Hari ini aku lelah sekali, rasanya badan seperti remuk semua. Pelan kupejamkan mata, dan lambat laun semakin terlelap. Samar-samar aku mendengar suara orang memanggil, berkali-kali dan terus menerus. Suara itu terasa tidak asing, mimpikah aku? Namun, mengapa terasa nyata?
"Bangun Nisa!" Seseorang memanggil disertai hentakan pada tubuh membuatku terbangun dan tergagap.
"Kok malah tidur? Itu semua lauk dan sayur sisa kamu panaskan dulu, biar panci-pancinya di cuciin tukang cuci piring sebelum mereka pulang." Perempuan dengan sanggul tinggi berdiri dengan wajah yang masam. Aku memanggilnya Ibu Mertua.
Dengan segera aku bangkit dari pembaringan, menuju kamar di mana semua lauk dan sayur berada.
Duh rasanya kepalaku semakin sakit saja.
Namaku Annisa Zahra, aku menantu perempuan pertama di rumah ini. Suamiku yang merupakan anak kedua, memiliki seorang kakak perempuan dan adik lelaki.
Hari ini adalah resepsi pernikahan adik suamiku.
Resepsi ini merupakan resepsi kedua setelah sebelumnya diadakan di rumah pihak perempuan. Pernikahan adik suamiku ini benar-benar terasa meriah.
Harusnya aku adalah pihak keluarga disini, aku wajib ada di depan sana, tapi kenyataan yang ada, aku tak ubahnya seperti pesuruh yang dibayar untuk menangani semua hal. Bahkan pesuruh bayaran saja tak selelah aku.
Belum selesai pekerjaan memindahkan lauk dan sayur, Ibu sudah kembali menyerukan namaku.
"Nis, nanti segera bawa cemilan dan buat teh ya buat bapak-bapak pemain orkestra."
Sedari pagi hingga malam begini tubuhku berputar bak gasing kesana dan kemari. Tidak ada gaun seragam kupakai khas keluarga pengantin. Padahal pagi tadi aku dengan sangat bersemangat berangkat dari rumah kesini. Membayangkan akan ikut berbahagia menjadi bagian dari resepsi nan meriah keluarga terpandang ini.
Ya, aku memang menjadi bagiannya, tapi bagian belakang, dapur dan sumur.
Aku memang di berikan gaun seragam, tapi karena sedari tadi aku seperti di paksa ke dapur terus menerus akhirnya aku mengganti pakaianku. Lebih leluasa.
Kuusap peluh yang menetes dari dahi yang bercampur air mata. Mas, aku teramat merindukanmu. Kenapa berprofesi sebagai pelayar justru menjadi pilihanmu?
"Nis, Nisa tolong bersihkan anakku ya, aku takut gaunku basah," ucap Rika, kakak iparku.
Segera kuambil bayi lucu nan imut berusia lima belas bulan tersebut dari pelukan Kak Rika, mencium pipi gembilnya. Melihatnya, sedikit membuat lelahku hilang.
Tanpa pamrih dan jijik aku membersihkan kotoran anak iparku itu. Aku memang sering membantu mengasuhnya terutama ketika Ibunya sedang kerepotan atau ada urusan keluar.
Setelah bersih, aku kembali memakaikan Zahira diapers baru dan baju yang bersih.
Tak lama ia mulai menangis, sepertinya mengantuk dan ingin menyusu.
Lekas kucari Kak Rika, ternyata dia ada di bagian depan,di antara keramaian.
Ragu aku ingin memanggil atau mengantar Zahira ke Ibunya langsung. Tanpa sengaja Kak Rika menoleh, segeraku memberikan kode padanya bahwa Zahira haus, perempuan bertubuh gemuk itupun memanggilku untuk mendatanginya.
Aku berjalan melewati para tamu yang tersisa, kebanyakan tinggal para kerabat dan keluarga saja. Sedang sang pengantin sudah masuk ke kamar sedari tadi.
Saat berjalan, banyak pasang mata tertuju, ada yang iba memandang, ada juga yang sinis termakan hasutan Ibu mertua.
"Iya, aku juga nggak nyangka Reno bisa menikahi Sarah. Lega sekali aku rasanya."
"Eh, Nis, sudah di antar cemilan dan tehnya ke bagian orkestra?" tanya Ibu saat melihatku.
