"Ada Adli di belakang gue?"
Raina ingin menelan pertanyaan tadi saat melihat siapa pria yang mencoba duduk di sebelahnya. Dia menajamkan pandangan pada Anes yang mengangkat bahu. Apa sekarang dirinya sedang terperosok dalam dunia komik? Raina tak ingin menoleh sedikit pun pada wajah yang diyakini sedang menunggu respons.
Menggigit bibir pelan adalah kebiasaan Raina saat kebingungan. Dia berusaha menenangkan diri dengan pasminanya yang kali ini berwarna hijau melon.
Anes pasti sudah mengatur makan siang ini. Begitu pikir Raina. Satu-satunya orang yang mencurigakan hanya wanita berkemeja merah yang mirip karyawan magang itu. Lihatlah! Anes hanya bisa cengengesan tanpa rasa dosa.
"Nes, kita bukannya ada jam sekarang?" Raina pura-pura tersenyum. Dia mengabaikan Irham, seolah tak ada saja.
"Tiga puluh menit lagi," jawab Anes riang.
Raina mengernyitkan dahi antara kesal kepada Anes atau dirinya sendiri. Ayam bakar di hadapannya sudah terlihat tidak menarik lagi.
Please, otak, susunlah kalimat terbaik yang tidak bisa dipatahkan.
"Tapi ... kita kan perlu prepare buat matkul selanjutnya, Nes." Wanita itu masih tersenyum palsu.
Anes bergeming dan lanjut fokus memakan kentang goreng kesukaannya. Menurut wanita berponi itu, kentang goreng hanyalah sebuah desert. Dia sudah menghabiskan nasi bakar sejak tadi.
Tanpa berdosa, Anes malah cekikikan melihat wajah Raina yang kentara panik. "Matkul selanjutnya Statistika," ucap Anes sambil sedikit bangun dan memajukan badan ke arah Raina.
Kenapa harus pura-pura berbisik padahal didengar Irham? Setelah sukses membuat Raina jengkel, Anes melanjutkan makan siangnya.
Raina menelan ludah. Yang harus dilakukannya saat ini adalah menoleh ke kiri dan tersenyum. "Eh, ada Pak Dosen? Bapak nggak mau makan di sini, 'kan? Sebentar lagi matkul bapak di kelas saya, lho!"
Anes menahan tawa melihat cara Raina menghadapi dosen itu. Anehnya, meski dia ngefans terhadap Irham Nusahakam, tapi tidak iri sama sekali atas takdir manis yang sedang bermain dalam kehidupan Raina. Sahabatnya itu berhak bahagia, bukan?
"Kita perlu bicara." Hanya itu yang terlontar dari mulut Irham.
Susah payah Raina menelan ludah mendengar kata kita. Kita? Apa mereka sudah seakrab itu untuk bersatu padu menjadi kata kita?
"Bapak mau mengembalikan buku sketsa saya? Ya ampun, makasih banget, Pak. Akhirnya-" Raina berhenti karena Irham hanya menatap matanya tanpa respons lain. "Akhirnya bapak mau mengembalikan buku saya."
"Kapan kita bisa bicara, Raina Atqiyya?"
Raina menghela napas. Kok obrolannya jadi satu arah? Dia dengan pertanyaan garingnya dan Irham dengan keseriusan tak terbantahkan ini.
"Pak Irham, maaf, saya ke kelas dulu." Raina berdiri setelah memakai tas ransel merah mudanya. Dia memundurkan kursi.
Bisa dipastikan, wanita itu lekas berbalik badan ke kanan dan meninggalkan kafe. Langkah kecilnya sudah dipaksakan untuk melangkah secepat mungkin, tapi gagal. Dia cemas Irham Nusahakam dan Anes mengikutinya di belakang.
Tidak ada pembicaraan apa pun. Tidak ada! Mau dosen, mau artis, kalau nggak masuk di akal, ngapain percaya? Eh, mungkin harus dipikir ulang kalau yang ngajak nikah artis tampan.
Raina bergidik mengetahui betapa plin-plan dirinya. Dia hanya tidak suka dengan kenarsisan Irham Nusahakam. Apa ketampanan bisa membeli segalanya? Otak wanita itu mulai berpikir hal apa yang tidak bisa dibeli oleh ketampanan. Ah! Abaikan saja. Dia kesal sendiri. Dirinya menjadi semakin random karena bad mood.
