Beranda / Pernikahan / Dua Sisi Menantu / Bab 3 (Kedatangan keluarga Sarah)

Share

Bab 3 (Kedatangan keluarga Sarah)

Penulis: El-Haz
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Suara dering ponsel membangunkan. Saat akan kuangkat ternyata sudah terputus. Sembilan belas panggilan tak terjawab atas nama Ibu Mertua.

Kurentangkan tangan ke atas, suara tulang terdengar beradu. Rasanya badanku lelah dan sakit semua. Dua hari di rumah Ibu benar-benar menguras tenaga dan energi. Semalam aku juga tidur hingga larut malam karena menyelesaikan soal ulangan untuk murid-muridku.

Kulihat jam di nakas, sudah hampir jam empat, adzan subuh baru saja usai berkumandang.

Saat akan beranjak ke kamar mandi untuk berwudhu ponsel itu berdering kembali.

Segera aku meraihnya.

"Halo, Assalamu'alaikum Bu.”

"Waalaikumsalam, Nis. Kok lama angkat telponnya? Sampai pegel loh tangan Ibu menunggunya, baru bangun ya? Jam segini kok baru bangun sih Nis, pusing Ibu lihat kamu, untung saja nggak tinggal sama Ibu, kalau tinggal sama Ibu sudah Ibu omelin kamu tiap hari Nis," Ibu berkata panjang lebar, aku hanya diam mendengarkan.

Karena aku tahu, mulut Ibu memang seperti itu tapi sesungguhnya hatinya baik. Walau terkadang Ibu juga bisa tiba-tiba berubah sikap.

"Nis, kok diam? Kamu denger Ibu ngomong nggak sih?" tanya Ibu memastikan.

"Iya Bu, Nisa dengar,"

"Oh iya, Ibu pikir kamu nggak dengar. Hahaha," terdengar Ibu tertawa, "Hm barusan Sarah bilang katanya siang ini orang tua dan keluarganya mau datang berkunjung ke rumah hari ini. Kita harus menyambut mereka dengan baik. Kamu kesini ya Nis," pinta Ibu mertua dari seberang sana.

"Iya Bu, nanti sepulang mengajar Nisa langsung ke rumah Ibu ya."

"Loh, kok nanti? Kalau tunggu kamu pulang ngajar mereka ya keburu pulang."

"Memang mereka mau datang jam berapa Bu?" tanyaku.

"Mareka datang jam makan siang. Makanya nanti kita masak Nis. Nggak mungkin mereka nggak makan dan nggak kita suguhi apa-apa kan? Besan baru Ibu itu."

Aku kira akan berkunjung malam hari.

"Jadi jam berapa Nisa harus datang Bu? Nis--"

"Ya sekarang, pagi ini jam tujuh'an lah. Mau belanja bahan dulu, Nis" ucap Ibu memotong ucapanku.

"Tapi hari ini Nisa mengajar Bu, anak-anak akan ulangan."

"Duh Nis, berapa kali Ibu bilang. Perintah dan keputusan Ibu adalah mutlak. Nanti Ibu ganti gajimu bulan ini ya," ucap Ibu memaksa dari seberang sana.

"Bu, maaf bukan soal gajinya, tapi soal tanggung jawabnya."

"Nisa, tanggung jawab kamu lebih besar disini karena kamu mantu tertua Ibu di rumah ini. Kamu harus ada disini bantu dan dampingi Ibu. Sudah ya, Ibu tunggu." Klik, telpon terputus sepihak.

Aku memicit pelipisku yang mulai sakit.

Kucari nomor kepala sekolah di kontak ponselku, terhubung.

"Assalamu'alaikum Bu," ucapku.

"Waalaikumsalam Nis, iya ada apa?"

"Begini Bu, hari ini saya izin tidak masuk mengajar lagi ya Bu, ada urusan keluarga mendadak," ucapku takut.

"Tapi kan hari ini anak-anak ulangan Nis, bagaimana dengan soalnya, kamu izin mendadak," ucap Bu kepala sekolah dari seberang sana.

"Hm begini Bu, soal ulangannya sudah selesai saya buat, sudah ada di tangan saya.

