Amran selalu bersiap menghadapi sesuatu, baik dan buruk, tetapi kehilangan memang tak pernah bisa disiapkan. Kini, sebelum bisa berdamai dengan terbakarnya kandang, ia harus menerima berita buruk berikutnya. Ada bayang wajah Alvin menanggung sakit yang membuat dada Amran sedikit sesak sampai-sampai ia harus berusaha keras menjaga konsentrasi agar bisa mencerna penjelasan mahasiswanya. Hubungannya dengan Alvin memang hanya sebatas dosen dan mahasiswa. Namun, justru karena itulah Amran merasa harus bertanggung jawab. “Saya akan ke rumah sakit sekarang, Prof.” Bastian berseru khawatir. Ia melihat sendiri bagaimana telapak tangan dan kaki Alvin melepuh dan terkelupas kulitnya menyisakan daging tertutup darah. Kini, sahabatnya harus mendapat vonis baru yang semakin memperburuk keadaan. Bastian ingin berada di samping Alvin. Setidaknya, ia bisa memastikan kalau Alvin tertangani dengan baik. Amran menggeleng cepat. Tangannya meraih lengan Bastian, menahan pria itu yang hampir berlari menuj
“Tidak, tidak perlu.” Amran meneguk kopinya. “Nanti sore aku pulang. Kamu tidak perlu ke sini. Semua baik-baik saja.” “Oh, oke.” Amran tahu Mei kecewa, tetapi ia tidak ingin terlihat rapuh di depan Mei. Kejadian ini membuat hatinya diamuk badai. Jangan sampai Mei mengetahui kegusarannya. Amran segera mengakhiri pembicaraan karena tidak ingin mendengar permintaan Mei. Amran hapal tabiat Mei. Perempuan itu pasti tidak akan menyerah begitu saja meski bibirnya menyebut kata “oke”. Ia ingin bertemu Mei, tetapi tidak sekarang. Amran butuh waktu melerai gelisah sehingga saat bertemu Mei, suasana hatinya sudah lebih baik. Baru saja Amran menghabiskan kopinya, notifikasi pesan dari Mei muncul di layar ponsel. Ujung telunjuk Amran bergerak cepat membuka pesan dan Amran merasa dirinya benar-benar sial saat membaca pesan dari Mei. “Mas, ada temen yang pengen liburan ke Gilli Trawangan. Aku tawarin tiket kita dan dia mau.” Ya, Tuhan, Amran menggenggam gelas erat-erat. Kenapa kamu nggak ngomo
Amran berdiri, mendekati jendela dan membuka tirainya sehingga sinar matahari bisa menerobos masuk, menerangi dan menghangatkan kamar. Setelah sekian waktu berdiri di balik jendela, menatap halaman rumah sakit yang mulai ramai dengan kehadiran karyawan dan para penunggu pasien yang keluar untuk membeli makan, Amran berbalik lalu kembali duduk di samping ranjang. “Polisi sedang menyelidiki. Saya tidak habis pikir kalau beneran ada yang sengaja membakar kandang. Kita menyewa tanah kas desa itu dengan harga pantas. Kita juga tidak merusak apa pun. Justru warga diuntungkan. Pengeluaran warga berkurang karena sekarang tidak perlu membeli gas. Lingkungan mereka juga lebih bersih dan sehat.” “Hati manusia kadang tak bisa ditebak, Prof. Kadang kebaikan bisa tampak buruk di hati orang yang menyimpan dengki.” Amran tercenung. Entah mengapa kata dengki mengingatkan Amran pada Andra. Bukan tidak mungkin Andra menjadi dalang peristiwa ini. Walaupun jarang turun ke masyarakat, tetapi Andra selal