Kita perlu bicara? Bicara apa? Kepikiran untuk bicara saja, saya tidak pernah. Ah, iya, seharusnya, Raina tadi menjawab begitu. Wanita itu terus berjalan melewati gerbang kampus. Dia masih terus berpikir. Apa benar mereka perlu bicara?
Bagaimana bisa seorang mahasiswi jurusan pendidikan matematika dari awal berpikir kuliahnya akan terhindar dari mata kuliah hitung-menghitung? Mana mungkin bisa! Statistika I saja sudah cukup membuat Raina pusing, apalagi ditambah dengan hal-hal menyebalkan belakangan ini. Bagaimana dia bisa lulus untuk Statistika II? Raina menghampiri kursi Adli dengan wajah kusut. "Geser, dong!" Adli menggeser duduknya ke sebelah dan membiarkan temannya. "Tumben duduk sama gue!" Dia tersenyum menatap wajah suntuk Raina. "Gue gencatan senjata sama Anes mulai hari ini!" Wanita itu mengeluarkan buku dari tas dengan kasar. Adli tertawa renyah. Dia menyugar rambutnya. "Ada perang apaan emang?" Raina yang menyaksikan langsung ketampanan pria di sebelahnya itu langsung menahan senyum. Di mana harga diri kalau kentara sekali tampang mupengnya? "Lo tim gue atau Anes?" Adli Winata pura-pura berpikir. Matanya tak putus melihat gerak-gerik lucu Raina. Dia bisa melihat wanita itu memainkan pulpen karena is
Sepanjang penjelasan matkul Statistika, Raina tak henti-henti menghela napas. Bagaimana tidak? Tiap memejamkan mata, ada visual Irham Nusahakam di hadapan wajahnya."Sekarang masih rabun dekat?" Kalimat garing itu terus terngiang-ngiang di telinga Raina.Kalau mau tahu bagaimana perasaan wanita itu? Rasanya kesal sekali seperti ingin membanting buku sekarang juga. Memang ada apa dengan wajah--tampan--itu? Apa bisa menghilangkan rabun dan sakit mata lainnya? Argh! Raina menekuk wajah.Dia memang beralibi saja tadi. Siapa juga yang mau duduk di depan bapak-bapak ngebet nikah? Raina mengangkat wajah. Pandangan yang sejak awal pura-pura fokus pada buku, kini berpusat kepada pria berumur 30-an. Sebenarnya, Irham Nusahakam tidak cukup tua untuk dipanggil bapak. Namun, Raina hanya ingin menegaskan bahwa sebatas itu saja rasa hormatnya pada dosen tersebut.Kejengkelan atas sikap Irham yang mendominasi kelas membuat Raina ogah-ogahan mengerjakan soal. Dia bahkan tidak menanggapi getar HP-nya s
"Kenapa?" Anes sudah menunggu di lobi. Wanita berambut sebahu itu tergopoh menghampiri Raina yang saat itu berwajah sumpek. Dia memamerkan senyum yang tak terbalas. "Nggak!" "Pak Irham ngomong apa?" "Kok tau gue ngobrol sebentar sama Pak Nusakambangan?" Anes berdecak, lalu tertawa. "Orang-orang sekelas juga tahu kalo lo ngobrol sama Pak Irham. Mereka malah pengennya diajak ngobrol, dong." Raina menatap Anes dengan mata penuh kegalauan. Mereka masih berdiri di depan lobi. "Aneh banget, sih." "Aneh kenapa? Anggap aja mukjizat turun dari langit!" "Apa yang orang lain anggap mukjizat kan belum tentu mukjizat bagi kita." "Pak Irham kurang apa, Rai?" Anes menepuk bahu Raina. Dia menatap manik mata sahabatnya. "Kekurangannya Pak Irham, nggak punya kekurangan, 'kan?" Raina kesal melihat mata berbinar Anes yang terlalu dibuat-buat. "Iya, nggak kurang apa-apa. Cuma satu. Kurang waras!" Anes tertawa terbahak-bahak sehingga membuat orang-orang di sekitar mereka menoleh. "Kurang warasn
