“Kalau suatu hari Mbak Mei terperangkap di sebuah pulau bersama lima dosen cowok Departemen Agribisnis, siapa yang Mbak pilih jadi suami?” Najma melontarkan pertanyaan absurd saat ia dan Mei berbaring di kamarnya setelah menonton episode terakhir drama It’s Okay Not To Be Okay. Kemudian, ia menyebut lima nama.
Mei menoleh, menatap gadis berusia 26 tahun yang sedang menatap langit-langit kamar. ‘Kenapa menikah? Bukannya terperangkap di pulau itu harusnya cari jalan keluar, bukan malah nyari suami?” Mei protes, tidak terima mendapat pertanyaan tak masuk akal itu.
‘Jadi pulau itu dikuasai roh jahat. Kekuatannya akan hilang kalau tawanannya menikah lalu dia kecipratan darah dua manusia yang sudah menyatu itu. Nggak hilang permanen, tapi cukup buat para tawanan untuk lari sementara dia lemas.”
Duh, makin ngadi-adi. Mei diam. Ia memilih memejamkan mata, mencoba tidur. Najma hanya sedang mengigau.
‘Jadi, Mbak Mei harus rela menikah dengan salah satu dosen itu supaya bisa keluar.”
“Coba tanya Aina, dia pilih siapa.” Me menjawab asal.
“Nggak bisa, jawaban tiap orang bersifat rahasia.”
Astagfirullah. “Harus banget gitu jawab pertanyaan kamu?”
“Harus. Walaupun cuma permainan, Mbak Mei harus jawab.”
Kedua mata Mei terpejam. Ia masih malas menjawab.
“Cepetan jawab. Ini buat ide ceritaku.” Suara Najma terdengar seperti rengekan bocah meminta mainan. Selain kuliah, Najma memang menjadi penulis platform digital.
Mei membuka mata. Ia teringat kalau Mei penulis fantasi. Mungkin memang ia sedang menyusun cerita sehingga melahirkan pertanyaan absurd.
‘Prof. Amran kayaknya.” Akhirnya Mei menjawab juga.
“Kenapa?” Sorot mata Najma tampak penasaran.
“Dari kelima dosen yang terperangkap, cuma dia yang jomlo. Kalau aku pilih dosen lain, nanti aku bakal dicap pelakor, dong.”
“Sidang perceraian kita sudah diurus pengacaraku.” Andra berujar dingin ketika ia mengantar Mei pulang ke rumah orangtuanya. Enam tahun bersama, renjana di hati Andra telah padam. Pria itu memilih mengakhiri pernikahan. Meski Mei tahu, semua karena sekretaris Andra yang diam-diam menyelinap ke dalam kehidupan mereka lalu mencuri Andra.“Beneran nggak ada jalan lain selain pisah, Mas?” Hati Mei seperti balon meletus. Ia menyesal terlalu percaya pada sekretaris Andra sampai tidak sadar jika perempuan itu diam-diam menyimpan bom yang setiap saat bisa meledak. Bom itu meledak setahun lalu. Hanya ledakan kecil dan Mei masih berusaha bersabar dan mencari bukti. Lantas, enam bulan lalu ledakan besar terjadi. Mei harus tercabik-cabik mendapati foto, video, juga bukti transfer uang dengan jumlah tidak sedikit ke rekening perempuan itu. “Kukira hanya itu jalan satu-satunya. Tidak ada gunanya menjalani pernikahan tanpa cinta.” Mei menatap ranting pohon mangga yang bergoyang dipeluk angin. P
