"Bagaimanapun juga Syifa itu putriku."Dila merasa aneh, mendengar ucapan Radit. Lelaki itu bermaksud untuk menyampaikan pesan kepada dirinya bahwa dia juga punya andil dan tanggung jawab kepada putri mereka. "Jadi, kau ingin memperingatkan aku?" Radit ingin menyampaikan sesuatu. Ia sadar bahwa Dila menangkap maksudnya. Namun kemudian, ia mendelik. Ia tidak ingin wanita itu semakin kesal padanya. Mengambil hati itu butuh usaha dan pengorbanan. Ia sangat pahami hal itu."Bukan begitu, Dil. Aku hanya ....""Sudahlah, aku lagi malas mendengar pembelaanmu." Dila melangkah pergi kemudian mengejar putrinya yang sudah menjauh bersama Desri. "Kok, Papa gak ada? Papa mana, Ma?""Dia akan nyusul, katanya. Kita pergi lebih dulu." "Tapi ...." Syifa cemberut. Wajahnya nampak kecewa."Papa-mu ke kantor sebentar, ntar juga dia nyusul kita. Buruan masuk ke mobil!"Dengan berat hati putri kecil itu masuk ke dalam mobil. Wajahnya kembali terlihat masam. Tidak butuh waktu lama ia kembali ceria karen
"Maksud aku? Kamu nanya maksud Abang? Jangan pura-pura bego, Ser. Katakan saja. Kamu dari mana?" tanya Radit dengan menajamkan tatapannya."Aku kan udah bilang, Bang. Aku di kampus. Apa aku membohongimu? Nih, silakan lihat draft bimbinganku dan tanda tangan pembimbing, Serli. Perhatikan hari dan tanggalnya!" Radit menautkan alisnya ke atas ketika melihat beberapa kertas berisi draft bimbingan. Ekspresi wajahnya berubah sangat marah, seolah dia dicundangi oleh wanita di depannya. Ia tidak menyangka Serli sangat pandai menyembunyikan sesuatu darinya. Padahal jelas sekali dia melihat Serli berduaan dengan seorang pria di mall siang tadi. Akan tetapi, wanita itu masih menampik.Memang benar tanggal yang tertulis di draft bimbingan tersebut hari ini. Namun, Radit tidak mudah dibohongi karena dia melihat sendiri Serli di mana. Ia menduga bahwa Serli ke mall setelah bimbingan. Pakaian yang dikenakan Serli pun sama dengan di mall tadi. "Siapa lelaki itu?""Lelaki yang mana? Lelaki di balik
"Ja-di, Abang ....""Ya, dari tadi aku menunggumu. Karena lama menunggu, aku pun tertidur lagi dan tidak tahu sudah berapa lama," ucap lelaki bercambang itu. Serli terdiam setelah mendengar jawaban Radit. Ia masih menunggu ucapan berikutnya dari Radit. Ia tidak tahu apa yang hendak dilakukan oleh lelaki di sampingnya itu. Tiba-tiba, Radit menarik tubuh Serli agar mendekat padanya. "Kau sangat menakjubkan dan membuatku takluk. Aku sampai lupa waktu!" Serli lega karena lelaki itu tidak membahas tentang percakapannya lewat telepon barusan. Suatu pertanda bahwa lelaki di sampingnya tidak tahu atau tidak mendengar."Siapa dulu, dong. Serli gak pernah ngecewain. Iya 'kan?" sahut Serli dengan melepaskan senyuman. Ia sangat puas karena pujian Radit padanya. "Kamu ...." Radit mencubit pipi wanita itu. Mereka pun kembali tidur karena malam semakin larut dan hening. ***"Bagaimana perkembangan usahamu melobi pemilik butik tersebut?" tanya Herjunot, Kepala Direktur tempat Radit bekerja.Ra
