Mulut Mei sudah terbuka untuk kembai menggoda Amran tertutup lagi ketika petugas kereta mengumumkan kalau mereka akan segera sampai Stasiun Tugu. "Cek barang-barangmu, Meine Schatzi. Jangan sampai ada yang ketinggalan." Embusan napas lega lolos dari mulut Amran. Akhir perjalanan telah menyelamatkannya. Tidak ada lagi kesempatan bagi Mei untuk menggoda dan membuatnya malu. Mei menurut walau sebenarnya merasa tidak perlu melakukan apa pun. Sejak berada di dalam kereta, ia hanya mengeluarkan ponsel dan earphone. Keduanya kini sudah berada di dalam tas. Namun, Mei tetap berdiri dan mengecek kalau-kalau ada barang yang tertinggal di kursi.Roda-roda kereta melambat saat memasuki stasiun. Ruang di dalam kereta seketika menjadi lebih gelap. Gesekan roda kereta dengan rel saat masinis menarik tuas rem menimbulkan bunyi cukup nyaring, menyela suara-suara penumpang di dalam kereta yang saling mengingatkan anggota keluarganya. Sebagian penumpang berdiri dan bersiap turun sementara Amran memili
“Kamu bisa saja, Kay.” Sebenarnya Mei tidak ingin memikirkan apa pun, tetapi kata surga dunia mengingatkan Mei pada perlakuan Amran dan ingatan itu membuat dadanya mengembang dan kedua pipinya memerah. “Nah, kan, belum apa-apa Mbak Mei sudah tersipu-sipu. Diapain saja sama Mas Amran?” Mei membelalak lalu buru-buru berbalik hendak keluar kamar. Otaknya bisa geser kalau terus-terusan di sana bersama Kayla yang tidak bisa menjaga bicara. Lebih baik ia menyiapkan minum untuk Amran. Namun, Mei urung melangkah karena Amran sudah berada di samping Kayla, berdiri tepat di hadapannya. Pria itu menjewer telinga Kayla hingga gadis itu mengaduh.“Lepaskan! Mas Amran apa-apaan, sih?” Kayla berusaha menarik tangan Amran yang justru semakin kuat mencengkeram. “Tolong kalau ngomong jangan sembarangan, Bocah Nakal.” Amran menggeretakkan gigi. “Hal-hal seperti itu bukan untuk bahan guyon. Ngerti kamu?” “A-ampun, Yang Mulia. Tolong lepas telinga Hamba. Sakit, Yang Mulia!” “Minta maaf dulu baru ak
Amran tidak menanggapi ucapan Mei. Ia memilih pergi ke kamar mandi. Raut mukanya kembali tegang, khawatir ada barang-barang pribadi yang tertinggal. Benar-benar memalukan kalau sampai hal itu terjadi dan ketahuan Kayla. Wangi lavender dari lilin aromaterapi mengerubuti hidung ketika pintu kamar mandi terbuka. Bathtub terisi air dengan kelopak-kelopak mawar mengapung di permukaannya. Amran membuka tempat baju kotor. Amran menarik napas lega menjumpai kotak berbahan rotan itu kosong. Ia telah meninggalkan kamar dalam keadaan bersih, tidak memalukan ketika dimasuki orang lain. Dengan wajah lebih rileks, Amran kembali ke kamar dan duduk di bibir ranjang yang bertabur kelopak mawar merah dan putih serta kuntum-kuntum melati, agak berlebihan menurut Amran. Ia tidak terlalu menyukai hal-hal seremonial seperti ini. Semua atas keinginan sang ibu dan Amran harus menerima sebagai tanda bakti. “Masih marah?” Mei duduk di samping Amran. Amran menoleh, menatap lurus-lurus Mei yang telah membuka