Hal yang paling ingin dilakukan Raina saat ini adalah pergi. Entah apa pun maksud Irham. Dia tidak peduli. Apa katanya tadi? "Seharusnya, kamu datang lebih cepat." Apa, sih, maksudnya? Raina terus berpikir sambil mengayuh sepeda. Dia meninggalkan rumah Anes begitu saja. Tak peduli atas reaksi berlebihan tersebut. Ya, feedback-nya terhadap Irham Nusahakam cenderung berlebihan sehingga Raina sendiri tidak begitu paham atas tindakannya. Raina bahkan tidak sadar Irham sudah memarkir mobilnya di depan jalan. Dia menghela napas dan terpaksa berhenti. Tom and Jerry bahkan tidak serumit ini dalam hal main kejar-kejaran. Pria dengan style kemeja garis-garis vertikal hitam itu keluar dari mobil. Dia berjalan pelan dengan tatapan lurus ke mata Raina. Ada degup jantung yang tidak bisa ditahan. Sudah lama dirinya tidak mengejar wanita. Tentu saja ini sangat melelahkan. Di saat banyak gadis tertarik padanya, Raina malah setengah mati ingin menghindar. Raina bergeming di atas sepeda. Dia ingin m
Lima puluh tujuh panggilan tak terjawab dari Anes membuat Raina tersenyum puas. Belum lagi, deretan chat yang diabaikan. Hal ini pasti membuat temannya menderita. "Nikmatilah rahasia itu sendiri!" ucap Raina sambil menatap layar HP-nya malas. Dia memasukkan kembali benda itu ke dalam saku jaketnya."Sumpah! Berisik banget ini orang satu!" Langkah kecil wanita itu terus menyusuri stasiun Bogor. Dia menghela napas saat melihat jalan panjang di depannya. Bagaimana mungkin stasiun Bogor bisa luas dan sangat melelahkan begini? Begitu pikir Raina. Pada stasiun Bogor, jarak antara peron dan pintu keluar memang lumayan jauh. Itu sangat mampu membuat kaki ramping Raina sedikit encok. Perjalanan sendiri selalu terasa lebih menyedihkan, bukan? Kalau saja berdua cowok gebetan, mungkin lebih lama, lebih baik. Dasar! Mata kuliah Statistika Matematika hari ini akan lebih menyebalkan 10 kali lipat dibanding hari-hari sebelumnya. Oleh karena itu, Raina memutuskan untuk pergi ke rumah Mama. Dia tahu
Adli Winata mengusap tengkuk setelah menyebutkan nama lengkapnya. Dia cukup terkejut. Apa mungkin bertanya dianggap hal tidak sopan? Apakah dia masuk deretan mahasiswa dengan nilai C dan harus remedial? Seharusnya tidak. HP di atas meja berkelip menandakan pesan masuk. Nama Raina muncul pada pop up W******p. Senyum simpul tak sengaja terurai begitu melihatnya. Adli berusaha menahan diri untuk kalem. Pria itu memang sempat bertanya lewat chat tentang keabsenan Raina. Rai, knp nggak kuliah? Liburan dulu sesekali Berani bgt bolos matkul Statistika. Wkwk btw, gue mau konsultasi percintaan. Gue tunggu di Bogor. Berani? Di rumah nyokap, kan? Halah, pulang kuliah gue OTW. Duh, sayang bgt Adli Winata cowok bersama. Wkwk Nggak usah bilang Anes ke sininya. Siaap! Mw gue bawain apa? Bawain hati kamu aja! Uwek! Serius! Klo mw ada yang di makan, W* aja ya sblm gue OTW Duuuh, selamatkan aku dari kegombalan yg hakiki. Astaga, terserahlah! Kalimat chating-nya memang terserah. Namun, hal
Kabur memang tidak memberikan solusi apa pun. Namun, setidaknya bisa memberi jeda untuk persiapan hati. Bagaimana Raina tidak terkejut? Anes dan Pak Nusahakam sudah mengobrol santai dengan mamanya. "Mau ke mana, Rai?" Adli mengikuti Raina yang membalikkan badan. "Keranjang stroberi gue ketinggalan!" "Itu di tangan apaan?" tanya Adli iseng. Belum sempat Raina duduk pada kursi yang tersedia di sekitar kebun, Anes sudah datang dan memeluknya erat dari belakang. "Mau ke mana, ih?" Raina melepaskan pelukan yang membuat lehernya kesakitan itu. Dia memutar badan dan menatap Anes kesal. "Ke tempat yang nggak ada lo sama Bapak Nusakambangannya!" Anes tertawa pelan. Dia baru ingat, sudah lama tidak mendengar julukan itu keluar dari mulut sahabatnya. "Kita pikirkan dengan kepala dingin, yuk!" Satu cup cokelat hangat disodorkan oleh Adli untuk Raina. Wanita itu duduk di kursi dan mulai menyesap minumannya. "Kurang dingin apa gue di sini? Jaket tebal aja masih terasa dingin!" "Kurang pelu