Jika Ibu mengizinkan soal ulangannya tetap saya antarkan ke sekolah Bu," ucapku hati-hati.

"Memang ada urusan apa Nis?"

"Mertua adik ipar saya hari ini datang ke rumah Bu, jadi Ibu mertua meminta saya ikut serta menyambut kedatangan mereka," jelasku.

"Begitu ya, baiklah Nis."

"Iya, terimakasih banyak ya Bu. Dan sekali lagi saya mohon maaf," ucapku tak enak hati

"Iya tidak apa-apa, saya mengerti."

"Kalau begitu sudah dulu ya Bu, Asalamu'alaikum."

"Iya Nis, Waalaikumsalam.”

Ibu kepala sekolah pasti akan selalu memberikan izin jika yang berhubungan dengan Ibu mertua. Karena kepala sekolah pun tahu aku menantu dari kalangan mana dan bagaimana Ibu membantu dalam pembangunan sekolah dasar negeri tersebut.

Namanya saja negeri, tapi sungguh jauh dari kata layak.

Ibu mertuaku merupakan tuan tanah yang memiliki kebun luas yang di tanami berbagai jenis macam rempah dan tanaman. Kost'an dan kontrakannya juga banyak di kota. Ibu juga disini sering membantu para warga sekitar. Rumah Ibu besar nan megah, hanya di huni oleh Ibu, Kak Rika dan suaminya juga Zahira, lalu Reno beserta kini Sarah, istrinya.

Pun salah seorang satpam, dua orang supir, juga dua orang asisten rumah tangga yang bertugas hanya untuk membersihkan rumah, dan mengurus pakaian. Sedangkan memasak, untuk hari-harinya Ibu selalu memasak sendiri, terkadang di bantu Kak Rika, tak jarang juga mereka pergi makan di luar. Sedangkan saat ada acara keluarga, arisan dan sebagainya. Ibu akan selalu memintaku yang memasak.

Kata Ibu masakanku selalu enak, itu sebabnya Ibu mempercayaiku untuk menghandle bagian itu.

Hanya di satu minggu setelah menikah aku tinggal bersama Ibu, lalu dibawa Mas Ilyas ke rumah yang memang sudah ia persiapkan jika menikah. Awalnya Ibu menentang keras keputusan Mas Ilyas. Ibu bilang Ibu tak ingin anaknya tinggal terpisah-pisah. Ia takut kesepian. Terlebih Mas Ilyas yang bekerja sebagai pelayar. Ayah mertua memang sudah lama meninggal bahkan saat Reno masih kecil. Tapi kepergian Ayah mertua meninggalkan banyak harta yang hingga kini masih di urus dan dijaga Ibu dengan baik. Bagaimana cara Ibu membesarkan anak-anaknya dengan peninggalan harta yang banyak dan tanpa tergoda untuk menggantikan sosok sang suami, adalah panutanku. Aku sangat mengagumi sosok Ibu untuk hal dalam menjaga cinta dan kesetiannya pada Ayah mertua.

Akhirnya entah bagaimana cara Mas Ilyas membujuk Ibu sehingga Ibu mengizinkan walau dengan terpaksa dan dengan wajah yang masam melepas kepindahan kami.

Mas Ilyas bilang padaku, setelah menikah baiknya memang mertua dan menantu tidak tinggal bersama menjaga hubungan agar tetap baik, bagaimanapun menantu dan mertua dari awal hanyalah orang lain yang dijadikan keluarga karena sebuah ikatan. Rentan terjadi cekcok dan perpecahan. Walau tidak berlaku untuk semua orang, tapi untuk menghindari akhirnya mas Ilyas membawa aku pindah dari rumah Ibu.

Ah, aku teramat merindukanmu, Mas. Kulihat lagi jam di ponsel. Astaga aku hampir melewatkan waktu subuh. Bergegas aku ke kamar mandi, dan berwudhu. Usai sholat aku, meraih ponsel. Karena sedari tadi ada notifikasi pesan masuk.

Suami

[Asalamu'alaikum istri cantik Mas, sudah bangun?] Aku tersenyum membacanya.

