Iren tidak tahu kalau sebenarnya Gama sedang bersiap mengganti piyamanya dengan jeans dan kaus. Gama berniat datang ke Rumah Sakit ‘Pelita Hati’. Dimana Iren dan keponakannya berada saat ini.
Setelah meminta sopirnya menyiapkan mobil, Gama lantas masuk dan mengemudikan mobilnya keluar dari area pelataran rumah.
Begitu mobil Gama pergi, satpam langsung kembali menutup pintu gerbang.
“Mau ke mana Tuan Gama larut malam begini. Mungkin dia mau pergi ke club malam,” gumam satpam itu menduga-duga sembari menggeser pintu gerbang, lalu menggemboknya.
Tak berapa lama setelahnya, Hera menghentikan mobil di depan gerbang dan ia turun lantas berlari memencet bel yang terletak di samping gerbang besar itu.
Membuat sopir yang tadinya sudah terkantuk-kantuk, langsung terbangun dan menghampiri Hera.
“Anda sedang mencari siapa, Nona? Ini sudah larut malam,” tanya satpam itu yang Hera lihat di papan namanya bertuliska
Iren tertawa kecil mendengar celotehan Mentari.“Pokoknya Om Gama harus menerima boneka kelinci pemberianku. Om juga harus menjaganya dengan baik. Seperti aku yang selalu sayang dengan mereka,” kata Mentari menunjuk pada boneka kelinci yang ia peluk dan pada boneka kucing yang dipegang Gama.Gama tersenyum dan mengangguk. Meski sebenarnya orang dewasa sepertinya tak suka bermain boneka, tapi Gama tak bisa menolaknya.Entah mengapa Gama menerimanya dengan senang hati.“Baiklah. Om Gama akan menjaganya dengan baik. Demi dirimu, Mentari.” Gama mengusap lembut rambut Mentari dan menatapnya dengan senyum terhangat yang belum pernah ia berikan pada orang lain sebelumnya.***Dua jam sudah Hera menunggu Gama yang tak kunjung datang. Sedari tadi matanya juga tak melihat mobil lelaki itu meski berulang kali ia mengamati jalan.Sampai telpon dari Iren yang mengatakan kalau Mentari mulai menanyakannya, m
“Setelah itu jangan bilang kalau kau juga masih mencintainya,” lanjut Iren mengacungkan telunjuknya di depan wajah Hera. Hera menatapnya lurus. Tak mau menanggapi ucapan Iren, Hera menggeleng pelan. Kemudian mengusap wajahnya dengan sebelah tangan.“Aku mau mandi. Habis itu mau ke rumah Bibi sebentar untuk mengambil pakaian gantinya Mentari,” ucap Hera bangkit dari duduknya. “Apa kau tidak akan masuk kantor hari ini, Iren?” tanya Hera.Iren menggeleng. “Gama membebaskanku dari pekerjaan kantor hari ini. Dia mengerti kalau kau butuh aku selama Mentari dirawat.”Hera terenyuh mendengar ucapan Iren barusan. Sejak dulu, Iren memang tidak pernah membiarkannya sendiri melewati setiap masalah. Begitupun sebaliknya. Hera selalu menggenggam tangan Iren selayaknya seorang kakak pada adiknya.Tali persaudaraan di antara mereka sangat erat. Wajar jika Iren merasa kehilangan ketika Hera pergi tanpa ka
“Dokter di sini baik, Om. Tadi aku kemo lagi. Kata dokternya kemo itu agar aku sembuh dan jadi anak yang kuat. Rasanya memang sakit, Om. Tapi tidak apa-apa. Kalau aku sudah sembuh nanti aku bisa seperti sofia. Bisa pergi ke sekolah, punya banyak teman dan bisa main di luar. Iya ‘kan, Om Steve?”Ditanya seperti itu, Steve mengerjapkan matanya, lantas ia segera mengangguk dan tersenyum pada Mentari. Meski ia tahu Hera mati-matian menahan tangisnya di sana.‘Iya, sayang. Itu pasti. Kau adalah sofiaku. Sofia kecilku yang manis.’***“Kenapa di saat sedang bekerja pun, aku masih saja mengingat Mentari?” gumam Gama bertanya-tanya seraya menatap pada boneka kucing yang ia pegang.Saat ini Gama berada di kantor. Ia tengah duduk di balik meja kerjanya. Tadinya ia sibuk berkutat dengan setumpukan berkas yang harus ditandatangani.Tapi entah mengapa rasanya sulit sekali untuk mengabaikan bonek