Tatapan Radit belum berkedip memerhatikan Dila yang berjalan menuju ke depan. Di sana terletak meja dan bangku yang tersedia untuk para petinggi dan juga mitra yang bekerjasama dengan perusahaan. Radit bertanya-tanya di dalam hati dan kepalanya. Ia sebenarnya masih penasaran dengan dengan kedatangan Dila ke acara tersebut. Dila sengaja belum memberi jawaban atas tawaran Radit, karena sebelumnya dia sudah didatangi oleh David, sekretaris perusahaan. David langsung turun tangan karena tidak melihat progres yang baik dari Radit. Herjunot sendiri yang memintanya langsung menemui Dila. "Dit, kamu belum pulang?" Seorang teman menegurnya. Radit belum bergeming dari tempatnya duduk, sedangkan acara telah usai. Entah bagaimana menggambarkan raut wajah dan perasaannya. Ia menjadi bahan lelucon di antara teman-teman yang lain, karena sebelumnya dia mengira akan diundang ke depan untuk menerima bonus atas usahanya. Ia pun menyesali ucapannya tadi. Kalau saja dia tidak mengucapkannya di depa
Hatinya benar-benar sakit. Ia baru melihat sikap Radit padanya, membentak keras dan menatapnya tajam seperti tadi. Sepanjang hubungan mereka, dia selalu diperlakukan dengan baik, tetapi tidak dengan beberapa hari belakangan. Semua telah berubah.Lelaki yang menikahinya secara siri itu telah berubah sikapnya. Serli menutup pintu kamar dengan perasaan dongkol. Ia mendengus kesal. Serli tidak mengerti dengan perubahan Radit yang sangat besar. Lelaki itu tidak seromantis seperti dulu ketika menyapa dan memperlakukannya. Justru semakin dingin. Terlihat banyak berpikir dan cuek padanya. Sudah sekitar dua jam, Serli di dalam kamar dan sangat gelisah. Ia belum bisa tidur karena kepikiran. Radit belum juga masuk ke kamar. Serli mencoba, melirik jam di pergelangan tangannya. Waktu sudah menunjukkan pukul 23.47 waktu setempat. Lagi-lagi dia mendengus. Karena tidak bisa menahan diri, Serli memutuskan bangkit dari tempat tidurnya dan menuju pintu kamar. Ia mendongakkan kepala setelah membuka p
"Maaf, suaraku tadi meninggi. Aku hanya kesal dengan sikapmu yang acuh tak acuh dengan usahaku. Aku lakukan ini untuk membiayai putriku juga 'kan." Radit berusaha merendahkan suaranya. Ia tidak ingin Dila semakin membencinya. Cara tersebut ia lakukan agar Dila tidak menjauhinya. Ia berharap Dila masih memiliki rasa untuknya."Aku sudah tidak peduli dengan itu. Perihal bonusmu dari perusahaan, tempatmu bekerja bukan urusanku. Sebaiknya, kau pergi sekarang dari sini. Aku khawatir putriku melihat pertengkaran ini." Dila tahu ucapan Radit hanya alibi, pasalnya lelaki itu belum pernah mengirim biaya hidup atau kebutuhan sekolah untuk putrinya. Selama ini, Dila sendiri yang meng-cover biaya kebutuhan putrinya. Dila tidak mempermasalahkan itu. Baginya, ia sudah bersyukur bila berpisah dengan lelaki itu, daripada harus menahan sakit hati yang berkepanjangan."Dengar, aku ayah dari putrimu. Jadi, kamu tidak berhak mengusirku seperti ini," bentak Radit. Ia mulai naik pitam karena Dila terkesan
Serly tidak peduli, justru melenggang pergi dan meninggalkan wanita itu marah-marah sendiri. “Ka-mu ….” Matanya membulat. “Serly ….” Santi tidak percaya dengan sikap mantunya tersebut. Meninggalkannya begitu saja. “Sialan wanita itu! Tunggu saja balasanku nanti,” ucapnya geram.Serly memasuki kamar dan mendapati Radit sedang berbaring. Ia pun mendekat dan duduk di sebelah lelaki itu. “Bang … Bang Radit!” Serly menegur suaminya dengan suara pelan. “Hmm ….”“Besokkan gajian, aku minta ditambahin dikit, ya. Keperluanku lumayan banyak untuk minggu depan,” ucapnya dengan nada lembut.“Lihat aja besok. Ibu juga minta ditambahin.”“Ibu! Emangnya untuk kebutuhan apa?”Mendengar ibu mertuanya meminta hal yang sama, Serli menjadi naik darah. “Wanita peot itu kenapa selalu membuat masalah?” batinnya.Dia pun berdiri kemudian pergi, meninggalkan Radit sendiri tanpa melanjutkan pembicaraan mereka.Setelah beberapa menit mengganti pakaian, Serli keluar dari rumah. Ia pun melangkah menuju taksi y