Sebelum keluar rumah, Amran pergi ke kamar Ratih untuk berpamitan. "Bu, saya ke Bantul dulu. Kandang kebakaran. Minta doanya semoga nggak ada masalah serius." "Iya, Ran. Hati-hati di jalan." Ratih menepuk pipi Amran. "Nggak usah ngebut. Yang tenang.""Iya, Bu. Doakan saya." Amran mencium punggung tangan Ratih. Lalu, tak lama kemudian, deru mobilnya membelah keheningan dini hari. Jalanan yang lengang membantu Amran sampai tujuan lebih cepat. Jantungnya berpacu ketika mobilnya memasuki Bambanglipuro. Kemungkinan kandang terbakar tidak pernah terlintas di pikiran Amran. Mereka memang memulai program saat musim kemarau, tetapi cuaca daerah Bantul tidak terlalu panas. Selain itu, kandang berada di dekat embung dan di dekat persawahan yang subur. Sejauh ini, Amran belum pernah mendengar ada kebakaran di tengah sawah. Amran memang memasukkan force major dalam proyeknya, tetapi bukan kebakaran. Ia lebih berpikir tentang serangan wabah penyakit yang bisa membunuh semua ternak. Ada potensi
Amran selalu bersiap menghadapi sesuatu, baik dan buruk, tetapi kehilangan memang tak pernah bisa disiapkan. Kini, sebelum bisa berdamai dengan terbakarnya kandang, ia harus menerima berita buruk berikutnya. Ada bayang wajah Alvin menanggung sakit yang membuat dada Amran sedikit sesak sampai-sampai ia harus berusaha keras menjaga konsentrasi agar bisa mencerna penjelasan mahasiswanya. Hubungannya dengan Alvin memang hanya sebatas dosen dan mahasiswa. Namun, justru karena itulah Amran merasa harus bertanggung jawab. “Saya akan ke rumah sakit sekarang, Prof.” Bastian berseru khawatir. Ia melihat sendiri bagaimana telapak tangan dan kaki Alvin melepuh dan terkelupas kulitnya menyisakan daging tertutup darah. Kini, sahabatnya harus mendapat vonis baru yang semakin memperburuk keadaan. Bastian ingin berada di samping Alvin. Setidaknya, ia bisa memastikan kalau Alvin tertangani dengan baik. Amran menggeleng cepat. Tangannya meraih lengan Bastian, menahan pria itu yang hampir berlari menuj
“Tidak, tidak perlu.” Amran meneguk kopinya. “Nanti sore aku pulang. Kamu tidak perlu ke sini. Semua baik-baik saja.” “Oh, oke.” Amran tahu Mei kecewa, tetapi ia tidak ingin terlihat rapuh di depan Mei. Kejadian ini membuat hatinya diamuk badai. Jangan sampai Mei mengetahui kegusarannya. Amran segera mengakhiri pembicaraan karena tidak ingin mendengar permintaan Mei. Amran hapal tabiat Mei. Perempuan itu pasti tidak akan menyerah begitu saja meski bibirnya menyebut kata “oke”. Ia ingin bertemu Mei, tetapi tidak sekarang. Amran butuh waktu melerai gelisah sehingga saat bertemu Mei, suasana hatinya sudah lebih baik. Baru saja Amran menghabiskan kopinya, notifikasi pesan dari Mei muncul di layar ponsel. Ujung telunjuk Amran bergerak cepat membuka pesan dan Amran merasa dirinya benar-benar sial saat membaca pesan dari Mei. “Mas, ada temen yang pengen liburan ke Gilli Trawangan. Aku tawarin tiket kita dan dia mau.” Ya, Tuhan, Amran menggenggam gelas erat-erat. Kenapa kamu nggak ngomo
Amran berdiri, mendekati jendela dan membuka tirainya sehingga sinar matahari bisa menerobos masuk, menerangi dan menghangatkan kamar. Setelah sekian waktu berdiri di balik jendela, menatap halaman rumah sakit yang mulai ramai dengan kehadiran karyawan dan para penunggu pasien yang keluar untuk membeli makan, Amran berbalik lalu kembali duduk di samping ranjang. “Polisi sedang menyelidiki. Saya tidak habis pikir kalau beneran ada yang sengaja membakar kandang. Kita menyewa tanah kas desa itu dengan harga pantas. Kita juga tidak merusak apa pun. Justru warga diuntungkan. Pengeluaran warga berkurang karena sekarang tidak perlu membeli gas. Lingkungan mereka juga lebih bersih dan sehat.” “Hati manusia kadang tak bisa ditebak, Prof. Kadang kebaikan bisa tampak buruk di hati orang yang menyimpan dengki.” Amran tercenung. Entah mengapa kata dengki mengingatkan Amran pada Andra. Bukan tidak mungkin Andra menjadi dalang peristiwa ini. Walaupun jarang turun ke masyarakat, tetapi Andra selal