"Yang pertama, kamu tidak perlu menghindari saya di kelas karena itu akan merugikan diri kamu sendiri." Ah! Irham menyesal telah memulai pembahasan seperti ini.Raina menunduk. Dia terlihat sangat sadar Irham sedang menatap wajahnya tanpa berpaling sejenak pun."Kedua, saya ingin tahu, apa yang bisa saya lakukan untuk membuat kamu mau mengenal saya?"Raina mengernyitkan dahi. Teritoris sekali cara orang di sebelahnya berbicara. Dia terpaksa menoleh karena Irham menunggu jawabannya."Pak, sebelum saya mengenal bapak, bukankah bapak sebaiknya mengenal saya dulu?""Saya sudah kenal kamu cukup lama dan detail dari Anesya."Raina menekuk wajah. Dia ingin mengomel di hadapan Anes sekarang juga. Kenapa wanita itu membagikan info tentang dirinya tanpa permisi?"Tapi saya merasa tidak perlu mengenal bapak!" Entah dari mana muncul keberanian Raina untuk menatap mata Irham yang sejak tadi fokus menunggu jawaban."Iya, memang. Saya yang perlu!""Pak, apa warisan itu sangat penting sehingga bapak a
Menikah itu ibadah. Namun, jangan sampai Irham mendengar hal yang diyakini Raina ini. Dia bisa semakin ngebet untuk melaksanakan ibadah yang kelak akan menjadi kesukaannya.Raina bukan bergidik, tetapi pipinya malah bersemu merah.Malam semakin larut. Bahu dan punggung Raina rasanya rontok seperti baru selesai outbond atau bahkan mendaki gunung. Dia ingin segera membersihkan wajah dan tidur.Irham masuk kamar dengan wajah kelelahan, tetapi tetap terpancar kebahagiaan. Dia baru saja membantu Maira dan Collin membawakan hadiah-hadiah teman Raina ke mobil untuk disimpan di rumah Raina langsung.Kelopak mawar di atas kasur sudah berantakan di bawah. Irham menarik napas. Raina pasti sudah mengibasnya dengan membabi buta. Wanita itu sudah bilang tidak mau ada bed ala-ala pengantin baru.Irham membuka jas dan kemejanya dan duduk di pinggir kasur. Dia tahu Raina sedang mandi dan membersihkan wajah. Adegan membukakan baju pengantin yang Irham bayangkan ambyar sudah. Buktinya, Raina sudah buru-
"Saya terima nikah dan kawinnya Raina Atqiyya binti ..."Itu adalah kalimat paling romantis yang didengar seorang penulis. Dari ribuan kalimat dalam novel romansanya, dia tidak pernah menulis satu kalimat pun seindah itu.Raina tidak membayangkan akan menikah dengan Irham, si paling ngajak ribut setiap hari.Anes sibuk bersorak-sorai sejak orang-orang berkata sah, apalagi saat Irham memakaikan cincin di jari manis tangan kiri Raina. Dia tidak peduli dengan keanggunan gaun bridesmaid berwarna silver yang sedang dipakainya. Ada yang berbeda dari Anes. Wanita itu memakai hijab. Tentu saja setelah perdebatan panjang dengan Raina.Anes semakin gregetan dengan sikap malu-malu ala perawan Raina saat dokumentasi foto-foto buku nikah. Dia asyik tertawa dan menjepret dari berbagai sudut tanpa peduli sosok yang sejak tadi terpesona dengan penampilan barunya.Ya, itu adalah Vino, yang ikut tersenyum saat Anes tertawa.Irham terlihat sangat bahagia seolah matanya mengeluarkan binar cinta saat mena