"Belum, Bu, tadi Nisa bersihkan Zahira dulu, dia--"
"Kok Zahira? Zahira kan ada Ibunya, suruh aja Ibunya yang ngurus. Alasanmu ada-ada aja," sela Ibu ketus.
"Jangan begitulah, Mbak, nggak enak dilihat banyak orang," tegur Bulek Lani, adiknya.
"Lah, salahnya dimana. Kan yang aku bilang bener," jawab Ibu tak mau kalah.
"Dia menantumu, Mbak, jagalah marwahnya di depan orang, bukan untuknya tapi untuk anakmu."
"Saya permisi ke belakang, Bu," jawabku menunduk dan berlalu.
"Ya, pergilah. Muak juga melihatmu." Masih sempat kudengar Ibu mengeluarkan racun berbisanya.
*
"Nis, Nisa. Ini Ibu, buka pintunya." Terdengar Ibu mengetuk pintu kamar yang kutempati sembari memanggil keras.
"Iya, Bu, Nisa salat subuh tadi," jawabku setelah pintu terbuka.
"Ayok, masak. Sebentar lagi Reno dan Sarah bangun," jawab Ibu sembari menarik pergelangan tanganku keluar, masih mengenakan mukena.
"Nisa buka mukena dulu."
"Alah sudahlah, letakkan di kursi itu saja," tunjuk Ibu.
Sesampainya di dapur Ibu membuka kulkas, mengeluarkan bahan memasak. Dan mulai memberikan perintah ini dan itu.
"Ini nanti ayamnya nggak usah di ungkep, di marinasi saja," jawab Ibu sembari menunjuk tumpukan ayam yang masih utuh sempurna.
"Bu, ini ayamnya ayam kampung?"
"Iya, kamu panaskan air dulu, kalau udah mendidih masukkan ayamnya, jangan kelamaan nanti kulitnya melepuh, bisa koyak pas kamu cabuti bulu-bulunya," jelas Ibu.
Aku menggaruk kepala yang tak gatal. Bagaimana caranya, aku tak mengerti.
"Bu, kenapa nggak pakai ayam potong saja?"
"Ayam potong ada, tapi Sarah nggak suka ayam potong, makanya Ibu gorengkan ayam kampung."
Klek, aku menelan ludah yang tiba-tiba terasa sebesar bongkahan batu.
"Ini nanti capcainya jangan pakai udang ya Nis, di ganti bakso saja. Sarah alergi udang katanya."
"Iya, Bu."
Aku pun mulai memanaskan air untuk merebus ayam.
"Nis, nanti sambal kecapnya jangan terlalu pedas ya, Sarah nggak bisa makan pedas, sakit perut dia. Kamu pisah nanti sama punya kita ya," jelas Ibu lagi.
Pelan namun pasti menu yang di minta Ibu sudah selesai kumasak.
Ibu pun lantas mulai mencicipinya.
"Hem, seperti biasa, enak!" ucap Ibu sambil mengarahkan jempolnya padaku.
Aku tersenyum. Ibu sepertinya sedang sangat senang hari ini. Terlihat dari wajahnya yang berseri-seri dan menyuruhku tidak dengan marah-marah
Bu, sesungguhnya aku menyayangimu ....
Akupun mulai menata semua makanan ke meja. Sedang Ibu memperhatikan dengan detail sembari menyuruh mengambil ini dan itu yang dirasa Ibu masih kurang.
"Nis, kupas buahnya nanti saja ya, nggak usah sekarang," titah Ibu.
"Iya, Bu."
Tak lama Kak Rika bangun dan keluar dari kamarnya dengan menggendong Zahira. Rupanya bayi gembil itu sudah bangun.
"Sudah siap masak, Bu?" tanya Kak Rika sembari menyodorkan Zahira padaku.
Aku mengambilnya lalu mulai melepaskan pakaian bayi itu.
"Duh pesingnya ponakaan bulek, mandi kita ya," aku mengajak bicara Zahira. Dia tersenyum-senyum.
"Sudah, kamu rasain gih, enak loh. Bumbunya meresap."
"Iya enak banget, Bu, beda ya sama ayam goreng yang di acara resepsi Reno semalam."
Ibu mengangguk setuju.
"Mau aku bangunkan Reno dan istrinya, Bu?" tanya Kak Rika.
"Nggak usah, mereka masih tidur. Ngantuk pasti, biarin aja."
