Azham dan Melisa baru saja sampai di rumah mereka. Azham baru ingin membuka kunci rumahnya, tapi tiba-tiba ponselnya bergetar. Ia lalu menyerahkan kunci itu pada Melisa dan memberi isyarat untuk Melisa membukanya. Karena dia ingin mengangkat telfon dari seseorang. Melisa pun, melakukan sesuai perintah suaminya. Sementara Azham mengangkat telfon. Melisa masuk setelah membuka kunci rumah dan langsung menuju kamarnya. Melisa berbaring dengan posisi telentang menghadap langit-langit kamar. Pikirannya melayang di kejadian beberapa menit yang lalu. Di mana, Zera dan Azham yang sedang berseteru. Melisa belum mengetahui permasalahan Zera dan Azham detailnya. Karena ia tidak berani bertanya pada Azham saat di mobil tadi. Sebab, sejak tadi Azham hanya diam dengan raut wajah dan suasana hati yang bisa Melisa pastikan sedang kacau-kacaunya. Ternyata, mencintai sendirian itu memang tidak pernah berakhir indah. Melisa mulai membatin. Entah, tengah memikirkan perihal Zera dan Azham atau tentang d
"Kamu yakin hal ini akan berhasil, Riana?" tanya Rama pada Riana.Fitri yang juga ada bersama mereka mengangguk. "Iya, Ri. Apa kamu yakin ini akan berhasil? Aku, kok, ngerasa nggak akan berhasil lagi, ya!?""Ck, kalian ini kenapa, sih? kalau nggak dicoba mana bisa tahu berhasil atau tidak? Makanya, kita coba dulu. Lagian, nggak ada salahnya mencoba, 'kan?" dengus Riana sebal. Fitri dan Rama berhenti berkomentar. Mereka berdua terdiam. Apalagi, melihat dan mendengar Riana yang sudah kesal dan marah. Mereka tak lagi berani mengeluarkan kalimat sedikit saja. "Memang kenapa, sih, kalian nggak yakin gitu sama rencana aku?" tanya Riana kemudian. Fitri dan Rama sontak saling bersitatap. Mereka tidak ingin mengatakan alasannya. Tetapi, bisa dipastikan alasan Fitri dan Rama hampir sama. Sederhana saja, alasan mereka tidak percaya pada Riana. Sebab, rencana pertama saja ia sudah gagal. Padahal, itu rencana yang paling diyakini Riana akan berhasil. Namun, kenyataannya tidak juga. Riana gagal
“Bagaimana keadaan istri saya, Dok?” tanya Azham pada dokter perempuan yang bernama Fany. Dokter Fany adalah dokter keluarga Azham. Dokter Fany beranjak berdiri dari tepi ranjang setelah memeriksa keadaan Melisa yang masih belum sadar. Dokter Fany berjalan ke arah Azham yang di mana, Fitri, Riana dan Rama berdiri di dekat Azham menunggu hasil pemeriksaan Melisa. “Keadaan istrimu saat ini baik-baik saja. Tak ada yang serius, tapi saya sarankan untuk memeriksakannya di tempat ahlinya saja. Supaya bisa dipastikan,” jelas dokter Fany pada Azham dan semua yang ada di sana. “Pada ahlinya? Maksudnya?” tanya Azham bingung. “Ya, dokter terapis,” sahut Fany membuat semua orang kebingungan. “Dokter terapis? Maksudnya, psikiater?” tanya Fitri yang dijawab anggukan Fany. “Memang ada apa dengan anak saya?” “Dari pemeriksaan Melisa. Saya melihat, Melisa anak Anda pernah mengalami suatu kejadian yang membuatnya trauma dan traumanya itu disebut trauma Kronis. Di mana trauma ini sewaktu-waktu aka
Azham masuk ke dalam kamarnya dan melihat sang istri sudah terbangun dan sedang berbicara dengan Fitri ibu mertua Azham. Dari kejauhan, Azham dapat mendengar kalau Melisa tidak ingin ke Bali. Entah kenapa, Azham merasa kalau trauma yang dialami Melisa ada sangkut pautnya dengan Bali. Azham menyimpulkan itu saat ia mengingat Riana ibunya yang mengatakan kalau dia sudah membeli tike pesawat dan memesan hotel untuk mereka ke Bali. Di saat itu, Melisa mulai diam dan tak sadarkan diri. “Melisa, kamu tidak ingin bulan madu atau nggak mau ke Bali?” tanya Riana membuat Azham tersadar dari lamunannya dan sontak menatap ke arah Melisa yang menunduk terdiam tak mengatakan apa-apa. Azham dapat melihat Melisa sedang kebingungan harus menjawab apa. Azham menaikkan sebelah alisnya melihat Melisa saat ini. Fitri dan yang lain menunggu jawaban dari Melisa. Sementara Melisa masih diam seperti orang kebingungan.“Saya bukannya tidak mau, Ma. Tetapi, saya harus kuliah. Sementara kalau aku ke Bali bers
