Vio berdiri di kejauhan. Dia terus mengamati ke arah gadis yang tengah tersenyum pada teman-temannya itu. Dia tak boleh kecolongan, itulah kira-kira pesan dari Azzura.
"Hai, kamu masih ingat denganku?" Fokus Vio terganggu ketika ada seseorang menepuk bahunya. Saat Vio menoleh, dia bisa melihat sesosok pria tampan dengan senyum manis. Pria yang beberapa waktu yang lalu dia temui bersama dengan Azzura.
"Dokter--"
"Nggak perlu manggil dokter kalau di luar. Panggil saja Adrian." Lagi-lagi Vio terpaku akan senyum lelaki itu, senyum paling mempesona yang pernah Vio lihat.
"Eh, iya. Adrian." Vio menunduk malu-malu. Ada apa dengannya kini? Kenapa dia malah berdebar-debar seperti ini? Vio memegang dadanya, dia merasakan jantungnya terus bertalu, berlomba untuk menjadi yang semakin cepat.
'Bolehkah aku seperti ini?' batin Vio. Dia benar-benar tak bisa mengusir perasaan ini. Dia b
Story by bundaRey_matahariku
Brian kali ini pulang lebih awal dari biasanya. Dia benar-benar capek, siang tadi dia harus meninjau lokasi proyek yang berada di Kepulauan Seribu. Perusahaannya menangani pembangunan apartemen di sana.Pria itu tengah berdiri di sebelah kasur, tangan kanannya mengusap tengkuknya pelan. Dia menggerakkan kepalanya ke kiri dan ke kanan, mencoba mengusir penat yang terus-terusan mengejarnya.Brian mengambil benda pipih panjang dari kantong celananya dan menghubungi salah satu kontak."Halo, Vincent. Ada perkembangan?" tanyanya langsung tanpa basa-basi. Sudah beberapa hari, pastinya anak buahnya itu telah menemukan sesuatu tentang istrinya itu."Nyonya Azzura beberapa hari ini sering mengunjungi sebuah klinik.""Klinik? Apa Azzura sakit?" gumamnya."Pemilik klinik itu ... Adrian Raharja.""Apa?!" Nama itu tak asing bagi Brian. Nama seorang laki-laki yang selalu memuja istrinya. Meski dia tahu jika Azzura telah memilihnya. "Untuk apa Azzur
Vio panik karena tak menemukan Kyra di mana pun. 'Ke mana anak itu?' batin Vio. "Udah ketemu." Seseorang menepuk bahunya. Dilihatnya Adrian tak kalah khawatir dari Vio. Bagaimana juga Kyra adalah anak dari wanita yang dia cintai, dan dia juga menyayangi anak itu. Vio menggeleng pelan, "Harusnya aku kejar dia tadi." Rasa sesal langsung saja menyergapnya saat itu juga. Dia telah lalai mengawasi bocah yang kini telah menjadi anak tirinya itu. Melihat wajah bersalah Vio, Adrian ikut menyesal. Dia yang menyuruh Vio untuk tidak menanggapi Kyra yang merajuk. "Argh ...!" Adrian mengusap wajahnya kasar. Seluruh tempat sudah dia sisiri. Toilet, kamar, gudang, dan kini mereka berdua telah berada di luar. Tapi, sama sekali tak mendapati bayangan gadis cilik itu. Vio berjongkok, dia putus asa saat ini. Apa yang akan Azzura katakan padanya jika terjadi apa-apa dengan Kyra? Brian pun akan semakin membencinya. "Ayo! Cari lagi!" Adrian menepuk bahu Vio, membuat gadis berusia 20 tahun itu langsung
Brianbangundaritidurnya,harimasihpagi.Diamemangterbiasa
