Amran duduk di samping ranjang. Ditatapnya paras pucat Mei dengan mata berkaca-kaca. “Hai, Mei. Lama sekali kamu tidur. Kamu mimpi apa sampai nggak bangun-bangun?” Suara lirih Amran beradu dengan bunyi alat-alat bantu di samping ranjang dan deru mesin pendingin. “Bangun, Mei. Nanti saya buatin teh paling enak.” Amran tersenyum getir. Hatinya benar-benar seperti gelas dibanting ke lantai. “Atau kamu mau dibuatin kopi? Apa saja yang kamu minta, saya buatin, Mei. Please, bangun, Mei.” Napas Amran tertahan ketika melihat kelopak mata Mei bergerak. Ia mendekat demi memastikan penglihatannya tidak salah. “Mei ....” Kedua mata Mei terbuka sempurna. Ia mengedarkan pandangan hingga bersitatap dengan Amran. “P-Prof Am-ran, sa-ya di ma-na?” Hati Amran seperti dipeluk embun pagi ketika mendengar suara Mei dan melihatnya membuka mata. Segala penat dan lelah lesap, sirna bersama udara. Ya, ampun, betapa tersiksanya aku nungguin kamu bangun, Mei. Hampir saja Amran menggenggam jemari Mei, tetapi o
Amran tersenyum. Separuh hatinya bersorak penuh kemenangan, separuh lainnya sedikit merasa bersalah. “Aku sudah sering diledekin anak-anak. Nggak cuma sama Mei.” Sembari menjajari langkah Andra, Amran mencoba mematikan api yang terlanjur disulutnya. “Kamu capek banget kayaknya. Deket sini ada homestay. Aku pesenin kamar, gimana? Kamu bisa istirahat dulu. Mumpung masih ada Aina dan Najma yang jagain Mei.” “Nggak usah, Bro. Nanti aku cari sendiri saja. Aku baru bisa ninggalin rumah sakit kalau Mei bener-bener sudah stabil kondisinya.”“Oke.” Amran tersenyum. Diturunkannya tangan dari bahu Andra lalu disimpannya dalam saku celana. “Kalau gitu kamu makan dulu. Kebetulan aku sudah makan.” Andra mengangguk lalu meneruskan langkah menuju kantin, membawa hati yang panas membara. Mungkin secangkir kopi atau segelas teh bisa mematikan api yang nyaris membakar habis tubuhnya. Sore itu kedua kakak Mei dan keluarganya datang menjenguk sekalian menjemput bapak dan ibu Mei. Rangga yang akan menu
Andra mendorong kursi roda menyusuri koridor rumah sakit. Sebelas hari dirawat akhirnya Mei diizinkan pulang. Diam-diam ia lega karena Amran tidak pernah lagi menampakkan batang hidungnya. Ia merasa bebas meski sempat panas karena melihat Amran menyuapi Mei. Melihat sikap Mei yang melunak, tunas-tunas harapan di hati Andra tumbuh subur. “Aku ikut Rangga saja, Mas,” ujar Mei ketika Andra mengarahkan kursi roda ke mobilnya. “Iya, Mas. Mbak Mei bareng saya saja.” Rangga memasukkan barang-barang ke bagasi kemudian mengambil alih kursi roda dari Andra. “Makasih bantuannya, Mas. Mas Andra pulang saja. Biar bisa istirahat.” Mei tersenyum tulus. Meski ia sudah tidak punya perasaan apa pun pada Andra, tetap saja pria itu telah menungguinya tanpa jeda. Ia berutang budi pada Andra. “Aku nggak akan tenang kalau kamu belum sampai rumah. Aku antar kamu.” Andra membalas senyum Mei. Ia akan menginap di Solo dan baru kembali ke Magelang esok hari. Nanti malam ia ada janji temu dengan salah satu ko
