Tak bisa dipungkiri, sebagai sepupu, Hera pun senang mengetahui Iren mendapatkan pasangan yang benar-benar cocok untuknya. Tidak seperti dirinya, ia hanya bisa mencintai sosok Gama suaminya dari jauh, memupuk harapan kalau suatu saat Gama akan menerimanya sebagai istri. Tapi malam itu malah terjadi dan membuat semua harapan yang sudah Hera pupuk menjadi hancur.
Hanya tersisa rasa kecewa yang sampai saat ini masih dirasakannya.
Fatma kembali menyentuh lengannya, menyadarkan Hera dari lamunannya tentang Gama.
“Hera. Kau masih ingat, sejak dulu kau dan Iren seperti sepasang anak kembar. Kemana-mana selalu bersama, bermain bersama, dan kalian dekat seperti saudara kandung. Itu sebabnya, Iren merasa hancur saat kau pergi tanpa kabar. Untuk itu Bibi ingin berpesan sesuatu padamu,” jemari Fatma kini menggenggam tangan Hera. Menatap bola matanya yang bulat itu dengan serius.
“Apapun yang terjadi, hubungan persaudaraan kalian harus se
“Kau yakin tidak ingin masuk dulu?” tanya Iren yang berharap Gama berubah pikiran.Namun sayangnya Gama tetap menggeleng dengan tegas. Membuat bibir Iren maju beberapa senti.“Tidak. Aku akan langsung ke rumahku lagi,” jawab Gama dengan senyum kecil.Sembari melepaskan seatbeltnya, Iren mendesah kecewa. Tapi ia tetap mengangguk. “Ya sudah. Sampai jumpa besok, sayang. Semoga mimpimu indah malam ini.”“Kau juga,” balas Gama.Iren mendekatkan wajah, mengecup kilat pipi Gama lalu turun dari mobil.Gamamelambaikan tangan saat Iren melambai padanya. Tapi sebelum melajukan mobil, ia mengarahkan matanya terlebih dahulu ke arah rumah Iren yang tampak terang karena lampu-lampunya yang menyala.Entah mengapa Gama merasa penasaran dengan sosok sepupu Iren yang bernama Hera. Matanya masih memindai bagian pintu rumah, berharap sepupu Iren itu akan muncul di sana. Tapi sampai sa
Duduk di kursi tunggu, Hera saling meremas tangannya gelisah. Matanya memanas. Entah berapa puluh kali Hera berusaha menepis air di sudut matanya. Ia tak ingin menangis.Jangan sampai saat ia menemui Mentari nanti, anak itu akan melihat tangis di matanya.“Apa yang sedang dilakukan dokter di dalam sana. Kenapa dia lama sekali,” cemas Hera bangkit berdiri lalu bergerak mondar-mandir seperti setrikaan.Iren menaikan panakandangan dan menatapnya iba. Iren yakin, ibu manapun pasti merasakan kegelisahan dan kecemasan yang sama jika ada di posisi yang sama dengan Hera.Menghembuskan napas pelan, Iren pun ikut bangkit dan menghentikan langkah Hera dengan menyentuh pundaknya.“Tenang, Hera. Dokter sedang melakukan tugasnya. Dia pasti akan berusaha melakukan yang terbaik untuk Mentari. Kau harus percaya, Mentari akan baik-baik saja,” hibur Iren.Hera tak mengangguk. Ia hanya menatap lirih pada pintu ruang UGD yang tertut
Iren tidak tahu kalau sebenarnya Gama sedang bersiap mengganti piyamanya dengan jeans dan kaus. Gama berniat datang ke Rumah Sakit ‘Pelita Hati’. Dimana Iren dan keponakannya berada saat ini.Setelah meminta sopirnya menyiapkan mobil, Gama lantas masuk dan mengemudikan mobilnya keluar dari area pelataran rumah.Begitu mobil Gama pergi, satpam langsung kembali menutup pintu gerbang.“Mau ke mana Tuan Gama larut malam begini. Mungkin dia mau pergi ke club malam,” gumam satpam itu menduga-duga sembari menggeser pintu gerbang, lalu menggemboknya.Tak berapa lama setelahnya, Hera menghentikan mobil di depan gerbang dan ia turun lantas berlari memencet bel yang terletak di samping gerbang besar itu.Membuat sopir yang tadinya sudah terkantuk-kantuk, langsung terbangun dan menghampiri Hera.“Anda sedang mencari siapa, Nona? Ini sudah larut malam,” tanya satpam itu yang Hera lihat di papan namanya bertuliska
