Beranda / Romansa / Dosen Tua Kaya Raya Itu Suamiku / Bab 2: Perempuan Panggilan

Share

Bab 2: Perempuan Panggilan

Penulis: HarunaHana
last update Terakhir Diperbarui: 2023-07-06 14:49:48

"Ros, kamu bisa ke ruang kerja saya sekarang? Penting." 

Suara Amran terdengar di seberang. Mei baru selesai kuliah. Hari menjelang petang dan di luar mendung tebal. Turunnya hujan deras hanya tinggal menunggu waktu. 

"Maaf, Prof, saya Mei, bukan Ros." Perempuan berkulit putih itu meralat nama. Kebiasaan Amran sering salah memanggil nama orang. Anehnya, kesalahan itu hanya berlaku saat memanggil perempuan. Sementara pada laki-laki bisa dipastikan tidak pernah salah panggil. 

"Oh, iya, sorry. Kamu bisa ke ruangan saya sekarang?"

"Bisa, Prof. Kebetulan ini baru beres kuliah."

"Oke, saya tunggu." 

Mei mengiyakan perintah Amran. Sejak ia menjadi asistennya semester ini, Amran memang sering memberi tugas dadakan. Awalnya Mei merasa berat karena khawatir mengganggu kuliah. Namun, lebat laun ia mulai terbiasa. Karena itu, teman-temannya menjulukinya wanita panggilan. 

"Untung yang bolak-balik manggil ganteng, ya, Mbak,' goda teman-teman sekelasnya. 

"Nggak ganteng asal dompet tebal juga bakal dijabanin, ya, Mbak." Mereka makin menjadi. 

Mei hanya menanggapi dengan senyum. Lagi pula, kesibukan bagus buat Mei. Ia jadi bisa semakin melupakan masa lalu kelam dengan Andra. Satu tahun kuliah cukup untuk mengikis habis bayang-bayang mantan.

"Telepon dari Prof. Amran?" Aina, teman satu kontrakan dan satu kelas Mei bertanya setelah Mei menutup pembicaraan. 

 "Panggilan tugas lagi?" Pertanyaan susulan meluncur dari bibir Aina sebelum Mei sempat menjawab pertanyaan sebelumnya.

"Tugas apa tugas? Aku lihat, kamu sekarang sering dipanggil, deh, sama Prof. Amran." Aina tersenyum jahil. 

"Kamu ini nanya terus, tapi nggak ngasih kesempatan buat jawab." Mei merengut. "Aku ke ruang kerja Prof. Amran dulu. Aku ditinggal saja." 

"Cie, cie, yang mau ngedate sama profesor ganteng." Aina sengaja mengeraskan suara. Senyum jahil kembali ia terbitkan. 

Mei mengusap hidung sambil celingak-celinguk. Di sekitar mereka masih banyak mahasiswa yang baru selesai kuliah dan sedang melewati koridor yang sama. "Kamu ngapain pakai teriak-teriak?" Mei mengatupkan rahang sambil mencubit lengan Mei. Kamu ikut aku kalau gitu." Ditariknya Aina ke ruang kerja Amran di lantai tiga. 

"Lho, lho, yang dipanggil kamu, kok, aku harus ikut." Aina berusaha melepas cekalan tangan Mei. 

"Sudah, jangan banyak protes." Mei terus menarik Aina hingga ke depan ruang kerja Amran. Ia melepas tangan Aina lalu mengetuk pintu. Pada saat bersamaan, Aina berlari menjauh. 

"Bye, Mei. Met nge-date." Ia tertawa lalu meninggalkan Mei yang tersenyum masam. 

"Ada tugas apa, Prof?" tanya Mei sopan ketika sudah duduk di hadapan Amran. 

"Bukan tugas baru. Tapi kamu salah mengirim hasil pretest dan post test mahasiswa." 

"Oh." Mei hanya menjawab pendek. Sepasang mata bulatnya menatap layar komputer yang kini dihadapkan padanya. 

"Prestest mahasiswa semester tiga kamu masukkan ke semester lima. Begitu sebaliknya." 

"Oh, maaf, Prof. Mungkin semalam saya ngirim email sambil ngantuk." Mei meringis. Kulit wajahnya seketika memerah menahan malu. 

"Tolong segera perbaiki. Jangan sampai teledor lagi." 

Namun, ketenangan hidup Mei terganggu karena malam harinya Amran meneleponnya. 