“Aduh, lepaskan! Kau hampir saja membuatku terjatuh,” bentak Dila sambil menatap kesal.Lelaki itu semakin berani dan tidak memedulikan akibat dari perlakuannya terhadap wanita di sampingnya. “Kau tidak menghargai pelanggan yang datang ke kedaimu. Bisakah kau lupakan dulu masalah kita. Aku hanya ingin bersantai sambil meminum kopi di sini.”“Tapi, masalahnya kedai akan tutup. Kami tidak beroperasi di malam hari. Apa kau tidak mendengar apa yang baru saja aku katakan?”Dila sudah tak bisa lagi menahan amarahnya, karena lelaki itu seakan tidak peduli dengan apa yang baru saja diucapkannya. Radit bersikap santai saja seakan tidak ada yang terjadi. “Kalau gitu, aku ingin menemui putriku. Ke mana Syifa dan Nisya? Abang udah lama gak ketemu dengan mereka, apalagi Nisya. Bagaimana rupanya sekarang?” Radit tiba-tiba saja teringat dengan putrinya yang bungsu. Hampir sekitar empat atau lima bulanan, dia belum bertemu dengan putrinya tersebut. Dia sangat merindukan mereka berdua, apalagi yang
Sebuah notifikasi panggilan masuk ke ponselnya. Herjunot segera menjawab panggilan tersebut. “Ada apa, Vid?”“Laporan yang anda minta beberapa minggu lalu sudah kami kumpulkan. Apakah anda ingin aku kirimkan sekarang, Tuan?”“Okay, silakan! Aku akan mengeceknya segera.”Herjunot beranjak menuju kamar kemudian duduk di kursi dan menyalakan laptop miliknya. Dengan segera membuka kotak masuk di email setelah laptop on. Beberapa menit kemudian pesan yang dinantikannya sudah masuk. Ia pun membuka dan memperhatikan dengan seksama isi laporan tersebut. Beranjak tempat duduknya dan segera meraih blazer miliknya. “Sayang, aku harus ke kantor sekarang. See you!” Herjunot mengecup keningnya.“Hati-hati ya, Mas. Jangan ngebut kalau mengendarai mobil.”“Gak, kok, Nato yang akan mengantarku ke kantor.”“Syukurlah.”Dila mengantarnya sekaligus menemani hingga ke depan pintu. Senyum indah ia berikan sebelum lelaki tampan yang disayanginya masuk ke mobil. Herjunot membalas senyum itu kemudian melambai
Mereka pun tiba di depan kamar. Pintu kamar terbuka dengan mudah. Herjunot membukanya dengan menggunakan kaki, kebetulan tidak terkunci rapat. Lelaki dengan tubuh atletis itu meletakan istrinya ke atas ranjang tempat tidur. Setelah membersihkan badan dan mengganti pakaian, Dila kembali duduk ke tepi ranjang. Tidak berselang lama Herjunot kembali duduk di sampingnya. Mereka bercengkerama bersama hingga tak terasa malam semakin larut. Herjunot menyandarkan kepala istrinya ke dada miliknya. Kedua insan yang sedang dimabuk asmara itu melewati malam yang syahdu dengan penuh gelora. Dila menoleh ke atas dan menatap wajah yang sangat menawan itu. “Mas, apakah kau tidak akan menyesal menikahiku?”“Pertanyaan macam apa itu? Kenapa kau tiba-tiba bertanya seperti itu?”“Tidak, Mas. Aku hanya khawatir dengan keadaan dan statusku yang sekarang. Aku seorang janda.”“Aku sudah memperhitungkan segalanya. Lagipula yang memutuskan untuk menikahimu adalah aku, bukan siapapun. Itu berarti aku memang mem
