Rinjani kembali menjalani aktivitasnya di sekolah. Namun, kepalanya terasa pening karena semalam ia tak bisa tidur memikirkan kejadian di rumah Erik. Kedatangan Andini membuat dirinya terus berpikir bagaimana bisa wanita dengan tubuh langsung itu menuduhnya sebagai pelakor?Bel sudah berbunyi, ia kembali memasukkan buku ke dalam tas. Lalu, bersiap ke ruang guru. Akan tetapi, suara keributan di kelas sebelah membuat ia panik. Gegas ia menghampiri ruangan yang sering di pakai oleh anak-anak OSIS.Sebuah tubuh terlempar ke luar ruangan diiringi teriakan beberapa siswa yang mencoba merelai kedua anak laki-laki yang sedang adu jotos. Rinjani kembali memijit pelipisnya melihat siapa kali ini yang membuat ulah.“Bian, sudah!” Rinjani menghampiri Bian yang hampir saja kembali memberikan bogem pada Guntur.“Jangan ikut campur, Bu. Biar saya habisi dia!” Lagi, suara teriakan Bian membuat sekeliling takut.“Sudah, Bian. Jangan di teruskan. Ini kriminal, apa kamu mau di tuntut jika dia mati,” bis
Andini kembali menyimpan ponsel di nakas. Ia merasa puas setelah mengancam mantan suaminya itu. Wanita keras kepala itu berharap bisa membuat Erik takut dengan apa yang ia sampaikan.Wulan datang dengan segelas kopi. Ia menyodorkan satu untuk Andini yang masih sibuk dengan beberapa pekerjaannya.“Tadi kami bilang mau mengirimkan ancaman buat Erik?” tanya Wulan sembari mengambil kursi duduk di sebelahnya.“Iya. Sudah, kok. Aku pastikan dia ketakutan.” Andini menjawab dengan santai.“Kamu itu bodoh atau bagaimana, Ndin? Erik itu bukan pengangguran yang dulu kamu tinggal. Dia sekarang pemilik perusahaan, kamu ancam seperti ini, dia bisa melaporkan kamu dengan tuduhan ancaman. Kamu nggak takut di penjara?” Wulan mencoba mengingatkan Andini.Andini bergeming mendengar apa yang di katakan oleh Wulan. Ia memang tidak berpikir sampai sana karena di butakan oleh kecemburuan. Ia pun tidak bisa membayangkan jika dirinya masuk penjara.Lagi-lagi ia bergidik ngeri saat memikirkan jika Erik melapor
Andini begitu senang melihat sang anak datang ke rumahnya. Pukul 20.00 ia baru saja pulang lembur dari kantor. Ia melihat motor yang biasa Bian pakai terparkir di halaman rumahnya.“Nggak kabari mama kalau mau datang, kan mama bisa belanja dan masak untuk kamu,” ucap Andini.“Nggak usah repot-repot. Aku ke sini hanya sebentar.”“Lama juga nggak masalah, Sayang.”“Tolong jangan ganggu hubungan Papa, yang mama mau aku bahagia bukan?” Bian sengaja datang menemui Andini di rumahnya.Anak laki-laki itu tidak sengaja mendengar pembicaraan telepon sang nenek yang sedang berbicara dengan Erik. Tentang ancaman itu pun ia mendengarnya. Karena itu ia datang menemui Andini untuk memintanya tidak melakukan hal gegabah.“Apa Papamu yang meminta semua itu?” tanya Andini.“Bukan, aku sendiri yang mau. Selama ini Papa sudah banyak menderita, aku tahu semuanya. Perselingkuhan Mama, juga saat Mama meninggalkannya kala ia bangkrut.”Penuturan Bian membuat Andini syok. Ternyata, selama ini sang anak menge