"Ros, kamu bisa ke ruang kerja saya sekarang? Penting." Suara Amran terdengar di seberang. Mei baru selesai kuliah. Hari menjelang petang dan di luar mendung tebal. Turunnya hujan deras hanya tinggal menunggu waktu. "Maaf, Prof, saya Mei, bukan Ros." Perempuan berkulit putih itu meralat nama. Kebiasaan Amran sering salah memanggil nama orang. Anehnya, kesalahan itu hanya berlaku saat memanggil perempuan. Sementara pada laki-laki bisa dipastikan tidak pernah salah panggil. "Oh, iya, sorry. Kamu bisa ke ruangan saya sekarang?""Bisa, Prof. Kebetulan ini baru beres kuliah.""Oke, saya tunggu." Mei mengiyakan perintah Amran. Sejak ia menjadi asistennya semester ini, Amran memang sering memberi tugas dadakan. Awalnya Mei merasa berat karena khawatir mengganggu kuliah. Namun, lebat laun ia mulai terbiasa. Karena itu, teman-temannya menjulukinya wanita panggilan. "Untung yang bolak-balik manggil ganteng, ya, Mbak,' goda teman-teman sekelasnya. "Nggak ganteng asal dompet tebal juga baka
“Sudah saya katakan, saya yang pesen. Kamu tinggal makan. Saya nggak mau asisten saya sakit karena kelaparan saat lembur.” Prof. Amran tertawa. “Sudah, ya. Selamat makan. Semoga kamu suka.” Ketika pintu perpustakaan didorong dari luar dan abang ojol masuk, refleks Mei mendongak dan ia menepuk jidat karena lupa untuk menunggu pesanan makanan itu di luar ruangan. Sebelum pria berjaket hijau itu bertanya pada penjaga perpustakaan, Mei sudah bangkit dan bergerak menyongsongnya. “Dengan Mbak Mei?” Abang gojek itu menyapa lebih dulu ketika Mei sudah berada di depannya.“Iya, Mas. Mau anter pesenan, ya?” Mei membalas senyum abang ojol. Abang ojol mengiyakan pertanyaan Mei. “Tadi ada pesanan ayam geprek dan jus mangga dari Pak Amran. Katanya buat Mbak.” Ia mengulurkan kantung kresek di tangan. Wangi ayam goreng menyelip di antara aroma woody dari pengharum ruangan di perpustakaan. "Makasih banyak, Mas.” Kantung kresek berpindah tempat dalam hitungan detik. Mei memberi tip yang disambut se
“Apa sampai sekarang kamu belum nemu perempuan yang sreg di hati kamu, Ran?” Suara Ratih bertemu gemericik air dari aquarium di sudut ruang makan. Ada harapan juga gusar pada mata kelabu perempuan itu. Amran menghentikan suapannya. Batagor di piring baru separuh berpindah ke lambung. Ditatapnya wajah sang ibu yang duduk di seberang meja. “Kenapa memangnya, Bu?” Sebenarnya Amran tahu ke mana arah pembicaraan ibunya, tetapi ia tetap bertanya. Biasanya Amran akan mencari cara berkelit sebelum sang ibu mengeluarkan petuah, tetapi malam itu ia sedang lelah. Tidak ada satu ide pun terlintas di kepala untuk mengalihkan topik pembicaraan. “Ibu sudah tua. Ibu tidak ingin meninggal sebelum kamu menikah.” Sudah bisa ditebak. Kalimat sakti itu selalu diucapkan ibunya. Hampir setiap hari, sampai Amran kadang bosan dan menganggap itu seperti angin lalu. Hanya demi sopan santun ia duduk dan menyediakan telinga bagi setiap keluh yang terlontar dari lisan sang ibu. “Jangan terlalu pilih-pilih. Asa