"Baik, Prof." 

"Kamu bisa pulang sekarang." 

Mei mengucapkan terima kasih lalu pamit dengan hati lega. Setidaknya tugasnya hanya mengganti folder karena tugas lain belum ia kerjakan. 

“Senin besok saya harus keluar kota tiga hari. Saya ingin nilai anak-anak keluar sebelum pergi.” 

Kabar dari Amran memaksa Mei mengubah rencana kerja. Hanya ada waktu sampai lusa bagi Mei untuk mengoreksi hasil ujian Tengah mahasiswa semester tiga dan lima. 

Padahal besok, Mei ada kuliah dan bimbingan proposal tesis dari pagi sampai sore. Baru setelah salat Asar ia ada waktu. 

Sesaat Mei merasa kesal. Namun, segera dibuangnya jengkel di hati. Ditemani secangkir kopi dan satu stoples pangsit goreng, dia lembur. 

"Nih, aku buatin pisang panggang." Aina meletakkan sepiring pisang beraroma madu dan kayu manis di atas rak karena meja Mei penuh kertas. 

"Makasih, Na." Mei tersenyum tulus. 

"Ada yang bisa dibantu?"

Mei menggeleng seraya mengucapkan terima kasih. "Sepiring pisang ini sudah bantu banget."

"Kalau gitu aku tidur duluan, yak." Aina berdiri lalu meninggalkan Mei bersama tumpukan pekerjaan. 

Mei melanjutkan perjalanan sore berikutnya di perpus. Meski sudah mengganjal mata dengan kopi, tetap saja matanya tak bisa diajak kompromi.

Ponsel Mei berkedip tepat ketika petir menyambar diikuti gemuruh suara guntur bersahutan. Lalu, titik-titik hujan turun. Awalnya gerimis kemudian menderas dengan cepat. Dari tempatnya duduk di dekat jendela perpustakaan, Mei bisa melihat dedaunan bergerak ditimpa air dari langit. Suasana di luar gedung tampak begitu suram.

Mei mengambil ponsel dan menyentuh layarnya. Notifikasi pesan di grup Bidadari Tepi Kali masuk. 

“Mbak, pulang kapan? Mbak Aina bikin bakso, nih. Endes surendes.”  Pesan Najma disusul foto semangkuk bakso. 

Mei menelan ludah. Mendadak cacing di perutnya konser. “Aku lembur, nih. Masih ada kerjaan dari Prof. Amran.” 

“Sampai jam berapa? Serem, lho, kampus kalau malam.” 

Kepala Mei serta-merta diserbu rumor yang selama ini beredar, tentang penunggu pohon beringin tua di dekat gedung lama, juga penghuni gedung baru yang konon pindah dari bangunan kuno di belakang kampus. 

Astagfirullah. Mei menghela napas lalu mengedarkan pandang. Perpustakaan masih ramai. Selain karena mencari data, para mahasiswa itu pasti terjebak hujan sehingga terpaksa menunggu. Populasi kedua ini bisa dipastikan lebih besar karena mereka tidak membaca buku, melainkan asyik dengan ponsel masing-masing atau malah mengobrol. 

“Semoga cepet kelar, deh. Biar bisa pulang cepet. Masa iya aku harus nginep di kampus.” Aina menimpali. Ia mengirim foto bakso dengan kuah berwarna merah. 

“Woi, jangan flexing, dong. Aku jadi laper, nih.” 

 “Mbak Mei mau nginep sama Prof. Amran?” Najma mengirim pesan diikuti emoticon terkejut.

Astafirullah. Mata Mei melebar. Segera dikirimnya emoticon marah. Dasar junior nggak ada akhlak. Mei menutup aplikasi W******p dan meletakkan ponsel. Meladeni Najma dan Aina akan memperlama pekerjaannya.

Mei selesai mengoreksi pekerjaan mahasiswa semester tiga ketika azan Magrib terdengar. Ia berdiri lalu merenggangkan tubuh. Punggung, tangan, dan kakinya pegal-pegal. Matanya juga terasa pedih. Masih ada  setumpuk kertas jawaban ujian mahasiswa semester lima. Ia akan kerjakan setelah salat Magrib. 