Setelah sadar dari pingsan, kepala Ratna masih terasa sakit. Remang-remang ia melihat wajah Tama juga kedua orang tuanya. Tama memberikan segelas teh hangat dan membantu Ratna untuk meminumnya.“Kamu mau ke Dokter nggak, Na?” tanya sang ayah.“Nggak usah, Pa. Mungkin aku hanya kelelahan.” Ratna menjawab cepat, ia melirik ke arah Tama yang menatapnya tajam.Ratna tak mau ke mana-mana, ia hanya ingin di rumah saja. Perasannya masih kacau sama seperti saat sebelum pingsan tadi. Ia kembali berbicara pada sang ibu agar membuatkannya bubur karena ia lapar.Kepalanya masih pusing saat ia mencoba mengingat kalimat Tama yang membuatnya syok. Dirinya memang menang dan bisa menikah dengan Tama, tetapi hati pria itu masih utuh untuk Rinjani. Ia meremas dada yang tak kalah nyeri saat ia mengingatnya.Budi—ayah Ratna ke luar dari kamar menyusul istrinya ke dapur. Mereka kembali saling tatap mengingat keributan yang sempat mereka dengar. Kedua orang tua itu menarik napas bersamaan.“Mama nggak salah
“Mungkin mama salah tidak menceritakan dari awal. Tapi itu demi kebaikan kalian berdua, agar kalian tidak saling iri. Mama dan Papa hanya ingin kalian berpikir jika kalian berdua adalah saudara kandung.” Ibu Rinjani terduduk lesu menceritakan semuanya.“Aku selalu menganggap dia kakakku. Tapi dia saja yang selalu jahat, memang otaknya kotor, Ma.” Rinjani kembali menimpalinya.“Sudah, jangan seperti itu.”Rinjani bahkan tidak menyangka jika memang mereka bukan saudara kandung. Kedua orang tuanya selalu berlaku adil walau kadang terlihat jelas sang ibu lebih menyayangi Ratna. Mungkin karena itu Ratna berlaku seenaknya.“Aku akan cari kontrakan saja, Ma. Biar kalian pun tenang,” ujar Rinjani.“Tidak usah, kamu tetap di sini sampai kamu menikah. Setelah itu, kamu boleh pergi dengan suamimu.” Sang ibu menentang saat Rinjani akan keluar dari rumah.Rinjani menarik napas panjang, ia ingin mencurahkan semua isi hatinya. Ia lalu gegas pamit pada sang ibu untuk pergi. Erik belum menghubunginya,
Rinjani bergeming saat Pak Albert berada di depannya dengan mimik wajah kebingungan. Erik mengelus pundaknya dengan lembut seraya berbisik untuk tetap tenang menghadapi hal tak terduga.“Sayang, kamu sudah ada di sini ternyata.”Seorang wanita dengan dress merah menghampiri Pak Albert. Pria itu terlihat sangat kikuk saat wanita itu kini berada di sampingnya.“Bukannya kamu bilang nggak bisa datang ambil emasnya?” tanya Pak Albert.“Iya, aku sibuk. Tapi, ternyata bos aku cancel jadwal meeting, loh, Pak Erik ada di sini juga?” tanya Iren—wanita yang berada di samping Pak Albert.“Iya, Iren. Senang bertemu kamu di sini. Sedang apa?” Kini Erik yang aktif bertanya, sedangkan Rinjani sedang memutar otak berpikir wanita itu siapanya Pak Albert.“Oh, saya mau ambil pesanan. Cincin pernikahan kami, tadinya saya nggak bisa karena Pak Erik ada meeting, eh batal. Bersyukur saya bisa ke sini, iya, kan, Sayang?” Iren bertanya seraya menggandeng tangan Pak Albert.Rinjani tersenyum tipis mendengar p
Tama duduk terdiam di halaman. Ia kembali mengingat perkataan Ratna tentang pengakuan yang tak terduga. Sungguh semua di luar dugaan, ia pun bingung harus bagaimana dengan keadaan ini.Sepulang kerja Ratna mengajaknya berbicara hal yang penting. Ia menarik napas saat kembali mengingatnya.“Aku minta maaf telah menghancurkan hubungan kalian. Aku rela jika kamu kembali pada Rinjani,” ujar Ratna.Tiba-tiba saja hal yang mengejutkan itu terdengar. Ratna mengakui perbuatannya yang begitu rendah. Ia sudah mengakui semua, hidup tanpa cinta itu begitu menyakitkan apalagi sang suami masih memendam perasan pada kekasihnya.Lamunannya terhenti saat terdengar deru mobil memasuki halaman rumah. Rinjani terlihat ke luar dari mobil Erik, tapi pria itu tidak turun karena langsung pergi karena ada urusan penting. Tama menghampiri adik iparnya yang terlihat begitu lelah.“Kamu baru pulang?” tanya Tama.“Kelihatannya?” Rinjani enggan berbincang dengan Tama karena takut kembali menimbulkan permasalahan l