“Mas Andra, stop!” Mei mulai terbawa emosi. “Lebih baik Mas Andra pergi kalau nggak bisa diajak bicara baik-baik. Kita ini sudah dewasa, Mas. Please, jangan kekanak-kanakan seperti ini.” “Jujur saja, Mei. Kamu nunggu Amran, kan?” “Oke, oke.” Mei mengganjur napas. Ia masih belum melepas pandangan dari Andra. Paginya yang hangat hilang akibat ulah Andra. “Memangnya, apa masalahnya buat Mas Andra kalau aku nunggu Prof. Amran?” “Ngapain kamu nunggu laki-laki pengecut seperti dia? Sampai kapan pun dia tidak akan punya nyali untuk melamarmu. Ngapain kamu nunggu laki-laki seperti itu?” Andra kalap. Hening sejenak. Mei terperangah. Ucapan Andra membuat otak Mei hang dan kepalanya pusing. Mungkin Amran selama ini memang tidak pernah mau jujur dengan perasaannya, tetapi menyebut Amran pengecut jelas tidak benar. Mei mengerti, menyembuhkan trauma tidak pernah mudah. Menindas rasa tidak percaya diri dan menjadi manusia paling jelek di dunia karena ditolak mentah-mentah bukan hal gampang. “Sa
“Terus? Soal kerjaan saya, Prof? Saya sudah bisa ngerjain laporan, Prof. Tangan dan otak saya bisa kerja, kok.” “Ya, Tuhan.’ Amran tidak sanggup menahan tawa. “Saya ke sini mau silaturahim, bukan mau ngomongin kerjaan.” “Silaturahim?” Mei makin tidak mengerti. Amran tidak pernah mengatakan apa pun sebelum kedatangannya hari ini.“Iya, saya pengen ngobrol sama Bapak dan Ibu. Waktu di rumah sakit baru kenalan dan Bapak Ibu keburu pulang.” “Oh.” Mei menggaruk kepala. Tatapan herannya masih menelisik paras secerah matahari pagi milik Amran. “Sebentar saya panggilkan Bapak Ibu, Prof.” Dengan bertumpu pada salah satu kaki, Mei masuk dan mengajak kedua orangtuanya ke depan. Ketika mereka sudah berada di ruang tamu, mendadak Mei jadi overthinking. Apa mungkin Prof. Amran berubah pikiran? Dia tidak lagi menganggapku sekadar asisten? Ah, pikiran macam apa ini? Mei buru-buru memadamkan harapan di hatinya. Prof. Amran cuma mau silaturahim, Mei. Mau kenalan sama Bapak Ibu. Jangan ge er dulu.A
“Lho, lho, Ibu kenapa, sih?” Sambil meringis kesakitan, Amran melepas jemari ibunya dari telinga lalu mundur selangkah. “Nggak melamar salah, melamar juga salah. Jadi maunya Ibu gimana? Ibu mau jodohin saya sama orang lain? Ibu punya calon lain?” “Ya, Allah, kamu ini malu-maluin Ibu dan almarhum Bapak, Ran?” Ratih berdiri, meletakkan Al Quran di rak, lalu kembali duduk di kursi malas. Selain bujang karatan, ternyata putranya juga terlalu polos untuk hal-hal seperti ini. Hampir sepuluh tahun di Jerman mungkin sedikit melupakannya dari tradisi leluhur. “Malu-maluin gimana, Bu? Saya datang melamar Mei. Saya dan Mei tidak melakukan perbuatan dosa. Apanya yang memalukan?” Amran semakin tidak mengerti maksud sang ibu. Tiga puluh tahun sejak pertama baligh ia sudah berusaha sekuat tenaga menjaga diri dari perbuatan dosa. Ketika di Jerman, ia sama sekali tidak pernah clubbing apalagi menenggak minuman beralkohol. Lalu sekarang tiba-tiba ia dianggap telah mempermalukan Ibu dan Bapak. Amran
Setelah kepergian Alvin dan Bastian, giliran Najma dan Aina yang berpamitan. “Pamit dulu, Mei sayang,” ujar Aina ketika mereka sudah berada di depan Mei dan Amran. “Makasih, Na.” Dipeluknya erat tubuh sahabatnya. “Aku pasti akan kangen nggosip bareng kalian.” “Besok kamu nggosip sama Prof. Amran saja.” Keduanya tergelak. "Bakal seru banget nggosip sambil ehem-ehem." "Apaan, sih." Mei mencubit hidung Mei. "Biasanya pengantin baru masih panas." "Panas mana sama pantat panci?""Panas ranjang pengantin baru." "Please, jaga omongan kalian. Di sini ada anak di bawah umur." Najma menyela sembari memasang wajah memelas. "Eh, iya. Ntar dia minta kawin, kan, gawat." Aina tertawa diikuti Mei dan Amran. "Sini giliran aku yang pamitan." Najma menggeser tubuh Aina. “Met honeymoon, Mbak Mei. Ditunggu keponakannya segera launching," ucapnya tanpa mempedulikan protes Aina. “Baru juga nikah, dah ditodong keponakan.” Mei tertawa lalu memeluk Najma. “We’re gonna miss you, Mbak. Tetep main ke