Reno dan istrinya keluar bersamaan dengan datangnya aku ke dapur dengan menggendong Zahira yang sudah cantik dan wangi, khas bayi.
"Eh manten baru sudah bangun, sini duduk sini," tawar Ibu sembari menepuk kursi pelan.
Sarah tersenyum dengan manis. "Selamat pagi Bu, pagi Mbak Rika, pagi juga Mbak Nisa," ucapnya ramah dan mendekat ke Ibu.
Aku tersenyum pada Sarah dan mengangguk.
"Semoga segera dapat momongan ya," ucap Ibu penuh do'a dan harapan sembari mengelus perut rata milik Sarah.
Saat makan Ibu bertanya banyak hal pada Sarah, terutama dari mana asli dia berasal, silsilah keluarganya, dan tentang karirnya.
Ibu tak henti-hentinya berdecak kagum setiap mendengar penuturan Sarah, pun aku yang sambil menyuap Zahira makan. Kak Rika juga terlihat asyik mendengar cerita Sarah, tak jarang mereka sambung menyambung dan saling menimpali cerita.
"Nis, kupas buah apelnya ya" titah Ibu padaku.
"Nggak usah, Bu, aku saja," jawab Sarah yang membuatku kembali mengambil mangkuk makan Zahira.
"Oh ndak usah, menantu kesayangan Ibu nggak boleh ngapa-ngapain nanti capek. Biar Nisa saja, dia udah biasa kok sejak kecil. Ini juga tadi semua Nisa yang masak. Enak toh?" jawab Ibu sumringah.
Degh!
Entah aku harus berbangga diri dan tersenyum atau justru harus minder dan bersedih. Ucapan Ibu barusan bak bunga mawar hitam. Harum, indah, namun berduri tajam.
___
"Bu, saya pamit pulang ya," izinku pada Ibu dengan membawa tas kecil yang berisi beberapa pakaian saja. Aku memang sudah memiliki rumah sendiri. Sebuah rumah yang di bangun oleh suami sejak sebelum menikah. Bangunan permanen dengan halaman keliling yang luas. Di rumah, aku tinggal sendiri, sedang suamiku bekerja sebagai pelayar yang baru kembali ke daratan dalam waktu enam bulan sekali. Itu adalah rentang waktu tercepat. "Loh, kok cepat sekali, Nis? Nggak nanti malam saja? Lauk untuk malam belum dimasak 'kan?" jawab Ibu tanpa memandang karena beliau sedang asyik dengan selendang di tangannya. Ya saat ini, Ibu, Kak Rika sedang ada di kamar Sarah. Mereka sedang asyik dan sibuk membongkar kado dari resepsi kemarin juga melihat-lihat barang pribadi milik Sarah. "Hm, Nisa besok harus ngajar, Bu. Nanti malam rencana mau buat soal ulangan anak-anak besok." "Alah libur saja! Masih ada acara keluarga bilang ke kepala sekolah tempatmu mengajar. Lagi pula sekolah itu nggak akan batal ulang
Suara dering ponsel membangunkan. Saat akan kuangkat ternyata sudah terputus. Sembilan belas panggilan tak terjawab atas nama Ibu Mertua. Kurentangkan tangan ke atas, suara tulang terdengar beradu. Rasanya badanku lelah dan sakit semua. Dua hari di rumah Ibu benar-benar menguras tenaga dan energi. Semalam aku juga tidur hingga larut malam karena menyelesaikan soal ulangan untuk murid-muridku. Kulihat jam di nakas, sudah hampir jam empat, adzan subuh baru saja usai berkumandang. Saat akan beranjak ke kamar mandi untuk berwudhu ponsel itu berdering kembali. Segera aku meraihnya. "Halo, Assalamu'alaikum Bu.” "Waalaikumsalam, Nis. Kok lama angkat telponnya? Sampai pegel loh tangan Ibu menunggunya, baru bangun ya? Jam segini kok baru bangun sih Nis, pusing Ibu lihat kamu, untung saja nggak tinggal sama Ibu, kalau tinggal sama Ibu sudah Ibu omelin kamu tiap hari Nis," Ibu berkata panjang lebar, aku hanya diam mendengarkan. Karena aku tahu, mulut Ibu memang seperti itu tapi sesungguhn