Mei menoleh sekilas pada Aina sebelum kembali menatap Amran. Kali ini dia mengizinkan Aina menjadikannya bahan ghibab dengan menyebar aib tanpa permisi. Hanya kali ini. Semua demi meluluhkan hati Amran. “Jadi, demi kewarasan kami bertiga, saya usul ke dia supaya ke sini menyusul Prof. Amran. Saya kira, dia bisa tenang dan tidak akan merecoki kami setelah bertemu Anda, Prof. Apalagi kami lagi banyak kerjaan dan pikiran. Kerewelan Mei sangat-sangat mengganggu.” Aina mengakhiri penjelasan dengan memasang senyum semanis arum manis. Diliriknya Mei dengan tatap penuh kemenangan. Kapan lagi bisa me-roasting teman di hadapan suaminya sampai-sampai Aina ingin bersorak melihat tampang kesal Mei. Lagi, Amran mengatur napas, mencoba mengesampingkan ego. Ada Alvin dan Fahmi. Tidak elok kalau sampai terjadi pertengkaran di sini, di depan mereka. Apalagi mereka sedang berada di rumah sakit. "Jadi dia ke sini karena mengkhawatirkan Anda, Prof, bukan mau jenguk Alvin. Kalau Prof mau marah, sama sa
Amran menatap Bastian. "Kenapa dengan nama itu? Kamu kenal?" Jiwa kepo Amran meronta. Tiba-tiba ia khawatir kalau tingkah salah satu mahasiswanya itu ternyata tercium orang lain, termasuk Bastian. "Tidak, Prof." Bastian tersenyum samar. Otaknya bekerja cepat dan pertanyaan Mei kembali terlintas di kepala. Kini ia mengerti kenapa Mei tadi bertanya tentang Akira Hana. "Tapi dari wajah kamu, kayaknya kamu kenal dia." Amran yang sudah berdiri kembali duduk. Bastian meringis. "Kimbabnya enak, Prof." "Bas!" Bastian yang masih mengunyah dengan mulut penuh memberi isyarat dengan gerakan tangan pada Amran agar diam dan menunggu. Ya, ampun. Makhluk satu ini kenapa tiba-tiba bikin kesel? Amran menghela napas seraya menatap jengkel Bastian. Kalau ada asisten sedikit ngelunjak, Bastian orangnya. Namun, Amran terlanjur cocok bekerja dengan Bastian. Jadi, dia masih bisa menahan urat sabarnya agar tidak putus saat penyakit Bastian kambuh. "Cepetan ngomong," ujar Amran seraya menyodorkan air mi
Amran tidak tahu sejak kapan Mei berubah sikap padanya. Apakah sejak ia sakit dan karenanya Amran tidak menyadari perubahan raut muka dan gerstur tubuh Mei, atau baru-baru ini setelah ia sembuh. Amran baru merasakan perubahan Mei ketika tadi malam Mei lebih memilih memeluk guling ketimbang menggodanya. Namun, semalam ia terlalu lelah untuk mengobrol. Ia ingin cepat tidur karena hari ini harus mengajar jam pertama. Kebekuan Mei berlanjut pagi ini. Tidak ada senyum manis juga kecup mesra Mei yang biasanya ia dapat setiap kali akan pergi. "Apa aku tidak dapat bekal?" Amran yang baru saja selesai berpakaian dan siap berangkat tersenyum melihat Mei masuk ke kamar. Mei melihat Amran sekilas, tidak berminat menjawab pertanyaan sang suami. "Ini bekalnya, Prof." Ia hanya berujar singkat tanpa menatap Amran, meletakkan tas bekal di meja. Diambilnya jas dari gantungan baju kemudian diberikan pada Amran. Masih tanpa senyum dan raut muka datar. "Bukan bekal itu, Meine Schatzi." Amran meraih j