“Bu Rinjani, Pak kepala sekolah mau bicara dengan kamu dan Pak Albert untuk menyelesaikan masalah,” ucap Bu Ane.Rinjani sudah malas bertemu dengan Kepala sekolah. Ia cukup sakit hati ketika di tuding merayu Erik. Bahkan, ia merasa dirinya tak dihargai sebagai seorang bawahan. Ingin menolak, tetapi ia harus meluruskan semuanya.“Baik, saya ke sana.”Rinjani meninggalkan ruangannya menuju ruangan kepala sekolah. Wajahnya masam saat ia melihat sosok Albert pun berada di sana. Ia kembali harus menahan kekesalan melihat pria bermulut wanita. Seenaknya saja menyebarkan fitnah baginya.Pak Albert tak berani menatap Rinjani, ia hanya fokus pada pak kepala sekolah. Beberapa detik keheningan pun masih terasa sampai Pak kepala sekolah mulai membuka pembicaraan.“Hm, sebelumnya saya ingin meluruskan masalah yang sedang heboh di sekolah ini,” tutur pria plontos itu.“Meluruskan apa, Pak? Kalau meluruskan, sejak tadi bertanya baik-baik tidak dengan langsung menuduh saya,” cecar Rinjani.Pak kepala
Sebulan sudah permasalahan itu berlalu. Rinjani pun sudah tidak begitu memikirkan tentang masalah itu lagi. Wanita cantik itu lebih memilih fokus untuk mengurus kehidupannya sendiri serta keluarga kecilnya. Dia juga sangat menjaga dirinya bahkan jarang dan hampir tidak pernah bertemu dengan Tama. Dia ingin menjaga hubungannya dengan Erik dan Ratna. Tidak ingin ada kesalahpahaman yang akan membuat kakaknya ataupun suaminya kembali marah dan berpikiran buruk tentangnya. Rinjani sama sekali tidak merasa marah dan keberatan jika pada kenyataannya kakaknya itu masih menyimpan rasa dendam atau apa pun itu pada dirinya. Yang terpenting bagi dirinya saat ini adalah kehidupannya dan juga dirinya yang sudah semaksimal mungkin menjauhi segala sesuatu yang bisa menimbulkan semua kesalahpahaman itu sendiri. Namun, hal tidak terduga terjadi. Ratna kini, sudah mulai berbicara lagi padanya. Dan Rinjani sangat bersyukur akan hal itu. Sepertinya kakaknya itu sudah memaafkan dirinya. D
Ratna dan Rinjani masih berdebat sengit. Kedua wanita cantik itu sama sekali tidak ada yang mau mengalah. Keduanya sama-sama ingin menang sendiri. Memenangkan pertengkaran itu dan tidak ada yang ingin disalahkan. Rinjani merasa dirinya yang paling benar. Begitu pun sebaliknya. Ratna merasa hal yang sama. Hingga ayah mereka masuk ke ruangan Ratna. Laki-laki paruh baya itu menghela napas sejenak sebelum mendekat ke arah anak-anaknya itu. Setelah itu, ayah Rinjani mendekat dan mencoba melerai pertengkaran kedua anaknya itu. Rinjani dan Ratna pun hanya terdiam membisu. Pertengkaran yang tadi memanas kini hilang sudah, terganti dengan keterdiaman. Ayah Rinjani yang melihat itu pun mengembuskan napas lega. Setelahnya, laki-laki paruh baya itu berjalan menuju sofa yang ada di ruang rawat Ratna dan mendudukkan diri di sana. Sementara itu Rinjani masih berada di samping sang kakak. Rinjani menatap ke arah ayahnya, setelah itu mendekat pada Ratna yang terbaring di ranjang dan b