Lepas magrib, penghuni perpustakaan sudah berkurang drastis. Hujan belum reda, tetapi sudah tidak terlalu deras. Tinggal dua orang tersisa. Jika dilihat dari raut muka dan buku-buku yang terserak, bisa dipastikan kalau keduanya sedang mengerjakan tugas dan mungkin mendekati deadline. Mereka terlihat seperti kucing mau beranak yang tidak ingin diganggu.

Meski perpustakaan tinggal dihuni tiga orang, Mei tidak khawatir karena  memang buka sampai jam delapan malam. Posisinya aman. 

Mei baru saja salat Magrib di salah satu sudut perpustakaan ketika Amran menelepon. Semoga dia tidak nagih kerjaan. Mei paling tidak enak kalau sampai ditagih. Ia selalu berusaha menyelesaikan tugas sesuai tenggat waktu yang diberikan. 

“Halo, Riska. Kamu ngoreksi kerjaan anak-anak di mana?” Suara hangat Amran terdengar di seberang.  

“Maaf, Prof. Saya Mei, bukan Riska.’  Duh, salah panggil lagi. Gimana rasanya jadi istri Prof. Arman terus tiba-tiba dia malah manggil mantan, bukan nama istrinya. Mei tersenyum geli membayangkan kejadian konyol itu. 

“Oh, iya. Sorry, Mei. Jadi kamu ngoreksi di mana?” 

“Di perpus, Prof. Apa ada yang harus saya kerjakan dan ambil di ruang kerja Prof?” 

“Tidak ada kerjaan lagi. Saya hanya ingin tahu kamu di mana karena pesenan makanan buat kamu sudah sampai  dan abang gojeknya nunggu di bawah.” 

“Pesanan makan? Saya tidak pesan apa-apa, Prof.” Ujung alis Mei bertemu. 

“Saya yang pesan.” 

Mei melongo. Tidak ada kata yang terucap karena ia kaget. 

“Wait, saya kasih tahu dulu abang gojeknya biar naik ke perpus.” 

Arman mengakhiri panggilan. 

Mei mematung dengan mata terkunci pada layar ponsel. 

Satu menit. 

Dua menit. 

Tiga menit. Amran kembali menelepon. 

 “Kamu tunggu di depan perpus. Abang gojeknya sudah otw ke atas.” 

“Tapi, Prof. Saya nggak pesen makan.” 

Bab terkait

  • Dosen Tua Kaya Raya Itu Suamiku   Bab 3: Ojek Payung Dadakan

    “Sudah saya katakan, saya yang pesen. Kamu tinggal makan. Saya nggak mau asisten saya sakit karena kelaparan saat lembur.” Prof. Amran tertawa. “Sudah, ya. Selamat makan. Semoga kamu suka.” Ketika pintu perpustakaan didorong dari luar dan abang ojol masuk, refleks Mei mendongak dan ia menepuk jidat karena lupa untuk menunggu pesanan makanan itu di luar ruangan. Sebelum pria berjaket hijau itu bertanya pada penjaga perpustakaan, Mei sudah bangkit dan bergerak menyongsongnya. “Dengan Mbak Mei?” Abang gojek itu menyapa lebih dulu ketika Mei sudah berada di depannya.“Iya, Mas. Mau anter pesenan, ya?” Mei membalas senyum abang ojol. Abang ojol mengiyakan pertanyaan Mei. “Tadi ada pesanan ayam geprek dan jus mangga dari Pak Amran. Katanya buat Mbak.” Ia mengulurkan kantung kresek di tangan. Wangi ayam goreng menyelip di antara aroma woody dari pengharum ruangan di perpustakaan. "Makasih banyak, Mas.” Kantung kresek berpindah tempat dalam hitungan detik. Mei memberi tip yang disambut se

    Terakhir Diperbarui : 2023-07-06
  • Dosen Tua Kaya Raya Itu Suamiku   Bab 4: Gosip Panas