Iren tertawa kecil mendengar celotehan Mentari.“Pokoknya Om Gama harus menerima boneka kelinci pemberianku. Om juga harus menjaganya dengan baik. Seperti aku yang selalu sayang dengan mereka,” kata Mentari menunjuk pada boneka kelinci yang ia peluk dan pada boneka kucing yang dipegang Gama.Gama tersenyum dan mengangguk. Meski sebenarnya orang dewasa sepertinya tak suka bermain boneka, tapi Gama tak bisa menolaknya.Entah mengapa Gama menerimanya dengan senang hati.“Baiklah. Om Gama akan menjaganya dengan baik. Demi dirimu, Mentari.” Gama mengusap lembut rambut Mentari dan menatapnya dengan senyum terhangat yang belum pernah ia berikan pada orang lain sebelumnya.***Dua jam sudah Hera menunggu Gama yang tak kunjung datang. Sedari tadi matanya juga tak melihat mobil lelaki itu meski berulang kali ia mengamati jalan.Sampai telpon dari Iren yang mengatakan kalau Mentari mulai menanyakannya, m
“Setelah itu jangan bilang kalau kau juga masih mencintainya,” lanjut Iren mengacungkan telunjuknya di depan wajah Hera. Hera menatapnya lurus. Tak mau menanggapi ucapan Iren, Hera menggeleng pelan. Kemudian mengusap wajahnya dengan sebelah tangan.“Aku mau mandi. Habis itu mau ke rumah Bibi sebentar untuk mengambil pakaian gantinya Mentari,” ucap Hera bangkit dari duduknya. “Apa kau tidak akan masuk kantor hari ini, Iren?” tanya Hera.Iren menggeleng. “Gama membebaskanku dari pekerjaan kantor hari ini. Dia mengerti kalau kau butuh aku selama Mentari dirawat.”Hera terenyuh mendengar ucapan Iren barusan. Sejak dulu, Iren memang tidak pernah membiarkannya sendiri melewati setiap masalah. Begitupun sebaliknya. Hera selalu menggenggam tangan Iren selayaknya seorang kakak pada adiknya.Tali persaudaraan di antara mereka sangat erat. Wajar jika Iren merasa kehilangan ketika Hera pergi tanpa ka
“Dokter di sini baik, Om. Tadi aku kemo lagi. Kata dokternya kemo itu agar aku sembuh dan jadi anak yang kuat. Rasanya memang sakit, Om. Tapi tidak apa-apa. Kalau aku sudah sembuh nanti aku bisa seperti sofia. Bisa pergi ke sekolah, punya banyak teman dan bisa main di luar. Iya ‘kan, Om Steve?”Ditanya seperti itu, Steve mengerjapkan matanya, lantas ia segera mengangguk dan tersenyum pada Mentari. Meski ia tahu Hera mati-matian menahan tangisnya di sana.‘Iya, sayang. Itu pasti. Kau adalah sofiaku. Sofia kecilku yang manis.’***“Kenapa di saat sedang bekerja pun, aku masih saja mengingat Mentari?” gumam Gama bertanya-tanya seraya menatap pada boneka kucing yang ia pegang.Saat ini Gama berada di kantor. Ia tengah duduk di balik meja kerjanya. Tadinya ia sibuk berkutat dengan setumpukan berkas yang harus ditandatangani.Tapi entah mengapa rasanya sulit sekali untuk mengabaikan bonek