"Mbak Zura menghilang?!" pekik Vio dengan intonasi yang mungkin bisa membangunkan kucing tidur. Dia sangat kaget dengan apa yang baru saja Brian katakan."Ini ... Mbak Azzura menghilang gimana, Mas? Mungkin dia pergi ke kamar Kyra."Brian menggeleng, "Aku sudah ke sana dan tidak ada," jawabnya lemah.Dia mendadak lesu saat mendapati kenyataan bahwa sang istri tercinta tak ada di mana pun. Bahkan dia yang biasanya sangat pemarah pada Vio saja, benar-benar tidak ada keinginan untuk marah. Entah karena dia sudah menyadari kesalahanya, atau karena tragedi barusan yang sialnya tidak bisa dia lupakan begitu saja.Pikiran Brian bercabang kali ini. Di samping dia memikirkan Azzura, dia juga kepikiran tentang tubuh wanita yang baru saja dia lihat. Brian harus berusaha mengenyahkan pikiran kotornya segera. Tidak mungkin 'kan dia menjilat ludahnya sendiri?"Mungkin dia ke rumah orang tuanya, Mas. Sudah Mas tanyakan?" Tentu saja Vio tak kalah khawatir pada kea
"Mama semalam berangkat ke Australia," jawab Brian sekenanya. Dahi gadis berusia 11 tahun itu mengerut, "Ya sudah! Papa mau antar Mbak Vio dulu ke rumah sakit." Kembali Brian menarik lengan Vio dan berjalan melewati Kyra. Dia sudah tidak memiliki jawaban yang tepat jika Kyra kembali bertanya tentang ibunya. Dia tidak bisa membohongi Kyra lebih lagi.Sebenarnya banyak pertanyaan yang ingin gadis itu tanyakan, tetapi ayahnya keburu pergi meninggalkan dirinya. Dia merasa ada yang aneh, tetapi sebagai anak kecil, Kyra tidak tahu apa itu.Kini kedua orang dewasa itu sudah berada dalam mobil. Vio hanya bisa diam saat Brian menyeretnya entah ke mana. Dia tidak habis pikir dengan Brian yang selalu saja menyalahkannya. Bahkan kali ini, dia tidak kalah sedih dari Brian. Dia juga menyayangi Azzura, terlepas dari status mereka yang rumit."Kita akan ke mana?" Setelah lama hanya saling diam, Vio akhirnya memberanikan diri untuk bertanya pada Brian ke mana arah tujuan mereka.
Beruntung sekali Vio, saat dia masuk ke dalam, Kyra telah tertidur di kamarnya. Hari memang sudah malam. Seharian ini dia hanya berkeliling menemani Brian mencari Azzura.Di dalam kamar, Vio terus berusaha menghubungi Azzura, tetapi semua sia-sia. Ponsel Azzura sama sekali tidak bisa dihubungi."Bagaimana jika Mbak Zura lagi kena musibah?" gumam Vio seorang diri. Dia begitu takut terjadi apa-apa dengan wanita itu. Meski statusnya sebagai istri kedua dari Brian, tetapi dia sama sekali tidak memiliki perasaan pada lelaki itu.Vio melihat ke arah luar jendela. Setelah mengantar Vio pulang tadi, Brian belum juga pulang. Ke mana lelaki itu? Vio tambah gelisah kerena kedua orang itu tidak ada di rumah."Itu mobil Mas Brian." Vio merasa lega saat melihat mobil suaminya itu masuk ke dalam pekarangan rumah. Itu tandanya Brian baik-baik saja atau malah sudah menemukan Azzura. Dengan wajah penuh harapan, Vio berlari ke pintu depan. Siapa tahu mereka butuh bantuan.