    “Apa sampai sekarang kamu belum nemu perempuan yang sreg di hati kamu, Ran?” Suara Ratih bertemu gemericik air dari aquarium di sudut ruang makan. Ada harapan juga gusar pada mata kelabu perempuan itu. Amran menghentikan suapannya. Batagor di piring baru separuh berpindah ke lambung. Ditatapnya wajah sang ibu yang duduk di seberang meja. “Kenapa memangnya, Bu?” Sebenarnya Amran tahu ke mana arah pembicaraan ibunya, tetapi ia tetap bertanya. Biasanya Amran akan mencari cara berkelit sebelum sang ibu mengeluarkan petuah, tetapi malam itu ia sedang lelah. Tidak ada satu ide pun terlintas di kepala untuk mengalihkan topik pembicaraan. “Ibu sudah tua. Ibu tidak ingin meninggal sebelum kamu menikah.” Sudah bisa ditebak. Kalimat sakti itu selalu diucapkan ibunya. Hampir setiap hari, sampai Amran kadang bosan dan menganggap itu seperti angin lalu. Hanya demi sopan santun ia duduk dan menyediakan telinga bagi setiap keluh yang terlontar dari lisan sang ibu. “Jangan terlalu pilih-pilih. Asa

    Terakhir Diperbarui : 2023-07-06
  • Dosen Tua Kaya Raya Itu Suamiku   Bab 5: Bujang Karatan

    Sepertinya aku harus tidur. Pikiran itu datang tepat ketika ia menyudahi lamunan dan ponselnya berkedip-kedip. Layar benda itu memperlihatkan notifikasi pesan dari Mei. “Maaf, Prof, nilai baru saya kirim sekarang.” Amran melihat jam di layar ponsel. Sepuluh menit sebelum jam sepuluh malam. “Oke, Mei. Makasih banyak. Kamu kerja keras sekali.” “Biasa saja, Prof. Sudah jadi tugas saya.” Emoticon senyum. “Revisi RAB proyek akan saya selesaikan dan kirim besok Prof. Tapi mungkin malam baru beres.” “It’s okay, Mei. Kamu punya waktu sampai jam 23.59.” Mei mengirim emoticon tertawa. “Saya usahakan sebelum jam cinderela sudah terkirim, Prof.” “Saya tunggu.” “Baik, Prof.” Percakapan berakhir. Amran masih menatap layar ponsel. Kalimat sang ibu terngiang. Jodoh itu dijemput. Bukan ditunggu.Amran menutup wajah dengan kedua tangan. Selama ini ia memang menunggu. Mungkin ia menunggu terlalu lama sampai lupa berusaha. Padahal tanpa usaha, Tuhan tidak pernah men

    Terakhir Diperbarui : 2023-08-09
  • Dosen Tua Kaya Raya Itu Suamiku   Bab 6: Aplikasi Pencari Jodoh

    Amran hanya menghela napas. Ia pernah baca cerita novel online bertema pernikahan kontrak yang melintas di beranda media sosialnya. Ia jadi berpikir untuk melakukannya juga jika tenggat waktu enam bulan hampir habis. Masalahnya, siapa yang mau nikah kontrak dengan bujang karatan seperti dirinya? Amran melihat pantulan tubuhnya di kaca penutup rak buku di ruang tengah. Badannya memang masih tegap berisi karena menjaga makan dan olahraga teratur. Ia memiliki rambut hitam tebal terawat. Sepintas ia tidak terlihat seperti manusia dengan umur nyaris mendekati setengah abad. Sayangnya, umur tidak bisa bohong. Jika diperhatikan, tetap saja wajahnya enggan berdamai dengan waktu yang terus bergerak. Ada garis-garis yang tak bisa dicegah kehadirannya. Ia tetap menua, mengikuti pertambahan umur bumi. Arman sadar, bagaimanapun juga ia bukan ahjussi rasa oppa. Sebuah kesadaran yang membuat matahari pagi itu seperti lebih terik daripada biasanya. Ketika Amran menyingkir dari depan kaca penutup

    Terakhir Diperbarui : 2023-08-18
  • Dosen Tua Kaya Raya Itu Suamiku   Bab 7: Diam-Diam Dicomblangin

    Benar dugaannya. Mendadak tubuh Amran lemas. Berbagai lintasan pikiran buruk tumpah ruah di kepala. Darah. Kematian. Kata kecelakaan mengingatkannya pada almarhum Bapak. "Ditabrak orang waktu pulang dari salat Magrib di masjid." Nah, kan, kejadian juga. Amran sudah sering mengingatkan ibunya agar salat di musala dekat rumah saja. Masjid ada di ujung kampung dan harus menyeberang jalan desa. Lepas magrib, jalan itu sepi dan sering jadi ajang ngebut pengendara yang kebetulan melintas, terutama remaja-remaja yang sedang senang-senangnya pegang motor dan baru bisa asal ngegas. "Sekarang Ibu di rumah sakit." "Kata dokter kaki Ibu patah dan harus dioperasi. Gimana, Mas? Dokter menunggu persetujuan Mas Amran." Ada jeda tiga puluh menit dari pesan sebelumnya dan ada sepuluh pesan serupa yang dikirim setelahnya. Pak RT pasti sangat bingung.Amran segera menyentuh panel telepon. Di Indonesia masih jam sembilan malam. Belum terlalu larut dan masih ada kemungkinan dilakukan tindakan operasi s

