Sesampainya di rumah, Erik langsung menemui sang ibu. Ia juga meminta sang adik untuk duduk bersama. Namun, Bian tak diikutsertakan karena ia ingin berbicara pelan dengan anak laki-lakinya itu.Meli menatap lekat sang kakak. Dari wajahnya, gadis itu bisa menebak jika akan ada kabar baik karena terlihat kakak laki-lakinya sangat semringah.“Ada apa, Ka?” tanya Meli.“Aku akan menikah,” tuturnya.Kedua wanita di hadapannya saling pandang menatap tidak percaya. Erik tidak pernah membawa wanita, tapi kini ia mau menikah. Meli tertawa sembari menepuk pundak Erik yang tegang. Begitu pun sang ibu, wanita tua itu hanya menggeleng.“Memangnya punya calon?” tanya Meli seraya menggoda.“Kalau nggak punya, untuk apa aku mau menikah. Besok kukenalkan pada kalian, setelah itu lamarkan dia untukku, Bu,” pinta Erik.“Ka, kamu serius, kan? Bukan prank untuk kita, kan? Bian bagaimana?” Lagi, Meli memastikan.“Nanti aku bicara padanya. Yang penting aku sudah bicara dengan kalian.”Setelah mengumumkan pe
“Kamu kenapa seperti itu?” tanya sang ibu.“Biarkan saja, Ma. Biar kapok, enak saja bilang maaf dan seolah-olah kesalahan dia itu kecil. Dia pikir, hebat bisa berlaku kasar sama aku!” Rinjani mulai emosi dengan kejadian tadi.Sang ibu mengelus pundak Rinjani. Kesabaran itu ada batasnya, ia mulai kesal dengan tingkah Tama. Dirinya berharap bisa keluar dari rumah sang ayah karena ada mantan kekasihnya yang berengsek.“Tapi kamu jangan seperti itu. Minyak itu panas, lihat saja Tama sampai kesakitan,” ujar sang ibu.“Luka dia bisa sembuh, tapi luka hati aku sulit untuk sembuh.”Sang ibu tidak tega melihatnya. Walau Rinjani terlihat sangat tegar, tetapi ia sangat rapuh. Ditinggalkan sangat sakit, apalagi mereka sudah bermimpi pernikahan yang begitu indah“Aku tidak akan sesakit ini jika bukan Ka Ratna yang jadi selingkuhan Tama. Sakit rasanya, saat tahu mereka berselingkuh dan melakukan hal di luar dugaan. Dia Kakakku, tapi seperti orang lain. Tega menikung adiknya.” Penuturan Rinjani memb
“Maafkan Papa, Ma karena sifat Ratna mirip sekali dengan ibunya,” ucap Budi pada sang istri.“Sudah, jangan bahas ini lagi. Kita fokus pada pernikahan Rinjani saja. Toh, semua sudah terjadi.” Sang istri menyemangati sang suami. Wanita dengan gamis merah itu tidak mau memperkeruh suasana.Sejak menikah dengan suaminya, Ibu Rinjani sudah menerima konsekuensi menjadi istri dari duda beranak satu. Ia menerima Ratna dengan ikhlas dan mengurusnya dengan baik, sama seperti ia memperlakukan Rinjani. Namun, sayang sikapnya malah menjadi seperti sang ibu kandung.“Tapi, Mah. Papa merasa tidak enak dengan Rinjani. Kasihan dia, Papa sadar selama ini selalu mengikuti kemauan Ratna hingga tanpa sadar Papa membedakan mereka,” tuturnya penuh rasa bersalah.Sang istri mengelus lembut tangannya. Semua sudah terjadi dan tidak akan berubah sampai kapan pun. Pertengkarannya dengan Tama membuatnya geram karena pria itu malah menjelekkan Ratna. Dalam perselingkuhan itu, keduanya memang salah.“Kita temui Er
“Kamu serius menjalin hubungan dengan Rinjani?” Hastuti—ibu Erik kembali bertanya pada pria dengan wajah tidak merasa bersalah.Hastuti sengaja mengajak Erik berbicara di kamar agar tidak membuat Rinjani bersedih. Ibu Erik hanya ingin memastikan apa yang di lakukan sang anak adalah benar bukan sebuah keputusan terburu-buru.“Serius, Bu. Kalau nggak, buat apa aku bawa dia dan meminta Ibu melamarkan Rinjani untuk aku.” Erik mencoba membuat sang ibu percaya jika dirinya memang benar serius dengan Rinjani.“Tapi dia terlalu muda, bagaimana jika emosinya belum bisa tertahan. Ibu hanya nggak mau rumah tangga kamu kembali hancur.”Merasa bersalah, hal itu yang dirasakan Erik saat mendengar sang ibu mencemaskan kehidupannya. Tidak mungkin ia mengatakan jika mereka hanya bersandiwara. Pasti, Hastuti tidak akan setuju.Erik kembali meyakinkan sang ibu jika Rinjani sudah matang walau masih berusia muda. Ia tahu sang ibu mencemaskan dirinya karena mengingat saat menikah dengan Andini, usia mereka