Sepertinya aku harus tidur. Pikiran itu datang tepat ketika ia menyudahi lamunan dan ponselnya berkedip-kedip. Layar benda itu memperlihatkan notifikasi pesan dari Mei. “Maaf, Prof, nilai baru saya kirim sekarang.” Amran melihat jam di layar ponsel. Sepuluh menit sebelum jam sepuluh malam. “Oke, Mei. Makasih banyak. Kamu kerja keras sekali.” “Biasa saja, Prof. Sudah jadi tugas saya.” Emoticon senyum. “Revisi RAB proyek akan saya selesaikan dan kirim besok Prof. Tapi mungkin malam baru beres.” “It’s okay, Mei. Kamu punya waktu sampai jam 23.59.” Mei mengirim emoticon tertawa. “Saya usahakan sebelum jam cinderela sudah terkirim, Prof.” “Saya tunggu.” “Baik, Prof.” Percakapan berakhir. Amran masih menatap layar ponsel. Kalimat sang ibu terngiang. Jodoh itu dijemput. Bukan ditunggu.Amran menutup wajah dengan kedua tangan. Selama ini ia memang menunggu. Mungkin ia menunggu terlalu lama sampai lupa berusaha. Padahal tanpa usaha, Tuhan tidak pernah men
Amran hanya menghela napas. Ia pernah baca cerita novel online bertema pernikahan kontrak yang melintas di beranda media sosialnya. Ia jadi berpikir untuk melakukannya juga jika tenggat waktu enam bulan hampir habis. Masalahnya, siapa yang mau nikah kontrak dengan bujang karatan seperti dirinya? Amran melihat pantulan tubuhnya di kaca penutup rak buku di ruang tengah. Badannya memang masih tegap berisi karena menjaga makan dan olahraga teratur. Ia memiliki rambut hitam tebal terawat. Sepintas ia tidak terlihat seperti manusia dengan umur nyaris mendekati setengah abad. Sayangnya, umur tidak bisa bohong. Jika diperhatikan, tetap saja wajahnya enggan berdamai dengan waktu yang terus bergerak. Ada garis-garis yang tak bisa dicegah kehadirannya. Ia tetap menua, mengikuti pertambahan umur bumi. Arman sadar, bagaimanapun juga ia bukan ahjussi rasa oppa. Sebuah kesadaran yang membuat matahari pagi itu seperti lebih terik daripada biasanya. Ketika Amran menyingkir dari depan kaca penutup
Benar dugaannya. Mendadak tubuh Amran lemas. Berbagai lintasan pikiran buruk tumpah ruah di kepala. Darah. Kematian. Kata kecelakaan mengingatkannya pada almarhum Bapak. "Ditabrak orang waktu pulang dari salat Magrib di masjid." Nah, kan, kejadian juga. Amran sudah sering mengingatkan ibunya agar salat di musala dekat rumah saja. Masjid ada di ujung kampung dan harus menyeberang jalan desa. Lepas magrib, jalan itu sepi dan sering jadi ajang ngebut pengendara yang kebetulan melintas, terutama remaja-remaja yang sedang senang-senangnya pegang motor dan baru bisa asal ngegas. "Sekarang Ibu di rumah sakit." "Kata dokter kaki Ibu patah dan harus dioperasi. Gimana, Mas? Dokter menunggu persetujuan Mas Amran." Ada jeda tiga puluh menit dari pesan sebelumnya dan ada sepuluh pesan serupa yang dikirim setelahnya. Pak RT pasti sangat bingung.Amran segera menyentuh panel telepon. Di Indonesia masih jam sembilan malam. Belum terlalu larut dan masih ada kemungkinan dilakukan tindakan operasi s
Amran sedang tidak ingin melibatkan diri dalam perdebatan. Anggukan sudah cukup melegakan ibunya. “Tapi, Bu, nanti kalau ….” Mei masih berusaha mengelak.“Nggak akan terjadi apa-apa sama Ibu. Pokoknya kamu pulang diantar Amran. Ibu nggak mau kamu pulang sendiri. Titik.” Nah, Ibu mulai merajuk. Dalam hati Amran menyesalkan sikap ibunya yang merajuk pada Mei padahal mereka belum lama saling kenal. "Saya antar pulang, Mei." Akhirnya Amran memutuskan untuk memotong perdebatan dua perempuan itu. Ia capek dan malas melihat adu kata Ratih dan Mei. "Ta-tapi, Prof."Amran mengerjap, memberi isyarat pada Mei agar menurut. "Mau pulang sekarang?" "I-iya, Prof." “Nah, gitu, dong, Cah Ayu. Kalau kamu pulang sendiri, malah Ibu nggak tenang. Nanti tensinya naik.” Bibir Ratih melengkung. Amran berdeham. Kalau sudah ngadi-adi, ibunya bisa sangat hiperbolis.Mei tersenyum gugup. Ia memasukkan Al Qur'an ke dalam tas lalu mencangklongnya di pundak kanan. Dalam hati Mei berharap Prof Amran tidak b
