Fariz meluruskan tubuh Ica serta kepala yang dibuat sejajar dengan bahu lalu mengangkat ke atas sedikit dagunya. Wajah Ica membiru, sigap Fariz melakukan tindakan resusitasi jantung paru. Kaki Fariz berlutut di samping leher dan dada Ica.
Menaruh tangannya yang bertumpu di tengah dada Ica, lalu menekannya sebanyak tigak puluh kali dengan tekanan sedalam lima senti menter.
Ica masih mematung, Fariz mendekatkan telinganya ke hidung Ica guna mendengar apakah ada suara napas? Tipis, Fariz pun memberi napas buatan. Dicubitnya hidung Ica lalu diletakan mulutnya menutup mulut Ica, meniupkan udara ke dalam. Masih tak ada pergerakan di dada Ica.
Kembali Fariz melakukan tindakan RJP, sambil berhitung dan mengulangi memberi napas buatan.
Caca tak berhenti menangis melihat Ica yang tak berdaya, gadis kecil itu merasa bersalah.
"Mama I
Fariz, Ica dan Caca sudah sampai di lobi. Para wartawan masih mengikuti, tepat di depan meja resepsionis Ica memutar tubuh kebelakang, lalu berdiri dengan angkuhnya sambil berkacak pinggang."Dengar baik-baik! Nama saya Aisyah Khairunisa, Sarjana Hukum. Menurut UU ITE nomer 19 Tahun 2016 yang berbunyi_Kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan. Penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan orang yang bersangkutan._"Ica menjeda ucapannya, melihat ke sekeliling para wartawan yang mulai ogah-ogahan untuk mengambil foto Ica."Jadi, maunya Mba Aisyah, gimana?" tanya seorang wartawan berbaju kotak-kotak. Sepertinya dia paham arah tujuan dari orasi Ica."Yang ingin mewawancarai saya harus bayar. Satu pertanyaan seratus ribu." Ica menantang dengan menaikan sedikit dagunya."Huh! U
Tiga hari setelah pulang dari Bali, Fariz masih memikirkan kata-kata yang Ica bisikan ketika di Pasar Sukowati. Melihat gelagat Ica yang sudah terbiasa dengan dirinya tanpa mengalami serangan cataplexy, Fariz pun memutuskan bahwa nanti malam dia akan mencobanya. Mencoba mewujudkan keinginan Ica, dan juga impian dia.Suster Amel datang tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Dia kaget melihat Fariz yang tengah tersenyum sambil jingkrak-jingkrak menyebutkan sepotong kalimat."Kita akan belah duren, kita akan belah duren. Oh yeah!" ucap Fariz sambil lompat-lompat berjoget ria kegirangan.Posisinya yang sedang berdiri membelakangi pintu tentu saja tidak menyadari kedatangan Amel, hingga perawat cantik itu memanggilnya, baru Fariz menghentikan aksinya.Merah, wajah Fariz menahan malu ketika Amel memanggilnya. Sedangkan suster kepercayaan nya itu pun ikutan memerah wajahnya karena bersusah
Ica terkejut melihat Fariz ada di depan pintu. Begitu pun dengan Fariz, terpaku menatap Ica tanpa berkedip. Beruntung suara bel pintu menyelamatkan Ica dari adegan canggung tersebut. Fariz yang sudah berjalan tanpa sadar mendekati Ica, terpaksa menghentikan aksinya membelai pundak Ica yang terbuka dengan punggung tangannya. Ica sempet menutup mata, menikmati sentuhaan Fariz, tetapi bunyi bel yang berkali-kali akhirnya menyadarkan dua orang yang sedang terlena tersebut."Ada tamu, tuh, Om," ucap Ica membuka matanya."Hadehh!" Fariz terlihat menahan kesal."Kok, hadeh?" Ica tersenyum menggoda, mendengar gerutu Fariz."Pake nanya? Apa kita lanjutkan saja, ya. Biarin aja tamunya menunggu." Fariz langsung menarik pinggan Ica ke dalam pelukannya.Ica tertawa, meronta kegelian karena mendapat kecupan bertubi-tubi di lehernya.Tignong! Tingnong! Tingnong! Tingn