“Ya, Abang benar. Biasanya, tangisan anak kecil hanya sebagai siasat untuk meluluhkanmu, Bang.”“Nah, itu yang Abang maksud.”Hati Serly menjadi plong dari beban pikiran yang menyelimutinya tadi. Ia merasa dirinya masih sangat dibutuhkan oleh suaminya. Ia sangat bangga mendengar kata-kata tersebut keluar dari mulut lelaki di sampingnya. Matanya tidak berhenti menatap lelaki yang sedang menyetir mobil tersebut dengan puas diri. “Kamu kenapa aneh gitu, Ser?”“Aneh kenapa, Bang?” “Kenapa menatapku terus seperti itu? Senyum-senyum pula ….” Radit merasa aneh dengan sikap istrinya.“Ti-dak, kok, Bang.” Serly tergagap karena ketahuan suaminya menatap terus sambil tersenyum. Ia pun menolehkan kepala dan menatap lurus ke depan.Mobil masih terus melaju, mengantar mereka kembali ke rumah. Radit masih menyetir, tetapi matanya sesekali melirik ke Serly. Ia masih bertanya-tanya dengan sikap wanita, yang duduk di sampingnya. Sebelumnya, ia melihat raut wajah Serly yang cemberut di pesta tadi, kemu
Secara reflek Martin melakukannya. Hatinya mengarahkan untuk menuntun wanita tersebut. Raut wajahnya tidak menunjukan ekspresi sedih, marah atau canggung sedikitpun. Dila masih bertanya-tanya sambil sesekali melirik lelaki itu. Dila sadar banyak mata menatap mereka. Ia bingung bagaimana harus menyikapi tindakan Martin. Ia ingin memberi isyarat kepada Martin, tetapi tak enak hati karena semua sudah memperhatikan mereka. Kakinya tetap melangkah mengikuti arah ke mana lelaki itu mengantarnya. Herjunot menatap lelaki yang sedang berjalan dengan calon istrinya tersebut dengan tatapan penuh tanda tanya. Hingga mereka mulai mendekat padanya. “Silakan duduk calon iparku!” Martin mepersilakan Dila untuk duduk dengan melemparkan senyuman. “Terima kasih.”Akhirnya, Herjunot mengembuskan napas. Tanda tanya dan kebingungan tadi seketika lenyap. Martin meliriknya sebentar dengan menyunggingkan senyuman. “Selamat berbahagia, my brother!” ucapnya kemudian kembali menghampiri Celline yang sempa
Bab 57Dila terperanjat. “Ma-af, aku tidak mengerti apa maksudmu.”“Sejak pertama kali melihatmu, aku langsung jatuh hati padamu. Kau orang yang menyenangkan. Aku sangat suka bila mengobrol denganmu.”“Maaf, Mas, aku tidak bisa. Aku sudah tunangan dengan Herjunot. Kau sangat tahu kami saling mencintai.”“Aku tahu ini salah, tapi kau sudah terlanjur memikat hatiku.”“Mencintai beda dengan mengagumi. Mungkin anda hanya mengagumi.”“Aku serius, Dila. Aku harus jujur aku mencintai.”Dila deg-degan. Ia tak menyangka akan bertemu dengan seseorang yang sangat berani mengungkapkan isi hati padanya secara langsung. Namun, ia juga menjadi was-was karena lelaki itu tidak peduli dengan jawabannya. Sebelumnya, ia sudah mengatakan bahwa ia tidak bisa menerima lelaki itu. “Maaf, Aku tidak bisa. Bolehkah, aku melanjutkan pekerjaanku?” Dila merasa tidak nyaman bila ditatap terlalu dekat. Ia tidak pernah sedekat ini dengan orang asing baginya. Secara tiba-tiba, pintu ruangan Dila dibuka. Keduanya men
Bab 56“Aku, Tuan?” tanya Serly dengan nada bergetar. “Ya, aku berbicara denganmu. Siapa lagi?”“Baik, Tuan.” Wajah ceria Serly berubah suram. Tadi, ia berpikir semua telah selesai ketika Herjunot menyuruh mereka pergi. Ia mulai senang. Namun, semuanya berubah dalam beberapa detik di saat bos suaminya itu memanggil dan memintanya berhenti.“Dila, ada yang ingin kamu sampaikan padanya?”Dila menoleh ke Herjunot. Sebenarnya, ia tidak ingin membahas Serly dan mengingat perlakuan wanita itu. Bila melihat Serly, ia seperti melihat iblis berwujud manusia. Sangat berbahaya. “Aku ingin dia menjauh dari sini.” Dila sama sekali malas berurusan dengan wanita itu. Ia pun berlalu dan pergi lebih dulu ke ruang kerja Herjunot. Ia malas bertemu dengan Serly. Kini tinggal Herjunot dan Serly. Herjunot pun menatap Serly. “Kau harus mendapatkan kata maaf darinya, kemudian aku akan melepaskanmu. Jika tidak, hidupmu tidak akan aman. Kau tahu akhirnya ke mana? Kau akan berakhir di penjara dan membusuk