Tepat jam tujuh pagi aku tiba di kediaman mertua. Segera aku masuk ke dalam rumah, dan menuju kamar yang biasa aku tempati apabila menginap di rumah Ibu. Kamar Mas Ilyas semasa masih lajang dulu. Kusibak gordyn kamar dengan niat ingin membuka jendela. Aku ingin udara masuk ke kamar ini, agar tercium lebih segar. Biasanya di pagi hari begini, aroma bunga akan menguar dari taman samping. Suara chat masuk terdengar dari ponselku. Suami [Assalamu'alaikum. Kamu sudah sampai rumah Ibu, Nis?] Segeraku ketik pesan balasan. [Sudah, Mas, baru saja.] [Ibu tidak mengangkat telpon, Mas, bisa kamu berikan ponselmu pada Ibu? Mas mau video call.] [Tentu saja Mas. Nisa tunggu] Aku keluar kamar, dan segera mencari Ibu di kamarnya. Tidak ada. Mungkin di taman. Tidak ada juga. "Bi, ada lihat Ibu?" tanyaku pada Bi Siti, asisten rumah tangga yang mengurusi pakaian. "Biasalah, Non, di kamar Non Sarah.”. Bergegas aku ke kamar Sarah, karena panggilan video call dari Mas Ilyas sudah satu kali tidak
Sekembalinya kami dari pasar. Ternyata Ibu sudah berdiri di depan rumah dengan cemasnya sembari menggulung-gulung ujung bajunya."Duh, kok lama sekali kalian ini? Ibu nggak tenang di rumah loh. Kamu nggak kecapekkan Rah?" tanya Ibu sambil menyambut Sarah, lalu mengajak masuk."Nggak kok, Bu. Malahan seru. Tunggu, Bu. Sarah bantu Mba Nisa turunin belanjaan dulu," tolak Sarah pelan."Udah nggak usah. Mang Tardi kan ada."Aku hanya bisa memandang Ibu nanar. Baru dua hari Sarah menjadi menantu Ibu, tapi ia sudah sangat berhasil mengambil hati Ibu. Sedangkan aku, masih saja tetap menjadi menantu kedua.Sebenarnya sebelum kehadiran Sarah, Ibu juga sudah seperti ini terhadapku. Tapi rasanya tidak sesakit setelah kehadiran Sarah.Ternyata selama ini sikap Ibu padaku bukan karena sifatnya yang memang begitu, tapi karena Ibu tidak menyayangiku."Non, ini semua yang mau diangkat?" tanya Mang Tardi membuyarkan pikiranku."Iya, Mang. Ini saja. Seperti biasa. Sembako, letakkan di lemari stok ya, Ma
Gelisah aku kini. Setelah orangtua dan keluarga Sarah selesai makan, dengan cepat aku membersihkan meja dan mencuci piring. Suara dering ponsel yang merupakan suara panggilan tak lagi bisa kutangkap dengan jelas. Aku benar-benar takut dan cemas kini. Pastinya sesaat lagi setelah semua tamu pulang, aku akan dimarahi Ibu perihal luka ditangan Sarah.Kembali ponsel berdering, segera aku mencuci tangan yang penuh sabun dan busa.Tiga panggilan tak terjawab dari Mas Ilyas.Sebentar aku menunggu, tidak ada lagi panggilan berdering, akhirnya aku melanjutkan pekerjaan."Nis, kenapa tadi tangan Sarah bisa luka?" tanya Kak Rika yang baru menghampiriku."Ngupas bawang dia, Kak. Tapi aku sudah melarangnya.""Emaknya sekarang lagi bahas itu tuh di depan. Sampai bilang ke Ibu, meminta Sarah dan Reno tinggal di rumah orangtua Sarah saja.""Sebegitunya, Kak?" tanyaku terkejut."Iya, kamu sih cari masalah, bukannya berusaha keras dilarang," sungut Kak Rika padaku dan berlalu.Kini degup jantungku sema
Hari ini adalah hari ulang tahun Ibu. Seperti biasa, dan tahun-tahun sebelumnya ulang tahun Ibu adalah waktunya berkumpul semua keluarga tapi tak jarang juga menjadi tempat ajang pamer mengenai jabatan dan harta masing-masing. Ulang tahun Ibu selalu dirayakan dengan meriah. Semua sanak saudara akan di undang. Semua turut bersuka cita jika Ibu ulang tahun. Bahkan warga dan pekerja di kebun teh sering berguyon, seandainya saja Ibu bisa berulang tahun sepuluh kali dalam setahun, tentunya mereka akan sangat bahagia. Sebab di setiap acara ulang tahun Ibu, beliau pasti membuka lebar pintu rumahnya untuk warga yang mayoritasnya adalah pekerja, dimulai dar