[Waalaikumsalam Mas. Sudah, baru selesai sholat. Mas lagi apa?] Kuketik pesan balasan.

[Nggak ada, lagi duduk aja di atas dek kapal, menikmati udara pagi. Tiba-tiba teringat saat kita bulan madu dulu. Hehehe] Ah, aku merindukanmu Mas.

[Segeralah pulang kalau begitu. Nisa rindu Mas.]

Sedang mengetik

[Iya sayang, awal bulan Mas pulang, sudah dapat izin. Nanti jemput Mas di bandara ya]

Aku senang bukan kepalang, Mas Ilyas jika sudah di daratan bisa mencapai dua bulanan.

[Alhamdulillah. Nisa senang sekali mendengarnya Mas. Iya nanti pasti Nisa jemput]

[Iya sayangkuh. Hmm istri Mas sudah mandi?]

[Belum Mas, ini mau mandi. Nisa mau ke rumah Ibu hari ini. Orangtua dan keluarga Sarah akan datang jam makan siang nanti.]

[ Oh iya, jadi mau menyambut ya? Mau masak?]

[Iya Mas. Seperti biasa.] balasku dengan tersenyum getir.

[Jangan terlalu lelah ya. Ajak Kak Rika beserta istri Reno juga. Kamu jangan sendirian menyiapkan semuanya. Mas nggak mau dengar kamu sakit.]

[Iya Mas.]

Selama ini aku juga sendiri Mas, gumamku.

[Jangan terlalu capek ya sayang ya. Mas mencintaimu 😘]

[Iya Mas. Mee too.]

Kembali kuletakan ponsel di meja rias. Kupandangi foto pernikahanku. Aku memang cantik, tapi kehidupanku sedari kecil tak secantik wajahku. Aku hanya anak pertama dari lima bersaudara. Anak dari pasangan orangtua yang hanya bekerja sebagai petani yang menyewa lahan sawah orang lain untuk di tanami.

Aku bersekolah dan berkuliah dengan beasiswa yang aku kejar dengan susah payah dan mati-matian di iringi dengan cucuran airmata dan keringat sembari bekerja. Bekerja halal apa saja yang bisa membuatku bisa makan dan bisa membayar kost'an, lalu lulus dengan nilai cumclaude. Mengenal Mas Ilyas saat wisuda kelulusanku di kampus yang di kenalkan oleh seorang teman. Tak dinyana Mas Ilyas ternyata serius dan melamarku, memintaku menjadi istrinya dan berharap dapat mendampinginya suka dan duka selamanya.

Aku, aku adalah cinderella di dunia nyata. Tapi cinderella yang belum mengetahui akhir hidupnya seperti apa. Berakhir bahagia bersama pangerankah atau justru berakhir sedih terpisah dari sang pangeran?

Karena aku dan Mas Ilyas berbeda kasta, pun sedari awal Ibu sudah tidak bisa menerima.

___

Bab terkait

  • Dua Sisi Menantu    Bab 4 (Sebuah pertanyaan)

    Tepat jam tujuh pagi aku tiba di kediaman mertua. Segera aku masuk ke dalam rumah, dan menuju kamar yang biasa aku tempati apabila menginap di rumah Ibu. Kamar Mas Ilyas semasa masih lajang dulu. Kusibak gordyn kamar dengan niat ingin membuka jendela. Aku ingin udara masuk ke kamar ini, agar tercium lebih segar. Biasanya di pagi hari begini, aroma bunga akan menguar dari taman samping. Suara chat masuk terdengar dari ponselku. Suami [Assalamu'alaikum. Kamu sudah sampai rumah Ibu, Nis?] Segeraku ketik pesan balasan. [Sudah, Mas, baru saja.] [Ibu tidak mengangkat telpon, Mas, bisa kamu berikan ponselmu pada Ibu? Mas mau video call.] [Tentu saja Mas. Nisa tunggu] Aku keluar kamar, dan segera mencari Ibu di kamarnya. Tidak ada. Mungkin di taman. Tidak ada juga. "Bi, ada lihat Ibu?" tanyaku pada Bi Siti, asisten rumah tangga yang mengurusi pakaian. "Biasalah, Non, di kamar Non Sarah.”. Bergegas aku ke kamar Sarah, karena panggilan video call dari Mas Ilyas sudah satu kali tidak

