Sepertinya aku harus tidur. Pikiran itu datang tepat ketika ia menyudahi lamunan dan ponselnya berkedip-kedip. Layar benda itu memperlihatkan notifikasi pesan dari Mei.
“Maaf, Prof, nilai baru saya kirim sekarang.”
Amran melihat jam di layar ponsel. Sepuluh menit sebelum jam sepuluh malam.
“Oke, Mei. Makasih banyak. Kamu kerja keras sekali.”
“Biasa saja, Prof. Sudah jadi tugas saya.” Emoticon senyum.
“Revisi RAB proyek akan saya selesaikan dan kirim besok Prof. Tapi mungkin malam baru beres.”
“It’s okay, Mei. Kamu punya waktu sampai jam 23.59.”
Mei mengirim emoticon tertawa. “Saya usahakan sebelum jam cinderela sudah terkirim, Prof.”
“Saya tunggu.”
“Baik, Prof.”
Percakapan berakhir. Amran masih menatap layar ponsel. Kalimat sang ibu terngiang. Jodoh itu dijemput. Bukan ditunggu.
Amran menutup wajah dengan kedua tangan. Selama ini ia memang menunggu. Mungkin ia menunggu terlalu lama sampai lupa berusaha. Padahal tanpa usaha, Tuhan tidak pernah mengubah nasib hamba-Nya.
Punggung Amran bersandar di bahu kursi. Tapi siapa yang harus kudekati?Siapa yang harus kujemput? Saat ini Amran seperti berada di tengah padang ilalang. Sepanjang mata memandang hanya ada rumput dan sebatang pohon trembesi di salah satu sudutnya. Tidak ada bunga yang tumbuh. Tidak ada bunga yang bisa dipetik.
Kegagalan membangun hubungan serius membuat Amran menciptakan batas dengan perempuan, tidak terlalu dekat, tetapi juga tidak menutup diri. Ia tetap ramah, tetapi tidak pernah menyediakan ruang untuk membicarakan urusan pribadi.
Aku akan pikirkan lagi besok. Otak Amran buntu. Ia mematikan laptop dan beranjak tidur. Siapa tahu besok ia ketemu jodoh.
Hari-hari setelah pembicaraan panas malam itu, Amran sering melihat sang ibu duduk diam lalu menatapnya lama. Raut mukanya berkerut-kerut seperti tengah memikirkan sesuatu. Amran tidak bertanya karena ia yakin perempuan sepuh itu sedang mencari-cari anak gadis yang bisa dijodohkan dengannya.
“Ibu baru ingat, Ran, ada sepupu kamu yang akan pulang dari Belanda dan belum nikah.” Ratih yang semula berada di ruang tengah tiba-tiba masuk kamar Amran. Ingatan tentang sepupu jauh Amran muncul mendadak dan ia tidak sabar untuk mengabarkan pada putra semata wayangnya.
Amran menoleh, mendapati mata kelabu sang ibu berpendar cerah dan wajahnya tak lagi suram. Saat itu ia tengah berkemas karena besok akan berangkat ke Bandung selama tiga hari dua malam.
“Kalau dia sudah sampai sini, Ibu kenalin.”
“Iya, Bu. Ibu atur saja.” Amran pasrah. Mungkin lewat jalan ini jodohnya. Tidak ada salahnya mencoba. Kalau nanti gagal lagi, ia rela tidak menikah di dunia dan akan memohon pada Tuhan agar diberi bidadari paling cantik di akhirat.
“Anaknya cantik dan pintar. Kamu pasti suka, Ran.”
“Ibu sudah ketemu?”
“Belum.”
“Lah?” Amran melongo.
“Ibu pernah ketemu waktu syukuran ulang tahun dia ke-17. Dia cantik banget waktu itu, Ran.”
“Oh.”
“Ibu yakin sekarang juga pasti masih cantik atau malah tambah cantik.” Ratih berdiri, menepuk bahu Amran lalu pergi.
Amran hanya tersenyum samar dan membiarkan sang ibu kembali ke ruang tengah untuk menonton televisi. Jadi Ibu mendatangiku hanya untuk memamerkan seseorang yang ia sendiri tidak kenal dan tidak tahu. Arman menggeleng, menyadari hari-hari ke depan akan menghadapi ibunya yang semakin impulsif soal jodoh.