"Kamu gimana, sih, Ca? Masa begituan diceritain ke Caca," bisik Faris, kesal."I-Ica enggak bilang apa-apa, kok, ke Caca." Ica membela diri dengan suara yang tak kalah pelan."Pah, emang kalau Caca di rumah, Mama sama Papah enggak bisa bikin dedek bayi, ya?"Ica melongo mendengar pertanyaan Caca, sementara Fariz berusaha menaha kesal karena tak tahu harus menjawab apa atas pertanyaan putri kecilnya."Caca, tau dari mana kalau saat Caca nginep, Papa sama Mama Ica buat dedek bayi?" tanya Fariz, mengintrogasi dengan suara selembut mungkin."Dari Mba Wati. Tadi Caca denger Mba Wati nanya ke Mama Ica, gini, Jadi Mba Ica gagal bikin adik buat Caca, dong?"_Duh, mati aku._ batin Ica, pasrah mendapat tatapan tajam dari Fariz."Pah
Sepanjang perjalanan menuju sekolah Caca, Ica berusaha keras untuk tidak menangis. Ica paling nggak suka di didiemin sama orang, apalagi sama suami sendiri. Ia lebih suka melihat orang marah kepadanya daripada mendiamkannya. Jika memang Ica bersalah maka ia akan berusaha untuk memperbaikinya, begitulah pola pikir Ica.Selepas mengantar Caca ke sekolah, Ica memilih untuk pulang ke rumah dengan angkot. Reno yang tau akan hal itu mencoba membujuk Ica untuk mau diantarnya kembali sampai rumah."Enggak usah, Bang. Aku pulang sendiri aja."Kening Reno berkerut mendengar kata 'Aku' dipakai oleh Ica. Pria yang sudah menjadi sahabat Ica sejak kecil itu sudah sangat paham bila sahabatnya menggunakan kata itu berarti sedang banyak masalah."Kamu kenapa, Ca? Lagi marahan ya sama Om Fariz?""Nggak.""Terus, kenapa ngomongnya pakai _aku_?""Pengen
Tak ada tanda-tanda Ica akan mengalami serangan cataplexy ketika Fariz meletakkan tubuhnya di pembaringan. Gadis bermata jeli itu memejamkan matanya, saat dengan perlahan Fariz melepaskan kancing bajunya satu persatu. Sepertinya, apa yang dikatakan oleh Dokter Lulu, benar adanya. Bahwa Ica sudah siap menjadi istri sepenuhnya karena ia sudah terbiasa dengan Fariz.Fariz sudah bertekad, bila Ica menunjukan gejala cataplexy dia akan menghentikan cumbuan yang sedang dilakukan kepada istri belianya. Sore itu, mereka sukses merengkuh nikmat rasa cinta dalam peraduan, hingga di detik terakhir ketika keduanya sudah merasa di puncak kenikmatan dan siap melepaskan semua hasrat yang menggelora. Ica mulai menunjukan serangan cataplexy-nya. Fariz pun tak menunda lagi, ia langsung melepas semua kenikmatan yang sudah memuncak.Bersamaan dengan helaan napas Fariz yang berat, Ica sukses terkulai dengan hidung yang berdarah."Kamu nggak p