Malam harinya, dokter memeriksa kondisi Mentari yang baru saja terlelap di ranjang rawatnya. Hera menatap cemas.Ia mengamati dokter sambil berpangku tangan. Hatinya gusar.“Bagaimana dokter? Mentari baik-baik saja ‘kan? Tadi sore dia sempat mengeluhkan sakit kepala dan tubuhnya menggigil lagi.” Hera bertanya sembari memberitahukan pada dokter apa yang terjadi pada Mentari sore tadi. Dokter menatap Hera lalu mengangguk. “Tidak apa. Saat ini tidak ada yang perlu dikhawatirkan pada Mentari. Tapi… soal transplantasinya, kalau bisa secepatnya.”Hera mengerti. Meskipun Dokter Andress berkata keadaan Mentari baik-baik saja. Tapi dari raut wajahnya, Hera menebak sebaliknya.Maka dari itu Dokter Andress kembali menyuruhnya segera mencari pendonor yang tepat. Secepatnya.Hera mengangguk.“Baik, Dokter. Akan aku usahakan Mentari segera melakukan operasi transplantasi sum-sum tu
Gama melihat Hera yang berdiri menatapnya. Tangannya memeluk tubuhnya sendiri karena kedinginan.Mengetatkan rahangnya, Gama membuka seatbelt yang membelit tubuhnya, lalu turun dari mobil dengan menggunakan payung yang langsung diberikan oleh Taryo pada Gama.Hera memerhatikan Gama yang kini melangkah mendekatinya. Dalam setiap langkah lelaki itu, darah dalam tubuh Hera berdesir.“Gama…” Hera bergumam pelan. Gama hanya bisa melihat bibir Hera yang bergerak tanpa suara.Dalam hujan yang kian menderas, Hera merasa ulu hatinya sedang diremas oleh tangan tak kasat mata. Ketika langkah Gama berhenti tepat di depannya, Hera mematung.Tatapan sedingin es itu membuat tubuhnya membeku.“Bagus! Setelah pergi bertahun-tahun, rupanya kau masih ingat kata pulang!” sinis Gama.Hera meneguk ludahnya kasar. Tubuhnya mulai menggigil. Hera tahu ia bisa saja demam setelah ini, tapi Hera mengabaikan dirinya.Sa
Hera tersenyum pahit. Tampak raut lelah tergambar di wajahnya. Membuat Iren miris dan kasihan.“Pasti, Hera! Pasti!” Iren menarik Hera, memeluknya erat tanpa merasa risih mengingat baju Hera yang basah.“Kau tahu, Hera. Belum bertemu saja aku sudah sangat membenci mantan suamimu. Apalagi jika aku sudah melihat wajahnya. Dia adalah satu-satunya lelaki yang paling pengecut dan brengsek di dunia ini.”Hera tak menanggapi ucapan Iren. Ketika membalas pelukan Iren, Hera menumpahkan rasa sakitnya ketika Gama mengujarkan kebenciannya yang begitu dalam.Hera paham. Wajar saja Gama membencinya. Karena Hera tahu ialah yang sudah membuat ibu dari lelaki itu menderita sakit keras hingga akhirnya meninggal.Jadi Hera tak terlalu menyalahkan Gama jika kebencian mendalam di hatinya.***Hari ini Dokter Andress sudah membolehkan Mentari pulang ke rumah. Karena melihat kondisi Mentari yang sudah sedikit membai
“Gama akan datang!” seru Iren di depan kedua orang tuanya, serta Hera dan Mentari yang sedang duduk menonton TV di ruang tengah.Iren baru pulang kerja. Dan ia langsung menghampiri keluarganya untuk memberitahu berita bahagia ini.“Gama mau datang ke rumah ini?” Fatma bertanya. Iren mengangguk segera.“Iya, Bu. Dia akan datang untuk melamarku. Dan kami akan langsung menentukan tanggal pernikahan malam ini.” Iren menyerbu Fatma, duduk di dekatnya dan memeluknya dari samping.“Om Gama akan datang ke sini, Tante?” kali ini Mentari yang bertanya. Menatap Iren dengan wajah antusiasnya.“Iya sayang. Om Gamamu akan datang. Kau ingin bertemu dengannya lagi ‘kan?”“Iya, Tante. Aku mau bertemu Om Gama!” seru Mentari. Kemudian menoleh pada Hera dan menggoyang pelan lengannya. “Ma. Mama belum bertemu dengan Om Gama ‘kan? Om Gama itu tampan, Ma. Dia sangat bai
“Apa lamarannya akan dimulai atau kalian hanya akan terus berbisik-bisik di depan kami? Beginilah kalau orang sedang kasmaran, dunia pun menjadi serasa milik berdua,” goda Bimo dan Fatma lalu mereka terkekeh bersama. Menertawakan pasangan kekasih yang menunduk malu di depan mereka.Akhirnya, setelah Gama meminta restu dari kedua orang tua Iren, ia pun langsung memasangkan cincin berlian di jari manis kekasihnya itu. Bahkan tanggal pernikahan sudah ditentukan.Gama dan Iren memilih tanggal 10 mei sebagai hari sakral mereka. Dan kedua orang tua Iren sangat setuju.Gama lantas mengecup kening Iren dengan lembut, matanya terpejam sebentar saat melakukannya. Sekelebat bayangan wajah Hera seketika mengganggunya, membuatnya segera membuka mata.“Hanya tiga bulan lagi. Bertepatan dengan hari ulang tahun Iren. Ibu dan Ayah tidak sabar menunggu hari ini. Semoga hubungan kalian selalu baik sampai hari pernikahan,” ucap Fatma yang