Perdebatan SengitSuasana antara Rinjani dan Erik menjadi canggung. Erik masih saja diam, sedangkan Rinjani masih menyiapkan hatinya untuk kembali berbicara. Membicarakan masalah Tama. Seseorang yang menjadi sumber masalah di antara keduanya sekarang ini. Bukan apa, Rinjani hanya ingin agar masalah ini cepat selesai dan tidak berlarut-larut. Rinjani tidak mau jika kesalahpahaman yang kecil ini akan menjadi bumerang dalam rumah tangganya dan berakhir dengan adanya masalah yang lebih besar di rumah tangganya nanti. Hanya itu yanh Rinjani inginkan dan juga pikirkan.Apalagi tidak baik jika seorang istri dan suami saling memendam kemarahan. Itu yang selalu Rinjani ingat dari ibunya. Wanita tak bersayapnya, Rinjani banyak belajar tentang bagaimana menjadi seorang istri dan juga ibu yang baik pada ibunya.“Mas, aku minta maaf kalau memang ini semua bikin kamu marah. Tapi ini Cuma kesalahpahaman dan aku gak mau kalau kita bertengkar hanya karena masalah sepele ini,” ujar Rinjani.Namun, masi
Ratna langsung beringsut ke arah Tama, suaminya. Tama yang tidak mengerti dengan tingkah istrinya yang terlihat aneh hanya diam dan menurut saat istrinya itu menariknya menuju kamar mereka.Sesampainya di kamar, Ratna menghempaskan tangan Tama dengan sedikit kasar. Kekesalan memenuhi pikirannya. Melihat suaminya dan asiknya datang bersamaan dan berada di dalam mobil yang sama membuat Ratna tidak bisa menyembunyikan kekesalannya.Baru saja kemarin dirinya berdamai dengan dirinya sendiri dan mulai meyakinkan jika Tama dan Rinjani tidak memiliki hubungan apa pun. Namun, hari ini semua usahanya gagal hanya karena melihat suaminya dan adiknya datang bersama. Tak hanya itu, tadi dirinya juga sempat melihat keduanya berbincang dan saling berbalas senyum. Itu semakin menambah kecemburuannya.“Kamu kenapa sih, Ratna?” tanya Tama yang sedang dilanda kebingungan karena sikap istrinya yang tiba-tiba berubah.Napas Ratna tidak teratur, kedua bahunya naik turun akibat kesal.“Kamu masih tanya aku k
Pagi ini, Bian, anak Erik sudah rapi dengan pakaian kasualnya. Namun, hal itu membuat Erik bertanya-tanya saat melihatnya. Karena hal tersebut adalah hal yang sangat jarang dilakukan oleh Bian. Biasanya anak itu akan lebih memilih tidur dan bersantai di rumah bukan pergi dan keluar bersama teman-temannya. Bian lebih suka berada di rumah daripada di luar.“Kamu mau ke mana, Bi?” tanya Erik yang duduk di kursi kayu dengan koran yang ada di tangannya. Kebiasaan Erik setiap pagi sebelum pergi ke kantor adalah membaca koran, tak lupa ditemani oleh secangkir teh lemon.Bian yang mendengar pertanyaan Erik, ikut mendudukkan diri di kursi tempat Erik duduk.“Mau ketemu Mama, Pa,” jawab Bian.Perkataan Bian membuat Erik terkejut. Untuk apa Bian bertemu Andini? Itu yang ada di pikiran Erik. Ya, Mama yang dimaksud Bian adalah Andini, ibu kandungnya.Erik meletakkan korannya dengan sedikit kasar, lalu menatap Bian penuh selidik.“Mau apa bertemu dia?” tanya Erik.“Entah, Mama Cuma bilang mau ketem
Pukul lima sore, Erik keluar dari kantor. Dia mengemudikan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata. Kekesalan masih menguasai dirinya. Erik sudah tidak sabar ingin segera sampai di rumah.Sesampainya di rumah, Erik mengetuk pintu. Rinjani yang mendengar pintu diketuk pun tergopoh-gopoh menghampiri dan membukanya. Di sana, Erik suaminya datang, wajahnya kusut. Dengan terheran-heran, Rinjani mengajak Erik untuk segera masuk ke dalam.“Duduk dulu, Mas,” ujar Rinjani. Erik menurut dan duduk di sofa. Dirinya pun melepas sepatu yang dipakainya dan meletakkannya di rak yang berada tepat di samping ruangan itu.Tak berapa lama, Rinjani kembali dengan nampan dan juga segelas minuman dingin. Rinjani meletakkannya di meja, setelahnya dirinya mendudukkan dirinya di sofa sebelah Erik duduk.“Minum dulu, Mas,” kata Rinjani. Erik pun segera mengambil gelas itu dan meneguk isinya hingga tandas. Tak bisa Erik mungkiri jika setelah minum, hatinya terasa jauh lebih tenang.Erik menyandarkan punggung