  • Dua Sisi Menantu    Bab 5 (Luka yang jadi masalah)

    Sekembalinya kami dari pasar. Ternyata Ibu sudah berdiri di depan rumah dengan cemasnya sembari menggulung-gulung ujung bajunya."Duh, kok lama sekali kalian ini? Ibu nggak tenang di rumah loh. Kamu nggak kecapekkan Rah?" tanya Ibu sambil menyambut Sarah, lalu mengajak masuk."Nggak kok, Bu. Malahan seru. Tunggu, Bu. Sarah bantu Mba Nisa turunin belanjaan dulu," tolak Sarah pelan."Udah nggak usah. Mang Tardi kan ada."Aku hanya bisa memandang Ibu nanar. Baru dua hari Sarah menjadi menantu Ibu, tapi ia sudah sangat berhasil mengambil hati Ibu. Sedangkan aku, masih saja tetap menjadi menantu kedua.Sebenarnya sebelum kehadiran Sarah, Ibu juga sudah seperti ini terhadapku. Tapi rasanya tidak sesakit setelah kehadiran Sarah.Ternyata selama ini sikap Ibu padaku bukan karena sifatnya yang memang begitu, tapi karena Ibu tidak menyayangiku."Non, ini semua yang mau diangkat?" tanya Mang Tardi membuyarkan pikiranku."Iya, Mang. Ini saja. Seperti biasa. Sembako, letakkan di lemari stok ya, Ma

  • Dua Sisi Menantu    Bab 6 (Teguran dari Ilyas)

    Gelisah aku kini. Setelah orangtua dan keluarga Sarah selesai makan, dengan cepat aku membersihkan meja dan mencuci piring. Suara dering ponsel yang merupakan suara panggilan tak lagi bisa kutangkap dengan jelas. Aku benar-benar takut dan cemas kini. Pastinya sesaat lagi setelah semua tamu pulang, aku akan dimarahi Ibu perihal luka ditangan Sarah.Kembali ponsel berdering, segera aku mencuci tangan yang penuh sabun dan busa.Tiga panggilan tak terjawab dari Mas Ilyas.Sebentar aku menunggu, tidak ada lagi panggilan berdering, akhirnya aku melanjutkan pekerjaan."Nis, kenapa tadi tangan Sarah bisa luka?" tanya Kak Rika yang baru menghampiriku."Ngupas bawang dia, Kak. Tapi aku sudah melarangnya.""Emaknya sekarang lagi bahas itu tuh di depan. Sampai bilang ke Ibu, meminta Sarah dan Reno tinggal di rumah orangtua Sarah saja.""Sebegitunya, Kak?" tanyaku terkejut."Iya, kamu sih cari masalah, bukannya berusaha keras dilarang," sungut Kak Rika padaku dan berlalu.Kini degup jantungku sema

  • Dua Sisi Menantu    Bab 7 (Praduga)

    Hari ini adalah hari ulang tahun Ibu. Seperti biasa, dan tahun-tahun sebelumnya ulang tahun Ibu adalah waktunya berkumpul semua keluarga tapi tak jarang juga menjadi tempat ajang pamer mengenai jabatan dan harta masing-masing. Ulang tahun Ibu selalu dirayakan dengan meriah. Semua sanak saudara akan di undang. Semua turut bersuka cita jika Ibu ulang tahun. Bahkan warga dan pekerja di kebun teh sering berguyon, seandainya saja Ibu bisa berulang tahun sepuluh kali dalam setahun, tentunya mereka akan sangat bahagia. Sebab di setiap acara ulang tahun Ibu, beliau pasti membuka lebar pintu rumahnya untuk warga yang mayoritasnya adalah pekerja, dimulai dar

  • Dua Sisi Menantu    Bab 8 (Sebuah Pertanyaan)