"Akira Hana." Mei bergumam pelan. Ia belum pernah mendengar nama itu disebut Amran. Selama ini, suaminya lebih sering menyebut kolega laki-laki. Sangat jarang ia berbagi cerita tentang teman dosen perempuan kecuali Bu Andriana yang memang memiliki proyek bersama. "Mungkin mahasiswanya." Mei kembali bergumam. Ah, bukankah sejak dulu ia sudah tahu kalau Amran memang magnet bagi kaum hawa? Bukan tidak mungkin ada yang nekad mendekatinya meski status Amran sekarang telah berubah. Mei menghela napas. Dipukulkannya kepalan tangan ke tengah kemudi sementara parfum itu ia geletakkan begitu saja di kursi samping. Tiba-tiba saja seperti ada yang terbakar di dadanya. Mei masih tertegun dengan mata menatap lurus ke depan. Bayang masa lalu dengan Andra satu per satu mampir di kepala. Apakah ia harus menghadapi teror orang ketiga lagi? Kenapa hidupnya begitu sial dan pernikahannya selalu diganggu? Mei menggigit-gigit bibir. Gelisah. "Nanti aku cek hape Mas Amran. Jangan sampai ada penyusup dala
Pagi ini Mei bangun lebih awal dari biasanya. Pukul 03.00 dini hari sementara beberapa hari lalu ia lebih sering membuka mata 30 menit setelah jam tiga. Entah mengapa, sejak Lila sempat hadir dalam kehidupan Amran, ia selalu lebih cepat terjaga. Seperti ada alarm yang menempel di tubuhnya lalu menggelitik tubuhnya hingga membuka mata. Mei menggeliat. Sebelum matanya benar-benar terbuka, ia telah mendengar dengkuran halus Amran menyelinap di antara detak jarum jam. Mei menoleh, melihat Amran masih terlelap di sampingnya dengan wajah sedikit memerah. Refleks, Mei meletakkan telapak tangan di dahi Amran. Demam. Mei membatin. Perlahan diangkatnya salah satu tangan Amran yang berada di atas pinggangnya kemudian beringsut dan turun dari ranjang. Kecapekan, Mei berpikir jika suaminya pasti kelelahan maraton mengurus Lila dan sepulang dari Jakarta ia pergi ke Bantul. Amran baru kembali tadi malam. Akhirnya tubuhnya berontak dan minta istirahat. Mei bukan tidak mengingatkan Amran agar isti
Amran dan Mei menggeleng. "Kebetulan saya teman lama dia. Memang dia sempat mau meminjam uang, tetapi istri saya keburu tahu. Jadi, Alhamdulillah uang kami selamat." "Syukurlah." Perempuan itu mengganjar napas. "Dia sudah terbiasa hidup mewah. Sejak suaminya ditangkap karena korupsi dan aset-asetnya disita, dia jadi kehilangan pegangan. Akhirnya dia nipu sana-sini.” "Anak-anaknya gimana, Eyang?" Mendadak Mei teringat anak-anak Lila."Dia sudah tidak punya anak." Mei melongo."Anak satu-satunya meninggal karena sakit. Sejak saat itu hidupnya makin tidak karuan."Meski Lila harus mendapat hukuman atas kejahatannya, Mei tetap prihatin dengan nasib Lila. Ia pernah kehilangan bayi dan bisa membayangkan betapa hancur hati Lila. “Sekarang Lila ada di rumah sakit, Eyang. Kemarin dia sempat ingin bunuh diri.” Perempuan sepuh itu terkejut. “Di rumah sakit mana, Nak? Biar nanti Eyang jemput. Papanya sudah nggak ada dan keluarga besar mamanya tidak mau lagi nerima dia. Biar dia tinggal di si
Baiklah, cukup sampai di sini atau tensiku naik. “Berarti beruntung banget saya, ya, Mbak. Dapat laki-laki suamiable seperti Mas Amran.” Mei berkata dengan nada sekalem mungkin. “Nggak tahu juga, sih, seberuntung apa kamu. Kata orang cinta pertama itu susah dilupakan dan mudah banget buat CLBK.” Mei tersenyum, berusaha tetap santai. “Saya pamit dulu, Mbak. Sudah sore,” ujarnya setelah kimbab di tangan Lila berpindah ke lambung. Keinginan Mei untuk mengorek lebih dalam jati diri Lila menguap. Ia terlanjur jengkel pada Lila. Kontrakan Bidadari Tepi Kali menjadi tujuan Mei selepas dari rumah sakit. Ia sudah menghubungi Najma dan perempuan itu sedang ada di rumah. Di bawah temaram cahaya matahari yang merangkak menuju ufuk barat, Mei memacu motor melewati padatnya jalan raya di samping perkampungan Kali Code. Ia sengaja tidak memakai jaket. Dibiarkannya angin sore hari memeluk tubuhnya, memeluk cemburu di hati lalu menerbangkannya bersama debu dan kepulan asap kendaraan. Sesampainya