Setelah malam pertama mereka, Rinjani dan juga Erik masih berada di hotel. Di salam kamar, Rinjani kebingungan karena alat pengering rambutnya yang entah hilang ke mana.“Ke mana sih, pengering rambut itu! Gak mungkin aku keluar dengan rambut basah kayak gini! Dasar pengering rambut!” gerutu Rinjani karena sudah sejak tadi dirinya mencari benda itu. Namun, tak kunjung dirinya temukan. Dirinya kesal karena benda yang sangat dibutuhkannya tiba-tiba menghilang. Dirinya malu jika harus keluar kamar masih dengan rambut yang basah.Tiba-tiba pintu diketuk dari luar, membuat Rinjani yang sedari tadi mencari pengering rambutnya berhenti. Dirinya menatap bingung, siapa yang mengetuk pintu kamar hotelnya dan juga Erik di jam-jam seperti ini?Rinjani menghela napasnya sedikit kasar, niatnya yang tidak ingin keluar kamar dengan rambut basah harus gagal. Setelah beradu dengan pikirannya sendiri, Rinjani akhirnya memutuskan untuk membuka pintu kamarnya. Melihat siapa orang yang datang ke kamar hote
Rinjani tak sadarkan diri saat mendengar kabar jika Erik mengalami kecelakaan. Sang ibu begitu cemas begitu pun Ratna yang juga berada di sisinya. Tama mencoba menghubungi Bian kembali.Pria itu seperti menarik napas lega saat terdengar suara menjawab di seberang telepon. Setelah itu, ia kembali masuk ke kamar Rinjani dan minta Ratna untuk mengoleskan minyak kayu putih.“Tapi kamu sudah telepon Bian, kan? Apa katanya, bagaimana Erik?” Ibu mertuanya terus saja mendesak ia bicara. Namun, ia mengelus lembut punggung ibu mertuanya dan mengajaknya bicara di depan.“Bu, tenang, ini hanya salah paham,” tutur Tama.“Maksud kamu salah paham itu bagaimana?” Kini Ratna yang bicara.“Erik memang kecelakaan, tapi hanya terjatuh dari motor. Dan dia setelah itu mengurus ke rumah sakit karena karyawannya itu juga mengalami tabrakan yang sama.” Tama mulai menjelaskan.Tama kembali menceritakan kronologinya membuat Ratna dan ibu mertuanya mengerti. Pria itu pun mengatakan Erik dan Bian sedang on the wa
“Kalian tidak bisa menjawab?” Bian kembali bertanya. “Papa jelaskan sama kamu, duduk dulu,” pinta Erik. Tidak lama, Erik menceritakan semuanya. Awal bertemu dengan Rinjani, sampai memulai sebuah hubungan baru karena memang merasa nyaman. Namun, Bian masih merasa aneh dengan keduanya. Seolah-olah masih ada yang di tutupi. “Jadi, kalian akan menikah tanpa cinta?” Lagi, Bian bertanya. “Awalnya, tapi semakin lama Papa mulai ada rasa. Jadi, Papa memutuskan memulai dari nol dengan Rinjani. “Saat tidak sengaja bertemu dengan mama kamu di sana. Reflek saat ada Rinjani, tanpa Papa mengaku pacarnya,” ujar Erik sembari tertawa mengingat kejadian saat itu. Rinjani pun sama, ia seakan teringat pertama kali mereka bertemu. Memang jodoh, mereka kembali dipertemukan.“Mama kamu datang bersama kekasih barunya. Papa tidak mau terlihat seperti belum move on atau jomblo ngenes seperti yang Andre selalu katakan. Eh, entah tangan ini malah menarik Rinjani dan memperkenalkan pada Mama kamu.”“Dan Mama