Azham keluar dari kamar mandi setelah mandi dan mengganti baju. Ia mengernyitkan keningnya saat melihat keadaan kamarnya yang kosong. Kemana perginya Melisa pikir Azham. Azham yang berjalan keluar dari kamar mandi seraya mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil. Meletakkan handuk kecilnya di sandaran kursi meja rias Melisa. Lalu berjalan keluar kamar mencari di mana keberadaan istrinya itu. Azham takut Melisa kenapa-napa. Karena ia tahu Melisa masih belum benar-benar pulih dan masih lemas. “Ke mana Melisa?” gumam Azham saat tidak mendapati Melisa. Padahal ia sudah mencari ke mana-mana. Di ruang tamu pun, Melisa tidak ada. Hanya ada kedua orang tuanya dan ibu Melisa—mertua Azham. Azham mengerutkan keningnya bingung mencari istrinya. Azham lalu melangkah menuju ke orang tuanya untuk menanyakan ke mana Melisa pergi. “Mama, Papa, Bu.” Ketiga orang itu menoleh dan menatap ke arah Azham. “Zham, kamu di sini? Melisa di mana?” tanya Riana. Azham baru saja ingin bertanya dengan pertanya
Azham berjalan menghampiri Riana yang berdiri di depan kamarnya. Memanggil Azham untuk memberi tahu kalau Zera datang dan ingin bertemu dengannya. “Bukan pintu lama banget. Lagi ngapain? Melisa mana?” tanya Riana seraya menengok ke belakang Azham tepatnya di dalam kamar. Azham segera menutup pintu kamarnya. “Lagi di balkon. Lagi asyik lihat bintang. Oh, iya. Zera sekarang di mana?” tanya Azham. “Itu, di ruang tamu. Temuin, deh.” Azham mengangguk lalu mengajak mamanya untuk ikut menemui Zera. Azham tahu, apa tujuan Zera datang menemuinya ke rumah orang tuanya. Azham hanya berharap dalam hati kalau Zera tidak akan membuat keributan dan membuat Melisa atau yang lain merasa tidak nyaman dan tidak enak. Sepanjang perjalanan Azham dan Riana ke ruang tamu untuk menemui Zera. Azham tidak henti-hentinya merapalkah doa. Agar Zera tidak melakukan hak gila lagi seperti di kantor tadi. Sesampai di ruang tamu. Azham melihat Zera sedang mengobrol dengan Fitri ibu Melisa. Azham merasakan kalau j
Zera melajukan mobilnya sangat kencang. Ia meluapkan segala lukanya dengan membawa mobilnya dengan kecepatan tinggi. Untung saja jalanan sedang sepi. Hanya ada satu dua kendaraan yang berlalu di jalan itu. Air mata Zera tidak berhenti mengalir. Seolah sedang memperlihatkan isi hanya yang begitu hancur. Zera menancap gas. Menambah kecepatan mobilnya. Lalu mengerem tiba-tiba. Sehingga terjadi gesekan antara mobil dan ban menghasilkan suara berdenyit. Mobil Zera berputar untuk beberapa saat. Lalu berhenti perlahan di tengah-tengah. Zera memukul setir mobilnya seraya berteriak lantang. “Aarrrrgggggg ...,” teriaknya dengan air mata yang sudah sangat banjir di wajahnya.Zera menangis sejadi-jadinya memukul setir mobil yang tak tahu apa-apa. Dengan air mata yang terus mengalir membasahi wajahnya dan jatuh ke bajunya. Sungguh luar biasa rasa sakit yang dirasakan Zera saat ini. Saat mengetahui kebenarannya. Zera merutuki dirinya yang nekat ke rumah Azham. Hanya untuk mematikan kebenarannya