Pernikahan dengan Amran memang bukan yang pertama bagi Mei. Meski demikian, ia tetap merasa memasuki dunia baru yang tidak ia kenal. Amran tentu beda dengan Andra dan Mei tetap harus beradaptasi dengan ritme kehidupan Amran. Seperti hari ini ketika ia menjemput Amran di Bandara Adisumarmo, dada Mei tetap berdebar menanti pertemuan kembali setelah berpisah seminggu. Apa yang harus dilakukannya untuk menyenangkan hati Amran? Apakah ia harus dandan maksimal? Apakah ia harus memasak makanan favorit Amran? Ia lupa bertanya apa menu favorit pria itu. Mei hanya ingat Amran sangat suka minum teh. Tidak mungkin ia hanya menyuguhkan teh saat Amran pulang. Lintasan-lintasan pikiran itu membuat Mei cemas sekaligus juga penasaran. "Suami dari perjalanan jauh harus disenangkan hatinya. Biar dia lupa sama yang bening-bening di luar sana dan lengket sama kamu." Awalnya Mei menganggap angin lalu nasihat itu. Mei tahu siapa saja kolega Amran di fakultas. Mei juga tahu bagaimana mahasiswa di fakultas
Mei berdiri kaku sambil tersenyum canggung ketika melihat Amran turun dari mobil. Awas kamu, Bas, sudah ngeprank aku. Mei mengomel dalam hati. Maksud hati ingin menghindari Amran dengan meminta tolong pada Bastian. Bukannya datang sesuai janji, Bastian malah bertukar posisi dengan Amran.. Mei yakin, setelah pembicaraan mereka, pasti Bastian melapor pada Amran. Pengkhianatan partner in crime, nih, ceritanya. Ingat, Bas, pembalasan selalu lebih kejam. “Kenapa motornya, Meine Schatzi?” Amran berujar tenang. Susah payah ia menahan diri agar tidak tertawa melihat raut muka Mei. “Nggak tahu, Mas. Tiba-tiba mogok. Sudah minta tolong pak parkir tetep nggak bisa nyala.” Mei sok cuek, seolah tidak sedang perang dingin. Rencana untuk menunda gencatan senjata sampai besok gagal total. Masa iya, sudah mau ditolong tetep perang dingin dan pasang muka judes. Di balik sikapnya yang seolah tanpa dosa, Mei merasa telah kehilangan muka. . “Kok, bisa kompakan sama yang punya, ya.” Amran tersenyum jahi
Rumah terasa sunyi setelah Amran berangkat ke kampus karena Ibu belum pulang. Mei tidak tahu apakah sejak dulu Ibu juga betah menginap di rumah Kayla. Satu hal yang Mei rasakan, entah sengaja atau tidak, setiap kali Mei butuh sendiri atau sedang sedikit cekcok dengan Amran, Ibu akan menginap di rumah Kayla. Ada saja alasan Ibu. Mulai dari pengajian, masak bareng Kayla, atau diajak jalan. Bisa jadi juga karena di rumah Kayla ada kedua orangtuanya sebagai teman ngobrol Ibu. Entahlah, Mei tidak berani banyak bertanya. Kepergian Ibu justru melegakan hati Mei karena ia jadi punya ruang dan waktu untuk mengembalikan suasana hatinya ke setelan awal. Tidak mudah berpura-pura baik padahal hati sedang dilanda angin ribut. Mei bersyukur punya mertua sepengertian itu. “Meii, yuk triple date.” Pesan dari Aina masuk ke ponsel Mei ketika ia baru saja membersihkan dapur. “Calonnya Najma dan Pak Suami lagi di Jogja, nih. Buruan kasih tahu Prof. Amran biar dia kosongin jadwal, gih.” Kebiasaan Aina k