Brian melihat Vio sebagai Azzura, dia menjadi gelap mata. Percikan gairah timbul saat mencecap manis madu di bibir Vio. Gadis itu tidak bisa melawan, meski sebenarnya dia sangat ingin menendang lelaki itu saat ini. Tapi ini bukan pelecehan. Lelaki itu berhak atasnya."Azzura, kenapa kamu sama sekali tidak membalasku, Sayang?" Brian melepas pagutannya. Dia menatap wajah Vio sayu, tangannya mengelus lembut wajah Vio. Tapi, dalam mata Brian itu adalah Azzura, istrinya.Vio memejam. Jika itu Brian ucapkan untuknya, mungkin Vio bakalan tersentuh dengan semua perlakuan Brian yang sangat manis. Tapi, Vio tahu untuk siapa kata sayang itu."Aku bukan Mbak Zura, Mas. Aku Vio," jujur Vio. Dia tidak mau Brian terus menganggapnya sebagai Azzura. Iru sangat tidak adil bagi Brian maupun dirinya."Bohong!" Brian menarik tangannya dari Vio. Dia memicing, menatap tajam ke arah wanita itu. "Kamu pasti bohong. Kam
"Damn! Kamu masih perawan! Kamu bukan Azzura!"Vio yang merasakan kesakitan di bagian intinya, lebih terluka saat Brian mengucapkan hal itu. Lelaki itu memang hanya melihat Azzura pada dirinya. Dan bodohnya Vio benar-benar melayang saat Brian memanjakannya.Vio menangis, merasakan perih di inti dan juga hatinya. Brian boleh tidak mencintainya, tetapi jika mencumbunya, setidaknya pandanglah dia sebagai dirinya. Bukan orang lain.Brian benar-benar marah, tetapi rasa nikmat yang dia rasakan membuatnya melupakan amarahnya. Dia kembali membuai Vio dengan gulungan kenikmatan dan kesakitan yang dia berikan bersamaan.Brian terus melanjutkan apa yang sudah dia mulai. Dia tidak bisa memungkiri jika milik Vio benar-benar nikmat. Brian bahkan tidak peduli jika di bawah sana Vio tengah menangis.Brian terus meracau, menyebut nama Azzura di setiap erangannya."Azzura!" pekik Brian saat dia telah mencapai pelepasannya. Lelaki itu ambruk di samping tubuh V
Udara terasas berat seolah sisa oksigen di udara hanya tersisa sedikit. Jam dinding berdetak pelan, bunyi setiap detiknya seperti abad. Lima orang di sana saling diam dan terkurung dalam pemikirannya sendiri.Pada sofa panjang, duduk Anthony Wijaya bersama sang istri, Wening. Mereka menatap tajam ke arah Brian yang terlihat kusut di depannya. Lelaki itu sedari tadi tak henti bergerak gelisah karena sang istri histeris karenanya. Di sebelah Brian ada Kyra yang masih terlihat shock, melihat kenyataan tentang sang ibu.Di sudut ruangan, ada Adrian yang berdiri sembari menyandarkan punggungnya pada tembok. Kedua tangan dia lipat di depan dada dengan mata yang terus melihat ke arah empat orang di depan sana. Suasana ruangan itu menjadi lebih mencengkam dari pada pemakaman. Bahkan bagi Adrian ini lebih horor dari pada bertemu dengan hantu.Meski dia sahabat dan juga dokter Azzura, dia merasa bingung dengan keadaan ini. Kedua belah pihak masing-masing belum bisa berdamai. Meski Tuan Wijaya s
Ayah dan anak itu saling menatap cukup lama. Ada rasa rindu yang disampaikan oleh tatapan mata Brian pada Kyra. Dia ingin langsung berlari dan memeluk gadis itu tetapi dia juga ketakutan jika Kyra menolaknya. "Papa ....!" Hingga akhirnya Brian merasa lega ketika Kyra mendatanginya terlebih dahulu. Gadis itu berlari dan kemudian memeluknya. Dengan senang hati Brian membalas pelukan Kyra. Dia memeluk Kyra erat seolah tidak ingin melepaskannya lagi."Kyra, Papa kangen." Satu kata yang bisa menjelaskan semua yang dia rasakan selama ini. Mereka memang beberapa kali bertemu tetapi kedekatan sebagai ayah dan anak sudah lama hilang. "Maafkan Kyra, Pa. Maafkan karena selama ini selalu menyalahkan Papa. Maafkan karena Kyra tidak bisa mengerti Papa." Sebuah ungkapan permintaan maaf tulus keluar dari bibir mungil Kyra. Dia juga merindukan hal seperti ini, memeluk sang ayah dengan perasaan kasih dan sayang."Tidak, sayang. Papa yang minta maaf sama kamu karena sudah bersikap egois dan tidak pern