Acara ulang tahun Ibu berlangsung meriah. Tampak semua keluarga datang malam ini. Mereka mengenakan setelan dan gaun yang mewah, tak lupa aksesoris dan perhiasan melengkapi.Ibu tampak berjalan kesana kemari sembari menggandeng Sarah. Tampak bahagia dan berbangga. Jelas, Ibu punya alasan yang kuat untuk berbangga diri. Di usianya yang sudah menua, ia masih tampak cantik dan bugar. Tidak kekurangan uang, selalu berbahagia, hanya saja sesekali penyakit tua akan menghampiri pun ketidaksabarannya ingin menimang cucu laki-laki pertama dari anak laki-lakinya. Begitu juga halnya dengan Kak Rika yang tampak asik bercengkrama dengan para keluarga dan kenalannya.Sedang aku disini, duduk di salah satu sudut ruangan sembari menggendong Zahira. Bukan merasa keberatan akan hal itu, hanya saja aku merasa sikap Ibu padaku semakin menyakiti saja sejak kehadiran Sarah dirumah ini. Aku bagai pelengkap rasa dalam masakan, tapi bukan aku bahan utamanya. Namun tetap saja tanpa aku, b
Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Acara telah usai, para tamu dan kolega Ibu telah pulang menuju rumah masing-masing, pun hal nya keluarga jauh dan dekat. Hanya Bulek Lani yang akan menginap karena esok Bulek Lani akan ke pabrik juga, mengambil daun teh yang sudah jadi untuk dibawa dan di pasarkan di tempat Bulek Lani tinggal.Aku mencari sosok Ibu sembari membawa nampan yang diatasnya terdapat sebuah gelas dan piring kecil yang berisikan berbagai jenis obat dan vitamin Ibu. Pasti sejak acara tadi Ibu belum meminum obatnya.Pelan kususuri ruangan, tak tampak Ibu berada."Bulek." Perempuan yang kupanggil berbalik dan menghadapku."Apa?""Lihat Ibu nggak, Lek? Mau Nisa ingatkan minum obat," ucapku sembari mengangkat sedikit keatas nampan yang kubawa.""Nggak lihat, Bulek. Mungkin di kamarnya.""Oh, yaudah kalau gitu Nisa ke kamar Ibu dulu ya, Lek.""Iya, pergilah."Akupun berbalik dan menuju kamar Ibu. Pel
"Pergi saja! Tidak usah kunjungi Ibu lagi. Pergi saja kerumah si Lani. Ibu rasa kamu memang anak si Lani! Bukan anak Ibu!" teriakku kuat dan emosi. Rasanya menyakitkan sekali.Setelah mendengar teriakanku, tampak langkah Ilyas berhenti. Ia berbalik lalu menatapku."Walau Ibu menolak sekalipun. Ilyas tetaplah anak Ibu. Maafkan Ilyas yang telah mengecewakan Ibu karena menjadikan Nisa istri Ilyas. Dimata Ibu, Ilyas salah memilih. Tapi bagi Ilyas, pilihan Ilyas adalah yang terbaik."Jawaban Ilyas bagai ombak laut ganas yang menghantam pohon kecil dipinggir pantai. Sakit sekali rasanya."Ilyasssss. Hu hu hu hu," teriakku kuat ingin mengejar. Tapi Reno dan Zaki lebih cepat menangkapku. Menahan diri ini agar tak mengejar Ilyas keluar.Perlahan Rika dan Sarah membawaku ke kamar. Rasanya kepala mulai terasa sakit. Tubuhku lemas tak berdaya. Tapi hati masih dipenuhi rasa sakit dan benci bersamaan. Sakit