    Acara ulang tahun Ibu berlangsung meriah. Tampak semua keluarga datang malam ini. Mereka mengenakan setelan dan gaun yang mewah, tak lupa aksesoris dan perhiasan melengkapi.Ibu tampak berjalan kesana kemari sembari menggandeng Sarah. Tampak bahagia dan berbangga. Jelas, Ibu punya alasan yang kuat untuk berbangga diri. Di usianya yang sudah menua, ia masih tampak cantik dan bugar. Tidak kekurangan uang, selalu berbahagia, hanya saja sesekali penyakit tua akan menghampiri pun ketidaksabarannya ingin menimang cucu laki-laki pertama dari anak laki-lakinya. Begitu juga halnya dengan Kak Rika yang tampak asik bercengkrama dengan para keluarga dan kenalannya.Sedang aku disini, duduk di salah satu sudut ruangan sembari menggendong Zahira. Bukan merasa keberatan akan hal itu, hanya saja aku merasa sikap Ibu padaku semakin menyakiti saja sejak kehadiran Sarah dirumah ini. Aku bagai pelengkap rasa dalam masakan, tapi bukan aku bahan utamanya. Namun tetap saja tanpa aku, b

  • Dua Sisi Menantu    Bab 9 (Hadiah untuk Ibu)

    Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Acara telah usai, para tamu dan kolega Ibu telah pulang menuju rumah masing-masing, pun hal nya keluarga jauh dan dekat. Hanya Bulek Lani yang akan menginap karena esok Bulek Lani akan ke pabrik juga, mengambil daun teh yang sudah jadi untuk dibawa dan di pasarkan di tempat Bulek Lani tinggal.Aku mencari sosok Ibu sembari membawa nampan yang diatasnya terdapat sebuah gelas dan piring kecil yang berisikan berbagai jenis obat dan vitamin Ibu. Pasti sejak acara tadi Ibu belum meminum obatnya.Pelan kususuri ruangan, tak tampak Ibu berada."Bulek." Perempuan yang kupanggil berbalik dan menghadapku."Apa?""Lihat Ibu nggak, Lek? Mau Nisa ingatkan minum obat," ucapku sembari mengangkat sedikit keatas nampan yang kubawa.""Nggak lihat, Bulek. Mungkin di kamarnya.""Oh, yaudah kalau gitu Nisa ke kamar Ibu dulu ya, Lek.""Iya, pergilah."Akupun berbalik dan menuju kamar Ibu. Pel

  • Dua Sisi Menantu    Bab 10 (Perdebatan Kecil)

    Aku terbangun, ketika sebuah sentuhan tangan yang terasa dingin mendarat dipipiku."Bulek," ucapku mengucek mata."Bangun, sudah jam lima. Ayo sholat, Nis," ajak Bulek Lani."Iya, Bulek."Pelan aku berdiri dari tempat tidur, lalu membuka jendela. Seketika aroma subuh hari menguar masuk memenuhi kamar ini. Sepertinya semalam hujan deras, terlihat dari tanah yang basah dan sedikit becek.Usai sholat, segera aku kedapur. Membuat sarapan. Roti bakar, dan teh susu jahe."Walah, Bulek tungguin di kamar rupanya sudah kedapur saja," ucap Bulek Lani yang membuatku sedikit terkejut."Iya, Bulek. Bulek mau teh susu jahe atau teh saja?""Kamu buat teh susu jahe, Nis?""Iya, kalau malam hari hujan, biasa Nisa selalu buat paginya. Kalau nggak buat Ibu nanyain.""Sejak kapan? Dulu juga nggak begitu.""Nggak tahu, Bulek. Tapi kalau Nisa disini selalu begitu,""Hm, sebenarnya Mbakyu itu sejak ada kamu j

  • Dua Sisi Menantu    Bab 11 (Akun F******k)