Fariz menceritakan semua perubahan sikap Ica semalam kepada Dokter Lulu. Senior berusia lima puluh tahun itu sesekali mengerutkan dahinya saat mendengar keanehan perubahan sikap pada Ica."Kamu yakin Ica mengalami serangan cataplexy saat kalian di titik klimaks?"Fariz mengangguk. Sebenarnya ia agak sedikit risih menceritakan detail di bagian tersebut, tapi mau bagaimana lagi. Semua harus diceritakan agar seniornya itu bisa menganalisa dengan akurat."Saat mencumbunya tak ada darah yang menetes dari hidung istrimu?"Fariz menggeleng. "Sesudah klimaks baru Ica menujukan gejala cataplexy, itu pun hanya mimisan. Otot wajah dan lehernya tidak terkulai lemas seperti biasanya."Dokter Lulu mengangguk sambil berpikir keras, apakah Ica menahannya sehingga tak ada serangan cataplexy itu."Kita harus melakukan test ulang, Riz, kalau ingin mengetahui amnesia Lakunar nya kembali
Satu jam sudah berlalu sejak Ica pergi bersama Yuda. Awalnya Fariz masih merasa Ica akan balik ke rumah selepas ba'da isya. Namun kekahwatiran mulai meraja ketika Caca berulang kali menanyakan, kenapa Mama Ica belum pulang? Fariz mulai menghubungi ponsel Ica tetapi ternyata Ica tak membawa ponselnya. Fariz pun memeriksa nomor kontak Ica, berharap bisa menemukan petunjuk di sana. Nihil, Ica tak begitu bayak memiliki daftar kontak dalam ponselnya, yang tertera di sana hanya nomer ibu-ibu komplek, Mba Wati, Reno, Caca dan dirinya. Fariz baru tersadar bawah Ica tak memiliki teman._Tunggu dulu, seharusnya ada nama Yuda dalam daftar kontaknya_ pikiran itu muncul begitu saja di otak Fariz. Bergegas pria senja itu mengetik nama Yuda di kolom pencarian, ketemu. Fariz pun segera menghubngi nomer tersebut.Tu...Tut! Tu... Tut! Suara dering panjang tanpa jeda yang hanya dapat Fariz dengar. Sial apakah ponsel pemuda itu mati? Kenapa tak diangkatny
Ragu-ragu Ica berdiri di depan pintu rumah sebelah. Kepalan tangannya menempel di daun pintu, hendak mengetuk, tetapi urung. Apa yang harus ia katakan jika si Tuan Rumah membukakan pintu teresebut. Apakah Ica harus mengakui bahwa dirinya bersalah dan meminta maaf karena telah menuduh hal yang tidak-tidak kepada suaminya sendiri. Yah, setelah mendapatkan penjelasan dari Bu Herman prihal status Om Fariz, serta bukti-bukti berupa foto, surat nikah dan cicin yang melingkar di jari manisnya, akhirnya Ica dapat menerima kenyataan bahwa Om Duda tetangga sebelah rumahnya adalah suaminya. Meskipun Ica tak mengingat kapan pernikahan itu berlangsung, tetapai Ica pun menjadi maklum setelah penjelasan dari Bu Herman yang menyatakan dirinya terkena amnesia. "Loh, Ica ngapain berdiri di depan pintu? Ayo, masuk!" ajak Fariz yang terkejut saat membuka pintu hendak membuang sampah ada Ica menghalangin jalannya. Ica menurut, ia sebenarnya terkejut dan malu dengan kemunculan
Usai melaksanakan salat subuh, Fariz memutuskan untuk pulang ke rumahnya. Rumah sebelah yang tidak ditempati oleh Ica. Ya, Fariz memutuskan untuk menunda menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi pada Ica. Ia lebih memilih untuk mendiskusikannya dahulu kepada senior nya, Dokter Lulu. Jika dugaaan Fariz benar, sepertinya Ica sedang mengalami Antarograde Amnesia, yaitu hilangnya memori jangka pendek secara berulang setelah penderita terbangun dari tidurnya."Kenapa kamu bisa menyimpulkan seperti itu?" tanya Dokter Lulu melalui sambungan Vidio call. Wajah bulat Dokter Lulu memenuhi layar ponsel."Ica. Emhhh, maksud saya memori Ica lompat ke ingatan setahun lalu saat kami pertama kali kenal dan dinner bersama. Dia sudah mengenali saya tapi hanya sebagai tetangga sebelahnya, bukan sebagai suaminya.""Sebaiknya bawa ke rumah sakit, Riz. Saya tak bisa menebak jika belum melakukan serangkaian tes. Bisa saja yang kamu katakan benar, tetapi tetap saja kita tak b