Aku menatap mata itu. Berusaha menelisik hatinya, mencari cinta yang besar seperti dulu untukku. Hasil nya nihil. Tak ada.Lelaki itu tampak sehat dan semakin tampan. Lelaki yang selalu bermain dipikiran dan imajinasiku. Setelah berpisah darinya, banyak lelaki jatuh kepelukan. Dan semuanya brengsek. Tak ada yang seperti dia. Tulus dan apa adanya. Setelah berusaha mati-matian melupakan dan tak bisa. Seorang lelaki lain yang mengantarku pulang dahulu, datang mengulurkan tangan, menawarkan sebuah pertemanan.Aku tahu, bukan hanya sebuah pertemanan tapi juga sebuah rasa.Kutolak dengan halus. Lelaki itu bukan typeku. Dia terlalu dingin. Hanya tertawa dan tak pernah memuji fisik dan kecantikanku. Aku suka lelaki liar, liar berkata-kata dan liar tangannya bekerja.Lelaki itu mundur. Tak ada usaha. Melempem bak kerupuk tersiram air.Payah! Sama sekali bukan typeku. Setelah berteman begitu saja. Via chat sesekali telepon, suatu hari lelaki it
"Maaf, Tante membuang-buang waktu saya. Saya kira tante tulus menelepon saya untuk meminta maaf karena menyesalkan perbuatan anak Tante. Tapi ternyata saya salah. Mobil itu memang saya niatkan untuk Ara. Tapi setelah apa yang saya terima rasanya Ara tak pantas memiliki mobil itu. Maaf. Anak Tante terlalu jalang dan sangat tak layak menerima mobil mahal itu. Dan kini saya tahu dari mana Ara mendapatkan sifat tak tahu malu dan kejalangannya. Hmm, buah memang jatuh tak jauh dari pohonnya."Aku menarik napas, kasar.Setelah mengatakan hal itu rasanya sesuatu yang mengganjal dihati seperti ada yang terlepas. Lega.Tes. Setetes air bening mengalir dipipiku. Ombak laut kuhadapi dengan berani namun untuk urusan hati, nyatanya aku lemah bahkan lebih lemah dari sebuah rumput didasar laut.Ya Allah, tak kusesali semua yang terjadi padaku. Bahkan aku syukuri akhirnya aku mengetahui semua ini. Yang aku sesali hanya mengapa terlalu lama? Lima tahun waktu
Berkali-kali aku menghubungi Mas Ilyas. Lelaki yang menemani hari-hariku selama lima tahun belakangan ini. Lelaki yang menjadi atm berjalanku. Bersamanya ketemukan warna-warni hidupku. Sejak mulai tamat sekolah, kuliah hingga bekerja tak lepas dari dukungan dan bantuannya.Kembali kucoba menghubunginya. Hasilnya nihil. Bahkan ternyata nomorku sudah di blokir Mas Ilyas. Aku tak habis akal. Kembali kuhubungi nomor ponselnya. Tersambung. Ditolak. Dan lagi, diblokir.Kuhapus airmataku, kasar. Rasanya menyesakkan. Kenapa setelah semuanya terjadi justru perasaan cintaku semakin besar? Benarkah ini cinta atau rasa penyesalan saja?"Jalang!" Lagi si brengsek Rangga memakiku lalu tancap gas, membawa mobil merah yang harusnya menjadi milikku, kado terbesar di sepanjang ulang tahunku selama ini.Ah, kenapa Mas Ilyas bisa kedaratan dan aku tak mengetahuinya?Dan kenapa pula Mas Ilyas bisa sepintar itu? Pa
[Sudah Mas transfer ya. Semoga Papa cepat sembuh]Sebuah pesan whatsapp masuk ke ponselku. Aku tersenyum membacanya. Lima puluh juta kini mendekam manis dalam rekeningku. Kamu yang terhebat Mas. Segera aku mandi lalu berangkat ke kantor dengan perasaan bahagia yang membuncah didada.Tak kuhiraukan getar-getar pada ponselku. Panggilan dari si pengirim lima puluh jutaku. Ah, nanti saja. Aku sudah hampir terlambat ke kantor. Setelah berpamitan pada Mama segera aku berangkat ke kantor."Jangan lupa, jenguk Papa sepulang kerja," teriak Mama begitu aku berada di ujung pintu."Ya," jawabku malas. Apa yang keluar dari mulutku belakangan ini adalah semua dari kebalikannya. Ya, kataku artinya adalah tidak.Tentu saja aku tidak akan menjenguk Papa. Terlalu malas melihat wajahnya. Ada tidaknya dia, tak berpengaruh apapun bagi hidupku, terlebih kantongku.Saat sehat hanya ingat istri dan dua anak ny