    Terakhir Diperbarui : 2023-08-18
  • Dosen Tua Kaya Raya Itu Suamiku   Bab 8: Diam-Diam Dicomblangin (2)

    Amran sedang tidak ingin melibatkan diri dalam perdebatan. Anggukan sudah cukup melegakan ibunya. “Tapi, Bu, nanti kalau ….” Mei masih berusaha mengelak.“Nggak akan terjadi apa-apa sama Ibu. Pokoknya kamu pulang diantar Amran. Ibu nggak mau kamu pulang sendiri. Titik.” Nah, Ibu mulai merajuk. Dalam hati Amran menyesalkan sikap ibunya yang merajuk pada Mei padahal mereka belum lama saling kenal. "Saya antar pulang, Mei." Akhirnya Amran memutuskan untuk memotong perdebatan dua perempuan itu. Ia capek dan malas melihat adu kata Ratih dan Mei. "Ta-tapi, Prof."Amran mengerjap, memberi isyarat pada Mei agar menurut. "Mau pulang sekarang?" "I-iya, Prof." “Nah, gitu, dong, Cah Ayu. Kalau kamu pulang sendiri, malah Ibu nggak tenang. Nanti tensinya naik.” Bibir Ratih melengkung. Amran berdeham. Kalau sudah ngadi-adi, ibunya bisa sangat hiperbolis.Mei tersenyum gugup. Ia memasukkan Al Qur'an ke dalam tas lalu mencangklongnya di pundak kanan. Dalam hati Mei berharap Prof Amran tidak b

    Terakhir Diperbarui : 2023-08-18
  • Dosen Tua Kaya Raya Itu Suamiku   Bab 9: Kencan Buta

    "Mei asisten saya, Bu. Bukan pacar. Apalagi calon istri." "Kamu gimana, sih? Sudah ada yang cocok di depan mata malah nggak sat set. Dia belum nikah. Nggak masalah, kan, nikah sama asisten?" “Bukan gitu, Bu. Saya nggak tahu gimana perasaan Mei. Ya, kalau dia suka. Kalau nggak, apa saya nggak gigit jari?“Ya, ditanya, to, Ran. Gimana, sih, kamu?" Mei berseru gemas. Ia sudah melakukan pendekatan, malah Amran mager. Bener-bener bujang karatan nggak tahu diri! “Jangan sampai gajah di pelupuk mata tidak tampak, kuman di lautan terlihat jelas. Jangan sampai kamu sibuk nyari di tempat yang jauh padahal yang di depan mata sudah ada.” "Ehm, kapan-kapan saya tanya. Tapi nggak janji. " Amran masih berpikir hubungannya dengan BlueMoon akan berlanjut karena mereka sama-sama serius. Lagi pula, ia memang tidak ada hati pada Mei. Ia benar-benar menganggap Mei sebatas mahasiswanya. "Kalau gitu Ibu saja yang tanya." "Eh jangan." Amran panik. "Secepatnya saya tanya, deh." "Nah, gitu. Katanya zam

    Terakhir Diperbarui : 2023-08-18
  • Dosen Tua Kaya Raya Itu Suamiku   Bab 10: Pura-Pura Nembak

    Kepala Lila tertunduk sesaat. Ketika ia kembali mendongak, tatapannya berubah sendu dan wajahnya semuram langit tertutup awan kelabu. "Aku sudah cerai," ujarnya lirih setelah menghela napas. “So, sorry to hear that.” “It’s okay.” Lila melengkungkan bibir. “It’s over now. Saatnya membuka lembaran baru.” Awan gelap di wajah Lila memudar. "Jadi kamu mau nikah lagi? Anak-anak kamu gimana? Sudah setuju?" "Aku punya kehidupan sendiri dan tidak perlu meminta persetujuan orang lain." Lila menjawab dengan nada tegas. “Mereka harus bisa menghargai keputusan ibunya. Lagi pula mereka sudah besar. Mereka pasti bisa ngerti.” Mulut Amran sedikit terbuka lalu menutup kembali. Detik itu Amran menyadari jika Lila telah berubah. "Tapi nanti kamu tetap hidup dengan anak-anakmu. Tidak mungkin mengabaikan mereka begitu saja." Lila menggeleng. "Mereka ikut ayahnya. Tidak ada satu pun yang ingin hidup bersamaku. Semua karena hasutan manta suamiku. Laki-laki brengsek itu tidak hanya menghancurkan hidup