“Aku berangkat dulu, Meine Schatzi.” Tangan kanan Amran meraih tubuh Mei lalu memberi kecupan hangat yang hanya ditanggapi sambil lalu oleh Mei. “Weekend ini aku bisa kosongkan jadwal kalau kamu pengen liburan,” ujar Amran sambil masih menyimpan tubuh Mei dalam pelukan. “Iya, Prof, nanti aku pikirkan.” Mei menjawab malas lalu berusaha melepaskan diri dari rengkuhan Amran. “Nanti terlambat,” ucapnya sambil membetulkan dasi yang sebenarnya sudah terpasang rapi. Amran tersenyum. Setelah mengucapkan salam, ia pergi. Ia tidak terlalu ambil pusing ketika negosiasinya tadi malam berakhir deadlock. Segala bentuk rayuan sudah ia lakukan, tetapi sama sekali tidak membuahkan hasil. Mei terlalu tangguh untuk ditaklukkan. Kombinasi keras kepala dan marah memang cukup mematikan. Ketika semua usahanya gagal, menjelang tengah malam, Amran hanya bisa tidur sambil memeluk Mei, itu juga dari belakang. Sangat tidak menyenangkan, tetapi sedikit lebih baik ketimbang diusir keluar dan harus tidur di ruang
Assalamualaikum, Sahabat. Mohon maaf baru melanjutkan cerita ini sekarang. Sejak akhir 2023 kondisi kesehatan saya kurang baik, harus sering bedrest sehingga tidak bisa nulis. Semoga tahun ini saya sehat dan bisa menyelesaikan cerita ini. Terima kasih masih bersedia mengikuti kisah Amran dan Mei :-) ***“Jangan lupa pakai seat belt-nya, Meine Schatzi.” Amran tersenyum lalu bergerak ingin memasangkan sabuk pengaman ketika mereka sudah berada di dalam mobil. Amran tahu becandanya garing, tapi ia tidak tahan melihat wajah cemberut Mei. Ia selalu ingin menggoda Mei saat sedang marah atau cemberut. Ketika melihat Mei, Amran semakin sadar kalau Ibu dan Mei tak ubahnya seperti satu orang yang dibelah dua. Mereka memiliki banyak kesamaan. Karenanya, Amran tidak terlalu kesulitan menyesuaikan diri dengan kehadiran Mei dalam hidupnya. Mungkin karena itu jugalah Ibu langsung naksir Mei sejak bertemu pertama k
Amran menatap Bastian. "Kenapa dengan nama itu? Kamu kenal?" Jiwa kepo Amran meronta. Tiba-tiba ia khawatir kalau tingkah salah satu mahasiswanya itu ternyata tercium orang lain, termasuk Bastian. "Tidak, Prof." Bastian tersenyum samar. Otaknya bekerja cepat dan pertanyaan Mei kembali terlintas di kepala. Kini ia mengerti kenapa Mei tadi bertanya tentang Akira Hana. "Tapi dari wajah kamu, kayaknya kamu kenal dia." Amran yang sudah berdiri kembali duduk. Bastian meringis. "Kimbabnya enak, Prof." "Bas!" Bastian yang masih mengunyah dengan mulut penuh memberi isyarat dengan gerakan tangan pada Amran agar diam dan menunggu. Ya, ampun. Makhluk satu ini kenapa tiba-tiba bikin kesel? Amran menghela napas seraya menatap jengkel Bastian. Kalau ada asisten sedikit ngelunjak, Bastian orangnya. Namun, Amran terlanjur cocok bekerja dengan Bastian. Jadi, dia masih bisa menahan urat sabarnya agar tidak putus saat penyakit Bastian kambuh. "Cepetan ngomong," ujar Amran seraya menyodorkan air mi
Amran tidak tahu sejak kapan Mei berubah sikap padanya. Apakah sejak ia sakit dan karenanya Amran tidak menyadari perubahan raut muka dan gerstur tubuh Mei, atau baru-baru ini setelah ia sembuh. Amran baru merasakan perubahan Mei ketika tadi malam Mei lebih memilih memeluk guling ketimbang menggodanya. Namun, semalam ia terlalu lelah untuk mengobrol. Ia ingin cepat tidur karena hari ini harus mengajar jam pertama. Kebekuan Mei berlanjut pagi ini. Tidak ada senyum manis juga kecup mesra Mei yang biasanya ia dapat setiap kali akan pergi. "Apa aku tidak dapat bekal?" Amran yang baru saja selesai berpakaian dan siap berangkat tersenyum melihat Mei masuk ke kamar. Mei melihat Amran sekilas, tidak berminat menjawab pertanyaan sang suami. "Ini bekalnya, Prof." Ia hanya berujar singkat tanpa menatap Amran, meletakkan tas bekal di meja. Diambilnya jas dari gantungan baju kemudian diberikan pada Amran. Masih tanpa senyum dan raut muka datar. "Bukan bekal itu, Meine Schatzi." Amran meraih j