Berkali-kali dering ponselku terdengar. Panggilan Ara yang ku abaikan. Ibu dan Bunda telah kuminta untuk tak usah lagi datang, dan aku meminta waktu untuk sendiri. Setelah mengatakan hal itu, Bunda langsung berhenti menghubungi. Hanya Ibu yang masih terus saja menghubungi, meminta kepastian dan penjelasan.Ah, Ibu. Haruskah ku katakan bahwa anak lelakimu yang telah menaklukan laut di bumi ini baru saja dipermainkan seorang wanita dan saat ini menjadi hancur?Dan, wanita itu adalah menantu idamanmu? Juga, istri idaman anakmu?"Yas, yang di cafe gimana?" Suara Rangga menyadarkanku dari lamunan."Entahlah, Ga. Rasanya gue nggak bisa mikir lagi.""Yas, gue paham perasaan lu. Gue pernah di posisi lu, ya walau si mantan nggak separah si Ara sih. Jancuk! Asli parah banget itu emang si Ara. Gue nih normal ya, Yas. Tapi tadi pas liat selimut si Ara melorot, yang ada tambah jijik gue. Halah, susah gue move on dari em
POV ILYAS (Tertangkap basah)Dua bulan setelah itu. Tepat usia Ara yang akan ke dua puluh empat. Dia merengek manja padaku meminta sebuah hadiah besar untuk ulang tahunnya. Aku tertawa dibuatnya, karena ia mengomel panjang lebar sebelum memutuskan panggilan begitu saja.Kukatakan dia tidak akan mendapatkan apa-apa dariku. Sudah tua, tak pantas lagi meminta dan menerima kado, itu alasanku. Padahal sebenarnya aku sudah menyiapkan hadiah khusus dan besar untuknya. Sebuah mobil sunroof berwarna merah impiannya, tak lupa sebuah cincin yang akan aku sematkan dijarinya. Ya, benar kata Ibu. Usia kami sudah pantas untuk menikah. Aku mapan, begitupun Ara. Tak ada alasan untuk menunda lagi. Terlalu lama, tak baik juga.Satu minggu sebelum ulang tahun Ara, aku izin pulang. Menaiki pesawat Etihad Airways aku menuju Indonesia. Dengan membawa harapan dan cinta yang besar untuk perempuanku. Calon Ibu dari anak-anakku. Sarah Tara Putri.
POV ILYAS (Ara)Ara namanya. Perempuan ceria nan supel yang telah memikat hatiku. Pemilik kulit putih dengan senyum manis itu benar-benar memberi warna dalam hati. Awal berkenalan dengannya karena pertemuan tak terduga, sama-sama mengantri membeli makanan cepat saji."Kak, nomor antrian berapa?" Sebuah suara menyapa."19," jawabku tanpa menoleh. Asik berbalas chat dengan teman di ponsel terbaru bermerk Blackberry."Cepat ya, aku 27. Hm bisa titip nggak, Kak? Cuma seporsi nasi ayam, kentang goreng, dan milo dingin aja kok.""Nggak!""Huh, pelit," cibirnya, "pantes sombong, orang kaya." Mendengar ucapannya seketika membuatku menoleh.Cantik. Satu kata didetik pertama. Lalu perempuan itu merangsek maju menemui seorang Ibu paruh baya didepanku. Melakukan usaha yang sama. Dan, berhasil.Gigih. Dua kata didetik ke dua puluh. Entah mengapa mata ini menjadi tak ingin lepas m
"Sayang, udah selesai?" tanya Mas Ilyas padaku."Sudah, Mas. Tapi ini pastikan Mas kita ke kampung? Nanti udah kirim barang duluan ternyata nggak jadi pulang kan nggak enak sama Bapak dan Ibu," tanyaku memastikan lagi.Ya, rencana kami akan mengirim semua keperluan kami selama di kampung orang tuaku nanti. Karena sepulang pergi dari puncak kami akan langsung ke kampung selama sebulan seperti janji Mas Ilyas. Untuk langsung membawanya rasanya tak mungkin, jadi kami putuskan untuk mengirim semua barang duluan kesana."Pasti sayang. Pasti. Mas nggak akan bohong kok. Sepulangnya dari puncak kita langsung ke kampung.""Baik, Mas.""Oh ya, lauk untuk Ibu sudah di siapkan, Nis?""Sudah, Mas. Tinggal pasang saja, karena tadi masih panas.""Yasudah, biar Mas yang pasangkan ya," jawab Mas Ilyas lalu pergi beranjak.Setelah mengirim barang, tepat pukul dua belas aku tiba di rumah Ibu. Suasana ruma