Malam harinya, dokter memeriksa kondisi Mentari yang baru saja terlelap di ranjang rawatnya. Hera menatap cemas.Ia mengamati dokter sambil berpangku tangan. Hatinya gusar.“Bagaimana dokter? Mentari baik-baik saja ‘kan? Tadi sore dia sempat mengeluhkan sakit kepala dan tubuhnya menggigil lagi.” Hera bertanya sembari memberitahukan pada dokter apa yang terjadi pada Mentari sore tadi. Dokter menatap Hera lalu mengangguk. “Tidak apa. Saat ini tidak ada yang perlu dikhawatirkan pada Mentari. Tapi… soal transplantasinya, kalau bisa secepatnya.”Hera mengerti. Meskipun Dokter Andress berkata keadaan Mentari baik-baik saja. Tapi dari raut wajahnya, Hera menebak sebaliknya.Maka dari itu Dokter Andress kembali menyuruhnya segera mencari pendonor yang tepat. Secepatnya.Hera mengangguk.“Baik, Dokter. Akan aku usahakan Mentari segera melakukan operasi transplantasi sum-sum tu
Gama melihat Hera yang berdiri menatapnya. Tangannya memeluk tubuhnya sendiri karena kedinginan.Mengetatkan rahangnya, Gama membuka seatbelt yang membelit tubuhnya, lalu turun dari mobil dengan menggunakan payung yang langsung diberikan oleh Taryo pada Gama.Hera memerhatikan Gama yang kini melangkah mendekatinya. Dalam setiap langkah lelaki itu, darah dalam tubuh Hera berdesir.“Gama…” Hera bergumam pelan. Gama hanya bisa melihat bibir Hera yang bergerak tanpa suara.Dalam hujan yang kian menderas, Hera merasa ulu hatinya sedang diremas oleh tangan tak kasat mata. Ketika langkah Gama berhenti tepat di depannya, Hera mematung.Tatapan sedingin es itu membuat tubuhnya membeku.“Bagus! Setelah pergi bertahun-tahun, rupanya kau masih ingat kata pulang!” sinis Gama.Hera meneguk ludahnya kasar. Tubuhnya mulai menggigil. Hera tahu ia bisa saja demam setelah ini, tapi Hera mengabaikan dirinya.Sa
Steve menyentuh lengan Hera, mengusap punggungnya menenangkan.“Maaf. Aku tidak tahu kalau Mentari akan jadi murung dan tidak mau makan seperti ini karena bersikeras menunggu Gama.” anak itu memang tidak mau makan. Padahal Steve sudah menjelaskan padanya bahwa sebenarnya Gama tidak akan datang ke Singapore.Tetapi anak itu tetap bersikukuh menunggu Gama sambil menatap ke luar jendela yang terbuka, membiarkan angin menerpa kulit wajahnya yang putih, terkadang menggoyangkan rambutnya perlahan.Suara bell yang berbunyi membuyarkan lamunan mereka. Hera mengerjap, menoleh ke arah pintu.“Mungkin itu tukang laundry. Aku akan bukakan pintu dulu,” katanya yang dijawab anggukan oleh Steve.Kaki jenjang Hera berjalan menuju pintu, tangan itu menarik kenop dan membukanya.Selanjutnya mata Hera membeliak lebar. Mulutnya terbuka saking tidak percayanya dengan apa yang ia lihat saat ini.“Ga-Gama!” pe
“Ma? Kita akan kembali ke Singapore ya? Kita akan naik pesawat lagi seperti waktu itu?” berjalan di bandara, Mentari yang dituntun oleh Steve dan Hera di kedua sisi, kini mendongkakan kepala menatap Hera.Hera menunduk, lalu tersenyum mengangguk.“Benar, sayang. Kita akan kembali ke Singapore.”“Tapi kenapa kita harus kembali ke sana, Ma? Padahal aku sudah betah di rumah Kakek Bimo dan Nenek Fatma.” pertanyaan kedua kembali meluncur dari mulut mungilnya, mendesak Hera untuk segera memutar otak, mencari jawaban yang paling tepat.“Mama sangat merindukan Singapore. Dan kau pun merasakan hal yang sama, bukan?” Hera mencubit pelan hidung mungil Mentari. Di sampingnya, Steve mengulum senyum tipis.“Ma. Apa Papa tidak ikut dengan kita?”Hera tertegun menghentikan langkahnya. Nama lelaki yang tidak ingin ia dengar, kini justru keluar dari mulut anaknya sendiri.Hera dan Steve