    Terakhir Diperbarui : 2023-08-18

Bab terbaru

  • Dosen Tua Kaya Raya Itu Suamiku   58: Pertemuan Tak Terduga

    Amran menatap Bastian. "Kenapa dengan nama itu? Kamu kenal?" Jiwa kepo Amran meronta. Tiba-tiba ia khawatir kalau tingkah salah satu mahasiswanya itu ternyata tercium orang lain, termasuk Bastian. "Tidak, Prof." Bastian tersenyum samar. Otaknya bekerja cepat dan pertanyaan Mei kembali terlintas di kepala. Kini ia mengerti kenapa Mei tadi bertanya tentang Akira Hana. "Tapi dari wajah kamu, kayaknya kamu kenal dia." Amran yang sudah berdiri kembali duduk. Bastian meringis. "Kimbabnya enak, Prof." "Bas!" Bastian yang masih mengunyah dengan mulut penuh memberi isyarat dengan gerakan tangan pada Amran agar diam dan menunggu. Ya, ampun. Makhluk satu ini kenapa tiba-tiba bikin kesel? Amran menghela napas seraya menatap jengkel Bastian. Kalau ada asisten sedikit ngelunjak, Bastian orangnya. Namun, Amran terlanjur cocok bekerja dengan Bastian. Jadi, dia masih bisa menahan urat sabarnya agar tidak putus saat penyakit Bastian kambuh. "Cepetan ngomong," ujar Amran seraya menyodorkan air mi

  • Dosen Tua Kaya Raya Itu Suamiku   Bab 57: Pengagum Rahasia (2)

    Amran tidak tahu sejak kapan Mei berubah sikap padanya. Apakah sejak ia sakit dan karenanya Amran tidak menyadari perubahan raut muka dan gerstur tubuh Mei, atau baru-baru ini setelah ia sembuh. Amran baru merasakan perubahan Mei ketika tadi malam Mei lebih memilih memeluk guling ketimbang menggodanya. Namun, semalam ia terlalu lelah untuk mengobrol. Ia ingin cepat tidur karena hari ini harus mengajar jam pertama. Kebekuan Mei berlanjut pagi ini. Tidak ada senyum manis juga kecup mesra Mei yang biasanya ia dapat setiap kali akan pergi. "Apa aku tidak dapat bekal?" Amran yang baru saja selesai berpakaian dan siap berangkat tersenyum melihat Mei masuk ke kamar. Mei melihat Amran sekilas, tidak berminat menjawab pertanyaan sang suami. "Ini bekalnya, Prof." Ia hanya berujar singkat tanpa menatap Amran, meletakkan tas bekal di meja. Diambilnya jas dari gantungan baju kemudian diberikan pada Amran. Masih tanpa senyum dan raut muka datar. "Bukan bekal itu, Meine Schatzi." Amran meraih j

  • Dosen Tua Kaya Raya Itu Suamiku   Bab 56: Pengagum Rahasia Amran

    "Akira Hana." Mei bergumam pelan. Ia belum pernah mendengar nama itu disebut Amran. Selama ini, suaminya lebih sering menyebut kolega laki-laki. Sangat jarang ia berbagi cerita tentang teman dosen perempuan kecuali Bu Andriana yang memang memiliki proyek bersama. "Mungkin mahasiswanya." Mei kembali bergumam. Ah, bukankah sejak dulu ia sudah tahu kalau Amran memang magnet bagi kaum hawa? Bukan tidak mungkin ada yang nekad mendekatinya meski status Amran sekarang telah berubah. Mei menghela napas. Dipukulkannya kepalan tangan ke tengah kemudi sementara parfum itu ia geletakkan begitu saja di kursi samping. Tiba-tiba saja seperti ada yang terbakar di dadanya. Mei masih tertegun dengan mata menatap lurus ke depan. Bayang masa lalu dengan Andra satu per satu mampir di kepala. Apakah ia harus menghadapi teror orang ketiga lagi? Kenapa hidupnya begitu sial dan pernikahannya selalu diganggu? Mei menggigit-gigit bibir. Gelisah. "Nanti aku cek hape Mas Amran. Jangan sampai ada penyusup dala