Hari-hari berlalu dan Amran harus menebalkan kuping karena sang ibu terus bercerita tentang keponakan yang akan dikenalkannya pada Amran.
Hingga suatu pagi ketika Arman membawa dua gelas jus jeruk ke ruang tengah. Ada Ratih di sana, duduk di kursi malas. Ruangan itu terasa hangat. Cahaya matahari masuk melalu jendela kayu yang sengaja dibuka dan tepat mengenai wajah Ratih. Tangan keriputnya memegang kertas merah maroon. Kepala perempuan itu tertunduk dengan kacamata baca bertengger di atas hidung. Melihat jenis kertas dan bentuk tulisan, Amran menduga sang ibu sedang membaca undangan nikah.
"Siapa, Bu, yang nikah?" Arman yang berdiri di depan Ratih melongok. Tangannya menyodorkan nampan kayu dengan segelas jus di atasnya.
"Gagal, Ran. Gagal." Ratih meletakkan kertas tebal warna maroon dengan pita emas itu di atas nampan dengan wajah semuram langit musim hujan
"Diminum dulu jusnya, Bu. Pagi-pagi sudah cemberut, katanya pamali." Amran tersenyum. Tangannya mengambil gelas lalu memberikannya pada Ratih.
Ratih melirik tajam pada Amran seraya menerima gelas. Diteguknya cairan berwarna kuning cerah itu cepat-cepat. Biasanya ia menyukai perpaduan manis asam jus jeruk, tetapi pagi ini tidak. Kegagalan rencana perjodohan menambah asam jus jeruknya.
"Apanya yang gagal, Bu? Ada pesanan batik yang nggak beres?"
Ratih meneruskan toko batik warisan kedua orangtuanya di Bringharjo. Kini, ia punya dua toko dan semua dikelola salah satu sepupu Amran. Hanya sesekali ia datang. Selebihnya, Ratih lebih banyak di rumah. Sepupu Amran akan datang ke rumah untuk konsultasi setiap memilih produk baru. Mereka punya rekanan beberapa pengrajin batik.
"Sepupu kamu yang Ibu bilang baru balik dari luar negeri itu ternyata pulang karena mau nikah sama bule." Ratih mengambil undangan dr nampan. "Nih, undangannya." Disodorkannya pada Amran dengan raut muka kesal.
"Ya, berarti nggak jodoh, Bu. Nanti saya cari yang lain." Amran mencoba tetap santai. Beruntung dia belum sempat ketemu sehingga tidak perlu patah hati atau nyesek karena gagal untuk kelima kalinya.
"Siapa, Ran? Kamu sudah punya calon?"
"Ehm …." Amran gelagapan. Ia meneguk jusnya lalu meletakkan di atas meja. Sembari berjalan menuju kursi di bawah jendela, ia mencoba mencari jawaban paling enak didengar demi melegakan sang ibu.
"Belum pasti, Bu. Tapi ada."
Bola mata Amran menatap kucing peliharaan Ratih. Ia berjongkok, mengelus kucing itu. Rasanya ia ingin jadi kucing saja. Tidak perlu repot mikir jodoh. Sekarang, dengan jawaban yang baru saja terlontar, ia harus siap ditodong kapan saja. Padahal, tidak ada satu nama pun terlintas di kepala.
"Kamu nggak pengen ngenalin ke Ibu dulu?" Ratih bertanya antusias. Kedua matanya seperti sinar matahari pagi. Ada pendar harap di sana.
"Saya belum ngomong apa-apa ke orangnya, Bu. Baru juga sebentar berteman. Yang ada dia malah lari karena belum langsung diajak nikah."
"Jangan pakai lama. Kamu harus sat set."
"Sabar, Bu. Dikira gampang gaet hati anak orang."
"Kalau gampang, kamu nggak bakalan jadi bujang karatan kayak gini." Ratih mencubit lengan Amran dengan gemas.
"Astaga, anak sendiri dibilang bujang karatan." Amran pura-pura jengkel.
"Memang sebutan apa yang pas buat kamu? Bulan ini kamu 45 tahun dan kamu masih jomlo sementara orang lain yang seumuran kamu anak-anaknya sudah besar, sudah mau mantu." Kedua mata Ratih sedikit melebar. Kerutan-kerutan di wajahnya seperti bertambah setiap kali membicarakan tentang jodoh Amran.
