," ucap Ica membuka matanya."Hadehh!" Fariz terlihat menahan kesal."Kok, hadeh?" Ica tersenyum menggoda, mendengar gerutu Fariz."Pake nanya? Apa kita lanjutkan saja, ya. Biarin aja tamunya menunggu." Fariz langsung menarik pinggan Ica ke dalam pelukannya.Ica tertawa, meronta kegelian karena mendapat kecupan bertubi-tubi di lehernya.Tignong! Tingnong! Tingnong! Tingn
"Kamu gimana, sih, Ca? Masa begituan diceritain ke Caca," bisik Faris, kesal."I-Ica enggak bilang apa-apa, kok, ke Caca." Ica membela diri dengan suara yang tak kalah pelan."Pah, emang kalau Caca di rumah, Mama sama Papah enggak bisa bikin dedek bayi, ya?"Ica melongo mendengar pertanyaan Caca, sementara Fariz berusaha menaha kesal karena tak tahu harus menjawab apa atas pertanyaan putri kecilnya."Caca, tau dari mana kalau saat Caca nginep, Papa sama Mama Ica buat dedek bayi?" tanya Fariz, mengintrogasi dengan suara selembut mungkin."Dari Mba Wati. Tadi Caca denger Mba Wati nanya ke Mama Ica, gini, Jadi Mba Ica gagal bikin adik buat Caca, dong?"_Duh, mati aku._ batin Ica, pasrah mendapat tatapan tajam dari Fariz."Pah
Sepanjang perjalanan menuju sekolah Caca, Ica berusaha keras untuk tidak menangis. Ica paling nggak suka di didiemin sama orang, apalagi sama suami sendiri. Ia lebih suka melihat orang marah kepadanya daripada mendiamkannya. Jika memang Ica bersalah maka ia akan berusaha untuk memperbaikinya, begitulah pola pikir Ica.Selepas mengantar Caca ke sekolah, Ica memilih untuk pulang ke rumah dengan angkot. Reno yang tau akan hal itu mencoba membujuk Ica untuk mau diantarnya kembali sampai rumah."Enggak usah, Bang. Aku pulang sendiri aja."Kening Reno berkerut mendengar kata 'Aku' dipakai oleh Ica. Pria yang sudah menjadi sahabat Ica sejak kecil itu sudah sangat paham bila sahabatnya menggunakan kata itu berarti sedang banyak masalah."Kamu kenapa, Ca? Lagi marahan ya sama Om Fariz?""Nggak.""Terus, kenapa ngomongnya pakai _aku_?""Pengen
Tak ada tanda-tanda Ica akan mengalami serangan cataplexy ketika Fariz meletakkan tubuhnya di pembaringan. Gadis bermata jeli itu memejamkan matanya, saat dengan perlahan Fariz melepaskan kancing bajunya satu persatu. Sepertinya, apa yang dikatakan oleh Dokter Lulu, benar adanya. Bahwa Ica sudah siap menjadi istri sepenuhnya karena ia sudah terbiasa dengan Fariz.Fariz sudah bertekad, bila Ica menunjukan gejala cataplexy dia akan menghentikan cumbuan yang sedang dilakukan kepada istri belianya. Sore itu, mereka sukses merengkuh nikmat rasa cinta dalam peraduan, hingga di detik terakhir ketika keduanya sudah merasa di puncak kenikmatan dan siap melepaskan semua hasrat yang menggelora. Ica mulai menunjukan serangan cataplexy-nya. Fariz pun tak menunda lagi, ia langsung melepas semua kenikmatan yang sudah memuncak.Bersamaan dengan helaan napas Fariz yang berat, Ica sukses terkulai dengan hidung yang berdarah."Kamu nggak p
Fariz menceritakan semua perubahan sikap Ica semalam kepada Dokter Lulu. Senior berusia lima puluh tahun itu sesekali mengerutkan dahinya saat mendengar keanehan perubahan sikap pada Ica."Kamu yakin Ica mengalami serangan cataplexy saat kalian di titik klimaks?"Fariz mengangguk. Sebenarnya ia agak sedikit risih menceritakan detail di bagian tersebut, tapi mau bagaimana lagi. Semua harus diceritakan agar seniornya itu bisa menganalisa dengan akurat."Saat mencumbunya tak ada darah yang menetes dari hidung istrimu?"Fariz menggeleng. "Sesudah klimaks baru Ica menujukan gejala cataplexy, itu pun hanya mimisan. Otot wajah dan lehernya tidak terkulai lemas seperti biasanya."Dokter Lulu mengangguk sambil berpikir keras, apakah Ica menahannya sehingga tak ada serangan cataplexy itu."Kita harus melakukan test ulang, Riz, kalau ingin mengetahui amnesia Lakunar nya kembali
Satu jam sudah berlalu sejak Ica pergi bersama Yuda. Awalnya Fariz masih merasa Ica akan balik ke rumah selepas ba'da isya. Namun kekahwatiran mulai meraja ketika Caca berulang kali menanyakan, kenapa Mama Ica belum pulang? Fariz mulai menghubungi ponsel Ica tetapi ternyata Ica tak membawa ponselnya. Fariz pun memeriksa nomor kontak Ica, berharap bisa menemukan petunjuk di sana. Nihil, Ica tak begitu bayak memiliki daftar kontak dalam ponselnya, yang tertera di sana hanya nomer ibu-ibu komplek, Mba Wati, Reno, Caca dan dirinya. Fariz baru tersadar bawah Ica tak memiliki teman._Tunggu dulu, seharusnya ada nama Yuda dalam daftar kontaknya_ pikiran itu muncul begitu saja di otak Fariz. Bergegas pria senja itu mengetik nama Yuda di kolom pencarian, ketemu. Fariz pun segera menghubngi nomer tersebut.Tu...Tut! Tu... Tut! Suara dering panjang tanpa jeda yang hanya dapat Fariz dengar. Sial apakah ponsel pemuda itu mati? Kenapa tak diangkatny
Setengah berlari, Fariz menyusuri garis berwarna merah yang ada di lantai. Langkahnya terhenti di depan brankar yang sedang di dorong oleh perawat untuk dipindahkan ke ruang perawatan."Ica!" Fariz berteriak mengikuti para petugas tersebut. Angga, dokter residen yang menyadari kehadiran Fariz pun mencegahnya untuk mengikuti para perawat."Dok, sebaiknya temui Prof Lulu. Beliau menunggu dokter di sana.""Tapi istri saya?""Istri dokter baik-baik saja, tadi Prof Lulu menyuruh Anda lekas menemuinya sebelum bertemu dengan istri Anda."Fariz mengangguk. Toh, tadi Ica sudah terlihat sadar ketika para perawat tersebut membawanya, Ica pun sempat tersenyum padanya. Berarti kondisinya memang sudah baik.Fariz mengetuk pintu ruangan Dokter Lulu dengan dua kali ketukan."Masuk." Suara dari dalam memerintahkan dirinya untuk masuk.&