Rinjani kembali menjalani aktivitasnya di sekolah. Namun, kepalanya terasa pening karena semalam ia tak bisa tidur memikirkan kejadian di rumah Erik. Kedatangan Andini membuat dirinya terus berpikir bagaimana bisa wanita dengan tubuh langsung itu menuduhnya sebagai pelakor?Bel sudah berbunyi, ia kembali memasukkan buku ke dalam tas. Lalu, bersiap ke ruang guru. Akan tetapi, suara keributan di kelas sebelah membuat ia panik. Gegas ia menghampiri ruangan yang sering di pakai oleh anak-anak OSIS.Sebuah tubuh terlempar ke luar ruangan diiringi teriakan beberapa siswa yang mencoba merelai kedua anak laki-laki yang sedang adu jotos. Rinjani kembali memijit pelipisnya melihat siapa kali ini yang membuat ulah.“Bian, sudah!” Rinjani menghampiri Bian yang hampir saja kembali memberikan bogem pada Guntur.“Jangan ikut campur, Bu. Biar saya habisi dia!” Lagi, suara teriakan Bian membuat sekeliling takut.“Sudah, Bian. Jangan di teruskan. Ini kriminal, apa kamu mau di tuntut jika dia mati,” bis
Andini kembali menyimpan ponsel di nakas. Ia merasa puas setelah mengancam mantan suaminya itu. Wanita keras kepala itu berharap bisa membuat Erik takut dengan apa yang ia sampaikan.Wulan datang dengan segelas kopi. Ia menyodorkan satu untuk Andini yang masih sibuk dengan beberapa pekerjaannya.“Tadi kami bilang mau mengirimkan ancaman buat Erik?” tanya Wulan sembari mengambil kursi duduk di sebelahnya.“Iya. Sudah, kok. Aku pastikan dia ketakutan.” Andini menjawab dengan santai.“Kamu itu bodoh atau bagaimana, Ndin? Erik itu bukan pengangguran yang dulu kamu tinggal. Dia sekarang pemilik perusahaan, kamu ancam seperti ini, dia bisa melaporkan kamu dengan tuduhan ancaman. Kamu nggak takut di penjara?” Wulan mencoba mengingatkan Andini.Andini bergeming mendengar apa yang di katakan oleh Wulan. Ia memang tidak berpikir sampai sana karena di butakan oleh kecemburuan. Ia pun tidak bisa membayangkan jika dirinya masuk penjara.Lagi-lagi ia bergidik ngeri saat memikirkan jika Erik melapor
Andini begitu senang melihat sang anak datang ke rumahnya. Pukul 20.00 ia baru saja pulang lembur dari kantor. Ia melihat motor yang biasa Bian pakai terparkir di halaman rumahnya.“Nggak kabari mama kalau mau datang, kan mama bisa belanja dan masak untuk kamu,” ucap Andini.“Nggak usah repot-repot. Aku ke sini hanya sebentar.”“Lama juga nggak masalah, Sayang.”“Tolong jangan ganggu hubungan Papa, yang mama mau aku bahagia bukan?” Bian sengaja datang menemui Andini di rumahnya.Anak laki-laki itu tidak sengaja mendengar pembicaraan telepon sang nenek yang sedang berbicara dengan Erik. Tentang ancaman itu pun ia mendengarnya. Karena itu ia datang menemui Andini untuk memintanya tidak melakukan hal gegabah.“Apa Papamu yang meminta semua itu?” tanya Andini.“Bukan, aku sendiri yang mau. Selama ini Papa sudah banyak menderita, aku tahu semuanya. Perselingkuhan Mama, juga saat Mama meninggalkannya kala ia bangkrut.”Penuturan Bian membuat Andini syok. Ternyata, selama ini sang anak menge
Setelah sadar dari pingsan, kepala Ratna masih terasa sakit. Remang-remang ia melihat wajah Tama juga kedua orang tuanya. Tama memberikan segelas teh hangat dan membantu Ratna untuk meminumnya.“Kamu mau ke Dokter nggak, Na?” tanya sang ayah.“Nggak usah, Pa. Mungkin aku hanya kelelahan.” Ratna menjawab cepat, ia melirik ke arah Tama yang menatapnya tajam.Ratna tak mau ke mana-mana, ia hanya ingin di rumah saja. Perasannya masih kacau sama seperti saat sebelum pingsan tadi. Ia kembali berbicara pada sang ibu agar membuatkannya bubur karena ia lapar.Kepalanya masih pusing saat ia mencoba mengingat kalimat Tama yang membuatnya syok. Dirinya memang menang dan bisa menikah dengan Tama, tetapi hati pria itu masih utuh untuk Rinjani. Ia meremas dada yang tak kalah nyeri saat ia mengingatnya.Budi—ayah Ratna ke luar dari kamar menyusul istrinya ke dapur. Mereka kembali saling tatap mengingat keributan yang sempat mereka dengar. Kedua orang tua itu menarik napas bersamaan.“Mama nggak salah