Amran hanya menghela napas. Ia pernah baca cerita novel online bertema pernikahan kontrak yang melintas di beranda media sosialnya. Ia jadi berpikir untuk melakukannya juga jika tenggat waktu enam bulan hampir habis. Masalahnya, siapa yang mau nikah kontrak dengan bujang karatan seperti dirinya? Amran melihat pantulan tubuhnya di kaca penutup rak buku di ruang tengah. Badannya memang masih tegap berisi karena menjaga makan dan olahraga teratur. Ia memiliki rambut hitam tebal terawat. Sepintas ia tidak terlihat seperti manusia dengan umur nyaris mendekati setengah abad. Sayangnya, umur tidak bisa bohong. Jika diperhatikan, tetap saja wajahnya enggan berdamai dengan waktu yang terus bergerak. Ada garis-garis yang tak bisa dicegah kehadirannya. Ia tetap menua, mengikuti pertambahan umur bumi. Arman sadar, bagaimanapun juga ia bukan ahjussi rasa oppa. Sebuah kesadaran yang membuat matahari pagi itu seperti lebih terik daripada biasanya. Ketika Amran menyingkir dari depan kaca penutup
Benar dugaannya. Mendadak tubuh Amran lemas. Berbagai lintasan pikiran buruk tumpah ruah di kepala. Darah. Kematian. Kata kecelakaan mengingatkannya pada almarhum Bapak. "Ditabrak orang waktu pulang dari salat Magrib di masjid." Nah, kan, kejadian juga. Amran sudah sering mengingatkan ibunya agar salat di musala dekat rumah saja. Masjid ada di ujung kampung dan harus menyeberang jalan desa. Lepas magrib, jalan itu sepi dan sering jadi ajang ngebut pengendara yang kebetulan melintas, terutama remaja-remaja yang sedang senang-senangnya pegang motor dan baru bisa asal ngegas. "Sekarang Ibu di rumah sakit." "Kata dokter kaki Ibu patah dan harus dioperasi. Gimana, Mas? Dokter menunggu persetujuan Mas Amran." Ada jeda tiga puluh menit dari pesan sebelumnya dan ada sepuluh pesan serupa yang dikirim setelahnya. Pak RT pasti sangat bingung.Amran segera menyentuh panel telepon. Di Indonesia masih jam sembilan malam. Belum terlalu larut dan masih ada kemungkinan dilakukan tindakan operasi s
Amran sedang tidak ingin melibatkan diri dalam perdebatan. Anggukan sudah cukup melegakan ibunya. “Tapi, Bu, nanti kalau ….” Mei masih berusaha mengelak.“Nggak akan terjadi apa-apa sama Ibu. Pokoknya kamu pulang diantar Amran. Ibu nggak mau kamu pulang sendiri. Titik.” Nah, Ibu mulai merajuk. Dalam hati Amran menyesalkan sikap ibunya yang merajuk pada Mei padahal mereka belum lama saling kenal. "Saya antar pulang, Mei." Akhirnya Amran memutuskan untuk memotong perdebatan dua perempuan itu. Ia capek dan malas melihat adu kata Ratih dan Mei. "Ta-tapi, Prof."Amran mengerjap, memberi isyarat pada Mei agar menurut. "Mau pulang sekarang?" "I-iya, Prof." “Nah, gitu, dong, Cah Ayu. Kalau kamu pulang sendiri, malah Ibu nggak tenang. Nanti tensinya naik.” Bibir Ratih melengkung. Amran berdeham. Kalau sudah ngadi-adi, ibunya bisa sangat hiperbolis.Mei tersenyum gugup. Ia memasukkan Al Qur'an ke dalam tas lalu mencangklongnya di pundak kanan. Dalam hati Mei berharap Prof Amran tidak b