Kyra hanya diam setelah bertemu dengan Vio. Dia masih memikirkan apa yang dikatakan oleh Vio. Selama ini dia memang menutup mata dan telinga tentang apa yang terjadi pada kedua orang tuanya. Dia hanya ingin menyalahkan Vio atas apa yang terjadi.Kyra masih memegang surat perjanjian itu di tangannya. Beberapa kali dia hanya melihat dan takut untuk membukanya kembali. Dia masih tidak percaya jika ibunya yang telah merencanakan ini semua. Dia masih mengingkari jika sang ibu menderita Skizofrenia.Kyra menggeleng. "Ini pasti tidak benar, kan?" tanya Kyra yang lebih untuk dirinya sendiri. Gadis itu menarik napas panjang dan setelahnya mengangkat wajahnya yang sedari tadi menunduk.Kyra kembali teringat tentang sang kakek yang beberapa hari ini ada di Swiss. Vio tadi bilang jika saat ini sang ayah sedang berada di Swiss untuk menjemput sang ibu. Apa mungkin kakeknya selama ini bersama dengan ibunya?"Pak! Bisa lebih cepat?" Kyra memberi perintah pada pak sopir yang dibalas anggukan. Laju mo
Setelah mendengar semuanya dari Handoko, Vio pun berniat mengunjungi makan sang ibu. Selama ini, Handoko memang tidak pernah memberitahukan tentang ibunya. Handoko selalu menyembunyikan kenyataan tentang sang ibu. Dan Vio menjadi terbiasa untuk tidak bertanya. Yang terpenting baginya adalah dia memiliki seorang ayah yang hebat.Sudah beberapa saat Vio duduk di depan batu nisan tanpa mengucapkan apa pun. Dia tidak tahu bagaimana harus menyapa sang ibu karena dia tidak pernah melakukannya seumur hidup.Masih dengan mulut yang tertutup, Vio mulai menggerakkan tangannya untuk mencabut rumput di atas gundukan tanah. Sesekali ekor matanya melirik ke arah nama yang ada di batu nisan."Maafkan aku baru bisa datang, Bu. Aku baru mengetahui tentangmu." Vio menarik napas dalam-dalam, berusaha menahan air mata yang hendak jatuh. Meski dia tidak mengenal apa pun tentang ibunya tetapi Vio bisa merasakan kesedihan yang dialami sang ibu. Untung ada Handoko yang akhirnya membuat ibunya bertahan meski
Setelah kejadian itu, Wijaya tidak melarang kedatangan Brian. Dia senang karena Azzura menjadi semakin ceria. Meski sesekali dia kumat dan mengamuk tetapi Azzura lebih sering tersenyum. Brian setiap hari datang bersama dengan Adrian dan selalu menemani Azzura. Entah itu membaca novel atau merajut. Lelaki itu begitu sadar dan telaten menemani Azzura hingga dia melupakan keberadaan Vio. Dia bahkan belum menghubungi Vio lagi sejak hari itu.Vio terus-terusan melihat ke arah ponselnya. Sudah berhari-hari suaminya pergi dan belum memberi kabar padanya. Tentu saja dia khawatir terjadi hal buruk pada Brian. Brian hanya menghubungi sekali ketika lelaki itu keluar dari bandara dan dalam perjalanan menuju hotel."Ada apa, Nak? Kenapa kamu terlihat gelisah? Apa Brian belum menghubungimu?" Handoko muncul dari dalam kamarnya. Tangan kanannya menekan sebuah tombol sehingga kursi roda miliknya berjalan dengan otomatis.Vio hanya meringis. Dia bahkan tidak menceritakan hal ini pada ayahnya tetapi ken