Percuma pesona Irham Nusahakam kalau tidak bisa membuat Raina menginginkannya.~ Irham yang sedang memikirkan cara untuk melakukan hal halal setelah akad==="Sekarang kita pikir dulu, Sayang." Irham mengulurkan tangan, menarik Raina untuk duduk di sebelahnya.Mereka sedang berada dalam kantor Irham.Raina ingat setahun lalu Irham pernah tidak membukakan pintu untuknya. Kalau diingat-ingat, Raina jadi sebal pangkat seribu terhadap pria di sebelahnya. Sok bersikap dingin padahal akhirnya tetap mengejar Raina. Siapa lagi kalau bukan Irham Nusahakam?"Pikir apa?" tanya Raina. Dia membuka box rujak jambu kristal yang tadi dibelinya di jalan menuju kantor Irham. Meskipun sudah sore, tetapi tidak mengurangi keinginan Raina untuk memakan buah tersebut."Tentang kita. Tentang akad." Irham menatap Raina penuh perhatian. Namun, as always, yang ditatap sibuk mengalihkan pandangan.Wanita itu mencicipi jambu kristalnya dengan khusyuk. Matanya seolah mengeluarkan cahaya bintang karena terlalu exci
Berada di antara kalian membuatku sakit. Namun, aku juga bahagia karena melihat Raina bahagia.~ Adli Winata galau tak berkesudahan.===Jadi, siapa sebenarnya yang orang ketiga? Adli atau Irham? Irham lebih dulu menyukai Raina bahkan sejak gadis itu masih bau keringat. Namun, Adli lebih dulu menapaki masa-masa kuliah bersama Raina. Dia lebih dulu memperkenalkan diri. Yang pasti, mereka memiliki ruang berbeda dalam hati Raina.Adli curiga pemilik akun fanbase itu adalah orang di sekitar lokasi syuting, tetapi siapa? Pria itu mengambil handphone dari saku. Setidaknya rumor bisa ditutup dengan postingan ini. Dia menarik lengan Raina untuk mendekat. Begitu juga dengan Irham. Jadi, posisi Adli sekarang berada di antara pasangan itu.Irham mengerutkan kening. "Kamu mau ngapain?" tanyanya waspada.Adli hanya berdecak sebal dengan mata melirik Irham penuh kekesalan.Sementara, Raina hanya tersenyum melihat interaksi di antara dua pria tersebut."Foto dulu buat kenangan." Adli mengangkat tang
Apa ada yang lebih bahagia daripada menikah dengan orang yang kamu cintai dan mencintaimu? - Irham Nusahakam Apa ada yang lebih ikhlas daripada melihat orang yang kamu cintai menikah dengan pilihannya? - Adli Winata Apa ada yang lebih galau daripada mencintai orang yang telanjur mencintai orang lain? - Aldian =========== Setelah chating ingin bicara pada waktu itu, Raina tiba-tiba sibuk bolak-balik kantor webtun untuk beberapa kali rapat dan ACC komiknya yang akan diadaptasi menjadi sebuah drama web series. Dia pun seketika lupa kalau memiliki seorang tunangan yang kesabarannya setinggi gunung Everest. Ya, ketinggian 8800 meter di atas permukaan laut. Meskipun kesabarannya setinggi gunung, akan tetapi terkadang berubah menjadi setipis tisu. Seperti hari ini, Raina terkejut melihat Irham sudah duduk di lobi kantor. Dia baru saja bertemu Kriss untuk rapat dan baru mendapat bocoran bahwa Irham memiliki saham di perusahaan tersebut sejak beberapa tahun lalu. Apa itu juga dilakukann
"Pak Irham sengaja ya nempelin aku terus supaya enggak mau ditinggal?"Raina and her bucin fiancee.--------Ini sudah beberapa jam sejak Raina hanya membalas pertanyaan Irham dengan senyum. Sungguh, dia malu kalau harus berkata tidak sanggup berjauhan dari Irham. Lagipula, tingkat kebucinan Raina belum setinggi itu. Kalau diukur pakai penggaris, kebucinan Raina mungkin hanya 5 cm, jauh berbeda dibanding kebucinan Irham yang menjulang tinggi.Sekarang, mereka berdua sedang dalam perjalanan pulang ke Jakarta. Awalnya, mama meminta Raina untuk tinggal di Bogor saja. Namun, Raina tidak betah tinggal di rumah mamanya sendiri. Dia lebih nyaman tinggal di rumahnya, meskipun kesepian.Sejak kehadiran Irham, kesepian hanya sebuah keadaan, buktinya hati Raina terus saja dipenuhi keramaian tentang pria itu.Irham melirik Raina yang pagi ini memakai sebuah dress berbahan crinkle airflow premium dengan jilbab lebih cerah dan bermotif. Dia secara natural menarik senyuman. Bagaimana ini? Irham sama