"Mei asisten saya, Bu. Bukan pacar. Apalagi calon istri." "Kamu gimana, sih? Sudah ada yang cocok di depan mata malah nggak sat set. Dia belum nikah. Nggak masalah, kan, nikah sama asisten?" “Bukan gitu, Bu. Saya nggak tahu gimana perasaan Mei. Ya, kalau dia suka. Kalau nggak, apa saya nggak gigit jari?“Ya, ditanya, to, Ran. Gimana, sih, kamu?" Mei berseru gemas. Ia sudah melakukan pendekatan, malah Amran mager. Bener-bener bujang karatan nggak tahu diri! “Jangan sampai gajah di pelupuk mata tidak tampak, kuman di lautan terlihat jelas. Jangan sampai kamu sibuk nyari di tempat yang jauh padahal yang di depan mata sudah ada.” "Ehm, kapan-kapan saya tanya. Tapi nggak janji. " Amran masih berpikir hubungannya dengan BlueMoon akan berlanjut karena mereka sama-sama serius. Lagi pula, ia memang tidak ada hati pada Mei. Ia benar-benar menganggap Mei sebatas mahasiswanya. "Kalau gitu Ibu saja yang tanya." "Eh jangan." Amran panik. "Secepatnya saya tanya, deh." "Nah, gitu. Katanya zam
Kepala Lila tertunduk sesaat. Ketika ia kembali mendongak, tatapannya berubah sendu dan wajahnya semuram langit tertutup awan kelabu. "Aku sudah cerai," ujarnya lirih setelah menghela napas. “So, sorry to hear that.” “It’s okay.” Lila melengkungkan bibir. “It’s over now. Saatnya membuka lembaran baru.” Awan gelap di wajah Lila memudar. "Jadi kamu mau nikah lagi? Anak-anak kamu gimana? Sudah setuju?" "Aku punya kehidupan sendiri dan tidak perlu meminta persetujuan orang lain." Lila menjawab dengan nada tegas. “Mereka harus bisa menghargai keputusan ibunya. Lagi pula mereka sudah besar. Mereka pasti bisa ngerti.” Mulut Amran sedikit terbuka lalu menutup kembali. Detik itu Amran menyadari jika Lila telah berubah. "Tapi nanti kamu tetap hidup dengan anak-anakmu. Tidak mungkin mengabaikan mereka begitu saja." Lila menggeleng. "Mereka ikut ayahnya. Tidak ada satu pun yang ingin hidup bersamaku. Semua karena hasutan manta suamiku. Laki-laki brengsek itu tidak hanya menghancurkan hidup
Layangan putus itu aku. Mei tersenyum getir. Ia tengah duduk menatap danau di taman kupu-kupu, sebelah barat kampus biru. Perempuan itu membungkuk lalu mengambil kerikil dan melemparnya sejauh mungkin. Kerikil itu jatuh agak ke tengah, menimbulkan gelombang di permukaan air danau yang semula tenang. Gelombang itu melebar lalu hilang dan permukaan danau kembali tenang. Di tepiannya, dua ekor rusa berkejaran. Beberapa pasang pengunjung duduk di kursi-kursi yang dipasang di bawah pohon. Rektorat menyebut danau dengan penangkaran kupu dan rusa itu dengan taman kupu-kupu. Mahasiswa menamainya lembah cinta saat hari terang dan berubah jadi lembah setan tatkala gelap. Bukan tanpa sebab nama itu hadir. Konon, ada yang pernah bunuh diri di sana dan menjadi arwah gentayangan mengganggu orang-orang yang pacaran.“Saya minta maaf atas sikap Ibu.” Ucapan Amran terngiang di telinga Mei. Baru satu jam lalu Mei pulang dari rumah Amran. Ia datang untuk memenuhi undangan Ratih. Meski kondisinya suda
“Apa portofolio Andra yang kutunjukkan tadi kurang jelas?” “Sangat jelas, Prof. Tapi saya kira, orang yang berpengalaman mengelola integrated farming system di dunia ini bukan hanya Pak Andra.” “Harusnya kamu ngomong dari awal kalau punya kandidat konsultan. Tadi Andra sudah tanda tangan kontrak. Saya tidak mungkin membatalkan sepihak.” Mei tertunduk. Bagaimana mungkin ia mengusulkan kandidat konsultan proyek? Ia bahkan tidak pernah berpikir Amran mengenal Andra dan mengajak kerjasama. Kalau sejak awal tahu, pasti Mei akan berusaha keras mencari konsultan lain. Nasi sudah jadi bubur Mei. Kamu cuma perlu menambah ayam suwir dan kuah agar bisa dinikmati. “Baik, Prof. Saya minta maaf.” Mei menarik kedua sudut bibirnya. Ia segera merapikan kertas-kertas di atas meja dan menyimpannya ke dalam map. Amran berdiri, memasukkan sebuah buku yang diambilnya dari rak ke dalam troli lalu kembali duduk. Sembari mengemas laptop dan dokumen, ia menelisik wajah Mei. Ia tahu, sejak awal meeting, Me