Malam itu terasa indah bagi Fariz. Ica sama sekali tak menunjukan gejala cataplexy, istri belianya itu dapat mengimbangi permainannya. Bisa dikatakan saat itu Ica lah yang lebih bergairah, sementara Fariz masih takut Ica dipertengahan mengalami serangan cataplexy. Sampai mereka sama-sama mencapai klimaks, Ica baru menunjukan gejala cataplexy. Ada darah yang keluar dari hidungnya, ketika Fariz mengucapkan terimakasih dan mengecup keningnya."Hidung kamu berdarah, Sayang." Lembut, Fariz membersihkan hidung istrinya."Nggak papa,Ica sudah biasa seperti ini ketika hati Ica diliputi rasa bahagia." Fariz tersenyum mendengar penuturan istrinya."Kamu bahagia, Sayang?"Ica mengangguk lalu menutup mata sambil tersenyum. Otot leher dan wajahnya sudah tak mampu bekerja lantaran hipocretin dalam otaknya berkurang, Ica mengalami nerkolepsi--s
Tiba-tiba sosok Fariz menghilang setelah mendengar teriakan dari Ica. Di situ Ica baru menyadari kalau dirinya telah berhalusinasi melihat Om Duda sebelah."Aish, kenapa jadi muncul bayangan Om sebelah. Sadar Ca, sadar. Fokus ke masalah Amel saja." Ica kembali berbicar dengan bayangannya di cermin.'Tunggu dulu, jika aku membantu Amel itu berarti aku akan kehilangan Bang Reno untuk selamanya. Lalu, kenapa Bang Reno harus berbohong dan berpura-pura kalau kita masih pacara, apakah dia sebenarnya masih memiliki perasaan cinta kepadaku dan Amel hanya dijadikan pelarian baginya.' Pikiran itu terlintas begitu saja di kepala Ica membuat dirinya tersenyum pada bayangan diri di cermin."Aku harus memastikan perasaan Bang Reno sebelum merencanakan misi 'doble date' bersama Amel dan Om Fariz," gumam Ica dengan suara yang penuh tekadBaru saja Ica ingin menghubungi R
House of Yuen menjadi pilihan Bella untuk mengajak mantan suami, anak serta istri barunya dinner, malam ini. Karena restoran keluarga ini terbilang mewah, Bella pun menyarankan agar Ica mengenakan baju yang sedikit Formal. Dress selutut dengan potongan kerah Sabrina menjadi pilhan Ica.Ini adalah kali pertama bagi Ica dan Caca makan di restoran mewah. Restoran yang terletak di salah satu hotel bintang lima yang ada di Jakarta itu berada di lantai tiga. Selama memasuki ruangan restoran tersebut Fariz tak berhenti-hentinya mengkhawatirkan kondisi Ica yang dikit-dikit hidungnya berdarah. Mulai dari di sapa oleh pelayan restoran sampai ia melihat salah satu artis ibukota yang menyapa Bella."Nunduk Ca, jangan dilihat, tarik nafas dalam-dalam lalu hembuskan," bisik Fariz membimbing Ica agar tidak pingsan.Rupanya suara berbisik Fariz masih dapat didengar oleh sang artis."Eh, itu kenapa hidungnya berdarah?"