Mei menoleh sekilas pada Aina sebelum kembali menatap Amran. Kali ini dia mengizinkan Aina menjadikannya bahan ghibab dengan menyebar aib tanpa permisi. Hanya kali ini. Semua demi meluluhkan hati Amran. “Jadi, demi kewarasan kami bertiga, saya usul ke dia supaya ke sini menyusul Prof. Amran. Saya kira, dia bisa tenang dan tidak akan merecoki kami setelah bertemu Anda, Prof. Apalagi kami lagi banyak kerjaan dan pikiran. Kerewelan Mei sangat-sangat mengganggu.” Aina mengakhiri penjelasan dengan memasang senyum semanis arum manis. Diliriknya Mei dengan tatap penuh kemenangan. Kapan lagi bisa me-roasting teman di hadapan suaminya sampai-sampai Aina ingin bersorak melihat tampang kesal Mei. Lagi, Amran mengatur napas, mencoba mengesampingkan ego. Ada Alvin dan Fahmi. Tidak elok kalau sampai terjadi pertengkaran di sini, di depan mereka. Apalagi mereka sedang berada di rumah sakit. "Jadi dia ke sini karena mengkhawatirkan Anda, Prof, bukan mau jenguk Alvin. Kalau Prof mau marah, sama sa
Dua hari setelahnya, Amran baru pulang, menghabiskan jatah baju ganti yang disiapkan Mei dan memastikan pembangunan kandang bisa segera dimulai. “Pak Kades ingin ada seremoni peletakan batu pertama yang dihadiri Pak Bupati, Prof.” Bastian melaporkan ketika Amran selesai rapat dengan warga sebelum pulang ke Yogyakarta. “Atur saja, Bas.” Tanpa pikir panjang Amran menyetujui permintaan Pak Kades. Ia terlalu lelah. Tidak ada lagi ruang di kepalanya untuk memikirkan permintaan Pak Kades. Seandainya saraf otak bisa dilihat, mungkin saat ini serabut-serabut tipis di kepalanya itu sudah menyerupai gulungan benang kusut. “Bagaimana kalau kita jadi alat pencitraan politik, Prof?” “Kemungkinan itu selalu ada. Tapi kerja kita di sini masih lama. Kita bisa mengakhiri kerjasama kalau terbukti hanya jadi alat pencitraan.” Bastian hanya manggut-manggut mendengar penjelasan Amran. Ia juga sudah tidak memiliki cukup tenaga untuk berdiskusi lebih panjang. Punggungnya sangat pegal dan kelopak matany
Waktu cuti Amran memang belum habis, tetapi semesta sepertinya tidak membiarkan pria itu memiliki waktu luang. Seperti pagi itu, ponselnya berdering kala Amran baru saja sarapan. Bukan sarapan yang sebenarnya karena ia menghabiskan waktu bersama Mei di kamar sejak matahari baru saja muncul di celah langit dan cahayanya belum terlalu terang. Kini, sinar matahari nyaris sempurna menyiram bumi dan sebagiannya menerobos masuk lewat lubang ventilasi di atas jendela yang masih tertutup lalu menimpa bagian atas rak buku setinggi satu meter, tepat pada batang bunga sedap malam dan kelopak mawar. Amran merasa tidak perlu tergesa karena nada dering yang menyala menandakan si penelpon bukan orang yang dikenal. Diambilnya kaus dan celana kemudian memakainya dengan santai. Lantas, ia turun dari ranjang dan mengambil ponsel di atas rak. Panggilan kedua tengah berlangsung ketika matanya menatap layar. Deret angka yang tidak ada dalam phonebook tertera di layar. Dengan dahi sedikit mengernyit, telu
“Rahasia.”“Kasih bocoran, dong. Biar nggak penasaran.” “Pokoknya rahasia.” Mei tertawa. Ia senang memberi kejutan dan membuat Amran penasaran. Ia bisa membayangkan wajah Amran saat penasaran, antara ingin tahu dan pasrah karena selalu gagal menebak. “Kasih clue. Huruf depan atau bahan-bahannya mungkin.” Amran masih mencoba mencari celah. Gelar profesornya mendadak tidak artinya setiap kali berhadapan dengan Mei. Otaknya seolah tidak mampu bekerja dengan baik. Sungguh meresahkan. “Rahasia, Prof." Lagi, Mei terkekeh. Ia makin di atas angin."Come on, Meine Schatzi. Please, kasih tahu.""Dah, ya, Prof. Met lembur.” Pesan terakhir Mei diikuti emoticon love. Setelah pertemuan dengan Nana, Amran memang memberitahu Mei kalau ia akan pulang terlambat hari ini. Mungkin karena itu Mei mengirim makanan untuknya. Setibanya di depan tangga lantai dua, Amran menyimpan ponsel di saku kemudian menaiki tangga menuju lantai tiga dengan cepat hingga suara ketukan sepatunya memenuhi udara. Sesuai