“Ah, oh, iya, Kev. Kau tahu, Ibu dan kedua mertuaku telah merencanakan aku dan Pak Azham akan berbulan madu. Dan kau tahu di mana? Di Bali. Tempat yang paling aku tidak sukai. Eum ... Mungkin tanpa aku jelaskan padamu. Kau sudah tahu alasannya kenapa aku membencinya, ‘kan?” ujar Melisa dengan sendu. “Ya, kamu benar, Kev. Karena tempat itu telah merenggutmu. Membuatku kehilanganmu untuk selama-lamanya. Aku tidak mau ke sana lagi. Aku tidak mau mengingat kejadian itu. Hal itu akan membuatku sedih dan tak berdaya.” Manik mata Melisa sudah berkaca-kaca. Melisa menundukkan kepalanya seraya menggelengkan kepalanya. “Jangan mengatakan itu, Kev. Aku tetap tidak akan kembali ke tempat itu. Walau kau membujukku,” kata Melisa seolah ada yang sedang ia ajak berbicara. “Kelvin, aku merindukanmu. Please, kembalilah padaku. Atau kalau kau tidak ingin kembali ke tempat ini. Paling tidak ambillah aku. Agar aku bisa bersamamu. Aku merindukanmu. Sangat merindukanmu,” ucap Melisa meneteskan air matan
Tidak sedikit orang yang sedang merasakan risau di hatinya lari ke pantai, pasti pantai adalah opsi pelarian paling tepat menurut mereka. Di sana mereka bisa menikmati deru ombak yang sesekali akan menabrakkan diri ke kaki, dan hal itu sangat menyenangkan. Bermain dengan ombak membuat gelisah sedikit berkurang. Begitulah yang saat ini terjadi pada Melisa, dia terlihat begitu nyaman berada di tempat ini. Azham tersenyum melihat keceriaan kembali terpancar di wajah sang istri. Setelah sempat murung beberapa hari, dan terlihat terus ketakutan serta cemas berlebihan atas apa yang menimpanya beberapa hari yang lalu. “Pak!!” seru Melisa membuat Azham tersentak dari lamunan. “Ayo, sini. Ini sangat menyenangkan,” ajak Melisa. Azham tersenyum lalu mengangguk sembari berjalan ke arah Melisa yang tengah memperhatikannya. “Kau menyukainya?” tanya Azham saat sudah berada di dekat Melisa. Dia membiarkan kaki dan celananya basah. “Hmm ...,” jawab Melisa dengan mengangguk sembari kembali menatap
POV Author “Kenapa bisa begini, Rian?” tanya Azham sambil matanya tidak lepas dari seorang gadis dengan menggunakan pakaian serba putih.Gadis itu duduk di sebuah brankar rumah sakit. Tangannya diikat di masing-masing sudut ranjang tersebut. Dia terus saja meronta ingin melepaskan ikatan di tangannya, berteriak tidak jelas. “Entahlah, Zham.” Rian mendesah seraya memalingkan wajahnya ke arah lain. Tidak sanggup dengan pemandangan di depannya. “Zera sepertinya depresi atas kepergian Leon.” Azham berbalik menghadap Rian mengalihkan pandangannya dari Zera. Ya, gadis yang ada di dalam ruangan yang cukup sempit itu, adalah Zera—sahabat Azham—juga Rian. Kedua pria itu sedih melihat kondisi Zera yang begitu menyedihkan. Memang kehilangan adalah salah satu penyebab luka yang paling dalam. Saking dalam luka yang dialami Zera, gadis itu sampai kehilangan akal sehatnya. Hingga terpaksa dirinya berada di tempat ini, yaitu rumah sakit jiwa. Rian dan kerabat dekat Zera memutuskan untuk memasukk