    [Assalamu'alaikum, Mas. Lagi sibuk?]Kukirim pesan untuk Mas Ilyas. Sembari menunggu hujan reda. Saat ini aku berada di sekolah, sudah pulang hanya tertahan menunggu karena hujan yang turun dengan derasnya. Kulirik arloji di tangan. Masih jam dua siang. Tapi karena hujan dan cuaca yang gelap tampak seperti sudah akan maghrib. Sembari menunggu, iseng aku membuka akun sosial media berwarna biru. Ah, sudah lama rasanya aku tak membuka akun media sosialku ini. Terakhir saat mengupload photo pernikahan saja.Tiga akun permintaan pertemanan. Dua kuabaikan, sedang satunya kuamati. Menarik perhatian. Kuklik akun facebook atas nama 'SarLyas' itu. Aku mengerutkan dahi.Satu teman yang sama. Hm, siapa ya?Degh. Haikalan Ilyasa. Suamiku. Kulihat tanggal akun tersebut meminta pertemanan padaku. Satu tahun lalu. Sudah lama. Pelan, kutelusuri akun tersebut. Tak ada data yang begitu akurat. Hanya tanggal lahir tanpa tahun, pun photo prof

Bab terbaru

  • Dua Sisi Menantu    Bab 33 (POV IBU_Janji)

    "Pergi saja! Tidak usah kunjungi Ibu lagi. Pergi saja kerumah si Lani. Ibu rasa kamu memang anak si Lani! Bukan anak Ibu!" teriakku kuat dan emosi. Rasanya menyakitkan sekali.Setelah mendengar teriakanku, tampak langkah Ilyas berhenti. Ia berbalik lalu menatapku."Walau Ibu menolak sekalipun. Ilyas tetaplah anak Ibu. Maafkan Ilyas yang telah mengecewakan Ibu karena menjadikan Nisa istri Ilyas. Dimata Ibu, Ilyas salah memilih. Tapi bagi Ilyas, pilihan Ilyas adalah yang terbaik."Jawaban Ilyas bagai ombak laut ganas yang menghantam pohon kecil dipinggir pantai. Sakit sekali rasanya."Ilyasssss. Hu hu hu hu," teriakku kuat ingin mengejar. Tapi Reno dan Zaki lebih cepat menangkapku. Menahan diri ini agar tak mengejar Ilyas keluar.Perlahan Rika dan Sarah membawaku ke kamar. Rasanya kepala mulai terasa sakit. Tubuhku lemas tak berdaya. Tapi hati masih dipenuhi rasa sakit dan benci bersamaan. Sakit

  • Dua Sisi Menantu    Bab 32 (POV SARAH_Awal mengenal Reno)

    Aku menatap mata itu. Berusaha menelisik hatinya, mencari cinta yang besar seperti dulu untukku. Hasil nya nihil. Tak ada.Lelaki itu tampak sehat dan semakin tampan. Lelaki yang selalu bermain dipikiran dan imajinasiku. Setelah berpisah darinya, banyak lelaki jatuh kepelukan. Dan semuanya brengsek. Tak ada yang seperti dia. Tulus dan apa adanya. Setelah berusaha mati-matian melupakan dan tak bisa. Seorang lelaki lain yang mengantarku pulang dahulu, datang mengulurkan tangan, menawarkan sebuah pertemanan.Aku tahu, bukan hanya sebuah pertemanan tapi juga sebuah rasa.Kutolak dengan halus. Lelaki itu bukan typeku. Dia terlalu dingin. Hanya tertawa dan tak pernah memuji fisik dan kecantikanku. Aku suka lelaki liar, liar berkata-kata dan liar tangannya bekerja.Lelaki itu mundur. Tak ada usaha. Melempem bak kerupuk tersiram air.Payah! Sama sekali bukan typeku. Setelah berteman begitu saja. Via chat sesekali telepon, suatu hari lelaki it

  • Dua Sisi Menantu    Bab 31 (Kembali)