"Aku sudah deket kosan kamu, La. Please be patient." Amran berseru gusar. Untuk kesekian kali Lila menghubunginya dan memintanya datang lebih cepat. Sempat terjebak macet di dua trafic light, akhirnya Amran tiba di depan rumah bergaya Victoria di ujung kompleks perumahan mewah di daerah Seturan. Amran berdiri sesaat di samping mobil, memastikan jika ia tdak salah tempat. Ditatapnya bangunan bercat putih dan berjendela lebar dan tinggi dengan teras sedikit menjorok ke depan. Teras itu memiliki atap berbentuk lengkung dan disangga empat tiang besar. Dua lampu dalam kap klasik tergantung di dua tiang penyangga paling depan. Amran mengedarkan pandangan ke sekeliling lalu kembali melihat ke arah kosan Lila. Kesiur anging meriapkan bagian atas rambutnya, menyisakan hawa dingin di tangan yang tidak tertutup jas. Rumah di hadapan Amran terlihat mencolok karena arsitekturnya yang berbeda. Rumah-rumah lain bergaya Eropa atau Amerika modern dan cenderung minimalis. Sementara kosan Lila, sanga
Amran menatap Bastian. "Kenapa dengan nama itu? Kamu kenal?" Jiwa kepo Amran meronta. Tiba-tiba ia khawatir kalau tingkah salah satu mahasiswanya itu ternyata tercium orang lain, termasuk Bastian. "Tidak, Prof." Bastian tersenyum samar. Otaknya bekerja cepat dan pertanyaan Mei kembali terlintas di kepala. Kini ia mengerti kenapa Mei tadi bertanya tentang Akira Hana. "Tapi dari wajah kamu, kayaknya kamu kenal dia." Amran yang sudah berdiri kembali duduk. Bastian meringis. "Kimbabnya enak, Prof." "Bas!" Bastian yang masih mengunyah dengan mulut penuh memberi isyarat dengan gerakan tangan pada Amran agar diam dan menunggu. Ya, ampun. Makhluk satu ini kenapa tiba-tiba bikin kesel? Amran menghela napas seraya menatap jengkel Bastian. Kalau ada asisten sedikit ngelunjak, Bastian orangnya. Namun, Amran terlanjur cocok bekerja dengan Bastian. Jadi, dia masih bisa menahan urat sabarnya agar tidak putus saat penyakit Bastian kambuh. "Cepetan ngomong," ujar Amran seraya menyodorkan air mi
Amran tidak tahu sejak kapan Mei berubah sikap padanya. Apakah sejak ia sakit dan karenanya Amran tidak menyadari perubahan raut muka dan gerstur tubuh Mei, atau baru-baru ini setelah ia sembuh. Amran baru merasakan perubahan Mei ketika tadi malam Mei lebih memilih memeluk guling ketimbang menggodanya. Namun, semalam ia terlalu lelah untuk mengobrol. Ia ingin cepat tidur karena hari ini harus mengajar jam pertama. Kebekuan Mei berlanjut pagi ini. Tidak ada senyum manis juga kecup mesra Mei yang biasanya ia dapat setiap kali akan pergi. "Apa aku tidak dapat bekal?" Amran yang baru saja selesai berpakaian dan siap berangkat tersenyum melihat Mei masuk ke kamar. Mei melihat Amran sekilas, tidak berminat menjawab pertanyaan sang suami. "Ini bekalnya, Prof." Ia hanya berujar singkat tanpa menatap Amran, meletakkan tas bekal di meja. Diambilnya jas dari gantungan baju kemudian diberikan pada Amran. Masih tanpa senyum dan raut muka datar. "Bukan bekal itu, Meine Schatzi." Amran meraih j