POV Melisa “Saya sudah siap, kota ketemu di sana saja.” Samar-samar dapat aku dengar suara Pak Azham dari dalam kamar. Dia sedang berbicara dengan seseorang di telfon. “...”“Tidak, saya berangkat sendiri.” Kulihat dari sela pintu yang sedikit terbuka, Pak Azham berjalan ke arah meja rias. Membetulkan dasinya dengan satu tangan, satunya lagi dipakai memegang ponsel yang menempel di telinganya. “Melisa masih masa pemulihan. Lukanya memang sudah mengering, dan bahkan sudah hampir sembuh. Hanya saja ....” Pak Azham terdiam sejenak dengan gerakan tangannya, pun ikut berhenti. Tatapannya lurus pada cermin di depannya. Aku tidak tahu, apa yang sedang dipikirkan olehnya. Yang aku tahu, dia membuang napas kasar. “Traumanya pasti belum sembuh. Apa yang dilakukan Zera kepadanya, dan apa yang dia saksikan hari itu ... pasti akan sangat membekas di ingatannya.” Pak Azham menarik napas dalam. Kepalanya tertunduk sebentar, lalu kemudian mendongak menatap wajahnya di cermin. “Saya masih ragu mem
POV Melisa Aku, Mama, Ibu dan Pak Azham berjalan bersama-sama menuju parkiran rumah sakit. Setelah hampir seminggu aku dirawat di rumah sakit ini, akhirnya bisa terbebas juga. Aroma obat khas rumah sakit yang selalu mampu menghilangkan nafsu makanku. Kini tak akan lagi aku rasakan setelah kembali ke Makassar. Pak Azham memasukkan tas dan beberapa barang-barang ke dalam bagasi mobil. Setelahnya, dia berpamitan kepada Mama dan Ibu. Begitupun denganku. Setelah dari rumah sakit, kami akan segera ke bandara. Hari ini juga kami akan kembali ke Makassar. Namun, hanya kami. Karena Mama dan Ibu masih akan menetap beberapa hari di Bali. Katanya, ingin berlibur sejenak mumpung masih berada di sini. Sehingga aku dan Pak Azham pun tidak keberatan membiarkannya tetap menetap. Lagian, Ibu juga sudah lama sekali tidak pergi berlibur. Jadi, biarlah. “Kalian yakin nggak apa-apa kalau kami tetap di sini?” tanya Ibu memastikan. “Ibu nggak enak,” ujarnya lagi dengan pelan. “Nggak enak kenapa, Bu?” ta
“Ada apa?” tanya Azham kala melihat Melisa sering curi-curi pandang ke arahnya, yang tengah duduk di kursi dengan laptop di atas pangkuannya. “Sejak tadi kuperhatikan kamu sering melirikku. Apa kamu butuh sesuatu?” Melisa sontak salah tingkah kala Azham mengetahui dirinya sering mencuri pandang ke arah pria itu. Melisa tidak mengerti bagaimana bisa Azham tahu kalau Melisa melakukan itu, padahal sejak tadi gadis itu perhatikan Azham sama sekali tidak melepaskan pandangannya dari laptop di pangkuannya itu. Aneh, pikir Melisa. “Enggak,” jawab Melisa menggelengkan kepalanya dengan kuat. Berusaha meyakinkan Azham kalau yang pria itu pikirkan itu salah. Dirinya tidak melakukan hal seperti yang dituduhkan Azham. “Siapa bilang saya curi-curi pandang ke Bapak? Ngacoh,” elak Melisa dengan raut salah tingkah. Azham yang masih belum mengalihkan pandangannya ke arah laptop tersenyum mendengar jawaban Melisa, yang terdengar sedang berusaha mengelak apa yang Azham katakan. “Benarkah? Padahal seja
Azham masuk kembali ke ruangan Melisa setelah mengantar mama dan ibu mertuanya ke parkiran. Melisa menoleh kala mendengar suara derit pintu. Tatapan mereka bertemu untuk beberapa saat sebelum Melisa memutus kontak mata dengan Azham. Pria itu melangkah perlahan mendekati brankar Melisa. Mereka terlihat masih sangat asing. Meskipun, beberapa waktu yang lalu saat kejadian penculikan dan ditemukannya Melisa. Azham sempat mengungkapkan ketakutannya terhadap keadaan sang istri. Namun, sekarang situasi kembali semula. “Mama sama Ibu sudah ke hotel?” tanya Melisa tanpa menatap Azham yang duduk di sampingnya. “Nggak Bapak antar?” Azham menghela napas kasar, dia tidak tahu apakah Melisa hanya berbasa-basi atau memang tidak tahu. Padahal, saat Diana mengatakan sudah memesan tiket pesawat sekaligus hotel Melisa tidak sedang tertidur. Juga tidak sedang dalam keadaan tidak sadar. Gadis itu bahkan memperhatikan wajah Diana saat berbicara. Akan tetapi, kenapa sekarang malah bertanya pikir Azham.