Semula, Andra ingin mengajak Mei pulang bareng dan makan di kafe, tetapi urung karena tidak enak pada Amran. Andra tidak tahu bagaimana hubungan Amran dan Mei. Apa pun relasi keduanya, dari cara Amran memandang dan memperlakukan Mei, ia bisa menebak bagaimana perasaan Amran pada Mei. Saat ini, ia tidak ingin merusak suasana dengan membuka identitasnya pada Amran. Jika Amran tipe pencemburu dan posesif, bisa jadi ia akan kehilangan pekerjaan. Saat ini keadaan keuangannya sedang tidak baik-baik. Ia butuh pekerjaan ini. Perlahan, Andra melajukan mobil, mengikuti pergerakan Amran. Ia yakin Amran akan mengantar Mei pulang. Jadi ia bisa tahu rumah Mei tanpa harus bertanya. Andra menepikan mobil jauh di belakang Amran. Dari tempatnya menunggu, Andra melihat Mei turun. Sendiri. Andra bersyukur karena Amran tetap di mobil lalu pergi. Tanpa Amran, pekerjaannya akan lebih mudah. Setelah kepergian Amran, Andra melajukan mobil dan parkir di tempat Amran berhenti. Ia menengok ke arah gang sempit
Amran menatap Bastian. "Kenapa dengan nama itu? Kamu kenal?" Jiwa kepo Amran meronta. Tiba-tiba ia khawatir kalau tingkah salah satu mahasiswanya itu ternyata tercium orang lain, termasuk Bastian. "Tidak, Prof." Bastian tersenyum samar. Otaknya bekerja cepat dan pertanyaan Mei kembali terlintas di kepala. Kini ia mengerti kenapa Mei tadi bertanya tentang Akira Hana. "Tapi dari wajah kamu, kayaknya kamu kenal dia." Amran yang sudah berdiri kembali duduk. Bastian meringis. "Kimbabnya enak, Prof." "Bas!" Bastian yang masih mengunyah dengan mulut penuh memberi isyarat dengan gerakan tangan pada Amran agar diam dan menunggu. Ya, ampun. Makhluk satu ini kenapa tiba-tiba bikin kesel? Amran menghela napas seraya menatap jengkel Bastian. Kalau ada asisten sedikit ngelunjak, Bastian orangnya. Namun, Amran terlanjur cocok bekerja dengan Bastian. Jadi, dia masih bisa menahan urat sabarnya agar tidak putus saat penyakit Bastian kambuh. "Cepetan ngomong," ujar Amran seraya menyodorkan air mi
Amran tidak tahu sejak kapan Mei berubah sikap padanya. Apakah sejak ia sakit dan karenanya Amran tidak menyadari perubahan raut muka dan gerstur tubuh Mei, atau baru-baru ini setelah ia sembuh. Amran baru merasakan perubahan Mei ketika tadi malam Mei lebih memilih memeluk guling ketimbang menggodanya. Namun, semalam ia terlalu lelah untuk mengobrol. Ia ingin cepat tidur karena hari ini harus mengajar jam pertama. Kebekuan Mei berlanjut pagi ini. Tidak ada senyum manis juga kecup mesra Mei yang biasanya ia dapat setiap kali akan pergi. "Apa aku tidak dapat bekal?" Amran yang baru saja selesai berpakaian dan siap berangkat tersenyum melihat Mei masuk ke kamar. Mei melihat Amran sekilas, tidak berminat menjawab pertanyaan sang suami. "Ini bekalnya, Prof." Ia hanya berujar singkat tanpa menatap Amran, meletakkan tas bekal di meja. Diambilnya jas dari gantungan baju kemudian diberikan pada Amran. Masih tanpa senyum dan raut muka datar. "Bukan bekal itu, Meine Schatzi." Amran meraih j