"Akira Hana." Mei bergumam pelan. Ia belum pernah mendengar nama itu disebut Amran. Selama ini, suaminya lebih sering menyebut kolega laki-laki. Sangat jarang ia berbagi cerita tentang teman dosen perempuan kecuali Bu Andriana yang memang memiliki proyek bersama. "Mungkin mahasiswanya." Mei kembali bergumam. Ah, bukankah sejak dulu ia sudah tahu kalau Amran memang magnet bagi kaum hawa? Bukan tidak mungkin ada yang nekad mendekatinya meski status Amran sekarang telah berubah. Mei menghela napas. Dipukulkannya kepalan tangan ke tengah kemudi sementara parfum itu ia geletakkan begitu saja di kursi samping. Tiba-tiba saja seperti ada yang terbakar di dadanya. Mei masih tertegun dengan mata menatap lurus ke depan. Bayang masa lalu dengan Andra satu per satu mampir di kepala. Apakah ia harus menghadapi teror orang ketiga lagi? Kenapa hidupnya begitu sial dan pernikahannya selalu diganggu? Mei menggigit-gigit bibir. Gelisah. "Nanti aku cek hape Mas Amran. Jangan sampai ada penyusup dala
Pagi ini Mei bangun lebih awal dari biasanya. Pukul 03.00 dini hari sementara beberapa hari lalu ia lebih sering membuka mata 30 menit setelah jam tiga. Entah mengapa, sejak Lila sempat hadir dalam kehidupan Amran, ia selalu lebih cepat terjaga. Seperti ada alarm yang menempel di tubuhnya lalu menggelitik tubuhnya hingga membuka mata. Mei menggeliat. Sebelum matanya benar-benar terbuka, ia telah mendengar dengkuran halus Amran menyelinap di antara detak jarum jam. Mei menoleh, melihat Amran masih terlelap di sampingnya dengan wajah sedikit memerah. Refleks, Mei meletakkan telapak tangan di dahi Amran. Demam. Mei membatin. Perlahan diangkatnya salah satu tangan Amran yang berada di atas pinggangnya kemudian beringsut dan turun dari ranjang. Kecapekan, Mei berpikir jika suaminya pasti kelelahan maraton mengurus Lila dan sepulang dari Jakarta ia pergi ke Bantul. Amran baru kembali tadi malam. Akhirnya tubuhnya berontak dan minta istirahat. Mei bukan tidak mengingatkan Amran agar isti
Amran dan Mei menggeleng. "Kebetulan saya teman lama dia. Memang dia sempat mau meminjam uang, tetapi istri saya keburu tahu. Jadi, Alhamdulillah uang kami selamat." "Syukurlah." Perempuan itu mengganjar napas. "Dia sudah terbiasa hidup mewah. Sejak suaminya ditangkap karena korupsi dan aset-asetnya disita, dia jadi kehilangan pegangan. Akhirnya dia nipu sana-sini.” "Anak-anaknya gimana, Eyang?" Mendadak Mei teringat anak-anak Lila."Dia sudah tidak punya anak." Mei melongo."Anak satu-satunya meninggal karena sakit. Sejak saat itu hidupnya makin tidak karuan."Meski Lila harus mendapat hukuman atas kejahatannya, Mei tetap prihatin dengan nasib Lila. Ia pernah kehilangan bayi dan bisa membayangkan betapa hancur hati Lila. “Sekarang Lila ada di rumah sakit, Eyang. Kemarin dia sempat ingin bunuh diri.” Perempuan sepuh itu terkejut. “Di rumah sakit mana, Nak? Biar nanti Eyang jemput. Papanya sudah nggak ada dan keluarga besar mamanya tidak mau lagi nerima dia. Biar dia tinggal di si
Baiklah, cukup sampai di sini atau tensiku naik. “Berarti beruntung banget saya, ya, Mbak. Dapat laki-laki suamiable seperti Mas Amran.” Mei berkata dengan nada sekalem mungkin. “Nggak tahu juga, sih, seberuntung apa kamu. Kata orang cinta pertama itu susah dilupakan dan mudah banget buat CLBK.” Mei tersenyum, berusaha tetap santai. “Saya pamit dulu, Mbak. Sudah sore,” ujarnya setelah kimbab di tangan Lila berpindah ke lambung. Keinginan Mei untuk mengorek lebih dalam jati diri Lila menguap. Ia terlanjur jengkel pada Lila. Kontrakan Bidadari Tepi Kali menjadi tujuan Mei selepas dari rumah sakit. Ia sudah menghubungi Najma dan perempuan itu sedang ada di rumah. Di bawah temaram cahaya matahari yang merangkak menuju ufuk barat, Mei memacu motor melewati padatnya jalan raya di samping perkampungan Kali Code. Ia sengaja tidak memakai jaket. Dibiarkannya angin sore hari memeluk tubuhnya, memeluk cemburu di hati lalu menerbangkannya bersama debu dan kepulan asap kendaraan. Sesampainya