“Jangan bangun dulu.” Azham dengan cepat membantu Melisa kembali berbaring, kala melihat gadis itu mengangkat kepala hendak duduk. “Kata dokter, kamu masih butuh banyak istirahat.” Melisa yang masih lemas terpaksa kembali membaringkan tubuhnya. Padahal, dia sudah merasa pegal kalau harus terus terbaring seperti saat ini. Dia tidak punya cukup tenaga untuk berdebat dengan Azham. “Apa kamu butuh sesuatu? Katakan saja,” pinta Azham. “Mau makan, minum atau apa?” tanyanya kepada Melisa yang hanya menatapnya. Hening. Tidak ada suara yang keluar dari mulut gadis itu. Hanya ada gelengan kepala begitu pelan. Azham mengerti Melisa saat ini pasti masih sangat lemas. Suara Melisa hanya terdengar saat pertama kali siuman. Setelahnya, tidak ada lagi. Azham kemudian diam, dia duduk di kursi yang ada di samping ranjang Melisa. Membiarkan Melisa untuk beristirahat. Tidak lagi memberondong istrinya itu dengan pertanyaan-pertanyaan. Di saat mereka sedang berada di situasi hening, tiba-tiba pintu ru
“Di mana ruangan Melisa, Di? Aku sudah tidak sabar bertemu dengannya.” Fitri mencecar Diana untuk segera membawanya ke ruangan Melisa berada. “Kata Rian, Melisa berada di ruangan yang ada di lantai dua. Nomor kamarnya kalau nggak salah 201.” Diana dan Fitri yang mengetahui keadaan Melisa lantas bergegas ke Bali. Mereka tidak lagi ingin menunggu berita burung. Sehingga mereka pun segera memesan tiket penerbangan hari itu juga.Kedua wanita paruh baya itu bergegas ke resepsionis untuk bertanya ruangan Melisa. Setelah mereka sudah mengetahuinya. Lantas segera menuju ruangan gadis itu berada. Di saat keduanya hampir menemukan ruangan Melisa. Tidak sengaja mereka bertemu Rian dan Zera yang hendak kembali ke Makassar untuk pemakaman Leon. Fitri dan Diana yang sedang geram kepada Zera, karena telah menyeka dan menyiksa Melisa hingga membuat gadis itu kini terbaring tak berdaya di rumah sakit. Membuat emosi kedua wanita itu tersulut ketika melihat gadis itu. Keduanya bersama-sama menghamp
Seorang gadis cantik dengan bulu mata lentik yang di wajah dan hampir seluruh tubuhnya dipenuhi luka terbaring tak berdaya di atas brankar rumah sakit. Di samping brankar itu seorang pria duduk di sana sambil menggenggam tangan sang gadis. Menunggu kesadaran gadis itu segera didapatinya. Sudah beberapa jam gadis itu menutup mata rapat tanpa tahu kapan akan membukanya. Padahal dokter sudah mengatakan kepada pria itu kalau sebentar lagi dia akan tersadar. Namun, karena begitu khawatir pada sang gadis. Pria itu merasa waktu beberapa menit sangatlah lama. Tangan gadis itu terpasang selang infus, hidungnya terpasang selang bantu pernapasan. Juga beberapa bagian tubuhnya terpasang alat yang entah fungsinya untuk apa. Pria itu tidak tahu. Yang dia tahu kondisi gadis itu sedikit memburuk akibat di sekap, lalu disiksa. “Melisa, tolong buka matamu. Jangan buat aku khawatir seperti ini,” ucap Azham dengan suara bergetar masih menggenggam tangan Melisa. Ya, gadis di atas ranjang rumah sakit i