Wijaya berjalan cepat ke arah ranjang Azzura. Dia lantas menarik bagian belakang kemeja yang dikenakan Brian dan mendorong lelaki itu hingga membentur tembok. Masih belum puas, Wijaya kembali mendekati Brian dan menarik wig yang lelaki itu gunakan. Wajah Wijaya langsung merah padam ketika mengetahui jika Brian yang sedari tadi bersama dengan anaknya.Sejak melihat lelaki yang menggendong Azzura, Wijaya sudah mencurigai jika itu adalah Brian. Pasalnya tidak mungkin Adrian memperbolehkan lelaki lain menyentuh Azzura. Dan kali ini kecurigaannya terbukti. Wijaya benar-benar marah ketika mengetahui jika Adrian telah menipunya."Apa yang kamu lakukan di sini? Bukankah sudah aku katakan untuk tidak mencari Azzura lagi?" bentak Wijaya pada Brian. Darahnya naik karena dia enggan Brian menyentuh Azzura lagi. Meski Wijaya mengetahui jika pernikahan kedua Brian adalah keinginan Azzura tetapi dia belum merelakan hal itu. Dia sudah tidak peduli Brian bersama siapa saat ini tetapi dia tidak ingin Br
"Ada apa, Adrian?" Suara seseorang yang sangat mereka kenal, membuat mereka terhenti. Baik Brian maupun Adrian merasa takut hingga tidak ada satu pun yang menoleh. "Adrian! Kenapa kamu diam saja!" Terdengar langkah kaki mendekat dan Adrian pun terpaksa membalik badan. Dia tesenyum menyambut Tuan Wijaya yang semakin mendekat. Dia tidak menyangka jika lelaki tua itu akan datang lebih awal dari biasanya. "Ehm ... saya membius Azzura karena dia tadi mengamuk, Om," jelas Adrian sembari menggeser tubuhnya menutupi punggung Brian. Meski Brian masih menyamar tetapi tidak menutup kemungkinan Tuan Wijaya bisa mengenali menantunya tersebut. Walau bagaimana pun mereka telah menjadi ayah mertua dan menantu dalam waktu yang cukup lama.Tuan Wijaya menghela napas panjang. "Apa ada pengobatan yang bisa menyembuhkannya secara penuh? Aku akan membayarnya berapa pun itu." Itu adalah sebuah keputus asaan dari seorang ayah terhadap keadaan putrinya. Azzura adalah anak satu-satunya dan dia adalah duniany
Suara klakson dari mobil Adrian membuat penjaga yang ada di pos melongok. Ketika tahu jika itu mobil Adrian, mereka pun membukakan pintu."Apa Tuan Wijaya telah datang?" tanya Adrian pada penjaga yang membukakan pintu untuknya. Sebelum menjawab, penjaga itu melirik ke arah lelaki yang duduk di sebelah Adrian. Keningnya berkerut tanda jika dia memiliki keraguan tentang orang yang dibawa Adrian.Adrian yang menyadari lantas menoleh sekilas ke arah Brian. "Ah ... ini adalah asistenku. Aku mengajaknya karena aku membutuhkan bantuannya. Keadaan Azzura sudah sangat buruk, dan aku takut dia melukaiku."Brian termenung ketika mendengar ucapan Adrian. Apakah keadaan istrinya sudah seburuk itu? "Jangan buat keributan!" Brian menoleh saat Adrian mengucapkan sesuatu. Adrian baru saja menutup kaca jendela mobil dan hendak menjalankan mobilnya kembali.Brian masih diam seperti orang kebingungan. Hingga akhirnya dia membuka mulutnya dan bertanya, "Apa keadaan Azzura memang seburuk itu?" Separuh jiw
Brian mengemudi dengan ugal-ugalan meski cuaca sangat buruk. Salju turun dengan lebat sehingga mengganggu pandangan. Namun meski begitu Brian bisa menyusul mobil Adrian dan memotong jalan hingga Adrian terpaksa menghentikan mobilnya mendadak.Brian menutup pintu mobil dengan keras hingga menimbulkan bunyi. Dia segera berjalan ke arah Adrian dan kembali menggedor kaca mobil lelaki itu."Adrian! Keluar kamu!" Emosi telah menguasai Brian sehingga dia tidak bisa bersikap sabar. Dia sebagai suami Azzura tidak diperbolehkan bertemu dengan wanita itu tetapi kenapa Adrian bisa bertemu dengannya?Adrian ciam cukup lama. Dia mengatur napasnya berusaha untuk tetap tenang dan setelah beberapa saat dia pun membuka pintu mobilnya."Apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu bersikap seperti preman?" Adrian mengangkat wajahnya, menyiratkan jika dia tidak takut dengan Brian. Keduanya saling menatap tajam, seolah masing-masing menyimpan kebencian.Amarah telah menguasi Brian hingga dia tidak bisa bersikap ten