Mobil Gama dan mobil Steve keluar beriringan melewati gerbang rumah Iren.Di balik kemudi, Gama memukul setir, sembari mengeletukan giginya saat matanya terus menatap tajam ke arah mobil Steve yang melaju di depan sana.“Aku penasaran. Apa benar dia sedekat itu dengan Hera?” gumamnya diliputi rasa cemburu.Mendadak Steve menghentikan mobilnya ketika tiba-tiba mobil Gama menghadang di depan sana. Sepertinya Gama sengaja menghalangi laju mobil Steve.Membuat Steve mengerutkan keningnya heran. “Apa yang dia lakukan? Apa maksudnya menghentikan mobil di depan mobilku?”Sedikit kesal Steve membuka seatbeltnya. Tangannya membuka pintu, kakinya turun menapaki aspal. Lantas dengan menyingsingkan lengan kemejanya, Steve berjalan menghampiri Gama yang kini sudah berdiri di depannya sambil berpangku tangan.“Ada masalah apa kau denganku, Brother? Apa kau tidak tahu bagaimana caranya menghentikan mobil di jalanan?” tan
“Kalian berbeda karena—““Iren!” Bimo yang datang langsung menegur Iren agar tidak melanjutkan ucapannya. Membuat Hera dan Gama yang sempat terkejut, kini bisa menarik napas lega.Bimo mendekat, menghampiri Mentari dan mengusap puncak kepala anak itu. “Tidak, sayang. Jangan pikirkan apa yang Tante Iren katakan. Kau kembali belajar ya.”“Iya, Kek.” Mentari mengangguk, kembali fokus menunduk pada buku tiga dimensi di pangkuannya, lalu mengenali setiap gambar yang ada di sana.Sedangkan Bimo melayangkan tatapan tajamnya pada Iren. Membuat Iren kebingungan. Karena ia merasa tak melakukan salah apapun.“Lain kali jaga bicaramu. Jangan sampai kau mengatakan sesuatu yang akan mengganggu pikiran dan perasaan Mentari!” bisik Bimo di telinga Iren.Setelahnya, Gama mengajak Mentari bermain di halaman belakang. Hera membantu Fatma menyiapkan makan siang di atas meja. Saat akan menga
Malam ini hujan deras mengguyur kota Jakarta. Langitnya hitam pekat, sepekat perasaan Gama saat ini.Mendesah pelan, Gama berdiri menyandarkan punggungnya pada tembok rumah sakit. Dengan ditemani Hera yang berdiri di sampingnya. Setelah Iren tak sadarkan diri, ia langsung dilarikan ke rumah sakit. Beruntung Iren tidak terlambat mendapatkan pertolongan medis. Mengingat ia bisa saja kehabisan darah.“Apa Mentari sudah tidur?” tanya Gama pada Hera, tetapi matanya tetap menatap nyalang ke depan.Hera melirik Gama sebentar, lalu mengangguk. “Ya. Bibi mengirimkan pesan, katanya dia sudah tidur setengah jam yang lalu,” jawab Hera.Gama mengangguk-anggukan kepalanya. Kemudian memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana. Gama memijit pangkal hidungnya, kepalanya terasa pening. Banyak sekali masalah yang memenuhi pikirannya. Dan sepertinya masalah yang terjadi saat ini adalah yang paling berat. Gama tidak tahu apa ia sanggup m