Amran menatap Bastian. "Kenapa dengan nama itu? Kamu kenal?" Jiwa kepo Amran meronta. Tiba-tiba ia khawatir kalau tingkah salah satu mahasiswanya itu ternyata tercium orang lain, termasuk Bastian. "Tidak, Prof." Bastian tersenyum samar. Otaknya bekerja cepat dan pertanyaan Mei kembali terlintas di kepala. Kini ia mengerti kenapa Mei tadi bertanya tentang Akira Hana. "Tapi dari wajah kamu, kayaknya kamu kenal dia." Amran yang sudah berdiri kembali duduk. Bastian meringis. "Kimbabnya enak, Prof." "Bas!" Bastian yang masih mengunyah dengan mulut penuh memberi isyarat dengan gerakan tangan pada Amran agar diam dan menunggu. Ya, ampun. Makhluk satu ini kenapa tiba-tiba bikin kesel? Amran menghela napas seraya menatap jengkel Bastian. Kalau ada asisten sedikit ngelunjak, Bastian orangnya. Namun, Amran terlanjur cocok bekerja dengan Bastian. Jadi, dia masih bisa menahan urat sabarnya agar tidak putus saat penyakit Bastian kambuh. "Cepetan ngomong," ujar Amran seraya menyodorkan air mi
Amran tidak tahu sejak kapan Mei berubah sikap padanya. Apakah sejak ia sakit dan karenanya Amran tidak menyadari perubahan raut muka dan gerstur tubuh Mei, atau baru-baru ini setelah ia sembuh. Amran baru merasakan perubahan Mei ketika tadi malam Mei lebih memilih memeluk guling ketimbang menggodanya. Namun, semalam ia terlalu lelah untuk mengobrol. Ia ingin cepat tidur karena hari ini harus mengajar jam pertama. Kebekuan Mei berlanjut pagi ini. Tidak ada senyum manis juga kecup mesra Mei yang biasanya ia dapat setiap kali akan pergi. "Apa aku tidak dapat bekal?" Amran yang baru saja selesai berpakaian dan siap berangkat tersenyum melihat Mei masuk ke kamar. Mei melihat Amran sekilas, tidak berminat menjawab pertanyaan sang suami. "Ini bekalnya, Prof." Ia hanya berujar singkat tanpa menatap Amran, meletakkan tas bekal di meja. Diambilnya jas dari gantungan baju kemudian diberikan pada Amran. Masih tanpa senyum dan raut muka datar. "Bukan bekal itu, Meine Schatzi." Amran meraih j
"Akira Hana." Mei bergumam pelan. Ia belum pernah mendengar nama itu disebut Amran. Selama ini, suaminya lebih sering menyebut kolega laki-laki. Sangat jarang ia berbagi cerita tentang teman dosen perempuan kecuali Bu Andriana yang memang memiliki proyek bersama. "Mungkin mahasiswanya." Mei kembali bergumam. Ah, bukankah sejak dulu ia sudah tahu kalau Amran memang magnet bagi kaum hawa? Bukan tidak mungkin ada yang nekad mendekatinya meski status Amran sekarang telah berubah. Mei menghela napas. Dipukulkannya kepalan tangan ke tengah kemudi sementara parfum itu ia geletakkan begitu saja di kursi samping. Tiba-tiba saja seperti ada yang terbakar di dadanya. Mei masih tertegun dengan mata menatap lurus ke depan. Bayang masa lalu dengan Andra satu per satu mampir di kepala. Apakah ia harus menghadapi teror orang ketiga lagi? Kenapa hidupnya begitu sial dan pernikahannya selalu diganggu? Mei menggigit-gigit bibir. Gelisah. "Nanti aku cek hape Mas Amran. Jangan sampai ada penyusup dala