"Akira Hana." Mei bergumam pelan. Ia belum pernah mendengar nama itu disebut Amran. Selama ini, suaminya lebih sering menyebut kolega laki-laki. Sangat jarang ia berbagi cerita tentang teman dosen perempuan kecuali Bu Andriana yang memang memiliki proyek bersama. "Mungkin mahasiswanya." Mei kembali bergumam. Ah, bukankah sejak dulu ia sudah tahu kalau Amran memang magnet bagi kaum hawa? Bukan tidak mungkin ada yang nekad mendekatinya meski status Amran sekarang telah berubah. Mei menghela napas. Dipukulkannya kepalan tangan ke tengah kemudi sementara parfum itu ia geletakkan begitu saja di kursi samping. Tiba-tiba saja seperti ada yang terbakar di dadanya. Mei masih tertegun dengan mata menatap lurus ke depan. Bayang masa lalu dengan Andra satu per satu mampir di kepala. Apakah ia harus menghadapi teror orang ketiga lagi? Kenapa hidupnya begitu sial dan pernikahannya selalu diganggu? Mei menggigit-gigit bibir. Gelisah. "Nanti aku cek hape Mas Amran. Jangan sampai ada penyusup dala
Pagi ini Mei bangun lebih awal dari biasanya. Pukul 03.00 dini hari sementara beberapa hari lalu ia lebih sering membuka mata 30 menit setelah jam tiga. Entah mengapa, sejak Lila sempat hadir dalam kehidupan Amran, ia selalu lebih cepat terjaga. Seperti ada alarm yang menempel di tubuhnya lalu menggelitik tubuhnya hingga membuka mata. Mei menggeliat. Sebelum matanya benar-benar terbuka, ia telah mendengar dengkuran halus Amran menyelinap di antara detak jarum jam. Mei menoleh, melihat Amran masih terlelap di sampingnya dengan wajah sedikit memerah. Refleks, Mei meletakkan telapak tangan di dahi Amran. Demam. Mei membatin. Perlahan diangkatnya salah satu tangan Amran yang berada di atas pinggangnya kemudian beringsut dan turun dari ranjang. Kecapekan, Mei berpikir jika suaminya pasti kelelahan maraton mengurus Lila dan sepulang dari Jakarta ia pergi ke Bantul. Amran baru kembali tadi malam. Akhirnya tubuhnya berontak dan minta istirahat. Mei bukan tidak mengingatkan Amran agar isti
Amran dan Mei menggeleng. "Kebetulan saya teman lama dia. Memang dia sempat mau meminjam uang, tetapi istri saya keburu tahu. Jadi, Alhamdulillah uang kami selamat." "Syukurlah." Perempuan itu mengganjar napas. "Dia sudah terbiasa hidup mewah. Sejak suaminya ditangkap karena korupsi dan aset-asetnya disita, dia jadi kehilangan pegangan. Akhirnya dia nipu sana-sini.” "Anak-anaknya gimana, Eyang?" Mendadak Mei teringat anak-anak Lila."Dia sudah tidak punya anak." Mei melongo."Anak satu-satunya meninggal karena sakit. Sejak saat itu hidupnya makin tidak karuan."Meski Lila harus mendapat hukuman atas kejahatannya, Mei tetap prihatin dengan nasib Lila. Ia pernah kehilangan bayi dan bisa membayangkan betapa hancur hati Lila. “Sekarang Lila ada di rumah sakit, Eyang. Kemarin dia sempat ingin bunuh diri.” Perempuan sepuh itu terkejut. “Di rumah sakit mana, Nak? Biar nanti Eyang jemput. Papanya sudah nggak ada dan keluarga besar mamanya tidak mau lagi nerima dia. Biar dia tinggal di si