"Akira Hana." Mei bergumam pelan. Ia belum pernah mendengar nama itu disebut Amran. Selama ini, suaminya lebih sering menyebut kolega laki-laki. Sangat jarang ia berbagi cerita tentang teman dosen perempuan kecuali Bu Andriana yang memang memiliki proyek bersama. "Mungkin mahasiswanya." Mei kembali bergumam. Ah, bukankah sejak dulu ia sudah tahu kalau Amran memang magnet bagi kaum hawa? Bukan tidak mungkin ada yang nekad mendekatinya meski status Amran sekarang telah berubah. Mei menghela napas. Dipukulkannya kepalan tangan ke tengah kemudi sementara parfum itu ia geletakkan begitu saja di kursi samping. Tiba-tiba saja seperti ada yang terbakar di dadanya. Mei masih tertegun dengan mata menatap lurus ke depan. Bayang masa lalu dengan Andra satu per satu mampir di kepala. Apakah ia harus menghadapi teror orang ketiga lagi? Kenapa hidupnya begitu sial dan pernikahannya selalu diganggu? Mei menggigit-gigit bibir. Gelisah. "Nanti aku cek hape Mas Amran. Jangan sampai ada penyusup dala
Pagi ini Mei bangun lebih awal dari biasanya. Pukul 03.00 dini hari sementara beberapa hari lalu ia lebih sering membuka mata 30 menit setelah jam tiga. Entah mengapa, sejak Lila sempat hadir dalam kehidupan Amran, ia selalu lebih cepat terjaga. Seperti ada alarm yang menempel di tubuhnya lalu menggelitik tubuhnya hingga membuka mata. Mei menggeliat. Sebelum matanya benar-benar terbuka, ia telah mendengar dengkuran halus Amran menyelinap di antara detak jarum jam. Mei menoleh, melihat Amran masih terlelap di sampingnya dengan wajah sedikit memerah. Refleks, Mei meletakkan telapak tangan di dahi Amran. Demam. Mei membatin. Perlahan diangkatnya salah satu tangan Amran yang berada di atas pinggangnya kemudian beringsut dan turun dari ranjang. Kecapekan, Mei berpikir jika suaminya pasti kelelahan maraton mengurus Lila dan sepulang dari Jakarta ia pergi ke Bantul. Amran baru kembali tadi malam. Akhirnya tubuhnya berontak dan minta istirahat. Mei bukan tidak mengingatkan Amran agar isti
Amran dan Mei menggeleng. "Kebetulan saya teman lama dia. Memang dia sempat mau meminjam uang, tetapi istri saya keburu tahu. Jadi, Alhamdulillah uang kami selamat." "Syukurlah." Perempuan itu mengganjar napas. "Dia sudah terbiasa hidup mewah. Sejak suaminya ditangkap karena korupsi dan aset-asetnya disita, dia jadi kehilangan pegangan. Akhirnya dia nipu sana-sini.” "Anak-anaknya gimana, Eyang?" Mendadak Mei teringat anak-anak Lila."Dia sudah tidak punya anak." Mei melongo."Anak satu-satunya meninggal karena sakit. Sejak saat itu hidupnya makin tidak karuan."Meski Lila harus mendapat hukuman atas kejahatannya, Mei tetap prihatin dengan nasib Lila. Ia pernah kehilangan bayi dan bisa membayangkan betapa hancur hati Lila. “Sekarang Lila ada di rumah sakit, Eyang. Kemarin dia sempat ingin bunuh diri.” Perempuan sepuh itu terkejut. “Di rumah sakit mana, Nak? Biar nanti Eyang jemput. Papanya sudah nggak ada dan keluarga besar mamanya tidak mau lagi nerima dia. Biar dia tinggal di si
Baiklah, cukup sampai di sini atau tensiku naik. “Berarti beruntung banget saya, ya, Mbak. Dapat laki-laki suamiable seperti Mas Amran.” Mei berkata dengan nada sekalem mungkin. “Nggak tahu juga, sih, seberuntung apa kamu. Kata orang cinta pertama itu susah dilupakan dan mudah banget buat CLBK.” Mei tersenyum, berusaha tetap santai. “Saya pamit dulu, Mbak. Sudah sore,” ujarnya setelah kimbab di tangan Lila berpindah ke lambung. Keinginan Mei untuk mengorek lebih dalam jati diri Lila menguap. Ia terlanjur jengkel pada Lila. Kontrakan Bidadari Tepi Kali menjadi tujuan Mei selepas dari rumah sakit. Ia sudah menghubungi Najma dan perempuan itu sedang ada di rumah. Di bawah temaram cahaya matahari yang merangkak menuju ufuk barat, Mei memacu motor melewati padatnya jalan raya di samping perkampungan Kali Code. Ia sengaja tidak memakai jaket. Dibiarkannya angin sore hari memeluk tubuhnya, memeluk cemburu di hati lalu menerbangkannya bersama debu dan kepulan asap kendaraan. Sesampainya