    "Maaf, Tante membuang-buang waktu saya. Saya kira tante tulus menelepon saya untuk meminta maaf karena menyesalkan perbuatan anak Tante. Tapi ternyata saya salah. Mobil itu memang saya niatkan untuk Ara. Tapi setelah apa yang saya terima rasanya Ara tak pantas memiliki mobil itu. Maaf. Anak Tante terlalu jalang dan sangat tak layak menerima mobil mahal itu. Dan kini saya tahu dari mana Ara mendapatkan sifat tak tahu malu dan kejalangannya. Hmm, buah memang jatuh tak jauh dari pohonnya."Aku menarik napas, kasar.Setelah mengatakan hal itu rasanya sesuatu yang mengganjal dihati seperti ada yang terlepas. Lega.Tes. Setetes air bening mengalir dipipiku. Ombak laut kuhadapi dengan berani namun untuk urusan hati, nyatanya aku lemah bahkan lebih lemah dari sebuah rumput didasar laut.Ya Allah, tak kusesali semua yang terjadi padaku. Bahkan aku syukuri akhirnya aku mengetahui semua ini. Yang aku sesali hanya mengapa terlalu lama? Lima tahun waktu

  • Dua Sisi Menantu    Bab 30 (POV SARAH_Ketahuan)

    Berkali-kali aku menghubungi Mas Ilyas. Lelaki yang menemani hari-hariku selama lima tahun belakangan ini. Lelaki yang menjadi atm berjalanku. Bersamanya ketemukan warna-warni hidupku. Sejak mulai tamat sekolah, kuliah hingga bekerja tak lepas dari dukungan dan bantuannya.Kembali kucoba menghubunginya. Hasilnya nihil. Bahkan ternyata nomorku sudah di blokir Mas Ilyas. Aku tak habis akal. Kembali kuhubungi nomor ponselnya. Tersambung. Ditolak. Dan lagi, diblokir.Kuhapus airmataku, kasar. Rasanya menyesakkan. Kenapa setelah semuanya terjadi justru perasaan cintaku semakin besar? Benarkah ini cinta atau rasa penyesalan saja?"Jalang!" Lagi si brengsek Rangga memakiku lalu tancap gas, membawa mobil merah yang harusnya menjadi milikku, kado terbesar di sepanjang ulang tahunku selama ini.Ah, kenapa Mas Ilyas bisa kedaratan dan aku tak mengetahuinya?Dan kenapa pula Mas Ilyas bisa sepintar itu? Pa

  • Dua Sisi Menantu    Bab 29 (POV SARAH)

    [Sudah Mas transfer ya. Semoga Papa cepat sembuh]Sebuah pesan whatsapp masuk ke ponselku. Aku tersenyum membacanya. Lima puluh juta kini mendekam manis dalam rekeningku. Kamu yang terhebat Mas. Segera aku mandi lalu berangkat ke kantor dengan perasaan bahagia yang membuncah didada.Tak kuhiraukan getar-getar pada ponselku. Panggilan dari si pengirim lima puluh jutaku. Ah, nanti saja. Aku sudah hampir terlambat ke kantor. Setelah berpamitan pada Mama segera aku berangkat ke kantor."Jangan lupa, jenguk Papa sepulang kerja," teriak Mama begitu aku berada di ujung pintu."Ya," jawabku malas. Apa yang keluar dari mulutku belakangan ini adalah semua dari kebalikannya. Ya, kataku artinya adalah tidak.Tentu saja aku tidak akan menjenguk Papa. Terlalu malas melihat wajahnya. Ada tidaknya dia, tak berpengaruh apapun bagi hidupku, terlebih kantongku.Saat sehat hanya ingat istri dan dua anak ny

  • Dua Sisi Menantu    Bab 28 POV ILYAS (Membencimu)

    Berkali-kali dering ponselku terdengar. Panggilan Ara yang ku abaikan. Ibu dan Bunda telah kuminta untuk tak usah lagi datang, dan aku meminta waktu untuk sendiri. Setelah mengatakan hal itu, Bunda langsung berhenti menghubungi. Hanya Ibu yang masih terus saja menghubungi, meminta kepastian dan penjelasan.Ah, Ibu. Haruskah ku katakan bahwa anak lelakimu yang telah menaklukan laut di bumi ini baru saja dipermainkan seorang wanita dan saat ini menjadi hancur?Dan, wanita itu adalah menantu idamanmu? Juga, istri idaman anakmu?"Yas, yang di cafe gimana?" Suara Rangga menyadarkanku dari lamunan."Entahlah, Ga. Rasanya gue nggak bisa mikir lagi.""Yas, gue paham perasaan lu. Gue pernah di posisi lu, ya walau si mantan nggak separah si Ara sih. Jancuk! Asli parah banget itu emang si Ara. Gue nih normal ya, Yas. Tapi tadi pas liat selimut si Ara melorot, yang ada tambah jijik gue. Halah, susah gue move on dari em