Kalau hati sudah yakin, apa yang bisa menghentikannya? Hanya keyakinan yang diperlukan dua insan untuk hidup bersama.- author lagi bageur --------------"Mohon maaf kepada Maira, saya tentu saja bukan ingin menghancurkan acaranya. Saya hanya ingin menambah kebahagiaan di antara kita semua. Kebetulan papa mama saya juga hadir dalam acara ini." Irham menatap papa mamanya yang sudah penasaran level tinggi.Mungkin, Pak Ibrahim siap melempar sepatu mahalnya ke hadapan Irham kalau anak itu membuat malu keluarga. Namun, selama ini Irham adalah anak tunggal yang merupakan kebanggan papa mamanya.Sementara itu, Maira sudah duduk di kursi sambil memijat dahi. Dia tidak suka rundown acaranya dirusak oleh Irham. Collin mengusap punggungnya sejak tadi."Mama, Papa, yang terhormat orangtua Raina Atqiyya, mantan mahasiswi saya." Irham membungkuk hormat sambil menghadap ke arah mama Raina dan papa tirinya, lalu melakukan hal yang sama kepada papa Raina dan ibu tirinya. "Perkenalkan saya adalah Ir
Kalau bukan kamu, apa aku bisa bertahan selama ini?Icikiwir :D====Ini adalah hari yang ditunggu-tunggu. Namun, ini bukan hari yang ditunggu Raina, tetapi Maira.Maira's day is today. Dia mengulangi sejarahnya dengan Collin bersama hati yang baru, pola pikir yang baru, dan cinta yang baru.Sejak subuh, wanita itu sudah ribet. Iya, dia ngerepotin Raina dengan banyak menyuruh-nyuruh ini dan itu. Kalau bukan karena ini hari bahagia Maira, tentu saja Raina sudah memulai peperangan sejak pagi."Na, jas buat saya nge-MC di mana?" Itu suara Aldian yang menginterupsi kesantaian Raina di sofa. Iya, Raina sedang meluruskan punggung.Akhirnya yang jadi MC pada acara Maira memang Aldian, bukan Adli Winata. Adli Winata tiba-tiba menghilang seperti yang dikatakannya."Na?" Aldian menyadarkan Raina yang sedang melamun memikirkan Adli.Tiga hari sudah tidak ada kabar.Huh, dasar Adli Winata! Si paling pengen dicariin."Na?" Aldian meninggikan suara."Ih, Aa, kenapa nanyanya sama aku, sih? Aku kan
Puluhan kali aku melihat senyumanmuPuluhan kali juga aku terpesona padamu~ Gombalan siapa lagi ini? :'(===="Sayang, kamu ngapain ke sini?"Sungguh, Irham sangat terkejut mendengar panggilan sayang dari Raina. Dia benar-benar dibuat salah tingkah karena satu panggilan itu. Irham bahkan belum menjawab pertanyaan itu. Pria itu menenangkan diri sesaat sebelum akhirnya berbicara."Mama, Papa, maaf, ya. Saya agak salting sedikit karena Raina dari tadi pamer senyum terus ke saya. Jantung saya tidak aman." Irham hanya mampu menatap mama dan papa Raina bergantian.Dia tidak sanggup melihat Raina yang sedang tersenyum menatapnya. Jantungnya makin terasa tidak karuan."Kita ke sini mau minta restu Mama untuk segera menikah. Kalau lamarannya sebenarnya sudah sering saya lakukan secara pribadi kepada Raina, tetapi Raina kemarin-kemarin belum siap mempunyai suami seperti saya." Irham tertawa setelah mengatakannya."Raina suka ngada-ngada emang." Mama bergumam.Aldian dan Adli menghela napas ber