Mei menoleh, bertemu pandang dengan perawat yang tersenyum meyakinkan. "Jadi, Sus. Kebetulan saya bawa barang-barang Bu Lila juga. Siapa tahu dibutuhkan selama di sini." "Baik, Bu. Kalau begitu, silakan masuk." Perawat itu membuka pintu. Suara deritnya menarik perhatian Lila. Ia berhenti membaca, menurunkan koran lalu menatap lurus-lurus pada Mei yang baru saja masuk.Pintu ditutup. Napas Mei tertahan sesaat. Tatap tajam Lila memacu jantungnya hingga berdegup lebih kencang. Dihirupnya udara beraroma karbol dalam-dalam. Jadi dia, perempuan bernama Lila. Cantik. Mei membatin. Tanpa make up saja ia terlihat menarik, apalagi jika ada sedikit riasan. Lila memiliki hidung bangir dan bentuk bibir sempurna. Ia bermata bening, tidak terlalu sipit dan tidak terlalu lebar. Memandangnya seperti sedang melihat telaga berair jernih dan tenang. Mei yakin, dengan kelebihannya, Lila sanggup menaklukkan hati laki-laki dengan mudah. Nyaris tidak bisa dipercaya, perempuan dengan pahatan wajah sempurna
"Kayaknya Prof makin hari makin genit." Mei tertawa."Jadi apa aku harus datar seperti papan penggilesan?" Keduanya tergelak. Amran berdiri sembari menarik tangan Mei. "Yuk." "Tunggu, Prof." Mei bergeming. Dimintanya Amran untuk duduk kembali. "Anda belum selesai menjelaskan, Prof. Jadi apa yang harus aku lakukan besok saat bertemu Lila?" lanjutnya setelah Amran ada di sampingnya lagi. "Ah, sorry." Kedua sudut bibir Amran terangkat. "Kamu selalu membuatku lupa banyak hal." "Tuh, kan, saya jadi kambing hitam lagi." Mei pura-pura cemberut. "Memang begitu kenyataannya, Meine Schatzi." Amran menepuk kedua pipi Mei. Hampir saja ia mengecup bibir Mei kalau tangan Mei tidak bergerak cepat menahan dadanya. "Lanjutkan dulu penjelasannya, Mas." Mei mencium pipi Amran. "Hmm, oke-oke." Amran tersenyum sembari membetulkan letak kacamatanya. "Kamu ke wisma dan ambil barang-barang Lila. Setelah itu bawa ke Sardjito. Dokter belum bisa memastikan berapa lama dia diisolasi. Jadi biar kopernya a
“Ada keluarganya di Kotagede, tapi saya tidak tahu nomor teleponnya. Besok kalau sudah luang, saya akan ke sana.” “Suami? Anak-anak?” Dokter itu bertanya hati-hati. “Lila bilang kalau sudah bercerai. Sampai saat ini saya belum tahu siapa mantan suaminya. Keluarga besarnya ada di Jakarta dan saya tidak punya nomor mereka. Sudah lama sekali saya tidak terhubung dengan Lila dan keluarganya." "Baik, Prof." Dokter itu tersenyum iba. “Semoga Anda bisa segera terhubung dengan keluarganya.” Sekali lagi Amran mengucapkan terima kasih kemudian berpamitan. Ia masih sempat memandang Lila dan melangitkan doa. Amran berharap keadaan Lila tidak memburuk sehingga bisa keluar secepatnya dari rumah sakit. Bukan tentang biaya yang Amran pikirkan, melainkan karena ia khawatir tidak dapat mengurus Lila dengan baik di tengah timbunan pekerjaan. Langkah-langkah lebar Amran membawa pria itu tiba di tempat parkir lebih cepat. Setelah melewati portal rumah sakit, Amran memacu motor secepat mungkin. Masi