Pagi ini Mei bangun lebih awal dari biasanya. Pukul 03.00 dini hari sementara beberapa hari lalu ia lebih sering membuka mata 30 menit setelah jam tiga. Entah mengapa, sejak Lila sempat hadir dalam kehidupan Amran, ia selalu lebih cepat terjaga. Seperti ada alarm yang menempel di tubuhnya lalu menggelitik tubuhnya hingga membuka mata. Mei menggeliat. Sebelum matanya benar-benar terbuka, ia telah mendengar dengkuran halus Amran menyelinap di antara detak jarum jam. Mei menoleh, melihat Amran masih terlelap di sampingnya dengan wajah sedikit memerah. Refleks, Mei meletakkan telapak tangan di dahi Amran. Demam. Mei membatin. Perlahan diangkatnya salah satu tangan Amran yang berada di atas pinggangnya kemudian beringsut dan turun dari ranjang. Kecapekan, Mei berpikir jika suaminya pasti kelelahan maraton mengurus Lila dan sepulang dari Jakarta ia pergi ke Bantul. Amran baru kembali tadi malam. Akhirnya tubuhnya berontak dan minta istirahat. Mei bukan tidak mengingatkan Amran agar isti
Amran dan Mei menggeleng. "Kebetulan saya teman lama dia. Memang dia sempat mau meminjam uang, tetapi istri saya keburu tahu. Jadi, Alhamdulillah uang kami selamat." "Syukurlah." Perempuan itu mengganjar napas. "Dia sudah terbiasa hidup mewah. Sejak suaminya ditangkap karena korupsi dan aset-asetnya disita, dia jadi kehilangan pegangan. Akhirnya dia nipu sana-sini.” "Anak-anaknya gimana, Eyang?" Mendadak Mei teringat anak-anak Lila."Dia sudah tidak punya anak." Mei melongo."Anak satu-satunya meninggal karena sakit. Sejak saat itu hidupnya makin tidak karuan."Meski Lila harus mendapat hukuman atas kejahatannya, Mei tetap prihatin dengan nasib Lila. Ia pernah kehilangan bayi dan bisa membayangkan betapa hancur hati Lila. “Sekarang Lila ada di rumah sakit, Eyang. Kemarin dia sempat ingin bunuh diri.” Perempuan sepuh itu terkejut. “Di rumah sakit mana, Nak? Biar nanti Eyang jemput. Papanya sudah nggak ada dan keluarga besar mamanya tidak mau lagi nerima dia. Biar dia tinggal di si
Baiklah, cukup sampai di sini atau tensiku naik. “Berarti beruntung banget saya, ya, Mbak. Dapat laki-laki suamiable seperti Mas Amran.” Mei berkata dengan nada sekalem mungkin. “Nggak tahu juga, sih, seberuntung apa kamu. Kata orang cinta pertama itu susah dilupakan dan mudah banget buat CLBK.” Mei tersenyum, berusaha tetap santai. “Saya pamit dulu, Mbak. Sudah sore,” ujarnya setelah kimbab di tangan Lila berpindah ke lambung. Keinginan Mei untuk mengorek lebih dalam jati diri Lila menguap. Ia terlanjur jengkel pada Lila. Kontrakan Bidadari Tepi Kali menjadi tujuan Mei selepas dari rumah sakit. Ia sudah menghubungi Najma dan perempuan itu sedang ada di rumah. Di bawah temaram cahaya matahari yang merangkak menuju ufuk barat, Mei memacu motor melewati padatnya jalan raya di samping perkampungan Kali Code. Ia sengaja tidak memakai jaket. Dibiarkannya angin sore hari memeluk tubuhnya, memeluk cemburu di hati lalu menerbangkannya bersama debu dan kepulan asap kendaraan. Sesampainya