  • Dua Sisi Menantu    Bab 27 POV ILYAS (Tertangkap basah)

    POV ILYAS (Tertangkap basah)Dua bulan setelah itu. Tepat usia Ara yang akan ke dua puluh empat. Dia merengek manja padaku meminta sebuah hadiah besar untuk ulang tahunnya. Aku tertawa dibuatnya, karena ia mengomel panjang lebar sebelum memutuskan panggilan begitu saja.Kukatakan dia tidak akan mendapatkan apa-apa dariku. Sudah tua, tak pantas lagi meminta dan menerima kado, itu alasanku. Padahal sebenarnya aku sudah menyiapkan hadiah khusus dan besar untuknya. Sebuah mobil sunroof berwarna merah impiannya, tak lupa sebuah cincin yang akan aku sematkan dijarinya. Ya, benar kata Ibu. Usia kami sudah pantas untuk menikah. Aku mapan, begitupun Ara. Tak ada alasan untuk menunda lagi. Terlalu lama, tak baik juga.Satu minggu sebelum ulang tahun Ara, aku izin pulang. Menaiki pesawat Etihad Airways aku menuju Indonesia. Dengan membawa harapan dan cinta yang besar untuk perempuanku. Calon Ibu dari anak-anakku. Sarah Tara Putri.

  • Dua Sisi Menantu    Bab 26 (Ara)

    POV ILYAS (Ara)Ara namanya. Perempuan ceria nan supel yang telah memikat hatiku. Pemilik kulit putih dengan senyum manis itu benar-benar memberi warna dalam hati. Awal berkenalan dengannya karena pertemuan tak terduga, sama-sama mengantri membeli makanan cepat saji."Kak, nomor antrian berapa?" Sebuah suara menyapa."19," jawabku tanpa menoleh. Asik berbalas chat dengan teman di ponsel terbaru bermerk Blackberry."Cepat ya, aku 27. Hm bisa titip nggak, Kak? Cuma seporsi nasi ayam, kentang goreng, dan milo dingin aja kok.""Nggak!""Huh, pelit," cibirnya, "pantes sombong, orang kaya." Mendengar ucapannya seketika membuatku menoleh.Cantik. Satu kata didetik pertama. Lalu perempuan itu merangsek maju menemui seorang Ibu paruh baya didepanku. Melakukan usaha yang sama. Dan, berhasil.Gigih. Dua kata didetik ke dua puluh. Entah mengapa mata ini menjadi tak ingin lepas m

  • Dua Sisi Menantu    Bab 25 (Rasa yang tak nyaman 2)

    "Sayang, udah selesai?" tanya Mas Ilyas padaku."Sudah, Mas. Tapi ini pastikan Mas kita ke kampung? Nanti udah kirim barang duluan ternyata nggak jadi pulang kan nggak enak sama Bapak dan Ibu," tanyaku memastikan lagi.Ya, rencana kami akan mengirim semua keperluan kami selama di kampung orang tuaku nanti. Karena sepulang pergi dari puncak kami akan langsung ke kampung selama sebulan seperti janji Mas Ilyas. Untuk langsung membawanya rasanya tak mungkin, jadi kami putuskan untuk mengirim semua barang duluan kesana."Pasti sayang. Pasti. Mas nggak akan bohong kok. Sepulangnya dari puncak kita langsung ke kampung.""Baik, Mas.""Oh ya, lauk untuk Ibu sudah di siapkan, Nis?""Sudah, Mas. Tinggal pasang saja, karena tadi masih panas.""Yasudah, biar Mas yang pasangkan ya," jawab Mas Ilyas lalu pergi beranjak.Setelah mengirim barang, tepat pukul dua belas aku tiba di rumah Ibu. Suasana ruma

DMCA.com Protection Status