  • Dosen Tua Kaya Raya Itu Suamiku   Bab 55: Parfum di Mobil Amran

    Pagi ini Mei bangun lebih awal dari biasanya. Pukul 03.00 dini hari sementara beberapa hari lalu ia lebih sering membuka mata 30 menit setelah jam tiga. Entah mengapa, sejak Lila sempat hadir dalam kehidupan Amran, ia selalu lebih cepat terjaga. Seperti ada alarm yang menempel di tubuhnya lalu menggelitik tubuhnya hingga membuka mata. Mei menggeliat. Sebelum matanya benar-benar terbuka, ia telah mendengar dengkuran halus Amran menyelinap di antara detak jarum jam. Mei menoleh, melihat Amran masih terlelap di sampingnya dengan wajah sedikit memerah. Refleks, Mei meletakkan telapak tangan di dahi Amran. Demam. Mei membatin. Perlahan diangkatnya salah satu tangan Amran yang berada di atas pinggangnya kemudian beringsut dan turun dari ranjang. Kecapekan, Mei berpikir jika suaminya pasti kelelahan maraton mengurus Lila dan sepulang dari Jakarta ia pergi ke Bantul. Amran baru kembali tadi malam. Akhirnya tubuhnya berontak dan minta istirahat. Mei bukan tidak mengingatkan Amran agar isti

  • Dosen Tua Kaya Raya Itu Suamiku   Bab 54: Akhir Kisah Lila dan Amran

    Amran dan Mei menggeleng. "Kebetulan saya teman lama dia. Memang dia sempat mau meminjam uang, tetapi istri saya keburu tahu. Jadi, Alhamdulillah uang kami selamat." "Syukurlah." Perempuan itu mengganjar napas. "Dia sudah terbiasa hidup mewah. Sejak suaminya ditangkap karena korupsi dan aset-asetnya disita, dia jadi kehilangan pegangan. Akhirnya dia nipu sana-sini.” "Anak-anaknya gimana, Eyang?" Mendadak Mei teringat anak-anak Lila."Dia sudah tidak punya anak." Mei melongo."Anak satu-satunya meninggal karena sakit. Sejak saat itu hidupnya makin tidak karuan."Meski Lila harus mendapat hukuman atas kejahatannya, Mei tetap prihatin dengan nasib Lila. Ia pernah kehilangan bayi dan bisa membayangkan betapa hancur hati Lila. “Sekarang Lila ada di rumah sakit, Eyang. Kemarin dia sempat ingin bunuh diri.” Perempuan sepuh itu terkejut. “Di rumah sakit mana, Nak? Biar nanti Eyang jemput. Papanya sudah nggak ada dan keluarga besar mamanya tidak mau lagi nerima dia. Biar dia tinggal di si

  • Dosen Tua Kaya Raya Itu Suamiku   Bab 53: Hati yang Dibakar Cemburu

    Baiklah, cukup sampai di sini atau tensiku naik. “Berarti beruntung banget saya, ya, Mbak. Dapat laki-laki suamiable seperti Mas Amran.” Mei berkata dengan nada sekalem mungkin. “Nggak tahu juga, sih, seberuntung apa kamu. Kata orang cinta pertama itu susah dilupakan dan mudah banget buat CLBK.” Mei tersenyum, berusaha tetap santai. “Saya pamit dulu, Mbak. Sudah sore,” ujarnya setelah kimbab di tangan Lila berpindah ke lambung. Keinginan Mei untuk mengorek lebih dalam jati diri Lila menguap. Ia terlanjur jengkel pada Lila. Kontrakan Bidadari Tepi Kali menjadi tujuan Mei selepas dari rumah sakit. Ia sudah menghubungi Najma dan perempuan itu sedang ada di rumah. Di bawah temaram cahaya matahari yang merangkak menuju ufuk barat, Mei memacu motor melewati padatnya jalan raya di samping perkampungan Kali Code. Ia sengaja tidak memakai jaket. Dibiarkannya angin sore hari memeluk tubuhnya, memeluk cemburu di hati lalu menerbangkannya bersama debu dan kepulan asap kendaraan. Sesampainya