Mei menoleh, bertemu pandang dengan perawat yang tersenyum meyakinkan. "Jadi, Sus. Kebetulan saya bawa barang-barang Bu Lila juga. Siapa tahu dibutuhkan selama di sini." "Baik, Bu. Kalau begitu, silakan masuk." Perawat itu membuka pintu. Suara deritnya menarik perhatian Lila. Ia berhenti membaca, menurunkan koran lalu menatap lurus-lurus pada Mei yang baru saja masuk.Pintu ditutup. Napas Mei tertahan sesaat. Tatap tajam Lila memacu jantungnya hingga berdegup lebih kencang. Dihirupnya udara beraroma karbol dalam-dalam. Jadi dia, perempuan bernama Lila. Cantik. Mei membatin. Tanpa make up saja ia terlihat menarik, apalagi jika ada sedikit riasan. Lila memiliki hidung bangir dan bentuk bibir sempurna. Ia bermata bening, tidak terlalu sipit dan tidak terlalu lebar. Memandangnya seperti sedang melihat telaga berair jernih dan tenang. Mei yakin, dengan kelebihannya, Lila sanggup menaklukkan hati laki-laki dengan mudah. Nyaris tidak bisa dipercaya, perempuan dengan pahatan wajah sempurna
"Kayaknya Prof makin hari makin genit." Mei tertawa."Jadi apa aku harus datar seperti papan penggilesan?" Keduanya tergelak. Amran berdiri sembari menarik tangan Mei. "Yuk." "Tunggu, Prof." Mei bergeming. Dimintanya Amran untuk duduk kembali. "Anda belum selesai menjelaskan, Prof. Jadi apa yang harus aku lakukan besok saat bertemu Lila?" lanjutnya setelah Amran ada di sampingnya lagi. "Ah, sorry." Kedua sudut bibir Amran terangkat. "Kamu selalu membuatku lupa banyak hal." "Tuh, kan, saya jadi kambing hitam lagi." Mei pura-pura cemberut. "Memang begitu kenyataannya, Meine Schatzi." Amran menepuk kedua pipi Mei. Hampir saja ia mengecup bibir Mei kalau tangan Mei tidak bergerak cepat menahan dadanya. "Lanjutkan dulu penjelasannya, Mas." Mei mencium pipi Amran. "Hmm, oke-oke." Amran tersenyum sembari membetulkan letak kacamatanya. "Kamu ke wisma dan ambil barang-barang Lila. Setelah itu bawa ke Sardjito. Dokter belum bisa memastikan berapa lama dia diisolasi. Jadi biar kopernya a
“Ada keluarganya di Kotagede, tapi saya tidak tahu nomor teleponnya. Besok kalau sudah luang, saya akan ke sana.” “Suami? Anak-anak?” Dokter itu bertanya hati-hati. “Lila bilang kalau sudah bercerai. Sampai saat ini saya belum tahu siapa mantan suaminya. Keluarga besarnya ada di Jakarta dan saya tidak punya nomor mereka. Sudah lama sekali saya tidak terhubung dengan Lila dan keluarganya." "Baik, Prof." Dokter itu tersenyum iba. “Semoga Anda bisa segera terhubung dengan keluarganya.” Sekali lagi Amran mengucapkan terima kasih kemudian berpamitan. Ia masih sempat memandang Lila dan melangitkan doa. Amran berharap keadaan Lila tidak memburuk sehingga bisa keluar secepatnya dari rumah sakit. Bukan tentang biaya yang Amran pikirkan, melainkan karena ia khawatir tidak dapat mengurus Lila dengan baik di tengah timbunan pekerjaan. Langkah-langkah lebar Amran membawa pria itu tiba di tempat parkir lebih cepat. Setelah melewati portal rumah sakit, Amran memacu motor secepat mungkin. Masi