Mei menoleh, bertemu pandang dengan perawat yang tersenyum meyakinkan. "Jadi, Sus. Kebetulan saya bawa barang-barang Bu Lila juga. Siapa tahu dibutuhkan selama di sini." "Baik, Bu. Kalau begitu, silakan masuk." Perawat itu membuka pintu. Suara deritnya menarik perhatian Lila. Ia berhenti membaca, menurunkan koran lalu menatap lurus-lurus pada Mei yang baru saja masuk.Pintu ditutup. Napas Mei tertahan sesaat. Tatap tajam Lila memacu jantungnya hingga berdegup lebih kencang. Dihirupnya udara beraroma karbol dalam-dalam. Jadi dia, perempuan bernama Lila. Cantik. Mei membatin. Tanpa make up saja ia terlihat menarik, apalagi jika ada sedikit riasan. Lila memiliki hidung bangir dan bentuk bibir sempurna. Ia bermata bening, tidak terlalu sipit dan tidak terlalu lebar. Memandangnya seperti sedang melihat telaga berair jernih dan tenang. Mei yakin, dengan kelebihannya, Lila sanggup menaklukkan hati laki-laki dengan mudah. Nyaris tidak bisa dipercaya, perempuan dengan pahatan wajah sempurna
"Kayaknya Prof makin hari makin genit." Mei tertawa."Jadi apa aku harus datar seperti papan penggilesan?" Keduanya tergelak. Amran berdiri sembari menarik tangan Mei. "Yuk." "Tunggu, Prof." Mei bergeming. Dimintanya Amran untuk duduk kembali. "Anda belum selesai menjelaskan, Prof. Jadi apa yang harus aku lakukan besok saat bertemu Lila?" lanjutnya setelah Amran ada di sampingnya lagi. "Ah, sorry." Kedua sudut bibir Amran terangkat. "Kamu selalu membuatku lupa banyak hal." "Tuh, kan, saya jadi kambing hitam lagi." Mei pura-pura cemberut. "Memang begitu kenyataannya, Meine Schatzi." Amran menepuk kedua pipi Mei. Hampir saja ia mengecup bibir Mei kalau tangan Mei tidak bergerak cepat menahan dadanya. "Lanjutkan dulu penjelasannya, Mas." Mei mencium pipi Amran. "Hmm, oke-oke." Amran tersenyum sembari membetulkan letak kacamatanya. "Kamu ke wisma dan ambil barang-barang Lila. Setelah itu bawa ke Sardjito. Dokter belum bisa memastikan berapa lama dia diisolasi. Jadi biar kopernya a
“Ada keluarganya di Kotagede, tapi saya tidak tahu nomor teleponnya. Besok kalau sudah luang, saya akan ke sana.” “Suami? Anak-anak?” Dokter itu bertanya hati-hati. “Lila bilang kalau sudah bercerai. Sampai saat ini saya belum tahu siapa mantan suaminya. Keluarga besarnya ada di Jakarta dan saya tidak punya nomor mereka. Sudah lama sekali saya tidak terhubung dengan Lila dan keluarganya." "Baik, Prof." Dokter itu tersenyum iba. “Semoga Anda bisa segera terhubung dengan keluarganya.” Sekali lagi Amran mengucapkan terima kasih kemudian berpamitan. Ia masih sempat memandang Lila dan melangitkan doa. Amran berharap keadaan Lila tidak memburuk sehingga bisa keluar secepatnya dari rumah sakit. Bukan tentang biaya yang Amran pikirkan, melainkan karena ia khawatir tidak dapat mengurus Lila dengan baik di tengah timbunan pekerjaan. Langkah-langkah lebar Amran membawa pria itu tiba di tempat parkir lebih cepat. Setelah melewati portal rumah sakit, Amran memacu motor secepat mungkin. Masi