Caca tengah bahagia melihat dirinya berada di Chanel YouTube milik Bella Ayunda. Sudah seharian ia terus menceritakan dan pamer kepada Ica tentang vidionya di YouTube."Aku cantik ya, Mama Ica. Caca kepengin deh, kalau besar nanti seperti Tante Bella."Ica mulai bosan mendengar ocehan Caca. Pasalnya semenjak melihat video tersebut, Ica jadi melihat semua sosmed milik Bella Ayunda. Mulai dari Instagram, YouTube sampai Tiktok dan Facebook. Bella yang awalnya seorang selebgram itu mulai merambah menjadi YouTuber sekitar enam bulan lalu saat dirinya membuat Vlog tentang Ica saat di Bali. Di sanalah Ica menemukan kebenaran tentang dirinya yang ternyata benar sudah menikah dengan Fariz. Juga fakta bahwa Reno sudah bertunangan dengan seorang perawat bernama Amel.Jemari Ica terus berselancar di YouTube hingga ia memutuskan berhenti di sebuah Chanel yang menayangkan tentang dirinya. Dari sana Ica mengetahui bahwa dirinya sempat viral juga karena
Demi membuat kondisi Ica tidak merasa canggung dan tak nyaman, akhirnya Fariz memutuskan untuk menerima usulan Ica yang meminta dirinya untuk pindah ke rumah sebelah. Mereka memulai dari awal lagi, membuat suasana rumah seperti Ica berusia 16 tahun, meski tanpa Ibu di sampingnya."Hanya untuk sementara sampai ingatan saya pulih," pinta Ica dengan bahasa yang sangat formal.Meski menyanggupinya setelah mengajukan syarat agar membiarkan Caca tetap memanggil Ica dengan kata 'mama' tetap saja Fariz merasa ini terlalu berlebihan. Kenapa dari semua kenangan yang dimiliki oleh Ica, harus dirinya yang dilupakan.Sesekali Ica ikut membantu memindahkan barang-barang Fariz dan Caca."Eh, gini Om. Gimana kalau Caca tetap tinggal di sini sama Ica. Jadi Om aja yang pindah ke ruamha sebelah," usul Ica tiba-tiba ketika hendak merapikan barang-barang Caca di kamarnya."Setuju!" Caca menjawab dengan kegirangan. Gadis kecil itu langsung memeluk dan mencium Ica.
Ica manggut-manggut ketika mendengar penjelasan dari Dokter Lulu mengenaiH penyakitnya. Meski sedikit tak percaya kalau ada penyakit seaneh itu di dunia ini._Cataplexy. Ah, aku pikir Adrophobia seperti yang Ibu katakan selama ini, tapi ternyata berbeda_ gerutu Ica dalam hati. Tunggu! Ibu? Di mana Ibu, kenapa dari tadi aku tak melihatnya? Tiba-tiba Ica teringat akan ibunya. Amnesia yang dideritanya membuat Ica masih merasa meliliki Ibu."Ada yang ingin ditanyakan?" tanya Dokter Lulu yang keheranan melihat Ica celingak-celinguk memiringkan badannya serta sorot mata ke arah pintu seolah menunggu kedatangan seseorang."Dok, Ibu saya mana saya? Kok, dari tadi malam tidak kelihatan ya. Ibu saya tau kan kalau saya ada di rumah sakit, kalau belum tau tolong kasih tau Dok."Dokter Lulu menghela napas pelan, bingung harus menjelaskan dari mana tentang situasi ini kepada Ica.
Setengah berlari, Fariz menyusuri garis berwarna merah yang ada di lantai. Langkahnya terhenti di depan brankar yang sedang di dorong oleh perawat untuk dipindahkan ke ruang perawatan."Ica!" Fariz berteriak mengikuti para petugas tersebut. Angga, dokter residen yang menyadari kehadiran Fariz pun mencegahnya untuk mengikuti para perawat."Dok, sebaiknya temui Prof Lulu. Beliau menunggu dokter di sana.""Tapi istri saya?""Istri dokter baik-baik saja, tadi Prof Lulu menyuruh Anda lekas menemuinya sebelum bertemu dengan istri Anda."Fariz mengangguk. Toh, tadi Ica sudah terlihat sadar ketika para perawat tersebut membawanya, Ica pun sempat tersenyum padanya. Berarti kondisinya memang sudah baik.Fariz mengetuk pintu ruangan Dokter Lulu dengan dua kali ketukan."Masuk." Suara dari dalam memerintahkan dirinya untuk masuk.&