“Dila ….” Walaupun masih dalam kebingungan, ia tetap menyapa wanita di depannya.Martin beberapa kali mengajak Dila untuk mengobrol. Dia terlalu asyik mengobrol dan sesekali menanyakan perihal Herjunot ke Dila, sehingga tak sadar bahwa mereka terlalu lama mengobrol. Semakin mereka mengobrol, semakin membuat Martin ingin tahu lebih jauh. Dila merupakan teman yang asyik untuk diajak mengobrol apapun. “Aku dengar bahwa kalian sudah lama menjalin hubungan. Benarkah begitu?”“Iya, semenjak di masa sekolah menengah ….”Celline hampir saja tersedak oleh air yang diminumnya. Ia segera melap mulutnya dengan tisu. Ia tidak menoleh ke Dila. Namun, telinganya mendengar jelas jawaban Dila tadi.“Kau tidak apa-apa, Sayang?” tanya Martin sambil menyodorkan tisu padanya.“Tidak, Sayang. Aku hanya terburu-buru tadi.” Martin kembali menoleh ke lawan bicaranya. “Mungkin sebaiknya kita makan agar makanan ini tidak dingin.”“Benar. Yuk, kita makan!”“Oh, ya. Tadi, kau bilang, hubungan kalian semenjak ma
Herjunot menoleh ke wanita di samping Martin. Wanita itu menyunggingkan senyum yang mengisyaratkan sesuatu bahwa dia juga bisa mendapatkan yang lebih daripada lelaki di depannya. “Kenalkan, aku Celline ….” Wanita itu seolah merasa tidak mengenal Herjunot. Ia bersikap dingin saat mengulurkan tangan.“Herjunot ….” Lelaki itu membalas uluran tangannya.Di satu sisi, ia bahagia melihat wanita di depannya telah menemukan pengganti dirinya. Namun di sisi lain, ia merasa kasihan dengan sepupunya. Ia khawatir wanita itu memiliki tendensi lain. Apapun itu, ia tetap mendukung sepupunya, karena Martin sudah sering bercerita dengannya mengenai wanita ini. Ia ingin memberitahu sepupunya tentang Celline yang sesungguhnya. Akan tetapi, ia tak mau merusak hubungan sepupunya yang masih seumur jagung. Tak baik juga baginya ikut campur masalah hubungan orang lain. Ia berharap suatu saat semua akan terungkap juga dengan sendiri. Martin sepertinya sangat tergila-gila dengan Celline. Lelaki itu sering b
Beberapa hari mulai berlalu, Dila sudah bisa beraktivitas. Namun, pergelangan tangan bagian kirinya masih dibalut dengan kain karena tulangnya ada sedikit keretakan. Dia belum bisa beraktivitas berat, hanya bisa berjalan ke butik dan kedai saja. Baru kali ini, ia mulai beraktivitas kembali, setelah kurang lebih dua minggu ia tidak diperbolehkan untuk beraktivitas. Ia sangat bersemangat dan antusias dengan aktivitasnya. Ia sangat merindukan rutinitasnya tersebut. Hari ini, ia sedang di butik, memeriksa beberapa sketsa buatannya dan juga karyawannya. Biasanya sebulan sekali dia akan merancang sekaligus mengeluarkan produk terbaru. Biasanya, dia akan mempertimbangkan selera pasar juga agar selalu up to date. Sebuah notifikasi panggilan masuk ke ponselnya. Ia pun menjawab panggilan tersebut. Ia sangat antusias menjawab panggilan tersebut. Padahal baru sehari mereka berpisah, tetapi seperti sebulan.“Apa kabar, Dil?”“Baik, Mas. Gimana kabarmu di situ?”“Di sini, aku baik juga. Kangen ni