Baru saja pantatnya menyentuh kursi kemudi, matanya kembali melirik ke arah papper bag itu yang sekarang sudah bergabung dengan bunga yang Gama beli. Itu juga khusus untuk Hera.“Semoga dia akan menyukainya. Ah, aku sangat tidak sabar. Ingin segera menikahimu dan memulai semuanya dari awal lagi. Kali ini tidak boleh ada penderitaan, rasa terpaksa, atau saling menyakiti. Pernikahan kita harus berdasar cinta dan kasih sayang. Karena hanya cinta yang akan menjadi pondasi terbaik dalam pernikahan. Meskipun aku belum pernah mendengar kata cinta dari mulut Hera, tetapi cukup melalui tatapannya saja, aku sudah tahu kalau Hera pun mencintaiku.”Setelah mengucapkan itu, senyumnya kembali melebar. Hatinya melambung tinggi, rasanya Gama ingin segera bertemu Hera, melihat wajah cantiknya, mendekapnya seerat yang ia bisa.Untuk bisa mewujudkan keinginannya itu, maka Gama segera melajukan mobilnya menuju ke rumah Bimo dan Fatma. Dimana dua wanita yang sangat
Hera tersenyum. Menggeser pandangannya hingga tertuju pada Mentari. Lalu ditariknya tangan Gama untuk mendekati kursi roda Mentari.Gama tidak tahu apa yang akan Hera lakukan. Tetapi ia tetap mengikuti wanita itu.“Mama! Om Gama!” mata bulat Mentari berbinar senang begitu Gama dan Hera tiba di hadapannya.Gama tersenyum pedih. Mendengar mulut Mentari masih menyebutnya om, membuat hati Gama meringis.Hera berjongkok, meraih tangan Mentari lalu menatap matanya lamat. Fatma dan Bimo hanya memerhatikan dari samping kiri dan kanan bocah mungil itu.“Mentari. Mama ingin mengatakan sesuatu padamu. Jadi dengarkan Mama baik-baik. Oke?”“Iya, Ma.” kepala mungilnya mengangguk.Hera menarik napas sebentar, melirik sesaat ke arah Gama yang berdiri gelisah, kemudian matanya kembali menatap Mentari yang memasang wajah penasaran di depannya.“Apa kau ingat, dulu kau sering bertanya tentang siapa nama P
Gama hanya menatap Iren dengan lurus. Meski hatinya juga tak tega melihat Iren menangis di depannya.“Ayahmu bukannya tidak menyayangimu. Tetapi dia tahu kau tidak akan bahagia jika menikah denganku,” ucap Gama meralat perkataan Iren.Tetapi Iren menggeleng, tetap dengan anggapannya.“Tapi hatiku sangat yakin kalau aku akan bahagia dengan pernikahan kita. Aku yakin itu!”Kali ini Gama yang menggelengkan kepalanya, melepaskan genggaman tangan Iren hingga membuat raut wajahnya semakin merengut kecewa.“Ini pasti sangat berat buatmu. Tapi aku lebih setuju dengan Ayahmu. Jadi maaf, aku tetap pada pendirianku. Rencana pernikahan kita tidak akan bisa dilanjutkan.”Gama kemudian membalikan badan, mengalihkan pandangan dari Iren, enggan terus melihat tangis wanita itu yang membuatnya semakin merasa tak tega.Iren membuka mulutnya terperangah. Matanya menatap Gama dengan wajah sedih. Hatiny
Dengan tangan yang gemetar, Darma mengusap air di sudut matanya. Perlahan kakinya melangkah mendekati sofa dimana Mentari duduk.“G… H… I… J…”“Mentari!” panggilnya pelan.Mentari mendongkak menatap Darma, alisnya bertaut bingung, matanya mengerjap bertanya-tanya, siapa kiranya lelaki tua yang saat ini menatapnya berkaca-kaca ini? Mengapa dia mengetahui namanya?“Kakek siapa?” tanyanya penasaran.Di belakang sana, Hera tersenyum melihat Darma yang ikut duduk di samping Mentari. Menyentuh kedua tangan mungilnya, mengecupinya berkali-kali.“Kakek jangan menciumku! Kata Mama aku tidak boleh dicum sembarangan oleh orang asing!” dengan cepat Mentari mengusap kedua pipinya yang baru saja diciumi oleh Darma, Darma terkekeh melihat itu.Hera meringis, ia memang pernah memberitahu Mentari untuk tidak sembarangan menerima ciuman orang karena takut dengan kas