  • Dosen Tua Kaya Raya Itu Suamiku   Bab 52: Hati yang Dibakar Cemburu

    Mei menoleh, bertemu pandang dengan perawat yang tersenyum meyakinkan. "Jadi, Sus. Kebetulan saya bawa barang-barang Bu Lila juga. Siapa tahu dibutuhkan selama di sini." "Baik, Bu. Kalau begitu, silakan masuk." Perawat itu membuka pintu. Suara deritnya menarik perhatian Lila. Ia berhenti membaca, menurunkan koran lalu menatap lurus-lurus pada Mei yang baru saja masuk.Pintu ditutup. Napas Mei tertahan sesaat. Tatap tajam Lila memacu jantungnya hingga berdegup lebih kencang. Dihirupnya udara beraroma karbol dalam-dalam. Jadi dia, perempuan bernama Lila. Cantik. Mei membatin. Tanpa make up saja ia terlihat menarik, apalagi jika ada sedikit riasan. Lila memiliki hidung bangir dan bentuk bibir sempurna. Ia bermata bening, tidak terlalu sipit dan tidak terlalu lebar. Memandangnya seperti sedang melihat telaga berair jernih dan tenang. Mei yakin, dengan kelebihannya, Lila sanggup menaklukkan hati laki-laki dengan mudah. Nyaris tidak bisa dipercaya, perempuan dengan pahatan wajah sempurna

  • Dosen Tua Kaya Raya Itu Suamiku   Bab 51: Bulan Madu Tipis-Tipis (2)

    "Kayaknya Prof makin hari makin genit." Mei tertawa."Jadi apa aku harus datar seperti papan penggilesan?" Keduanya tergelak. Amran berdiri sembari menarik tangan Mei. "Yuk." "Tunggu, Prof." Mei bergeming. Dimintanya Amran untuk duduk kembali. "Anda belum selesai menjelaskan, Prof. Jadi apa yang harus aku lakukan besok saat bertemu Lila?" lanjutnya setelah Amran ada di sampingnya lagi. "Ah, sorry." Kedua sudut bibir Amran terangkat. "Kamu selalu membuatku lupa banyak hal." "Tuh, kan, saya jadi kambing hitam lagi." Mei pura-pura cemberut. "Memang begitu kenyataannya, Meine Schatzi." Amran menepuk kedua pipi Mei. Hampir saja ia mengecup bibir Mei kalau tangan Mei tidak bergerak cepat menahan dadanya. "Lanjutkan dulu penjelasannya, Mas." Mei mencium pipi Amran. "Hmm, oke-oke." Amran tersenyum sembari membetulkan letak kacamatanya. "Kamu ke wisma dan ambil barang-barang Lila. Setelah itu bawa ke Sardjito. Dokter belum bisa memastikan berapa lama dia diisolasi. Jadi biar kopernya a

  • Dosen Tua Kaya Raya Itu Suamiku   Bab 50: Bulan Madu Tipis-Tipis (2)

    “Ada keluarganya di Kotagede, tapi saya tidak tahu nomor teleponnya. Besok kalau sudah luang, saya akan ke sana.” “Suami? Anak-anak?” Dokter itu bertanya hati-hati. “Lila bilang kalau sudah bercerai. Sampai saat ini saya belum tahu siapa mantan suaminya. Keluarga besarnya ada di Jakarta dan saya tidak punya nomor mereka. Sudah lama sekali saya tidak terhubung dengan Lila dan keluarganya." "Baik, Prof." Dokter itu tersenyum iba. “Semoga Anda bisa segera terhubung dengan keluarganya.” Sekali lagi Amran mengucapkan terima kasih kemudian berpamitan. Ia masih sempat memandang Lila dan melangitkan doa. Amran berharap keadaan Lila tidak memburuk sehingga bisa keluar secepatnya dari rumah sakit. Bukan tentang biaya yang Amran pikirkan, melainkan karena ia khawatir tidak dapat mengurus Lila dengan baik di tengah timbunan pekerjaan. Langkah-langkah lebar Amran membawa pria itu tiba di tempat parkir lebih cepat. Setelah melewati portal rumah sakit, Amran memacu motor secepat mungkin. Masi

DMCA.com Protection Status