Mei menoleh, bertemu pandang dengan perawat yang tersenyum meyakinkan. "Jadi, Sus. Kebetulan saya bawa barang-barang Bu Lila juga. Siapa tahu dibutuhkan selama di sini." "Baik, Bu. Kalau begitu, silakan masuk." Perawat itu membuka pintu. Suara deritnya menarik perhatian Lila. Ia berhenti membaca, menurunkan koran lalu menatap lurus-lurus pada Mei yang baru saja masuk.Pintu ditutup. Napas Mei tertahan sesaat. Tatap tajam Lila memacu jantungnya hingga berdegup lebih kencang. Dihirupnya udara beraroma karbol dalam-dalam. Jadi dia, perempuan bernama Lila. Cantik. Mei membatin. Tanpa make up saja ia terlihat menarik, apalagi jika ada sedikit riasan. Lila memiliki hidung bangir dan bentuk bibir sempurna. Ia bermata bening, tidak terlalu sipit dan tidak terlalu lebar. Memandangnya seperti sedang melihat telaga berair jernih dan tenang. Mei yakin, dengan kelebihannya, Lila sanggup menaklukkan hati laki-laki dengan mudah. Nyaris tidak bisa dipercaya, perempuan dengan pahatan wajah sempurna
"Kayaknya Prof makin hari makin genit." Mei tertawa."Jadi apa aku harus datar seperti papan penggilesan?" Keduanya tergelak. Amran berdiri sembari menarik tangan Mei. "Yuk." "Tunggu, Prof." Mei bergeming. Dimintanya Amran untuk duduk kembali. "Anda belum selesai menjelaskan, Prof. Jadi apa yang harus aku lakukan besok saat bertemu Lila?" lanjutnya setelah Amran ada di sampingnya lagi. "Ah, sorry." Kedua sudut bibir Amran terangkat. "Kamu selalu membuatku lupa banyak hal." "Tuh, kan, saya jadi kambing hitam lagi." Mei pura-pura cemberut. "Memang begitu kenyataannya, Meine Schatzi." Amran menepuk kedua pipi Mei. Hampir saja ia mengecup bibir Mei kalau tangan Mei tidak bergerak cepat menahan dadanya. "Lanjutkan dulu penjelasannya, Mas." Mei mencium pipi Amran. "Hmm, oke-oke." Amran tersenyum sembari membetulkan letak kacamatanya. "Kamu ke wisma dan ambil barang-barang Lila. Setelah itu bawa ke Sardjito. Dokter belum bisa memastikan berapa lama dia diisolasi. Jadi biar kopernya a
“Ada keluarganya di Kotagede, tapi saya tidak tahu nomor teleponnya. Besok kalau sudah luang, saya akan ke sana.” “Suami? Anak-anak?” Dokter itu bertanya hati-hati. “Lila bilang kalau sudah bercerai. Sampai saat ini saya belum tahu siapa mantan suaminya. Keluarga besarnya ada di Jakarta dan saya tidak punya nomor mereka. Sudah lama sekali saya tidak terhubung dengan Lila dan keluarganya." "Baik, Prof." Dokter itu tersenyum iba. “Semoga Anda bisa segera terhubung dengan keluarganya.” Sekali lagi Amran mengucapkan terima kasih kemudian berpamitan. Ia masih sempat memandang Lila dan melangitkan doa. Amran berharap keadaan Lila tidak memburuk sehingga bisa keluar secepatnya dari rumah sakit. Bukan tentang biaya yang Amran pikirkan, melainkan karena ia khawatir tidak dapat mengurus Lila dengan baik di tengah timbunan pekerjaan. Langkah-langkah lebar Amran membawa pria itu tiba di tempat parkir lebih cepat. Setelah melewati portal rumah sakit, Amran memacu motor secepat mungkin. Masi